Sang Penjaga (The Keeper-5)

Gambar

Bertualang Wisata di Dunia Sastra Banghar Di Bawah Bendera Revolusi Indonesia

 

 

 

 

 

 

 

CHAPSTER  V (lima)

 

 

By : Banghar

 

Yang biasanya hanya satu shift siang untuk mengerjakan pesanan surat-surat hutang pemerintah, obligasi-obligasi, dan penambahan uang kertas yang dibutuhkan pemerintah. Sedangkan malam hari kegiatan lebih ramai. Pekerja yang di tempatkan jauh lebih banyak dan mesin-mesin percetakan mereka bekerja tanpa henti sampai datangnya pagi. Pekerja-pekerja lembur itu di bayar tiga kali lebih banyak daripada upah harian mereka sebulan. Tapi mereka tidak boleh mengatakan apa-apa diluar. Dengan keterlibatan oknum-oknum polisi dalam operasi itu. Bankir-bankir yang cukup punya kredibilitas, dan bahkan keterlibatan langsung kepala polisinya. Tidak seorangpun akan berani kasak-kusuk. Apalagi menyebarkan pekerjaan penting mereka ke media massa. Setelah hampir tiga minggu operasi itu. Sekitar lima kapal Container dengan kapasitas 80.000 ton. Membawa sekitar seribu Container petikemas yang semua isinya uang melulu, merapat ke pelabuhan salah satu perusahaan eksport yang cukup punya nama di negara itu. Dermaga perusahaan itu, tengah malam sebelum pengisian telah mendatangkan sepasukan kavaleri Angkatan Darat yang membawa Pansher BMP. Atau Bouvaya Machina Pekoty buatan Soviyet.  

 

Lampu-lampu sorot dipasang dari atas mesin-mesin derek pelabuhan yang puluhan meter tingginya. Mengawasi aktivitas bongkar muat ratusan truck petikemas yang bolak-balik dari pelabuhan ke gudang-gudang penyimpanan mata uang milik Pemerintah. Semua berlangsung lancar dan sembunyi-sembunyi. Salah satu orang yang mengawal pelayaran kapal-kapal ini adalah seorang petinggi Angkatan Darat Indonesia berpangkat brigadier jenderal. Yang di ketahui sedang berbicara dengan wakil Konggres Majelis Rendah. Politikus kawakan negeri kecil ini yang tampaknya terlibat dalam skandal pembuatan uang palsu berskala internasional. Brigadier Jenderal itu juga yang nampaknya memimpin suatu tim kecil dari pihak Indonesia. Yaitu sekelompok anggota perkumpulan rahasia dalam dinas keamanan Nasional yang telah meminjam pelat-pelat pencetak uang milik Pemerintah. Pelat-pelat pencetak uang itu kemudian dikemas dalam peti-peti baja dan dimasukkan ke dalam tangki-tangki penyimpanan yang kedap air. Di bawa oleh orang-orang ini dengan kereta beroda. Seperti sepasukan infanteri terlatih yang memindahkan tangki-tangki penyimpanan senjata rudal.

 

Segera setelah di tengah laut armada lima kapal Container ini berlayar beriringan di dalam gelap dan hanya dengan sedikit penerangan. Mereka diam-diam dan tanpa memperkenalkan diri telah di ikuti oleh sebuah kapal selam dengan bendera Vietnam. Tapi anehnya, di anjungan kapal selam ini ikut serta seorang veteran perang Perancis yang bekerja sebagai kepala Security di Perusahaan tambang Argentina yang beroperasi di Sumatera. Mereka berangkat dari pangkalannya di Teluk Rach Gia dekat kota Ho Chi Minh sekitar limabelas hari yang lalu. Dan telah berada di Polynesia sehari sebelum kapal-kapal Container penyelundup ini berlayar menuju pulau Serangan, di teluk Benoa-Bali. Tujuan pulau Bali ini nampaknya di sengaja karena Bali sangat jauh dari Jakarta. Tapi bukannya menghindari kecurigaan orang-orang inteligent Jakarta. Karena sesungguhnya banyak petinggi militer yang ikut terlibat dalam operasi pemalsuan mata uang rupiah ini. Melainkan sekedar sebagai muslihat yang menjauhkan mereka dari tuduhan memanfaatkan kedudukan untuk melakukan kejahatan demi memperkaya diri sendiri dan kelompok usahanya.

 

Saat kejadian itu berlangsung, Hyang Mulia Jendral besar Bosma Marssiello Gleizzyardhin Otmmar Abdoullay Behrdourrani Sadeghzadeh Ingenieur Youkke al-Zayyeed Husni. Orang tua kandung Anggitho yang sesungguhnya masih seorang Kasdam Komando militer divisi tujuh Udayana Daerah Operasi Bali, dan Nusa Tenggara. Berpangkat brigadier jenderal. Diam-diam dia telah mencium adanya persekongkolan busuk sejumlah pengusaha nakal dengan kaum birokrat kotor yang hendak memperkaya diri sendiri dengan cara-cara yang keji dan menyengsarakan rakyat banyak. Di bali mereka menggunakan Link sebuah perusahaan Cargo raksasa yang di miliki oleh Konglomerat kawakan. Perusahaan itu memiliki jaringan armada Truck dan pelayaran peti kemas sendiri yang telah di akui kepiawaianya hingga ke Asia Tenggara. Terbukti dalam suatu pertemuan business di sela pertemuan menteri-menteri tingkat tinggi Asean, perusahaan Cargo itu berhasil menggaet kerjasama investasi pengiriman product-product berharga Asean senilai tujuratus juta dollar. Dan menambahkan porto folionya sebagai perusahaan go public yang paling di minati di pasar saham.

 

Rencana mereka, potongan-potongan uang kertas aspal yang siap edar itu akan di simpan dulu dalam gudang-gudang milik Perusahaan Cargo tersebut selama beberapa bulan. Menunggu situasi keamanan nasional benar-benar cocok seperti yang mereka kehendaki. Kemudian uang itu di pindahkan sedikit demi sedikit ke Jakarta. Dan ke jaringan-jaringan mereka di daerah yang siap untuk menukarkan kembali uang-uang aspal ini untuk di cuci. Untuk rencana itu, mereka telah menjalin kerja sama erat dengan sejumlah pejabat penting perbankkan dan Bangkir-bangkir yang akan mendapatkan komisi sangat besar. Hyang Mulia Jendral besar Bosma kala itu, hanya seorang brigadier jendral dengan organisasi perkumpulan sosialnya Klub Dewan Perwira yang belum kuat sekarang. Tidak berdaya menghadapi kekuatan luar biasa yang melindungi operasi penyelundupan uang palsu itu. Tapi disini, di pulau Bali ini Komando Teritorial adalah basis kekuasaannya. Maka… Hyang Mulia Jendral besar Bosma kala itu. Seorang brigadier jendral dari wilayah komando Kodam yang terpinggirkan dan sama sekali tidak di perhitungkan oleh Pusat.

 

Menyusun rencana untuk dirinya sendiri. Membiarkan kapal-kapal Container yang di jaga oleh unit-unit pasukan elit dari kementerian Pertahanan bersandar. Membiarkan mereka membongkar muatannya. Dan menunggu saat-saat dimana semua Container-Container penuh uang palsu itu di simpan dalam gudang-gudang mereka. Dan setelah semuanya terlena dengan kesuksesan operasi mereka. Tiba-tiba Hyang Mulia Jendral besar Bosma kala itu membuat gebrakan mengejutkan. Mengirim pasukan anti teror terbaiknya di bawah Mayor infanteri Estianni. Mengepung gudang-gudang itu di tengah malam buta. Dan membawa sekelompok jaksa wilayah, kepala cabang Bank Indonesia di Denpasar, dan wartawan. Kemudian membongkar gudang-gudang penuh cetakan uang palsu yang di taksir berjumlah hingga ratusan trilyun rupiah. Menggemparkan mass media di Jakarta dan membuat pakar-pakar ekonomi terperangah. Bagaimana mungkin di sebuah perusahaan Cargo multinasional di temukan penuh gudang-gudang uang palsu yang bahkan para bankir-bankir sendiri akan sulit membedakannya dengan yang asli. Karena semua uang palsu ini menggandakan nomor-nomor seri semua rupiah yang telah beredar di masyarakat.

 

Dengan prinsip satu uang asli, satu uang palsu. Akan sulit membedakannya bahkan dari nomor-nomor seri rupiah-rupiah itu. Karena satu hal saja. Nomor-nomor itu ada dan tercatat dalam perbendaharaan uang negara di departemen keuangan. Pemerintah tidak mungkin berdalih bahwa uang itu milik pemerintah yang dititipkan kepada pihak swasta. Pemerintah tidak pernah dan, tidak akan boleh mencetak uang di luar negeri. Dan prosedur penyimpanannya sudah tercatat dengan baku. Penyimpanan hanya di lakukan dalam lingkungan Perusahaan Uang Negara sendiri. Dan tidak akan pernah berpindah ke tempat lain tanpa pengawasan Bank Indonesia dan di tangani langsung oleh aparat keamanan Negara yang di tunjuk. Sama sekali bukan domain pihak Swasta. Apalagi sampai timbul dugaan pengiriman berasal dari luar negeri. Ini jelas sudah tidak benar. Skandal memalukan itu telah mengguncang tampuk kekuasaan tertinggi. Sampai-sampai tujuh Menteri di ganti dalam pemerintahan kabinet yang sedang berkuasa. Bayangkan… ada tujuratus trilyun uang palsu yang sangat mirip dengan aslinya dan itu setara dengan anggaran belanja pemerintah pusat selama setahun penuh. Jumlah uang yang tidak bisa di anggap enteng.

 

Setelah suatu pengusutan profesional di lakukan selama berhari-hari oleh suatu tim pencari fakta dari Kejaksaan Agung, kementerian Polhukam, Kehakiman, dan Bank Indonesia. Setelah suatu gelombang tuntutan-tuntutan public yang semakin tidak tertahankan lagi. Di  temukan fakta sejumlah petinggi birokrat, dinas keamanan nasional, dan sejumlah konglomerat yang mulai terpinggirkan pasca gelombang reformasi kekuasaan di tingkat atas. Terlibat dalam operasi uang palsu ini. Mereka bekerja sama dengan sejumlah persekongkolan asing yang sepenuhnya melakukan demi keuntungan finasial semata. Dalam blue print rencana operasi rahasia itu. Mereka akan menukarkan diam-diam semua simpanan uang cash di bank-bank pemerintah yang mereka kuasai dengan uang palsu ini. Karena nantinya uang palsu di keluarkan oleh Bank-bank pemerintah sendiri, akan sulit pegawai-pegawai keuangan ini menilai atau menyatakan bahwa uang rupiah yang mereka keluarkan sendiri dari gudang-gudang penyimpanan mereka adalah palsu. Sementara semua orang masih terlena dengan aktivitas formal dan tidak menyadari kepalsuan uang yang mereka keluarkan, sejumlah besar uang asli yang berhasil di kumpulkan diam-diam di kapalkan ke luar negeri.

 

Di tukarkan dalam bentuk pecahan Pound-Inggris, Franc-Perancis, Gulden-Belanda, Mark-Jerman, Krone-Norwegia, Dollar-Amerika, atau bahkan Rubel-Soviyet. Menyimpan uang-uang itu atas nama mereka sendiri di Bank-bank pemerintah Swiss, Yunani, dan Israell. Kalau sampai operasi luar biasa ini berhasil. Bayangkan besar kekayaan yang mereka peroleh secara gratis. Bahkan kerja kotor mereka seumur hidup tidak akan mencapai yang seperti ini. Dari situlah kemudian karier militer nyonya Jendral Estianni meroket. Namanya di puja-puja banyak orang. Sebagai kepala pasukan patriotik yang telah menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran total ekonomi nasional. Akibat dari ulah bejat beberapa pejabat pemerintah dan pengusaha nakal. Tapi otak sesungguhnya di balik operasi kontroversial yang menentang arus kekuasaan tingkat atas itu adalah Hyang Mulia Jendral besar Bosma sendiri… Abdoullay Behrdourrani Sadeghzadeh Ingenieur Youkke al-Zayyeed Husni. Sebab memang tidak mungkin hanya seorang Mayor Angkatan Darat seperti nyonya Jendral Estianni kala itu berani menindak sebuah kejahatan yang di dukung mayoritas petinggi tentara di tingkat Mabes. Melibatkan investor yang mengendalikan hampir setengah perekonomian Republik ini, hingga pucuk-pucuk pimpinan yang mengendalikan kebijakan moneter.

 

Setelah skandal yang ikut menyeret nama beberapa menteri itu terbongkar. Sejumlah jendral-jendral Angkatan Darat di ajukan ke Mahkamah militer karena di tengarai ikut melindungi persekongkolan bejat yang nyaris meruntuhkan pondasi perekonomian nasional. Satu orang konglomerat yang mati-matian berjuang agar namanya tidak tersangkut dalam skandal memalukan itu. Eka Pratama Wisnubrata. Adalah pemilik dari jaringan perbankkan multinasional Bharata Bank. Pengelola sejuta hektar kelapa sawit di Kalimantan dan Industri minyak sawit mentah Bharata Resourses Indonesia Tbk. Dan salah satu anak perusahaannya Mitra Ocean Link Tbk. Adalah perusahaan ekspedisi yang di pergunakan gudang-gudangnya untuk menyimpan seribu peti kemas penuh dengan uang palsu. Mitra Ocean Link Tbk sengaja di pilih nampaknya karena perusahaan itu memiliki dermaga sendiri yang sangat besar di pantai Benoa-Bali. Dan gudang-gudang pelabuhannya cukup lapang dengan sistem keamanan yang di rotasi selama duapuluh empat jam. Selain daerah yang aman, juga sebuah operasi bongkar muat besar yang di lakukan disana tidak akan terlalu menarik perhatian orang luar.

 

Salah satu staf pengacaranya yang waktu itu susah payah melobby kantor kejaksaan Denpasar, institusi kepolisian, dan garnesun istimewa satuan anti teror yang di pimpin Mayor infanteri Estianni Rahayu. Adalah Dr. Agung Setiawan Rasmintho, SH. Js.D. Pemilik kantor Advocate Rasmintho & Friend. Bujangan tua yang gila kerja dengan nilai asset kekayaan pribadi yang kala itu sudah hampir menyentuh angka duaratus milyard. Berkat bantuan Mayor infanteri Estianni inilah kemudian tuan Eka Pratama hanya kehilangan ijin usaha Mitra Ocean Link yang tiga tahun sesudahnya berdiri lagi dengan bendera baru Eka Bhakti Intermodha Tbk. Menjadikan sejumlah Manajeman MOL Tbk sebagai tersangka utama. Tapi sama sekali tidak menyentuh nama tuan Eka Pratama. Padahal tidak mungkin para eksekutif bayaran ini berani membuka gudang untuk pengapalan beratus-ratus petikemas penuh uang palsu tanpa perintah langsung dari seorang Eka Pratama Wisnubhrata. Konon dari kerjasama proses hukum yang sukses ini Dr. Agung Setiawan Rasmintho, SH. Js.D. memperoleh transfer dana segar hampir duaratus milyard rupiah. Dan tahun itu juga, Mayor infanteri Estianni Rahayu menikah dan menjadi nyonya Estianni Rahayu Rasmintho.

                “Sebenarnya bukan tuan Eka Pratama yang terlibat langsung dalam kasus ini. Tapi menantunya. Yaitu Bambang Yullianna Yussuf Widodo. Putera Jendral purnawiraan Arrief Herlambang Widodo yang waktu itu sudah menjadi Wakil Presiden kita dibawah pemerintahan Tuanku Baginda President Hendhi Sukhobaskoro.”  Nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho menceritakan. “Kemudian terbukti Bambang Yullianna di ajukan sebagai terdakwa di pengadilan. Bahkan atas perintah Ayahnya sendiri. Wakil Presiden Arrief Herlambang Widodo kala itu.”

                “Hmmmh… yeaa, saya pernah mencermati kasus itu. Dalam pengakuannya di persidangan, Bambang Yullianna menyatakan telah menggunakan nama Mertuanya ketika datang bersama-sama sejumlah petinggi pasukan Rimbasti untuk membongkar gudang milik Mitra Ocean Link.”  Bripda polisi Sinta berkomentar.

                “Aku hanya membantu melindungi seseorang yang sesungguhnya hanya terbawa-bawa dalam kasus ini. Karena keterlibatan menantunya dalam persekongkolan jahat itu. Tuan Eka Pratama memang tidak tahu apa-apa soal kejadian di pantai Benoa. Di mana setengah dari bagian dermaga itu memang resmi milik dirinya sendiri.”  Kata nyonya Jendral Estianni dengan muram.

                “Saya mengerti.”  Kata Bripda polisi Sinta lagi. “Saat itu tuan Eka Pratama adalah orang penting dibalik suksesnya pengangkatan Presiden Hendhi Sukhobaskoro yang sebelumnya politikus kawakan di Senayan. Berpasangan dengan Jendral purnawirawan Arrief Herlambang Widodo yang kala itu punya basis kuat di tubuh tentara. Pasca terbongkarnya skandal uang palsu ini tuan Eka Pratama paling di sorot media massa. Di anggapnya motif politik skandal uang palsu ini adalah balas jasa President Hendhi Sukhobaskoro atas dukungan finasial yang kuat selama kampanye pemilihan President. Padahal itu tidak benar sama sekali. Kalau ada konglomerat perbankkan yang terlibat, itu tidak termasuk dirinya. Melainkan komisaris-komisaris dari sejumlah bank bermasalah yang hampir bangkrut karena permainan-permainan vallas dan korupsi.”

                “Kalau proses hukum kasus ini tidak di lokalisir, tidak hanya tuan Eka Pratama yang akan terseret jatuh. Tapi juga Wakil President Arrief Herlambang Widodo. Bahkan kemungkian President Hendhi Sukhobaskoro sendiri akan di mazulkan. Kabinetnya akan di bubarkan dan Negara dalam situasi yang sangat membahayakan.”  Kata nyonya Jendrral Estiani Rasmintho.

Bripda polisi Sinta menyukai cerita aktual yang sedang mereka perbincangkan. Tapi secara pribadi dia tahu. Pasti bukan percakapan ini yang sesungguhnya nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho inginkan sampai harus minta meja tersendiri untuk menjamu Bripda polisi Sinta. Ada cerita aktual yang lain tentunya, yang saat ini sedang ingin dia bahas bersama Bripda polisi Sinta. Dia tahu kasus uang palsu di Benoa Bali. Dia tahu kegemparan yang kemudian terjadi di dunia moneter karena ada rencana sebagian besar uang palsu itu akan dipakai untuk menggantikan uang-uang cash dalam almari-almari besi kantor-kantor perbankkan pemerintah di seluruh Indonesia yang hendak di rampok. Atau mungkin saja, sebagian dari uang palsu itu sudah berhasil menyusup ke dalam sistem perputaran uang cash Bank Indonesia. Karena orang biasa akan sulit membedakan ketika uang palsu itu sudah bercampur dalam tumpukan uang yang asli. Karena bahkan nomor serinya sekalipun dibuat sesuai dengan jumlah uang asli yang beredar. Di cetak dengan menggunakan mesin cetak yang sama dengan milik Perusahaan Uang Republik Indonesia. Peruri. Kertas hasil dari daur ulang uang kertas yang sesungguhnya dengan ditambahkan unsur plastik, seperti juga mata uang saratus ribuan yang asli.

 

Seandainya seorang bankir terkenal di tunjukkan di hadapannya lima uang kertas asli dan lima uang kertas palsu, maka dia pasti akan mengatakan bahwa semuanya asli. Dan untungnya, potongan-potongan uang kertas palsu itu sekarang. Bersama dengan gudang-gudang penyimpanannya sekalian telah dibakar habis. Yang tersisa tinggallah puing-puing baja peti kemas yang di berantakan oleh ledakan bom. Menjadi secuil demi secuil untuk dipunguti yang bisa oleh para pedagang barang-barang rongsokan. Inilah konspirasi pemalsuan uang kertas terbesar abad ini. Konon hampir sekondang operasi Benhard oleh tentara Gestapo-Nazi. Atau operasi Dharmosthead yang di otaki aktor kawakan CIA serta kantor Wakil President Amerika Serikat. Makanan ini yang Bripda polisi Sinta nikmati sambil mendengarkan cerita nyonya Jendral Estianni yang begitu bahagia menerima perhatian dari Bripda polisi Sinta itu, benar-benar enak. Setelah selesai dengan seteguk Mirradelima Punch, nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho mengatakan.

                “Setelah ini aku ingin mengajakmu jalan-jalan… tentu kalau kau punya waktu.”

Nyonya JendralEstianni Rahayu Rasmintho kemudian memanggil Letnan satu Evie Widhyasari yang duduk di meja lain dengan isyarat tangan dan permainan matanya. Letnan muda yang merupakan ajudan pribadi nyonya Jendral Estianni sendiri itu beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri dengan penuh hormat. Berjalan pada lututnya mendekat ke sisi nyonya Jendral Estianni dan Bripda polisi Sinta. Dia kemudian mendengarkan bisikan perintah yang disampaikan nyonya Jendral Estianni. Asisten pribadi Panglima itu kemudian kembali untuk menghubungi teman-temannya yang bertugas menjaga keamanan diri nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho. Mengabari petugas-petugas pengamanan jalan raya dan menyiapkan mobil-mobil yang akan mengiringi perjalanan nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho. Kasir keuangan Resto Bu Mirrah di hubungi untuk menutup semua tagihan yang besarnya bisa mencapai dua juta rupiah. Setelah semuanya menyatakan siap. Letnan satu Evie Widyasari kembali mendekati nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho. Melaporkan bahwa semua telah siap berangkat mengantarkan perjalanan nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho sesuai keinginnannya.

 

Nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho bangkit meninggalkan mejanya, dan pertama-tama berbicara dengan Wahyunni, Ambar, dan Hamidha bahwa mereka bertiga terpaksa harus meneruskan hunting belanja di Plaza ini sendiri karena Bripda polisi Sinta akan ikut dengannya. Dan kemudian memberi isyarat kepada Bripda polisi Sinta untuk mengikutinya pergi. Seperti biasa ketika mereka dalam perjalanan menuju kendaraan yang penuh dengan kerumunan pengunjung. Dua pengawal berseragam safari itu berjalanan lebih dulu membuka jalan. Tujuh orang berjalan mengiringi perjalanan nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho, Bripda polisi Sinta, dan Letnan satu Evie Widyasari asisten pribadinya. Saat kerumunan yang memadati lorong-lorong dalam plaza Megaria itu menuju ke pintu keluar. Security plaza ikut turun tangan membantu. Nyonya Estianni Rahayu Rasmintho begitu memanjakan Bripda polisi Sinta seperti sedang memperlakukan puteri kandungnya sendiri. Bripda polisi Sinta dengan tidak enak hati mengikuti saja apa yang sedang di lakukan nyonya Jendral Estianni ini. Karena biasanya, orang-orang setinggi nyonya Jendral Estianni akan sangat memanjakan seseorang yang jauh lebih rendah darinya, untuk kemudian di jatuhkan sedalam-dalamnya sampai tidak ada lagi yang tersisa untuk dihancurkan.

 

Bripda polisi Sinta bisa memaklumi kalau jauh di dalam relung hatinya nyonya Jendral Estianni menyimpan dendam kesumat yang sudah lama ingin di ledakkan. Pertama-tama karena dialah Anggitho kemudian terlibat jauh ke dalam masalah sampai-sampai nyonya Jendral Estianni harus mempergunakan seluruh pengaruh kekuasaannya untuk membalas orang-orang yang berusaha menghancurkan puteranya, padahal dulunya mereka adalah teman-teman baik yang selalu memuja dirinya. Kemudian datang permasalahan yang membuat Anggitho menolak jatuh cinta kepada puteri semata wayangnya, Letnan satu Intan Hierrawati. Ini juga gara-gara Bripda polisi Sinta. Seandainya tidak ada Sinta, mungkin Anggitho mau-mau saja di angkat menjadi menantunya. Karena kelihatannya Letnan satu Intan yang di kuya-kuya oleh nyonya Jendral Estianni itu sudah cinta mati kepada Anggitho. Dan tidak terpaksa harus membagi-bagi cinta seperti sekarang ini. Yang pastinya suatu penderitaan tersendiri bagi seorang Letnan satu Intan Hierrawati yang semenjak kecil selalu mendapatkan apapun yang di inginkannya.

 

Pintu sliding otomatis mobil Toyota Alphard 3.5L a/t hitam itu telah membuka otomatis pada arah nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho datang dari pintu masuk lobby Plaza. Tiga pengawal berseragam Safari dari unit mobil pengawal ford New Everest TDCI Limited Turbo dengan Strobo sirent-light yang lain menjaga sekeliling pintu belakang mobil Toyota Alphard itu. Nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho masuk lebih dulu. Di ikuti Bripda polisi Sinta yang duduk di kursi sebelahnya, dan Asisten pribadinya, Letnan satu Evie yang duduk di kursi jock paling belakang. Begitu pintu sliding mobil Toyota Alphard hitam itu di tutup otomatis, seluruh anggota pengawal berseragam Safari yang menyimpan sarung pistol otomatisnya di sabuk belakang pinggangnya buru-buru masuk ke mobil masing-masing. Begitu pula dengan enam petugas pengawal Puspomdam yang mengendarai mobil mobil dinas Isuzu Panther Smart Hi-Grade putih Puspomdam dengan Strobo blue siren-light, menguing-nguing di depan dan belakang konvoi. Dua dari enam sepeda motor besar pengawal Honda Goldwing-1000 yang bertugas di depan telah menghadangkan sepeda motornya menutup jalur satu arah di depan Megaria Plaza.

 

Membuat kemacetan yang parah di persimpangan depan alun-alun kota sehingga petugas polantas yang bertugas disana harus mengurai kemacetan dengan susah payah dan berusaha mengalihkan jalur kendaraan. Empat sepeda motor besar Honda Goldwing-1000 meluncur cepat mendahului rombongan nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho meninggalkan Megaria Plaza. Baru setelah seluruh rombongan jauh meninggalkan komplek pertokoan padat pengunjung Megaria Plaza itu, dua motor besar Puspomdam yang menutup jalan menancap gas memburu ke arah rombongan untuk menempati posisinya yang semula. Bripda polisi Sinta tidak tahu kemana tujuan nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho ini pergi. Tapi dengan segenap keteguhan hatinya Bripda polisi Sinta mengumpulkan keberaniannya untuk menerima apapun hukuman yang akan nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho jatuhkan kepadanya. Mereka ternyata tidak kemana-mana. Rombongan pengawal nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho itu hanya berhenti di pinggir jalan dekat jalan masuk ke komplek rumah dinas Makodam. Asisten pribadinya, letnan satu Evie Widhyasari, supir mobil Toyota Alphard dan pimpinan satuan pengawal dalam mobil itu keluar. Dan menutup pintu-pintu kembali dari luar. Pasukan pengawal terlihat hanya berjaga-jaga saja di luar dan tidak melakukan apa-apa.

 

Jantung Bripda polisi Sinta berdegup kencang. Ini saatnya. Mungkin nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho mau mencampakkan dia dan menendang dia keluar dari kehidupan Anggitho dan keluarga besar angkatnya. Bripda polisi Sinta segera meneguhkan hatinya. Kalau nyonya Jendral Estianni hendak menumpahkan semua kegundahan itu kepadanya, Bripda polisi Sinta sudah benar-benar siap. Dia akan pergi dari sisi Anggitho. Demi kebahagiaan kekasih hati yang sangat di cintainya. Bripda polisi Sinta rela melepaskan Anggitho karena cinta yang benar-benar tulus. Asalkan pelepasan itu memang benar-benar untuk kebahagiaan Anggitho dan kebaikan keluarga angkatnya. Sama sekali bukan bermaksud untuk menyakiti dia.

                “Maaf… Sinta. Aku memutuskan harus melakukan pembicaraan pribadi seperti ini denganmu. Agak tidak layak sebenarnya. Tapi aku cemas… di Resto tadi pembicaraan kita secara tidak langsung akan di dengar oleh Wahyunni dan saudara-saudaranya. Dan itu aku sungguh tidak ingin.”  Terdengar nada bicara nyonya Jendral Estianni sangat lembut dan berharap pengertian dari Bripda polisi Sinta.

                “Aaahhmm… dimana saja nyonya Jendral Estianni ingin berbicara, bagi saya semuanya sangat terhormat.”

                “Aku senang kau memakluminya.”  Kata nyonya Jendral Estianni menghargai ketulusan penghormatan yang di berikan Bripda polisi Sinta. “Aku sedang dalam suasana yang sangat tidak enak hati saat ini. Dan menganggap perlu untuk membicarakan ini secara pribadi denganmu. Aku tidak tahu puteriku… Letnan satu Intan Hierrawati . Dan secara pribadi pasti kau sudah sangat mengenalnya. Intan memang sejak kecil tidak pernah mau menyerah untuk mendapatkan setiap keinginannya. Dan situasi tertentu kadang itu telah sangat menyulitkan kedudukanku sebagai Panglima komando Kodam.”

                “Eeekhhmm… apa yang bisa saya lakukan untuk nyonya Jendral.”

Bripda polisi Sinta benar-benah harus menyiapkan dirinya sekarang. Sejenak Bripda polisi Sinta menghembuskan nafas sesak dalam dirinya. Memberi kesempatan pada Bripda polisi Sinta untuk mengatur dirinya agar bersikap setenang mungkin menghadapi pelampiasan kemarahan nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho yang mungkin sudah tidak terbayangkan lagi itu.

                “Aku sungguh tidak tahu kalau puteriku Intan telah membuat kesepakatan… dan itu, tentu sangat menyakitkan bagimu. Aku sangat prihatin… Sinta. Tapi aku ingin kau mengerti, seandainya mungkin kau harus menolak kesepakatan dengan puteriku itu, aku tetap mendukungmu. Harusnya Intan tidak mencampuri urusan ini. Sinta… kau harus mengerti konsekwensi untuk mencintai Anggitho. Dan seandainya harus memilih, aku lebih suka kau yang memiliki Anggitho daripada puteriku sendiri. Karena aku tidak ingin kalau pada akhirnya nanti dia akan sakit hati.”

                “Mengapa harus begitu… nyonya Jendral ?”

Bripda polisi Sinta menyatakan rasa penasarannya itu dengan nada tidak percaya. Nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho menyatakan dengan enggan, sepertinya Anggitho akan meninggal besok. Apa sebenarnya rahasia yang sedang di sembunyikan oleh nyonya Jendral Estianni… Mengapa dia serius menyerahkan kepada Bripda polisi Sinta sepertinya Anggitho itu seorang pasien gawat darurat yang sudah tidak mungkin tertolong lagi. Wajah nyonya Jendral Estianni hampir tanpa ekspresi. Dan mata indahnya yang menghitam tajam tidak menunjukkan bahwa dia menyesal dengan ucapan itu.

                “Sesungguhnya Sinta… dengan menjalin hubungan dengan Anggitho, kau harus sadar betul bahwa kau tidak mungkin memiliki dia selamanya. Kau hanya bisa mencintainya selama dia seorang Anggitho. Artinya jangan bermimpi terlalu jauh nantinya… untuk menikah, berrumah tangga dengannya, dan apalagi untuk mempunyai anak.  Nyonya Jendral Estianni sedikit cemas.

                “Nyonya Jendral… jangan katakan Anggitho sedang sakit parah…”

                “Oouuu… tidak. Dia sedang baik-baik saja dan tidak akan meninggal besok. Kalau hanya soal kesehatannya yang kau cemaskan.”  Sekali lagi nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho di landa kecemasan. “Yang ingin aku katakan adalah, bila akhirnya kau mengetahui hal ini… maka kau telah masuk ke dalam suatu komunitas rahasia yang tugasnya hanya satu. Menjadi pelayan seumur hidup Anggitho, menjaganya, dan melindunginya seperti kau sedang menjalankan suatu tugas penyamaran yang tidak di ketahui umum. Secara kasat mata orang akan tetap melihatmu sebagai pacar Anggitho. Tapi lebih dalam dari itu… kau… seperti juga aku, dan banyak orang yang telah terlibat dalam operasi ini. Kita adalah satu team pengamanan yang tersembunyi. Sebuah jaringan yang hanya dibangun untuk melindungi Anggitho seorang.”

                “Maaf… saya menjadi semakin tidak mengerti, nyonya Jendral.”

                “Okkeey… sebelum kau mengetahui lebih dalam.”  Nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho kemudian mengeluarkan sebuah dokumen bersegel dari dalam tas kantornya. Lembaran-lembaran rahasia negara yang harus di pahami dan di tanda tangani Bripda polisi Sinta. Melihat sampulnya dengan ragu-ragu, dan menyodorkannya pada Bripda polisi Sinta. “Kau harus menanda tangani ini dulu sebelum mendengarkan lebih lanjut penjelasannku. Karena tanpa legalitas dokumen ini, mungkin setelah selesai aku bercerita tentang Anggitho terpaksa aku harus membunuhmu.”

Bripda polisi Sinta menerima dokumen itu dengan sebatang pulpen tinta berjepit emas yang di sodorkan oleh nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho. Membaca sejenak isi perjanjian yang di bagian atasnya ada logo besar dinas keamanan negara Bosma. Isinya tentang kesediaan Bripda polisi Sinta masuk dalam komunitas perlindungan yang sangat rahasia sifatnya. Orang-orang dari lintas disiplin ilmu yang karena situasi telah menyatakan bersedia direkrut dengan sukarela melaksanakan tugas-tugas sebagai seorang petugas lapangan direktorat tujuh Bosma.

                “Artinya sekarang… saya menjadi seorang agen resmi dinas rahasia Bosma ?”  Bripda polisi Sinta menyatakan rasa ingin tahunya dengan sungguh-sungguh pada nyonya Jendral Estianni.

                “Secara tidak langsung… iya. Kau akan di daftar resmi dan menerima sedikit pembinaan di pusat orientasi dan pendidikan dasar Bosma. Memperoleh dokumen asuransi seorang agen yang resmi. Mendapatkan semacam pesangon balas jasa yang akan di transfer dalam bentuk deposito atas namamu di suatu Bank Pemerintah pada setiap akhir tahun. Tapi kau tidak bisa menunjukkan kepada siapa saja bahwa dirimu kini seorang agen resmi Bosma. Kau akan tetap seorang Bripda polisi Sinta. Tapi kariermu dalam institusi kepolisian akan sangat dibantu dengan peran gandamu sebagai agen sleeper Bosma ini.”

                “Hhmm… baik. Saya akan tanda tangani ini.”  Kata Bripda polisi Sinta mantap dan kemudian membubuhkan ukiran tangannya sebagai tanda persetujuan di atas dokumen itu. Setelah melakukannya lalu mengembalikan dokumen kembali pada nyonya Jendral Estianni berikut dengan pulpen tintanya. “Baiklah… sekarang saya siap mendengarkan. Siapa sesungguhnya Anggitho.”

                “Makasih… Sinta. Sekarang kau membuatku lega.”  Nyonya Jendral Estianni berkata dengan tersenyum sambil mengembalikan dokumen itu masuk ke dalam tas kantornya dan menguncinya rapat.

                “Jadi setelah semua ini… akankah anda menjelaskan kepada saya, ada apa sebenarnya ?”

                “Okeey… sebelum mulai menceritakan siapa sebenarnya Anggitho.”  Nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho memulai percakapannya. “Seberapa jauh kau pernah mendengar tentang keluarga besar Industrialis multimillioner Syech arh-Rachmmaan al-Muhammaad asy-Shubbin Otmmar al-Abdoullay Behrdourrani al-Zayyeed Husni ?”

                “Pemilik Imperium businnes dengan jaringan perusahaan di seratus negara di dunia itu. Tentu saja saya tahu. Delapan menantunya… para pemimpin negara-negara adidaya dan pewaris kekaisaran di seluruh dunia. Dan Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke… penguasa yang sesungguhnya dibalik tahta Pemerintahan kabinet Paduka President Albertinus Senno Suhastommo, adalah salah satu keturunannya.”

                “Apa kau juga pernah tahu… apa yang di lakukan keturunan keluarga besar Imperium businnes multimillioner Husni terhadap anak cucunya di republik ini ?”  nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho melanjutkan pertanyaannya.

                “Kalau tidak salah… ada suatu program kontroversial yang disebut Naturalisasi Kerakyatan keluarga Husni. Memasukkan anak cucu mereka ke dalam program penyamaran ketat yang sangat terjaga kerahasiaannya di belantara kemiskinan Indonesia yang entah itu di mana. Memberi kehidupan baru pada pangeran-pangeran kecil itu sebagai rakyat jelata yang harus berjuang sendirian untuk sekedar makan. Hal yang bahkan seumur hidup tidak akan pernah mereka rasakan selama menjadi pangeran.”

                “Itu benar… tapi sesungguhnya mereka tidak miskin benar. Mereka masih di kelilingi oleh pengawal-pengawal yang tidak terlihat. Sebagian memang agen-agen keamanan Bosma sendiri yang di latih khusus untuk pekerjaan itu. Mereka menyebutnya direktorat X atau ekspatriat dari direktorat operasi sembilan yang sangat rahasia. Tapi sebagian lagi adalah orang-orang biasa dari direkrut untuk tugas pengamanan karena situasi. Seperti keluarga yang di tempati, misalnya. Atau orang-orang di sekelilingnya yang kebetulan mempunyai latar belakang karier kemiliteran. Yang sudah tinggal di daerah itu jauh sebelum pangeran keluarga Husni menjalani program penyamarannya.”

                “Apakah… Anggitho… salah satu dari… pangeran kecil… itttuu…?”  Bripda polisi Sinta menyatakan sekelumit dugaan yang melintas dalam pikirannya.

                “Sayangnya… tebakanmu itu benar. Anggitho mempunyai nama asli His Excellency of Highness Prince Demmetrio Alexandher Josse Descartes  Ingenieur.”

                “Nyonya Jendral… hendak mengataka bahwa… Anggitho adalah… putera kandung Hyang Mulia Jendral besar Bosma Gleizzyardhin Sadeghzadeh Ingenieur Youkke ?”  Bripda polisi Sinta masih mencoba meraba-raba dalam ketidak percayaannya.

                “Seperti itulah faktanya. Suatu komunitas yang elite berkantor di lantai basement gedung megah Kondominium duapuluh lantai milik keluarga Husni di Lingkar Natrium Prospekz nomer empat yang kesohor itu. Terdiri dari staf managemant Husni dan pengendali-pengendali yang menggerakkan para sleeper dari direktorat X Ditro-9 Bosma. Aku salah satu yang mereka sebut agen Sleeper itu walau dengan kedudukanku yang setinggi ini, tetap dibawah Kendali Operasi atau KO mereka. Kau mengerti ?”

                “Astaga… dan, sekarang.”  Bripda polisi Sinta menjadi lemas seketika mengetahui fakta bahwa Anggitho itu ternyata putera sang Penguasa Bayangan yang paling di takuti di Republik ini.

Pemimpin dari perserikatan-perserikatan di sebuah negeri yang penuh dengan persekongkolan ini. Yang otaknya setajam silet, yang perintahnya tidak terbantahkan di Republik ini. Seseorang yang telah berani membohonginya, atau sengaja berkomplot untuk menentang dia selalu akan berakhir dengan terbujur kaku di tanah perkuburan Penjara kerja paksa belantara tambang tembaga yang ekstrim di Kiamanno-Papua. Seseorang yang kenyang pengalaman politik di Republik ini akan selalu memelihara insting yang kuat untuk bisa tetap berkuasa. Dan dengan cepat akan menghindari setiap persoalan yang bersinggungan dengan kepentingan pribadi Hyang Mulia Jendral besar Bosma Gleizzyardhin Sadeghzadeh Ingenieur Youkke. Bripda polisi Sinta masih tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya setelah mengetahui kenyataan yang sebenarnya dari Anggitho. Apakah nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho akan langsung mengirimnya ke pusat Orientasi dan Pendidikan dasar dinas rahasia Bosma seperti yang telah di katakan. Ataukah sedikit memberinya kesempatan untuk berpamitan kepada Anggitho sekembalinya dari pelesiran dengan Letnan satu Intan Hierrawati nanti.

                “Jadi… Sinta. Kau telah mengerti, mengapa orang yang telah berani mengusik Anggitho mendapatkan hukuman yang sangat berat. Sepertinya lebih dari aku memperlakukan seandainya Anggitho itu putera kandungku sendiri. Karena di belakang nama Anggitho yang baru mengenal kota Malang ini ada kekuasaan tanpa batas Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke.”  Nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho menjelaskan pada Bripda polisi Sinta.

                “Bagaimana dengan nasib saya sekarang ?”

                “Seperti yang aku bilang di awal. Pertama-tama kau akan melaporkan diri ke Kondominium mewah yang di lindungi pakta kekebalan hukum diplomatik di Natrium Prospekz nomor empat.”  Nyonya Jendral Estianni kemudian mengeluarkan sebuah kartu nama yang harus Bripda polisi Sinta berikan kepada seseorang nanti. Tidak ada identitas apa-apa dalam kartu nama yang lebih menyerupai kartu kunci elektronis. Di atasnya hanya tertera sederet nomor acak yang tidak berarti apa-apa. “Berikan kartu ini kepada petugas portal dan katakan kau harus bertemu dengan kepala protokol dan pengacara rumah tangga, Dr. Anissa Tiara Widhuri SH, Ph.D, Js.D, Laws Master. Dia koordinator kepala-kepala seksi departemen Lima direktorat Expatriat Bosma yang bekerja untuk pengamanan Anggitho. Karena aku yang merekomendasikan penugasanmu, aku yakin mereka tidak terlalu banyak pertanyaan.”

                “Kapan saya harus mulai melapor ?”

                “Karena kau sudah menanda tangani dokumen pengajuan sukarela untuk di rekrut organisasi Bosma. Kau akan berangkat saat ini juga. Letnan satu Evie telah menghentikan taksi untukmu di seberang jalan sana dan telah dibayar lunas untuk mengantarmu ke Natrium Prospekz. Kau siap ?”   nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho memastikan.

                “Bagaimana saya harus menjelaskannya pada Anggitho… atau saya harus mulai membiasakan menyebut beliah His Excellency of Highness Prince Demmetrio Alexandher Josse Ingenieur ?”

                “Oouuh… dia tetap Anggithomu yang manis. Dan tidak akan pernah disebut His Excellency of Prince Demmetrio Alexandher Josse kecuali sedang berada dalam perjamuan-perjamuan keluarga besar Imperium businnes multimillioner Husni yang resmi, dimana saat-saat penting itu Anggitho akan di pungut dari program penyamarannya secara sembunyi dan di terbangkan diam-diam keluar kota Malang. Kau tidak usah cemas soal Anggitho. Pada saatnya nanti, dia hanya diberitahu kau telah masuk komunitas Keamanan Rahasia atau KR. Dan Anggitho tahu maksudnya.”  Kata nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho.

                “Saya perlu mengemasi pakaian ganti saya di rumah dinas asrama.”

                “Kau tidak akan kembali ke rumah itu dulu sampai selesai masa Orientasi dan Pendalaman dasar-dasar Inteligent di Pusat Pendidikan dinas rahasia Bosma. Mereka yang akan mempersiapkan seragam baru dan kebutuhan-kebutuhan pribadimu selama pendidikan. Sudah jelas ?”

                “Siap… cukup jelas nyonya Jendral.”

                “Kalau begitu berangkatlah sekarang. Aku mendo’akanmu dari sini.”

Tidak ada lagi yang bisa di perdebatkan. Bripda polisi Sinta mengangguk untuk yang terakhir kalinya di hadapan nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho dan menarik handle pintu sliding untuk membukanya. Di luar sudah menyambut Letnan satu Evie yang segera mengantarkannya ke sebuah taksi yang beberapa saat sudah parkir di seberang jalan. Tanpa berkata apa-apa. Dan memang tidak ada yang perlu di katakan lagi kepada Bripda polisi Sinta. Di dalam tentu, nyonya Jendral Estianni sudah menjelaskan semua detail kegiatan yang akan dia lakukan. Yang bahkan Letnan satu Evie sendiri tidak tahu itu apa. Dan mengapa dia di perintahkan untuk mencarikan taksi dan membayarnya untuk tujuan ke Gedung Kondominium Natrium Prospekz. Alasan-alasan itu adalah urusan nyonya Jendral Estianni sendiri. Dan Letnan satu Evie merasa tidak berhak menanyakannya. Baginya, dia hanya melaksanakan tugas. Ketika hendak masuk ke kursi belakang taksi yang telah dibuka pintunya oleh Letnan satu Evie, Bripda polisi Sinta berkata padanya.

                “Makasih taksinya, Letnan Evie.”

                “Semoga perjalanan anda menyenangkan Bripda polisi Sinta.”  Kata Letnan satu Evie seraya menutup pintu itu kembali. Lalu memberi isyarat kepada supir taksi untuk segera berangkat.

 

Mobel taksi telah meluncur pergi dari kawasan padat kendaraan jalan utama Brawijaya itu. Di seberang sana para pengawal-pengawal berseragam safari telah masuk ke mobil mereka masing-masing dan mesin-mesin mobil di hidupkan. Letnan satu Evie Widyasari bergegas menyeberang menuju ke mobil hitam Toyota Alphard tempat nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho sedang menunggunya. Letnan satu Evie membuka pintu sliding mobil Alphard dan masuk ke dalamnya. Pimpinan pengawalan segera memerintahkan konvoi untuk berangkat. Motor-motor besar Honda Goldwing-1000 menyalakan lampu-lampu biru sirine yang menimbulkan suara gaduh. Menyibak kepadatan kedaraan di kawasan jalan utama Brawijaya itu di ikuti konvoi mobil-mobil pengawal yang lain. Kini Letnan satu Evie duduk di samping nyonya Jendral Estianni. Mendengarkan perintah-perintahnya dan mencatat dengan mesin PC tablet yang dibawahnya. Membacakan agenda-agenda untuk nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho yang telah di jadwalkan beberapa hari sebelumnya. Mengganti beberapa kegiatan yang perlu dan memindahkannya ke jam dan hari yang lain. Atau menambahkan beberapa kegiatan yang tiba-tiba terpikirkan dan di anggap sangat penting oleh nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho.

 

Taksi telah menepi di seberang jalan protokol Natrium Prospekz yang sangat lebar dengan dua jalur utama diantara bangunan taman tengah kota. Seseorang tidak bisa menyeberang begitu saja di kawasan ini. Tapi sebuah lorong bawah tanah seratus meter dari kawasan itu telah di gunakan beberapa orang pejalan kaki untuk menyeberang. Bripda polisi Sinta melihat penunjuk arah gerbang lorong bawah tanah yang banyak di lengkapi kamera cctv itu. Bergegas menuju lorong masuk itu dan menikmati sentuhan dingin udara AC yang dihembuskan di sepanjang lorong penyeberangan hampir tigapuluh meter jauhnya itu. Muncul di lorong yang lain Bripda polisi Sinta harus berjalan balik menuju ke gerbang masuk Kondominium mewah duapuluh lantai milik Husni. Yang di jaga oleh petugas bersenjata dari Puspomdam ini. Dan Bripda polisi Sinta menunjukkan kartu masuk elektronis itu.

                “Saya harus bertemu dengan Dr. Anissa Tiara Widhuri.”

                “Sebentar.”

Petugas dari Puspomdam di dalam portal jaga itu mengamati kartu masuk elektronis itu dan menggesekkan dalam alat deteksi khusus. Membaca informasi rahasia yang tercantum di dalamnya mengenai semua hal yang menyangkut latar belakang dan riwayat hidup Bripda polisi Sinta. Rupanya nyonya Jendral Estianni melalui tangan-tangan yang tidak terlihat telah mengcopy dokumen rahasia di pusat bank informasi kepolisian Negara tentang latar belakang Bripda polisi Sinta yang di perlukan. Riwayat sepanjang pendidikan formalnya dari sekolah dasar, hingga masuk sekolah bintara kepolisian. Catatan-catatan penting mengenai pergaulannya dan dinyatakan bahwa Bripda polisi Sinta bersih dari segala cacat hukum dan layak mendapat kesempatan masuk dalam komunitas Keamanan Rahasia Anggitho Pringadhi. Seorang petugas Puspomdam yang lain kemudian menerima kartu masuk elektronis itu dan memanggil Bripda polisi Sinta untuk mengikutinya. Tanpa melalui petugas receptionist di Lobby Bripda polisi Sinta langsung dibawanya menghadap kepala seksi pengawal bermotor. Seorang kapten Puspomdam yang bekerja untuk Kasintel Brigjen teritorial Made Windhu Kaemanna.

 

Kapten pom Setyonno Budhi membawahkan lima anggota Puspomdam yang diperbantukan untuk pengamanan konvoi His Excellency of Prince Demmetrio Alexandher Josse. Menggunakan empat motor besar Honda Goldwing-1000 dan sebuah mobil dinas Isuzu Panther Smart Hi-Grade putih Puspomdam dengan Strobo blue siren-light. Kolega Kapten pom Setyonno dalam komunitas Keamanan Rahasia ini antara lain Iptu brimob Mardhionno yang memimpin satuan penyelamatan darurat. Kapten Bosma Dwi Satryo yang memimpin lima agen keamanan departemen Lima seksi pengamanan gedung-gedung milik pribadi His Excellency of Prince Demmentrio Alexandher Josse, Agen senior HSb Kikit Wahyuantho yang membawahkan lima agen keamanan HSb Husni Security Brigade untuk keamanan pribadi khusus dari kementerian rumah tangga keluarga Husni sendiri, dan Mayor Bosma Supraptonno yang memimpin lima agen keamanan departemen Lima seksi perlindungan pribadi. Ada KaStaf rumah tangga His Excellency of Prince Demmetrio Alexandher Josse Letnan kolonel Bosma Sinto Enggaronno, dan Dr. Anissa Tiara Widhuri SH, Ph.D, Js.D, Laws Master. Dia koordinator kepala-kepala seksi departemen Lima direktorat Expatriat Bosma yang bekerja untuk pengamanan Anggitho.

 

Setelah bertemu Kapten Setyonno ini, Bripda polisi Sinta di perkenalkan pada KaStaf rumah tangga, Letkol Bosma Sinto Enggaronno yang kemudian membawanya ke Dr. Anissa Tiara Widhuri SH, Ph.D, Js.D, Laws Master. Yang sebelumnya telah berbicara secara pribadi melalui sambungan telephone yang di acak dengan nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho. Dr. Anissa Tiara mempersilahkan Bripda polisi Sinta duduk dalam ruangan kantornya yang luas dengan dinding kaca baja yang menjadi latar belakang meja kerjanya. Langsung menghadap ke arah taman di lantai dua gedung kondominium super mewah itu. Ruangan enam kali delapan meter itu di lengkapi dengan toilet pribadi. Seperangkat soffa dan teve LG Plasma 42PT250 berukuran 42 inch dengan Dynamic Contrast Ratio 1.000.000:1 dan Panel Resolution 1024×768(HD Resolution). Home Theater HB-806 TM denga 3D BlueRay Disc Playback, 850W Power, dan External HDD Playback. Ruangan sangat bersih. Di rawat dengan baik setiap pagi dan sore hari oleh sepasukan cleanning service yang bekerja penuh duapuluh empat jam untuk Kondominium duapuluh lantai ini.

 

Kini Bripda polisi Sinta hanya bisa menunggu apapun yang akan di lakukan orang nomor satu di kementerian rumah tangga His Excellency of Prince Demmetrio Alexandher Josse itu. Mempelajari data pribadi Bripda polisi Sinta dari informasi yang dimasukkan oleh staf nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho ke dalam kartu masuk elektronis. Dr. Anissa Tiara menatap layar plasma dalam komputer Laptop-nya dan mengangguk tertegun. Jenjang karier Bripda polisi Sinta dalam daftar riwayat kerjanya cukup mengagumkan. Beberapa prestasi pernah dia raih selama tahun-tahun pertama penugasan sebagai bintara muda yang sedang magang. Sebagian dari prestasi itu adalah berkat sokongan Kombes polisi Bagus Wibawa yang sedang berusaha mendapat simpati dari keluarga tuan Andhre Permana Himawan. Karena saat itu Bripda polisi Sinta sudah menjadi pacar kesayangan Don juan Sonny Putrahimawan.

                “Karier yang tergolong bagus untuk seorang bintara polisi pemula sepertimu. Prestasi-prestasi ini cukup membuatmu cepat naik pangkat menjadi brigadier satu sebentar lagi, dan mungkin seleksi masuk ke jenjang promosi menjadi Ajun Inspektur muda.”

Bripda polisi Sinta mengangkat wajahnya. Melihat Dr. Anissa Tiara masih terus mengamati daftar riwayat kariernya di institusi kepolisian yang terlampir lengkap sampai jenjang penilaian prilaku di lingkungan asrama polisi. Bripda polisi Sinta ingin menanggapi pujian itu tapi urung. Kelihatannya tanggapan tidak diharapkan oleh Dr. Anissa saat ini.

                “Baiklah… Sekarang kita berbicara soal rencana kerja barumu, Bripda polisi Sinta.”  Kata Dr. Anissa Tiara mengakhiri pengamatannya pada layar komputer Laptop. Meletakkan tangannya di atas meja dengan menyatukan ujung-ujung jemarinya sambil berfikir. “Dengan sederet prestasimu dalam kesamaptaan dan kejelianmu dalam tembak reaksi. Kau punya masa depan yang bagus untuk berkarier di dinas Inteligent Bosma. Tentunya bila kau tidak sedang dalam situasi menjadi bagian dari komunitas Keamanan Rahasia Anggitho Pringadhi.”

                “Apa bisa kita percepat formalitas ini. Keinginan saya sekarang hanya melakukan apa yang harus saya jalani untuk menjadi bagian dari komunitas Keamanan Rahasia Anggitho Pringadhi. Selanjutnya saya bisa cepat kembali di sisi Anggitho sebelum dia semakin gelisah dengan ketidak hadiran saya.”  Kata Bripda polisi Sinta menghentikan basa-basi menjebak Dr. Anissa Tiara. Harapan-harapannya jelas sengaja untuk menipu Bripda polisi Sinta. Toh… tidak mungkin Bosma akan mau merekrut wanita biasa-biasa saja seperti dia kalau saja tidak karena unsur Anggitho. “Saya mencintai Anggitho sepenuh jiwa dan raga saya. Dan berada di dekatnya melebihi kebahagiaan mendapatkan promosi apapun.”

                “Apa kau sadar… bahwa cintamu itu nantinya akan hanya sebatas melayani sebagaimana seorang hamba sahaya kepada Pangerannya. Kau tidak akan pernah di ijinkan berhubungan lebih dari sekedar pelayan dengan tuannya, apalagi berfikir untuk bisa di nikahi. Kalau terjadi skandal di belakang hari… sampai mungkin saja kau mengandung putera His Excellency of Prince Demmetrio Alexandher Josse, kami akan lebih mudah menyingkirkanmu daripada membawa kesulitan ini di hadapan His Excellency of Prince Demmetrio Alexandher Josse. Mengerti maksudku.”  Kata Dr. Anissa Tiara memperingatkan.

                “Saya bisa memaklumi itu. Dan… saya tentu, akan sangat menjaga diri.”

Bripda polisi Sinta sudah pasti tidak bodoh membuat dirinya hamil untuk menghancurkan kebahagiaannya sendiri. Meskipun apa yang telah mereka lakukan bersama-sama itu sudah melangkah terlalu jauh. Bripda polisi Sinta bukanlah anak kemarin sore yang tidak mengerti apa-apa tentang konsekwensi pergaulan bebas. Dan sejak pertama dia sudah sangat menjaga resiko-resiko itu. Antaranya dengan memilih menenggak habis larutan kehidupan yang Anggitho muntahkan saat remaja ingusan ini habis-habisan melenguh di puncak kenikmatannya. Atau mengajari Anggitho memuntahkan larutan kehidupan itu hingga menggenangi lembah kecil di tengah-tengah pusarnya yang lembut. Apapun asalkan tidak harus membiarkan larutan kehidupan yang membawa mereka berdua ke puncak seribu kenikmatan itu menetes ke mulut rahimnya. Toh kebahagiaan yang sama-sama mereka rasakan saat menggapai kenikmatan itu juga tidak ada bedanya. Sama-sama merasakan sentuhan-sentuhan surga yang membahagiakan. Sama-sama merasakan deburan-deburan badai asmara yang membawa perasaan mereka melambung ke awang-awang. Hanya akhirnya saja yang berbeda. Tapi itu justeru memberikan sensasi yang luar biasa.

                “Baiklah… Bripda polisi Sinta. Ini yang akan kau lakukan.”  Akhirnya Dr. Anissa Tiara menyatakan. Selembar surat pengantar sudah dia keluarkan dari dalam laci meja kerjanya. Untuk kemudian di sodorkan kepada Bripda polisi Sinta. Dengan di sudut atasnya melampirkan kartu masuk elektronik yang Bripda polisi Sinta dapatkan dari nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho. “Kau akan membawa surat ini dan menunjukkan identitasmu ke kantor pusat Bosma di jalan protokol Dr. Sediyatmo. Tepatnya di pangkalan militer komando rahasia Saber-Ditro 9 Bosma yang menjadi pusat kegiatan kesamaptaan dan seleksi jenjang karier seluruh anggota Bosma yang tersebar di propinsi-propinsi seluruh Indonesa. Sekolah staf dan komando yang akan mempersiapkan dirimu selama tiga bulan untuk nantinya siap menjadi bagian dari komunitas Keamanan Rahasia.”

                “Saya harus berangkat ke Jakarta selama tiga bulan ?”

                “Ini masa Orientasi dan pembinaan dasar tersingkat yang bisa kau ambil untuk bisa masuk komunitas Keamanan Rahasia. Biasanya kami harus memasukkanmu dulu dalam pendidikan dasar akademi Angkatan Darat selama dua tahun. Berdinas aktif selama enam bulan di kesatuan polisi militer, dan baru bisa menempuh pembinaan dinas rahasia selama satu tahun.”  Dr. Anissa Tiara menegaskan.

Waktu tiga bulan bukanlah waktu yang singkat untuk berpisah dengan Anggitho. Dan selama tiga bulan itu Anggitho akan terus lengket dengan Letnan satu Intan Hierrawati. Mungkinkah Anggitho masih akan mengingat dia setelah penantian panjang selama tiga bulan penuh itu. Apalah artinya semua pengorbanan ini bila setelah Bripda polisi Sinta lulus pendidikan, justeru mereka tidak lagi punya perasaan yang sama. Anggitho tidak lagi menganggapnya sebagai pacar. Dan mungkin saat itu Anggitho sudah benar-benar jadian dengan letnan satu Intan Hierrawati Rasmintho.

 

 

Sperti yang sudah Bripda polisi Sinta ketahui sebelumnya. Tentang apa yang disebutnya struktur organisasi dinas keamanan negara paling besar dan hebat. Bosma. Khususnya struktur organisasi pada departemen Lima direktorat Expatriat Ditro-9 Saber-Bosma. Direktur dan wakil direktur departemen Lima yang menangani tugas pengamanan dan kenyamanan His Excellency of Prince Demmetrio Alexandher Josse. Dalam rutinitas kerjanya selalu dibantu empat unsur satuan staf. Ada KaStaf Operasi, KaStaf Inteligent, KaStaf Personel, dan KaStaf Logistik. Setiap staf sehari-harinya akan selalu dibantu masing-masing biro sekretariat, biro operasional Markas, dan biro keuangan. Yang ketiga-tiganya masuk dalam struktur layanan administratif. Ada perwakilan operasi kantor Lima di Seksi A meliputi kegiatan pengamanan yang berpusat di Gedung Kondominium Husni Jakarta, Seksi B meliputi kegiatan pengamanan yang berpusat di Gedung Kondominium Husni Bandung, Seksi C meliputi kegiatan pengamanan yang berpusat di Gedung Kondominium Husni Malang, dan Seksi E meliputi kegiatan pengamanan yang berpusat di Gedung Kondominium Husni Metro Willis. Karena suatu alasan tertentu Seksi D dalam organisasi ini di tiadakan.

 

Kemudian ada departemen-departemen lain yang penugasannya langsung di tangani oleh Markas besar Direktorat Expatriat. Meliputi departemen Deteksi, departemen Komunikasi Elektronik, Departemen Kesehatan, Departemen Peralatan, Departemen Pembekalan dan Angkutan, dan Departemen kavaleri serbu yang seluruh fungsinya jelas untuk mendukung kegiatan dari departemen pelaksana Lima. Petugas-petugas dalam setiap Seksi itu seperti halnya yang ada di Gedung Kondominium keluarga Husni Lingkar Natrium Prospekz-4 Malang. Selalu terdiri dari Seksi kepala seksi pengawal bermotor. Seorang kapten Puspomdam yang bekerja untuk Kasintel Brigjen teritorial Made Windhu Kaemanna. Kapten pom Setyonno Budhi membawahkan lima anggota Puspomdam yang diperbantukan untuk pengamanan konvoi His Excellency of Prince Demmetrio Alexandher Josse. Menggunakan empat motor besar Honda Goldwing-1000 dan sebuah mobil dinas Isuzu Panther Smart Hi-Grade putih Puspomdam dengan Strobo blue siren-light. Kolega Kapten pom Setyonno dalam komunitas Keamanan Rahasia ini antara lain Iptu brimob Mardhionno yang memimpin satuan penyelamatan darurat.

 

Kapten Bosma Dwi Satryo yang memimpin lima agen keamanan departemen Lima seksi pengamanan gedung-gedung milik pribadi His Excellency of Prince Demmentrio Alexandher Josse, Agen senior HSb Kikit Wahyuantho yang membawahkan lima agen keamanan HSb Husni Security Brigade untuk keamanan pribadi khusus dari kementerian rumah tangga keluarga Husni sendiri, dan Mayor Bosma Supraptonno yang memimpin lima agen keamanan departemen Lima seksi perlindungan pribadi. Ada KaStaf rumah tangga His Excellency of Prince Demmetrio Alexandher Josse Letnan kolonel Bosma Sinto Enggaronno, dan Dr. Anissa Tiara Widhuri SH, Ph.D, Js.D, Laws Master. Dia koordinator kepala-kepala seksi departemen Lima direktorat Expatriat Bosma yang bekerja untuk pengamanan Anggitho. Tugas pokok Seksi perlindungan pribadi departemen Lima seperti yang di jalankan Mayor Bosma Supraptonno adalah mengamankan fisik langsung dari jarak dekat terhadap His Excellency of Prince Demmetrio Alexander Josse. Dalam penugasannya dia dibantu oleh Agen Senior keamanan pribadi HSb Husni seperti Kikit Wahyuantho.

 

Seksi satuan penyelamatan darurat seperti yang di pimpin oleh Iptu Brimob Mardhionno. Dan anggota-anggota komunitas keamanan rahasia seperti nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho, Letnan satu Evie Widyasari, Ustad Santri  Nur Achmmad Murtadho yang sekarang telah di tarik sepenuhnya ke dalam kesatuan sebelumnya merangkap sebagai sleeper Bosma. Rommo Yai Haji asy-Sheikh Alli Hassan yang sampai saat skarang ini tidak pernah mengetahui siapa sesungguhnya Anggitho. Dan sekarang Bripda polisi Sinta. Apakah nanti ketika namanya sudah tidak di butuhkan sebagai agen pendamping Bosma seperti halnya Ustad Santri Nur Achmmad Murtadho, yang dia dapatkan sebagai balas jasanya hanya kenaikan pangkat berjenjang dari institusi kepolisian seperti yang di alami Ustad Santri Nur Achmmad sendiri. Tapi Aaach… Bripda polisi Sinta sudah tidak perduli. Yang penting baginya sekarang, pacaran denga remaja jangkung yang masih ingusan dan sangat ganteng itu sungguh menyenangkan. Sebagai orang yang di persiapkan untuk selalu dekat dengan Anggitho dalam situasi yang bagaimanapun. Nantinya Bripda polisi Sinta akan banyak di bina di Pusat Pelatihan Penanggulangan Teror komando pasukan Saber K-81. Di latih oleh orang-orang terbaik dari Detasemen Gultor Rimbasti, Detasemen Jala Mangkara komando Kopaskha AL, Detasemen Intai Para Amfibhi KiPam Marinir, dan Detasemen Bravo 99 Korps KomSraad AU.

 

Bripda polisi Sinta yang telah menguasai dasar-dasar kesamaptaan dan beberapa kali juara dalam tembak reaksi akan jauh lebih mudah beradaptasi dengan gaya pendidikan mereka. Sebuah mobil hitam Ford New Focus Ghia 2.0cc  bernomor korps diplomatik milik Gedung Kondominium Lingkar Natrium Prospekz telah menunggu di lobby depan. Duapuluh menit kemudian Bripda polisi Sinta di antar keluar oleh seorang agen keamanan departemen Lima Bosma. Menuju ke mobil yang telah di siapkan itu. Mereka melaju lambat menyusuri jalan beton menurun yang di apit areal taman. Menuju gerbang besar dari pelat baja setinggi tujuh meter yang perlahan-lahan menggeser ke samping di tarik dengan motor listrik. Empat petugas Puspomdam yang berjaga di dalam dan luar portal itu memberi hormat serempak kepada Bripda polisi Sinta. Sebagai penghormatan selamat datang karena sebentar lagi dia akan menjadi bagian dari komunitas Keamanan Rahasia yang vital bagi program penyamaran ketat Anggitho Pringadhi. Membelok ke dalam arus searah lalu lintas kendaraan yang padat lancar itu menuju ke arah Bandara Abdurrochman Saleh. Di sana telah menunggu sebuah Embraer 135 Bj dari ETA. Express Transport Antar Benua yang harusnya telah terbang limabelas menit yang lalu.

 

Traffic Air Controll berkali-kali menolak memberikan ijin terbangnya karena sebuah permintaan yang sangat menjengkelkan dari otoritas keamanan diplomatik Kondominium Lingkar Natrium Prospekz. Agen keamanan departemen Lima Bosma menunjukkan tanda pengenalnya yang serba guna itu kepada petugas imigrasi dan mengantar sendiri Bripda polisi Sinta ke dalam pesawat. Saat di dalam pesawat Bripda polisi Sinta harus menghadapi tatapan puluhan pasang mata tidak senang dari empatpuluh delapan penumpang yang merasa waktunya tersita sia-sia. Tapi tiga pramugari cantik yang menyambutnya di pintu pesawat tetap bersikap manis dan menunjukka tempat duduk Bripda polisi Sinta di barisan Vip vi-ai-pi di depan dengan senyum. Agen keamanan departemen Lima Bosma itu menyarankan Bripda polisi Sinta untuk menjaga diri, meminta diri dengan sopan, dan meninggalkan lorong apron pada saat pintu geser pesawat di turunkan. Embraer 135 Bj itu menekuni garis putih yang mengarah ke landasan pacu. Berbicara denga Menara Traffic Air Controll bahwa paket telah di terima. Petugas di menara TAC itu mengucapkan Makasihnya yang dibalas ucapan balik dengan nada sinis yang di sembunyikan. Petugas Menara TAC memberitakan kondisi cuaca di atas kota Malang, informasi arah angin yang penting, dan mengucapkan Caiyo pada pilot saat Embraer 135 Bj itu mulai berpacu pada jalur cepat. Dan kemudian pesawat itu Airborne.

 

Malam itu sedikit di luar dari kebiasaan. Mobil Toyota Alphard 3.5L a/t hitam yang menjemput Letnan satu Intan Hierrawati dan Anggitho tidak menuju ke arah komplek rumah dinas asrama para putera angkat keluarga nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho. Tapi malah berjalan lurus dari arah Bandara Abdurrochman Saleh menuju ke kediaman resmi Pangko Daerah Militer Jawa V di jalan utama Brawijaya nomor satu. Rumah besar tiga lantai yang asri dengan dua pohon besar menaungi pelataran utama rumahnya. Sebuah kantor penjagaan yang cukup menampung enambelas orang prajurit pengawal berdiri dibelakang portal gerbang. Yaitu bangunan pintu pagar dari pelat baja setinggi tujuh meter yang dijalankan dengan motor listrik. Pelatarannya cukup besar dengan sebuah kolam mancur berukuran duabelas meter persegi dan sebuah lapangan tenis di sebelahnya. Tempat parkirnya bisa menampung sekitar sepuluh mobil. Jalan melingkar yang di apit dengan taman itu panjangnya hampir setengah kilometer. Termasuk jalan masuk yang terus mengarah ke lobby bangunan belakang. Mobil Alphard hitam 3.5L a/t membelok ke arah kediaman resmi Pangko Daerah Militer Jawa V dan pintu portal setinggi tujuh meter itu bergerak perlahan-lahan menimbulkan suara yang berderak-derak.

 

Menerima hormat dari tiga prajurit pengawal berseragam harian Angkatan Darat di kantor penjagaan dalam itu mobil Alphard hitam terus meluncur mengitari kolam mancur. Membelok ke jalan samping yang langsung menuju ke taman peristirahatan dengan gasebo di belakang. Di sana sudah ada nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho dan suaminya. Tuanku Prof. Dr. Agung Setiawan Rasmintho yang sedang bersantai dengan secangkir kopi Ekspresso di dalam Gasebo taman belakang. Rumah besar duapuluh kamar yang dijaga enambelas prajurit pengawal seksi pengamanan khusus. Yaitu seksi pasukan yang bertugas mengamankan rumah kediaman resmi Pangko Daerah Militer Jawa V. Lalu ada enambelas prajurit pengawal seksi Pengawal pribadi. Yaitu seksi pasukan yang bertugas mengawal nyonya Jendral Pangko Daerah Militer Jawa V sendiri secara melekat. Di tambah delapan anggota Pengawal pribadi untuk Tuanku Prof. Dr. Agung Setiawan Rasmintho. Bagaimanapun nyonya Jendral Pangko Daerah Militer Jawa V adalah penguasa tertinggi institusi militer satu propinsi. Memimpin lebih dari limabelas ribu tentara Angkatan Darat yang menguasai seluruh pesisir Jawa bagian Timur. Nampaknya mengamanan ekstra dan rumah dinas yang bagai sebuah Istana itu cukup pantas untuk di miliki nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho. Dua pengawal mereka, Serka pom. Wahyu  dan Serda pom. S

 

Menghadapi situasi kisruh yang tidak menentu yang sedang bergolak di Jakarta kini. Bahkan nampak tambahan dua unit Pansher Cadhillac Gage V-150 yang dilengkapi turret dudukan Canon 90mm. Dan sebuah Pansher Bradley yang dipersenjatai senjata kaliber 0.50mm MacMillan M-2. Pintu sliding dibuka oleh seorang pengawal pribadi yang sedang bertugas di taman belakang itu dengan seragam safari. Hanya di sisi Anggitho yang nampak jelas di rumah besar ini dia sangat di istimewakan. Toh Letnan satu Intan Hierrawati tidak merasa keberatan. Malah dia sendiri memutuskan keluar dari sisi Anggitho. Nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho dan suaminya, Tuanku Prof. Dr. Agung Setiawan Rasmintho juga menyambut ke arah Anggitho yang jelas berada di sisi seberang tempat mereka bersantai. Perhatian yang nampak di lebih-lebihkan bahkan di bandingkan Letnan satu Intan Hierrawati yang adalah puteri tunggal mereka sendiri.

                “Apa perjalanan kalian menyenangkan tadi, Anggitho… Kami disini sudah cemas menunggu kepulangan kalian. Khawatir kalau-kalau ada halangan di penerbangan kembali. Berkali-kali Mamma mencoba hubungi Intan tapi tidak nyambung.”

Anggitho tidak langsung menanggapi pertanyaan yang bertubi-tubi itu. Selama di penerbangan mereka yang beberapa kali transit itu Anggitho sama sekali tidak diberi kesempatan untuk beristirahat sejenak. Karena alasan keamanan. Mereka lebih baik berada sesingkat mungkin di tengah-tengah publik karena resiko untuk mendapat gangguan lebih besar. Mengingat dalam rombongan mereka itu ada keluarga Tuanku Baginda President Albertinus Senno Suhastommo. Serta anak sejumlah pejabat tinggi setingkat Menteri. Terlebih di sepanjang perjalanan itu Letnan satu Intan tiada henti-hentinya mengumbar kemesraan dengan Anggitho. Sehinnga waktu untuk bersantai itu sungguh tidak ada. Dua petugas Pengawal dari Puspomdam. Serka pom. Wahyu  dan, Serda pom. Sollahudin Setiyadhi yang duduk di kursi paling belakang keluar paling terakhir sambil membawakan perlengkapan kedua putera terhormat majikan mereka ini.

                “Maaf… Maa. Sambunga Handphone dalam penerbangan itu tidak memungkinkan. Sedangkan di penerbangan lokal kami tidak di sediakan fasilitas telephone udara.”  Letnan satu Intan menimpali.

                “Apa kalian juga tidak sempat waktu melakukan transit penerbangan di darat ?”

                “Bagaimana kami akan bisa bersantai kalau terus diburu-buru rumitnya prosedur pengawalan dari Kowalsus dan BKO KomSraad AU disana…”  Letnan satu Intan membela diri.

                “Mungkin karena ada puteri Tuanku Baginda President Suhastommo disana, Maa.”  Tuanku Prof. Dr. Agung Setiawan Rasmintho mencoba menahan omelan isterinya. “Nanti saja kita ngobrolnya… apa tidak kita beri kesempatan dulu pada Anggitho ini untuk beristirahat…?”

                “Aaach… maafkan Mamma, Anggitho. Ini karena Mamma terlalu mencemaskan kalian.”  Kata nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho kemudian yang segera menggandeng tangan Anggitho. Mengajaknya masuk ke dalam rumah. Diikuti oleh Tuanku Prof. Dr. Agung Setiawan Rasmintho yang menggandeng tengan Letnan satu Inta Hierrawati di belakangnya. Dua pengawal mereka, Serka pom. Wahyu  dan serda pom. Sollahudhin Setiadhi mengikuti di belakang menarik tas trolly perlengkapan mereka.

                “Anggitho… untuk beberapa minggu ke depan, Mamma akan memindahkanmu ke rumah ini. Hanya kamu saja. Mamma sudah menyiapkan salah satu kamar tamu di lantai atas untukmu. Kamar terbaik yang kami miliki disini. Ini karena situasi kisruh di Jakarta yang semakin tidak menentu. Kami khawatir… bahkan sangat cemas, situasi ini berkembang menjadi semakin buruk. Bukannya membaik seperti harapan kita. Jadi demi keamananmu lebih baik kami menjagamu langsung di rumah ini.”

                “Bagaimana dengan mbak Sinta… Maa ?”  Anggitho menyatakan rasa ingin tahunya menanggapi ucapan Mamma angkatnya.

      “Oouw… Mamma tahu akhirnya kau akan menanyakan itu. Hmm… Ada suatu tugas yang harus dia kerjakan selama kau pelesiran dengan Intan. Anggitho, Mamma terpaksa melakukan ini terhadap kalian. Karena jelas kalian harus menjaga hubungan itu sebagaimana mestinya. Kau tentu sudah sering mendengar apa yang disebut KR. Ini seperti waktu pertama kali penugasan Ustad Santri Nur Achmmad Murtadho menjadi petugas pendamping hidup barumu. Saat kepindahanmu ke Malang ini, inisiatif soal petugas pendamping sempat di hapuskan. Karena kau sudah cukup aman dengan statusmu sebagai putera angkat Mamma. Tapi sekarang… dengan hubungan yang semakin serius kalian, tampaknya kami harus memberikan posisi yang tempat untuk Sinta. Dia gadis yang baik, Anggitho… Ma mma tahu itu. Tapi Mamma juga harus menjaga kehormatanmu sebagai His Excellency of  Prince Demmetrio Alexandher Josse  Ingenieur agar tidak terusik oleh resiko-resiko yang tidak perlu dari hubungan itu. Kau maklum dengan maksud Mamma ini…?”  nyonya Jendral Estianni membicarakannya dengan setengah berbisik. Menandakan betapa serius pembicaraan itu.

 

Letnan satu Intan Hierrawati memang kurang memahami yang sesungguhnya tentang latar belakang Anggitho. Yang dia tahu hanyalah, Mamma Jendral Estianni telah memungut seorang anak angkat lagi dari sebuah pondok pesantren yang terpencil di pedesaan. Seperti yang selalu terjadi pada Satria, Wahyunni dan Bagoes. Umumnya mereka di pertemukan dengan keluarga besar nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho yang kuat jiwa sosialnya dan memiliki cukup kelebihan finansial untuk tujuan itu karena sedikit faktor prestasi dan lebih utama karena keberuntungan. Wahyunni adalah seorang anak jenius dari sebuah sekolah dasar negeri di Surabaya yang terpilih mewakili Indonesia dalam Olimpiade Matematika terapan di Osllo-Norwegia sebelum dipungut oleh nyonya Jendral Estianni. Latar belakang keluarga Wahyunni saat itu hanyalah pemungut sayur-sayur yang terafkir karena dimakan hama dan busuk di pasar. Tinggal hanya dengan neneknya yang berusia tujupuluh tahun di pinggir sungai Keputran yang jorok. Membersihkan sayur-sayur busuk itu dirumah. Mengambil sebagian kecil yang masih bisa di makan dan menjualnya ke tetangga-tetangga yang juga miskin.

 

Sekarang Wahyuni yang telah dewasa bisa mengenyam pendidikan di Universitas terpandang. Dan Neneknya yang tua renta menghabiskan sisa umurnya di sebuah panti jompo yang terjamin baik hingga tutup usia tujuh tahun lalu. Karena kebaikan yang tanpa pamrih itu mereka umumnya putera-putera angkat nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho menjadi sangat patuh dan setia seumur hidupnya pada keluarga besar nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho. Apa Anggitho nantinya juga seperti itu… hanya waktu yang akan bisa menjawabnya. Tapi Letnan satu Intan melihat. Ada perlakuan berbeda dari Mammanya. Nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho yang dominan kekuasaannya dalam keluarga besar ini. Kepada dirinya sendiri, dan bahkan kepada Pappa. Tuan Prof. Dr. Agung Setiawan Rasmintho sekalipun. Nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho berkesan terlalu memanjakannya lebih dari puteri kandungnya sendiri. Cinta yang diberikan nyonya Jendral Estianni ini, dalam pandangan Letnan satu Intan Hierrawati sendiri. Lebih seperti perasaan takut kehilangan. Sepertinya Anggitho punya arti yang sangat penting dalam hidup nyonya Jendral Estianni.

Menyakiti hati anak itu menjadi suatu yang sangat di tabukan oleh nyonya Jendral Estianni. Sama sekali bukan pribadi nyonya Estianni Rahayu Rasmintho yang selalu menguasai dan mengendalikan apa saja yang dalam genggamannya. Termasuk puteri kesayangannya sendiri. Lebih tepatnya pribadi Anggitholah yang tengah mendominasi kekuasaan nyonya Jendral Estianni sekarang. Tidakkah hal ini sangat aneh… ?

                “Jadi… tepatnya, mbak Sinta masuk program pelatihan ?”

                “Ini akan memberinya sedikit pengetahuan tentang dirimu dan, arti pentingnya menjaga hubungan kalian pada jalur yang tepat. Dan… kau tentu tidak keberatan tanpa dia untuk beberapa waktu. Dia akan baik-baik saja, dan Mamma jamin… tidak akan lari darimu.”

                “Setelah resmi menjadi petugas pendamping penyamaranku… Mamma bercanda. Bahkan kalau harus mati karena melindungiku, mbak Sinta harus rela melakukan itu.”  Anggitho mentertawakan pandangan tidak mungkin itu. Jelas dalam komunitas Keamanan Rahasia atau KR dibentuk hanya untuk melindungi kepentingan Anggitho secara sangat rahasia. Semua dalam pembinaan dan kendali penuh kepala protokol dan pengacara rumah tangga, Dr. Anissa Tiara Widhuri SH, Ph.D, Js.D, Laws Master. Dia koordinator kepala-kepala seksi departemen Lima direktorat Expatriat Bosma.

 

Anggitho tidak tahu apa harus menyetujui itu atau mendebatnya. Seumur hidup bisikan-bisikan yang jauh di relung hatinya selalu mengatakan tidak ingin berpisah dari Bripda polisi Sinta. Tapi dengan dimasukkannya Bripda polisi Sinta dalam komunitas Keamanan Rahasia itu, masih mungkinkah dia berkeras untuk meminta Bripda polisi Sinta kembali. Tidak. Selama Bripda polisi Sinta masuk dalam program pelatihan Keamana Rahasia yang di ajukan secara resmi oleh departemen Lima direktorat Expatriat Bosma. Tahapan demi tahapan seleksi dan pelatihan dinas rahasia itu harus tetap berjalan sebagaimana mestinya. Dalam situasinya yang sekarang ini yang bisa dia lakukan hanyalah menunggu dengan manis. Menunggu sampai semua prosedur-prosedur itu di lalui dengan baik. Barulah Anggitho akan bertemu kembali dengan Bripda polisi Sinta dan merasakan kembali gairah-gairah kenikmatan yang membuat Anggitho tergila-gila. Bagaimana dengan Letnan satu Intan Hierrawati… Letnan satu Intan seperti yang telah mereka lalui bersama selama beberapa waktu berada di pelesiran pusat Mercusuar Sangkapura pulau Bawean.

 

 

 Mungkin bisa sedikit menghibur kesepian Anggitho tanpa Bripda polisi Sinta untuk beberapa waktu. Tapi rasa yang diberikan untuk gairah-gairah kenikmatan itu sepertinya tetap akan berbeda. Letnan satu Intan Hierrawati tetap akan terasa berbeda dengan gairah-gairah kenikmatan yang selama ini dia dapatkan dari cinta tulus Bripda polisi Sinta. Aaach… memang kenyataan tidak selalu harus sempurna seperti apa yang kita harapkan. Akhirnya Anggitho hanya bisa mendesah. Membuang nafas sesal yang mengganjal di relung hatinya. Nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho telah mengantarkan Anggitho ke sebuah kamar besar dan mewah. Lengkap dengan semua fasilitas hotel bintang lima seperti soffa dan teve LG Plasma 42PT250 berukuran 42 inch dengan Dynamic Contrast Ratio 1.000.000:1 dan Panel Resolution 1024×768(HD Resolution). Sebuah bathup dengan toilet pribadi yang dilengkapi dengan wastafel dan sanitasi yang lengkap.  Almari-almari yang dikamuflase cermin-cermin menggantikan pintu-pintu slidingnya. Membuat kamar besar itu berkesan luas dan modern.

                “Ini kamar pribadimu selama tinggal disini… Satria dan Ambar telah aku minta untuk memindahkan sisa perlengkapanmu yang masih ada di komplek rumah dinas asrama tadi siang. Jadi kau tidak perlu keluar-keluar lagi mulai sekarang.”  Nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho masuk lebih dulu menunjukkan bagian-bagian dari kamar paling istimewa itu. Menuju ke salah satu sisi kamar yang merupakan dinding kaca sliding dan bertirai vertical blind. Pintu geser itu langsung menuju ke balkon sempit diluar yang berada di sisi samping kediaman. Nyonya Jendral Estianni membuka pintu geser itu dan meninggalkan Anggitho di belakangnya. Berjalan keluar dan berdiri menghirup udara malam yang menusuk pada pagar pembatas balkon. Menyaksikan lampu-lampu taman rumahnya yang bertebaran bagai jamur di tengah lembah. Dan sebagian gemerlapnya kota Malang yang terlihat indah dari atas sini. Tapi kemudian nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho kembali dan menutup pintunya karena tidak tahan dingin. Sekarang berpaling pada Anggitho dan menggandengnya dengan penuh kehangatan.

                “Sekarang kau pemilik kamar ini. Berada di lantai tiga yang tenang dan nyaman. Sebelah kamar ini adalah kamar pribadi Intan Hierrawati. Jadi kalau butuh apa-apa… minta saja kepadanya. Dengan senang hati dia akan membantumu. Kami mempunyai tujuh staf pelayan rumah tangga yang di pekerjakan oleh departemen Logistik Kodam. Selain dari tiga juru taman dan empatpuluh pengawal yang senantiasa menjaga kenyamanan rumah besar ini duapuluh empat jam sehari.”

                “Makasih… Mma. Ini sudah sangat nyaman untukku.”

                “Baiklah. Sudah malam… baiknya kau istirahat, dan nanti makan malammu akan kami antar ke kamar saja.”

                “Yaa… Mma. Anggitho sudah capek sekali. Yang Anggitho inginkan saat sekarang ini hanya tidur sepuasnya.”  Perkataan terakhir Anggitho kepada nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho. Dan salah seorang pengawal Puspomdam itu sedang melipat pegangan trolly dan memasukkan tas koper ke dalam salah satu almari berpintu cermin itu. Setelah membisikkan kata-kata terakhir perpisahannya nyonya Jendral Estianni mengundurkan diri. Di ikuti suami dan kedua pengawal puspomdam yang mengantarkan pakaian ganti Anggitho dalam tas koper trolly.

 

Letnan satu Intan Hierrawati begitu bahagia malam ini. Lebih bahagia dari hari-hari sebelumnya dimana dia bisa mendapatkan kebersamaan Anggitho karena belas kasihan Bripda polisi Sinta. Sekarang bahkan Mammanya, telah menempatkan satu rumah dengannya dan tepat di seberang kamar pribadinya. Sementara Bripda polisi Sinta telah di kirim tugas entah kemana di negeri ini. Rasanya kini tidak ada alasan lagi bagi Letnan satu Intan untuk mencari-cari kesempatan dan merayu Bripda polisi Sinta untuk memberikan waktu Anggitho kepadanya. Tapi… rasanya tidak pantas memanfaatkan Anggitho diatas penderitaan Bripda polisi Sinta yang sedang di sibukkan oleh tugas lain. Bagaimanapun Letnan satu Intan telah berjanji kepada Bripda polisi Sintan. Akan membagi bersama cinta ini antara mereka berdua apapun yang terjadi. Termasuk seandainya nanti bahkan Anggitho tidak memilih di antara mereka berdua. Mereka berjanji akan saling setia dan menjaga ketulusan cinta ini hanya untuk Anggitho.

                “Mandi air hangat ya… ada pemanas di shower bathup. Aku siapkan.”  Saran Letnan satu Intan dan lantas wanita itu membuka salah satu pintu cermin almari mengambilkan sehelai piyama handuk. Wanita yang cantik dan begitu anggun seperti Catherine Zeta Jones itu lantas menggeser pintu transparan kamar mandi untuk mengisi bathup dengan air hangat. Anggitho menurut saja apa saran Letnan satu Intan. Melapas satu persatu pakaiannya untuk di gantikan dengan sehelai piyama handuk dengan ikatan di pinggang. Letnan satu Intan Hierrawati masih mengenakan terusan knit yang di permains dengan kerah drape. Anggitho membuang Mantel woll-nya. Kemeja blazer satu kancing dengan celana yang juga berbahan woll dari Lous Vuitton.

 

Air sudah hampir setengah bathup dan panasnya sudah cukup. Letnan satu Intan mematikan kran shower dan menyiapkan botol sabun cair sekaligus mencampurkannya ke dalam air hangat bathup. Meninggalkan sisa sabun cair dalam botol di sisi bathup kalau Anggitho membutuhkannya lagi. Letnan satu Intan kemudian bangkit menuju Anggitho di dalam kamar.

                “Mandilah sekarang, sayang… aku siapkan pakaian tidur yang bersih untukmu.”  Desis Letnan satu Intan Hierrawati. Dan kemudian tangannya mulai merangkul ke pundak Anggitho. Tangan yang lain membelai pipi yang melekuk tampan di wajahnya kemudian, begitu lembut bibir wanita itu berlabuh. Anggitho memejamkan mata. Menikmati segala keindahan itu dengan keutuhan hatinya. Cukup lama memang sentuhan bibir itu. Dan manakala hendak berakhir, Anggitho segera memintanya kembali untuk dilanjutkan. Ia balas ciuman itu dengan segenap kehangatan. Yeaah… pengalaman ini memang bukan yang pertama baginya. Pertama bersama Bripda polisi Sinta dia sudah kenyang dengan sentuhan-sentuhan kemesraan seperti ini. Lalu dalam perjalanan pelesir bersama Letnan satu Inten Hierrawati. Anggitho mendapatkan pengalaman luar biasa dalam kegembiraan-kegembiraan pesta dan permainan yang selalu berujung pada pemuasan nafsu berahi. Sementara tubuh mereka masih menyatu dengan hangat. Letnan satu Intan mempermainkan perasaan laki-laki ingusa ini dengan caranya sendiri. Setidaknya dia selalu berusaha untuk membuktikan kepada Anggitho bahwa cintanya itu masih bisa sehangat dan senikmat yang pernah Bripda polisi Sinta berikan kepadanya.

 

Dada Anggitho semakin terasa hangat oleh tekanan lembut dari bagian yang menggembung indah dengan belahannya yang membuat seorang wanita nampak sangat bersahaja.  Aaach! Ingin rasanya berkali-kali Anggitho menjamahnya. Dan itu akhirnya dia lakukan juga. Yang sejenak membuat seorang Letnan satu Intan sampai bergetar hebat. Jemari tangan yang kekar itu meremas bagian yang paling lembut dari belahan dada wanita telah membuatnya sangat seksi. Dan Letnan satu Intan merintih.

                “Mmmekkhhmm… mandi dulu sayang, nanti kita lanjutkan lagi.”  Letnan satu Intan Hierrawati memberikan ciuman terakhirnya dan meninggalkan Anggitho dengan cinta. Letnan satu Intan juga harus membersihkan diri sendiri di kamarnya. Memanaskan air shower dalam bathup dan memilih sendiri baju tidur yang akan dia kenakan malam ini.

 

Selesai menyegarkan diri dan mengganti dengan pakaian bersih, Letnan satu Intan mengintip sebentar ke kamar Anggitho. Tapi yang ingin di sapanya malah sudah tidur mendengkur. Letnan satu Intan tahu, Anggitho pasti sangat capek setelah perjalanan panjang dari pulau Bawean dan kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan bersama sebelumnya. Letnan satu Intan mengangkat bahu dan berbalik menutup pintu kembali. Pupus sudah keinginan Letnan satu Intan Hierrawati untuk melanjutkan kenikmatannya memadu kasih yang belum tuntas dengan Anggitho. Letnan satu Intan memutuskan untuk turun ke lantai bawah. Di aula luas ruang keluarga tengah akrab berkumpul Mamma Jendral Estianni dan Pappa Agung Setiawan Rasmintho yang tengah duduk mesra di soffa. Di depan sebuah Samsung Plasma teve 51D450 dengan Mega Contrast Ratio ukura 51 inchi. Juga ada Letnan satu Evie Widyasari yang menjadi staf ajudan pribadi Mamma Jendral Estianni. Sekretaris Kantor Advocate Rasmintho SH, Sw.D, Ph.D, Js.D, Laws Master & Friends, Nathannia Gunawan S.Com. Tempat soffa dan perangkat teve plasma dengan audio surround Home Theater HB-806 TM denga 3D BlueRay Disc Playback, 850W Power, dan External HDD Playback itu merupakan undakan yang lebih rendah dari sisa ruangan yang mengelilinginya.

 

Sehingga ujung sandaran soffa itu setara dengan lantai ruangan di sekelilingnya. Sehingga bahkan Letnan satu Intan Hierrawati dari lantai ruangan itu bisa langsung turun ke soffa tepat di sisi Mamma Jendral Estianni Rahayu Rasmintho.

                “Eeeeii… Intan, sayang. Anggitho sudah tidur ?”

                “Iyyaa… Mma. Perjalanan siang ini telah membuatnya sangat lelah. Dia tidak sekuat aku yang sudah terbiasa dengan latihan berat kemiliteran. Selama pelesiran Anggitho begitu senang menemukan makanan-makanan aneh yang dengan sengaja telah di kumpulkan oleh para anggota satuan tentara pengawal Kowalsus dan KomSraad AU. Yang di bumbui dan di panggang dengan peralatan seadanya dari alam yang khas dari kebiasaan tentara. Mungkin karena terlalu banyak makan itu… Anggitho sekarang terlalu capek.”

                “Makanan-makanan aneh… apa saja itu, Intan ?”  nyonya Jendral Estianni menanyakan sekedar memenuhi rasa ingin tahunya. Dia sendiri sudah kenyang dengan kebiasaan-kebiasaan bertahan hidup tentara di alam bebas. Semasa mudanya dulu nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho adalah kepala satuan anti teror dari detasemen pemukul komando reiders yang lebih sering menjalankan tugas operasi dari resimen yang manapun di satuan komando. Mulai dari menjebak terduga aksi teror di persembunyian tengah hutan dengan bekal seadanya. Sampai terlibat baku tembak satu lawan satu di dalam suatu perkampungan padat penduduk yang amat seru.

                “Mereka menyiapkan ratusan tusuk daging panggang sate musang, ratusan tusuk ikan tongkol bakar dan bawal bakar, daging-daging domba panggang dan juga sapi-sapi panggang. Anggitho melahap dua kali lebih banyak dari semua orang yang ada di situ. Padahal kami bukan komunitas yang terbiasa menjalankan program diet untuk penampilan dan pelangsingan tubuh. Kami semua juga jago-jago makan karena terbiasa melakukan aktivitas-aktivitas berat pelatihan dasar kemiliteran yang menguras tenaga.”

“Syukur kalau begitu… artinya Anggitho memang sangat menikmati pelesirannya  itu.”

Malam itu semua yang terlibat pembicaraan nampak serius  membahas perkembangan yang semakin mencemaskan di Jakarta. Kebijakan Tuanku Baginda President Albertinus Senno Suhastommo yang selalu berubah-ubah setiap waktu. Karena setiap keputusan yang hendak di ambil selalu di pengaruhi keragu-raguan tentang kemampuan aparatnya sendiri untuk melaksanakan kebijakan itu. Seperti keputusan untuk memberi waktu satu pekan kepada Hyang Mulia Jendral besar Bosma Marssiello Gleizzyardhin Ingenieur Youkke untuk menyatakan setia kepada Pemerintah dan menyerahkan kekuasaan militernya. Atau menghadapi pemecatan tidak hormat dan menghadapi persidangan Mahkamah Militer Luar Biasa. Sampai sekarang ini Tuanku Baginda President tidak memiliki perangkat yang jelas untuk menyeret Hyang Mulia Jendral besar Bosma itu. Kekuatan utamanya masih tertahan di hutan-hutan belantara perbukitan gunung puteri daerah lereng pegunungan Cibodas. Kewenangan atas kendali keamanan Jakarta Pusat. Bahkan di sekitar Istana sendiri masih sepenuhnya di kuasai oleh resimen-resimen reguler komando militer resort Jakarta Raya. Yang di kendalikan oleh Kasintel Kodam Ibukota Brigjen teritorial Rachmia Erlly-Meir.

 

Yang senantiasa melakukan pemantauan-pemantauan dengan Chevrolet Captiva 2.0 CVDI diesel a/t My09 warna hijau lumut dengan antena radio komunikasi SSB yang hampir tujuh meter panjangnya itu. Istana apabila terjadi kondisi konflik dan baku tembak antara pasukan agresor KomeRad dibawah Jendral Made Geigeer Sudhiarta dengan resimen-resimen komando reguler Ibukota, hanya di lindungi oleh dua detasemen Kowalsus penjaga Istana Tuanku Baginda President dan satu detasemen cadangan penjaga Istana Wakil President. Perintah-perintah penguasaan wilayah Jakarta Raya oleh rombongan besar pasukan serbu komando KomeRad dibawah JendralMade Geigeer Sudhiarta yang mengendalikan sekitar lima divisi khusus pasukan. Atau Rimbasti dibawah Komandan Jendralnya, JendralBambang Wisesha masih terganjal keragu-raguan Tuanku Baginda President sendiri yang mengkhawatirkan kondisi Ibukota. Mereka khawatir pecah konflik serius dan baku tembak yang melibatkan resimen-resimen komando reguler Ibukota karena mempertahankan wilayah kekuasaannya itu akan berimbas pada intensitas pertempuran yang terus meningkat dan tidak akan lagi bisa di kendalikan oleh siapapun. Bahkan mungkin oleh Hyang Mulia Jendral besar Bosma sendiri.

 

Di sekitar wilayah Ibukota Jakarta raya itu pasukan komando reguler berkekuatan lebih dari limabelas ribu tentara. Divisi utamanya di perlengkapi dengan batalyon kavaleri serbu yang membawa armada Pansher APC Cadhillac gage V-150 bersenjatakan laras meriam L-2 kaliber 76,2 milimeter, Canon meriam kaliber 90 milimeter dan smoke. Sejumlah Renault/Saviyem VAB yang mendukung mobilisasi pasukan pemukul dan Super Hillux minnor change spec-200 bersenjatakan empat laras meriam otomatis Onthoss ukuran 106 milimeter anti pesawat terbang dengan kecepatan 740 tembakan permenit. Mereka akan cukup menghambat meskipun Jendral Made Geigeer Sudhiarta sanggup mengerahkan tigapuluh ribu pasukannya untuk merebut Ibukota. Kalau toh nantinya pasukan yang di kendalikan langsung oleh Kasintel nyonya Jendral teritorial Rachmia-Meir itu makin terdesak, pasukan yang di kuasai Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke malahan bisa terjun langsung ke medan pertempuran dengan alasan ketertiban umum dan karena permintaan dari Pangko Daerah Militer Jawa II Ibukota selaku penguasa teritorial. Tuanku Baginda President bahkan tidak yakin apakah dirinya sendiri siap seandainya duapuluh ribu anggota Pam Swakarsa brigade maut SouMed yang siap menjadi algojo-algojo.

 

Kelompok sipil bersenjata yang akan membantai jutaan warga masyarakat tak berdosa bersama-sama dengan mahasiswa. Yang melakukan aksi duduk-duduk diam di sepanjang jalan-jalan protokol sebagai wujud solidaritas unjuk rasa menuntut diakhirinya perampokan lahan, perampokan kekayaan-kekayaan tambang Indonesia yang harusnya digunakan sebesar-besarnya untuk hajad hidup orang banyak. Dan pensejahteraan rakyat yang selalu di gusur-gusur oleh gerombolan pasukan biadab Rimbasti yang bekerja untuk kepentingan para Investor asing itu. Karena ternyata gerakan itu efektif melumpuhkan sendi-sendi perekonomian dan roda pemerintahan Negara. Meskipun anggota-anggota Pam Swakarsa brigade maut SouMed itu. Yang pihak lain, yang berseberangan paham dengan kelompok radikal itu, menganggap mereka gerombolan preman dan maling. Karena pekerjaannya menguasai lahan parkir dengan kekerasan, menarik upeti keamanan terhadap pedagang-pedagang pasar yang miskin, hingga melakukan perampokan-perampokan bersenjata gaya ninja terhadap toko-toko emas yang menurut pandangan mereka dikuasai para kapitalis kafir. Sesungguhnya mereka itu membunuh dan berperang melawan warga sipil tidak bersenjata demi alasan keyakinan pribadi dan berperang demi menghancurkan musuh Islam sekaligus musuh Negara.

 

Tuanku Baginda President Albertinus Senno Suhastommo tidak mau dosa-dosa seperti yang melekat pada pemimpin aksi pembersihan etnis seperti Jendral Serbia Slobodhan Milosevic, Jendral Francois Knommo’ dari Rwanda, dan Perdana Menteri Kamboja Pol Pot yang membantai lebih dari limabelas juta rakyat jelata tidak berdosa itu ikut melekat pada dirinya di akhir pemerintahan. Sanksi moral yang harus dia sandang. Di hujat oleh seluruh dunia dan di kejar-kejar seperti maling di negerinya sendiri oleh sepasukan tentara mutlinasional atas tuduhan kejahatan perang luar biasa. Karena kelompok radikal yang merasa terhormat setiap membunuhi satu nyawa warga sipil yang mereka anggap musuh Islam itu. Yang setiap satu nyawa melayang itu berarti satu pahala besar yang teramat sakral disematkan ke hati mereka oleh Hyang Maha Kuasa Tuhan Semesta Alam. Adalah kelompok radikal yang sudah lama dicap sebagai Underbow pemerintah. Walaupun secara resmi intitusi negara sendiri menyebutnya sebagai organisasi terlarang. Padahal enamribu anggota pengamanan kepolisian yang menutup rapat seluruh perbatasan wilayah kota Jakarta Pusat. Di sisi luar lokasi aksi unjuk rasa massal itu sudah bersiap membuka seluruh blokade kendaraan untuk memberi jalan masuk para pembunuh sipil yang di sponsori pemerintah ini.

 

Kenyataan ini yang semakin membuat resah Wakil Panglima SouMed Hasan Karmaaniy al-Ammaarah, Panglima SouMed Hafash Makhaariq al-Akaasyah, Wakil Amir urusan politik Muhammad bin Sahlaall, Wakil Amir urusan logistik Ibnu Alawaan, Wakil Amir urusan pembinaan Muhammad al-Muhaajir, Wakil Amir bagian Operasi Umum Ibrahim al-Baqhraa, Wakil Amir bagian Operasi Khusus Wahhaad bin Abdul Akaasyah, dan bahkan sampaiAmir Markaziah SouMed sendiri,  Syeich Achmmad bin Muhammad al-Ghaalin. Mereka sudah susah-susah mengorbankan diri mereka menjadi sapu jagat bagi limbah-limbah pekerjaan kotor rejim pemerintahan Tuanku Baginda President Senno Suhastommo. Siap menghabisi saudara-saudara Islam mereka sendiri hanya karena tidak menyetujui radikalisme. Kalau nasib mereka masih tetap di gantung seperti sekarang ini, karena keragu-raguan sikap Tuanku Baginda President Senno Suhastommo. Bisa-bisa kubu militer Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke menelikung di tengah jalan. Menggugat balik kekuasaan Tuanku Baginda President Senno Suhastommo dengan legitimasi dukungan kuat mahasiswa dan lima juta warga kota partisan unjuk rasa yang saat ini marak di Jakarta.

 

Kekuatan kubu militer Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke yang sesungguhnya jauh lebih besar dari sayap militer yang mendukung kekuasaan rejim Pemerintah. Bisa saja kemudian memutuskan sebuah kudheta berdarah dan mengganti kekuasaan yang di anggap sebagian besar rakyat Indonesia ini lalim. Membentuk presidium pemerintahan baru yang akan mempercepat pemilu versi mereka sendiri dan buntutnya. Menyerang perkemahan besar perbukitan gunung puteri Cibodas ini yang di anggap sebagai basis terakhir pendukung kekuasaan rejim diktator pemerintahan Tuanku Baginda President Senno Suhastommo. Bahkan Pam Swakarsa brigade maut SouMed yang belum melakukan perjuangan apa-apa dalam kampanye perang jihad membela Tuanku Baginda President Senno Suhastommo ini akan ikut diberangus. Di pojokkan, di tembak mati bagi yang melawan, diseret dan di telanjangi di tengah lapangan untuk di interogasi dengan todongan senjata, dan dimasukkan ke penjara militer. Seumur hidup mereka akan di perlakukan sebagai teroris seperti saudara-saudara mereka di penjara Irak, guantanamo, dan Afganisthan.

                “Ada kabar baru dari Jakarta, Mma…?”

                “Masih seperti dua hari kemarin. Tuanku Baginda President belum mengeluarkan perintah apa-apa dari Istana. Sementara seluruh resimen dari Garnesun Ibukota sedang bersiap-siap menghadapi masuknya serangan dari brigade pemukul KomeRad dan Rimbasti ke Ibukota.”  Nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho menjelaskan kepada puterinya.

                “Apakah ada perkembagan dari para warga kota yang menyemarakkan unjuk rasa duduk diam diseluruh jalanan protokol Ibukota itu ?”  Letnan satu Intan Hierrawati menanyakan kembali.

                “Mereka masih bertahan walau kelihatannya tidak mendapatkan tanggapan apa-apa. Bahkan mayoritas dari limaratus anggota Parlemen di Senayan yang mendukung Pemerintah telah di terbangkan keluar Jakarta jauh-jauh hari sebelumnya. Agar mereka tidak memberi komentar macam-macam, atau berbalik meng-impeach President.”  Jawab nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho.

Letnan satu Intan membayangkan repotnya kabinet pemerintahan Tuanku Baginda President Senno Suhastommo tinggal di dalam Istana yang di blokade oleh lebih dari lima juta warga kota sendiri yang berunjuk rasa. Hanya di lindungi oleh sekitar delapan ratus anggota Kowalsus dari detasemen A dan B. Sementara delapanratus anggota kepolisian resort Jakarta Pusat hanya bisa menutup barikade dari luar lokasi unjuk rasa. Di sepanjang perbatasan wilayah kota Jakarta Pusat. Yang di dukung oleh sekitar enamribu tenaga bantuan dari Polda Metro. Selebihnya mereka tidak berani masuk terlalu jauh. Di dalam wilayah-wilayah Jakarta Pusat itu sendiri masih ada komplek-komplek detasemen dari Garnesun Ibukota yang patuh pada Pangko Daerah Militer Jawa II Ibukota. Sejumlah besar dari pasukannya terkonsentrasi di lingkar Monas dengan barikade tameng rotan dan tongkat pentungan. Satu-satunya garis pemisah yang memberi jarak antara Istana dan pengunjuk rasa. Barikade satuan-satuan organik Kodam ini nampaknya tidak saja untuk mencegah para demonstran melakukan kerusuhan yang meluas dan menyerang Istana.

 

Tapi juga mencegah kekuatan bersenjata lain dari luar Jakarta untuk bergabung dengan pihak Istana. Mereka bahkan tidak mengijinkan anggota Kowalsus yang hendak pulang ke Markas Komandonya di Tanah Abang no.2 karena alasan psikologis para demonstran yang begitu emosional. Di khawatirkan kehadiran Komando kawal khusus Istana President di tengah-tengah demonstran akan memancing amuk massa. Kerusuhan akan sulit di cegah, dan mereka tidak berani menjamin ketertiban Ibukota lagi kalau kerusuhan yang disebabkan kehadiran anggota-anggota Kowalsus itu meluas ke seluruh Ibukota. Ketegangan nyaris terjadi antara tentara Kowalsus yang merasa terpenjara di wilayahnya sendiri dengan anggota-anggota organik Kodam yang diperintahkan melokalisir unjuk rasa supaya tidak sampai menyentuh Istana sebagai lambang kehormatan negara. Sekitar lima batalyon Komando militer resort Jakarta pusat atau kurang lebih duaribu tentara. Mereka bersenjata lengkap ditambah tameng rotan dan pentungan untuk menahan gerak laju para demonstran.

 

Di perkuat dengan kompi kavaleri berkekuatan empat Pansher pengintai Cadhillac gage V-150, delapan Pansher meriam Cadhillac gage V-150 dengan laras meriam L-2 kaliber 76,2 milimeter dan Canon meriam 90 milimeter, dan empat Pansher APR buatan Pindad sebagai unit pendukung. Mereka masing-masing di sebar ke tujuh persimpangan utama yang menjadi jalan masuk ke lingkar Monas dan komplek Istana. Ketika memerintahkan Pangko Daerah Militer Jawa II Ibukota untuk penempatan satuan-satuan pengendali huru-hara Kodam kala itu Tuanku Baginda President sama sekali belum berfikir akan berselisih faham dengan kubu militer Hyang Mulia Jendral besar Bosma ini. Jika sebelumnya satuan polisi saja yang di dalam untuk membangun barikade penghalang, situasinya mungkin tidak menjadi serumit sekarang ini. Sementara duaribu tentara organik Kodam yang tengah bersiap di empat penjuru kotamadya-kotamadya akan menyambut setiap pergerakan pasukan dari luar kota Jakarta untuk menyerbu masuk dan mengacak-acak Ibukota.

                “Kalau sampai terjadi, Tuanku Baginda President mengerahkan Pam Swakarsa brigade maut SouMed yang dipersenjatai itu untuk melakukan pembantaian, kondisi Jakarta akan semakin sulit. Mmma…”

                “Aku harap hal itu tidak sampai di lakukan. Melihat perkembangannya yang stagnant sampai sekarang, kecil kemungkinan mereka jadi bergerak.”  Nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho memberikan tanggapan. “Soalnya yang aku dengar… kubu militer Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke sudah menyiapkan operasi Inteligent untuk menghadapi mereka. Kalau operasi Inteligent itu di jalankan, bukan lagi ketidakberdayaan para demonstran yang akan mereka hadapi. Melainkan serangan kejutan infanteri Ranger yang telah menyaru di antara kaum demonstran. Mereka telah disebar ke sejumlah pintu masuk ke arah kerumunan para demonstran paling belakang.”

                “Operasi Inteligent… Mmma ?”

                “Seperti itu yang Mamma dengar dari sumber terpercaya di tubuh Bosma. Sejumlah pedagang Ice Cream dari sebuah perusahaan retail yang ternama. Mereka menempatkan lebih dari seratus rombong Ice Cream ke semua jalan masuk. Kalau satu pedagang rombong Ice Cream itu dibantu empat temannya yang menjajakan dengan kotak thermos tersandang. Artinya ada limaratus anggota komando rahasia Saber-Bosma yang setiap hari stand by di lokasi. Mereka selalu di suplai oleh lima mobil box Ice Cream yang menjamin selalu ada penuh kotak Ice Cream dalam rombong-rombong dan kotak thermos para Sales Promotion Boy, SPB Ice Cream itu.”

                “Mungkin Pam Swakarsa brigade maut SouMed yang siap membunuh itu bisa di hadapi oleh limaratus anggota pasukan Saber yang menyamar. Bagaimana dengan kekuatan pemukul divisi komando KomeRad dan Rimbasti yang nantinya masuk ke dalam Ibukota ?”

                “Oouuw… kalau mereka sampai mendekati perbatasan Ibukota, duapuluh empat batalyon organik Kodam di wilayah Jakarta Selatan, Barat dan Timur siap menyambut mereka dengan konfrontasi total. Konflik itu akan memancing pertempuran frontal di seluruh wilayah Jakarta dan akan menjadi akses mudah bagi pasukan pendukung Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke yang terkonsentrasi di Sediyatmo dan Penjaringan untuk masuk ibukota menghancurkan kekuatan utama pendukung kekuasaan rejim Pemerintahan Tuanku Baginda President Senno Suhastommo. Sekaligus operasi untuk menguasai Istana.”

                “Begitukah… operasi yang di rencanakan sehingga Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke nampak diam saja selama ini ?”  Letnan satu Intan Hierrawati menanyakan sekedar untuk memastikan pandangannya.

                “Sepertinya kesabaran akan membuahkan hasil yang lebih baik daripada Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke mengikuti emosi menghadapi tuduhan-tuduhan lalim kabinet Pemerintahan Tuanku Baginda President. Mulai dari tuduhan Pembangkangan, ancaman Pemecatan, hingga ancaman di ajukan ke Mahkamah Militer Luar Biasa karena menolak perintah dan Pengkhianatan.”  Nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho mengguman dalam permenungannya sendiri.

Kemudian percakapan beralih ke masalah-masalah domestik. Tuan Profesor Agung Setiawan Rasmintho sibuk mendiskusikan tentang perkembangan kasus yang di pantau secara pribadi oleh Sekretaris Kantor Advocate Rasmintho SH, Sw.D, Ph.D, Js.D, Laws Master & Friends, Nathannia Gunawan S.Com. Tentang persidangan tinggi Surabaya yang tengah mendakwa enambelas pelajar Es-em-K negeri 03 Dian Harapan-Malang. Yang telah telibat kasus pengeroyokan dan percobaan pembunuhan terhadap Anggitho Pringadhi. Putera Angkat nyonya Pangko Daerah Militer Jawa V Mayjen infanteri Estianni Rahayu Rasmintho. Persidangan itu telah menjatuhkan hukuman limabelas tahun penjara pada tujuh pelajar Dian Harapan dan sedang memproses sembilan teman mereka yang lain. Di ruang persidangan yang terpisah juga sedang berlangsung proses hukum dengan terdakwa Komisaris Besar polisi Bagus Wibawa selaku otak dibelakang aksi penyerangan para pelajar ini. Beberapa saksi mengetahui bahwa Kombes polisi Bagus telah beberapa kali menemani puteranya, Bambang Tristam Wibawa yang selalu datang dengan pacarnya Lutik Astri, dalam pertemuan-pertemuan membicarakan instruksi kilat Don Juan Sonny Puterahimawan dari Thailand.

 

Para tersangka lain yang dihadirkan sebelumnya untuk mengkonfrontir tuduhan Jaksa juga menyatakan bahwa Kombes polisi Bagus Wibawa secara pribadi dan institusi menyokong aksi serangan itu. Kalau terbukti nantinya Kombes polisi Bagus Wibawa mendalangi aksi penyerangan terhadap keluarga nyonya Jendral Pangko Daerah Militer Jawa V. Tidak saja Kombes polisi Bagus akan di pecat dengan tidak hormat dari kesatuannya. Tapi bahkan dia menghadapi tuntutan hukum hingga enampuluh tahun penjara. Dengan usianya sekarang yang mendekati limapuluh tahun, bisa dipastikan Kombes polisi Bagus akan membusuk di dalam penjara seumur hidupnya. Sanksi terberatnya adalah karena dia seorang perwira polisi dan aparat keamanan yang mengerti hukum. Memanfaatkan jabatannya untuk mendalangi pembunuhan. Dan bahkan menggunakan kekuasaannya untuk menghalangi Danres Kepolisian Metro Malang ajun Kombes polisi Inoki Wasis Jatmiko untuk melakukan tindakan atas laporan Subdis Intelpampol. Ketika harus dipanggil menjadi saksi dalam persidangan, ajun komisaris besar Inoki Jatmiko telah membenarkan adanya permintaan rahasia dari Kanwil Kepolisian Metro Malang itu.

 

Yang tidak terekspos publik adalah nasib anggota-anggota IcB yang dilibatkan dalam pencarian Anggitho. Pasukan siluman IcB yang di pimpin oleh agen senior IcB kapten Ricky Siswonno itu semuanya tewas dalam kecelakaan pesawat carter Britten-Norman BN-2A Dirgantara Air Service yang menjemput pulang mereka ke Jakarta. Setelah dua minggu terombang-ambing dalam ketidak jelasan nasib mereka di rumah tahanan Puspomdam. Entah pesawat itu jatuh, atau sengaja di jatuhkan. Yang pasti tidak ada orang yang selamat dalam kecelakaan ditengah cuaca buruk kawasan hutan-hutan roban jalur Semarang itu. Dan jelasnya, setelah apa yang mereka lakukan bersama Kombes polisi Bagus Wibawa di Malang, banyak pihak tidak lagi menginginkan mereka hidup. Mungkin Kasinteldam Jendral teritorial Dewa Made Windhu Kaemanna yang merasa tersinggung, nyonya Jendral Pangko Daerah Militer Jawa V Estianni Rahayu Rasmintho sendiri yang telah diusik keluarganya. Kepala Propam IcB Letkol Suyatno atau Kastaf IcB Jendral Arrie Dhammarjati yang merasa ikut dilibatkan atas kesalahan yang sama sekali tidak mereka perbuat. Atau bahkan Jendral Icb. Mannaf Trighanna Thallib sendiri yang sekarang karena perbuatan mereka telah di singkirkan dari jabatan yang membuatnya sangat terhormat dan prestise tinggi itu.

 

Saat mereka masih terlibat pembicaraan serius tentang persidangan-persidangan itu, nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho mengajak puterinya ke ruangan lain. Tidak ada kekhawatiran apapun. Kelihatannya selama ini Mamma Jendral Estianni selalu mendukung setiap tindakan Letnan satu Intan Hierrawati sebagai puteri kesayangannya. Mereka menuju ke tempat kerja pribadi nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho. Ruangan besar penuh dengan pajangan foto-foto kebanggaan nyonya Jendral Estianni ketika naik jabatan. Beberapa kelompok almari buku-buku pustaka yang terkunci dalam pintu-pintu kaca. Seperangkat soffa dan meja kerja besar di sudut ruangan. Di sebelah meja itu terdapat minibar dengan beberapa pilihan botol anggur terbaik.

                “Duduk Intan…”  kata nyonya Jendral Estianni menuju ke minibar menuangkan dua gelas Chardonnay wines kesukaannya dan memberikan salah satu kepada puterinya. “Karena Mamma sedang berbahagia malam ini… Intan.  Mamma ingin berbagi denganmu.”

                “Makasih… Mmma.”

Letnan satu Intan Hierrawati tersenyum renyah menerima suguhan gelas anggur itu. Mengangkat gelas dan sejenak membiarkan warna merahnya bercampur dengan cahaya. Menggoyang-goyangkan gelas anggur itu seperti layaknya seorang senior master sommelier yang sejati supaya cita rasa wine bercampur dengan oksigen. Lalu mendekatkan bibir gelas itu ke hidungnya. Menghirup aroma anggur yang khas. Dari aroma itu cita rasa anggur bisa di deskripsikan. Tebal, tipis, kental, atau encer. Setelah beberapa lama baru di cicipinya seteguk. Membiarkan rasa wine memenuhi rongga mulutnya, lalu perlahan di telannya. Nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho duduk di soffa tunggal di sebelah puterinya. Melakukan hal yang sama untuk merasakan kenikmatan anggur bermerk Chardonnay itu.

                “Intan… sampai beberapa hari kalian pelesiran, seberapa jauh hubunganmu dengan Anggitho ?”  nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho mulai menyinggung inti pembicaraan.

                “Kami baik-baik saja, Mamm. Kami bahkan melewatkan kebahagiaan itu dengan selalu bersama-sama.”

                “Seperti apa kebersamaan kalian ?”  nyonya Jendral Estianni ingin lebih merinci maksud puterinya.

                “Hmm… yeaa, kebersamaan yang akrab antara aku dan Anggitho. Kenapa Mamma menanyakan hal itu siiich ?”

                “Begini… Intan. Mamma hanya perlu mengingatkan, Anggitho itu putera angkat Mamma. Artinya dia itu saudaramu juga. Mamma ingin kau memperlakukan Anggitho seperti halnya adik kandungmu sendiri. Kalian saling menyayangi itu adalah sesuatu yang wajar. Tapi rasa sayang seorang Kakak kepada Adiknya yang pantas. Bukan perasaan sayang yang lain.”

                “Mengapa Mamma nyatakan itu… Apa Intan tidak pantas untuk di cintai Anggitho sebagai seorang kekasih ?”  Letnan satu Intan langsung memprotes pandangan nyonya Jendral Estianni itu dengan berterus-terang.

                “Ini bukan persoalan pantas atau tidak pantas, Intan… Mamma sudah memungut Anggitho sebagai putera angkat. Dan itu berarti secara legalitas dia adalah saudaramu. Kau tidak mungkin mencintainya.”

                “Aaaach… hanya legalitas, Mmma. Mamma bisa cabut akta perwalian itu dan Anggitho akan jauh lebih terhormat menjadi anak menantu Mamma. Calon suamiku sendiri.”  Letnan satu Intan bersikukuh.

                “Intan !  Mamma tidak pernah mengajarkan jiwa pemberontak dalam dirimu Intan. Apa yang sudah Mamma tegaskan akan tetap menjadi keputusan. Mengerti ?”

                “Maafkan Intan… Mmma.”  Toh akhirnya Letnan satu Intan yang berkepribadian keras dan terbiasa mendapatkan apapun yang dia inginkan itu, luluh dengan tertunduk. Tidak akan pernah bisa Letnan satu Intan menentang kehendak Mamma Jendral Estianni sendiri. Dia mengendalikan kekuasaan di rumah tangga ini seperti dia mengendalikan limabelas ribu prajurit militernya di seluruh Jawa bagian Timur.

 

Pupus sudah kebahagiaan Letnan satu Intan yang menggebu-gebu hari ini. Keinginannya untuk memuas-muaskan hasrat berahi dan kehangatan cintanya setelah Anggitho sendiri di ijinkan tinggal di kediaman resmi Pangko Daerah Militer Jawa V ini menjadi sia-sia. Dia tidak akan pernah bisa menyentuh Anggitho kembali seperti hari-hari kemarin mereka berdua selalu menghabiskan malam bersama dengan sentuhan-sentuhan asmara yang meluap-luap. Kini Letnan satu Intan harus memperlakukan Anggitho yang sangat dia cintai itu, sebagai seorang adik yang manis. Tidak ada ciuman-ciuman lagi. Tidak ada godaan-godaan menggelitik di bagian-bagian paling sensitif dari lekuk tubuh yang sensual. Apalagi guncangan-guncangan hebat permainan cinta Anggitho yang membuat mereka berdua bermandikan peluh. Atau karena perbuatan itu Mamma Jendral Estianni akan benar-benar memisahkan mereka berdua selamanya. Lebih buruk lagi mungkin Anggitho atau bahkan Letnan satu Intan sendiri akan dipaksa kawin dengan seseorang yang sama sekali bukan pilihan mereka. Seumur hidup Letnan satu Intan sungguh tidak mau di perlakukan seperti itu. Dia sudah jatuh cinta pada Anggitho sejak pandangan pertama. Dan akan begitu sampai seumur hidupnya.

 

Hari berikutnya Anggitho bangun sudah menjelang siang. Suite peristirahatan mewah di lantai tiga bangunan kediaman resmi nyonya Jendral Pangko Daerah Militer Jawa V itu masih nampak lengang. Nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho sudah sejak pagi berangkat ke kantornya yang hanya berjarak beberapa ratus meter. Tuan profesor Agung Setiawan Rasmintho juga. Anggitho juga tidak melihat Letnan satu Intan Hierrawati. Wanita itu mungkin sudah keluar sejak pagi. Karena begitu selesai membersihkan diri dan mandi air dingin di shower, hanya dua staf pelayan rumah tangga kediaman resmi nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho. Rumah besar itu masih di jaga oleh enambelas prajurit pengamanan khusus yang menempatkan dua unit kendaraan lapis baja Pansher dari batalyon Kavaleri serbu Pangko Daerah Militer Jawa V. Dengan kaos T-shirt print dan celana square cut jeans slim fit dari Levi’s Anggitho mengayunkan langkahnya turun ke lantai bawah. Hanya aktivitas biasa dari para staf pelayan rumah tangga kediaman nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho yang mengepel hampir seluruh ruangan besar bangunan itu secara bersamaan.

 

Sarapan pagi yang berupa seporsi Roti Manis Sobek Coklat Sari Roti dan segelas Isotonic drink water You C1000 yang di antarkan keatas oleh dua staf pelayan rumah tadi telah dia habiskan. Anggitho melewati mereka yang sedang bekerja mengepel dan mengelap perabotan besar-besar di kediaman itu dengan tanpa mengabaikannya. Terus melangkahkan kaki menuju teras lobby di luar dan bertemu dengan dua prajurit pengawal yang menyandang senjata otomatis. Mereka nampak memandang aneh pada Anggitho seperti baru melihat makhluk angkasa yang jatuh dari langit. Tapi kemudian tersenyum dan salah satunya menghampiri ke atas undakan.

                “Mas Githoo… kan, sendirian saja di dalam rumah ya ?”  sapanya dengan manis.

                “Apa semua orang sudah pergi hari ini ?”

                “Ooouww… tentu saja. Ini sudah hampir jam sepuluh siang. Mas Githoo sendiri nggak ada acara yaa…?”  pengawal bersenjata itu balik bertanya.

                “Aku masih ijin cuti sekolah. Apa kalian melihat mbak Intan Hierrawati ?”

                “Letnan satu Intan. Tentu saja… Pagi-pagi tadi sudah keluar dengan motor sport kawasaki ZX-6R yang harganya diatas duaratus jutaan itu. Malah masih pagi sekali sebelum semua orang berangkat.”  Prajurit pengawal itu menjawab.

                “Motor sport… dia punya ?”

                “Tentu saja. Dengan income keuntungan bunga bank yang hampir enam milyard perbulan itu, keluarga nyonya Jendral Pangko Daerah Militer Jawa V ini bisa membeli apa saja. Apa Mas Githoo mau dibeli juga ?”

                “Aaach… jangan dong.”

                “Bercanda kok. Lagian Mas Githoo ini putera angkat mereka yang istimewa. Mas Githoo tentu akan segera dimanjakan dengan berbagai hadiah seperti Letnan satu Intan.”

                “Mengapa aku istimewa ?”  Anggitho balik bertanya dengan nada ingin tahu.

                “Karena hanya Mas Githoo sendiri putera angkat beliau nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho yang di ijinkan tinggal langsung di rumah besar ini.”

                “Kan ini darurat… kalau aku tidak mengalami kerusuhan yang di dalangi Don juan Sonny itu, pasti aku diperlakukan sama dengan putera angkat lainnya.”

                “Mungkin karena Mas Githoo sendiri istimewa dimata nyonya Jendral Estianni.”

Anggitho menanggapi pujian itu dengan senyum. Kemudian mengikut acara jalan-jalan dua prajurit pengawal yang sedang patroli dengan senjata tersandang. Mereka terus berjalan sembari melihat-lihat keindahan taman dengan kolam ikan yang mengelilingi hampir ke seluruh luas bangunan besar itu. Di bagian belakang. Tepatnya di ujung taman ini ada kolam renang besar dengan bentuk yang artistik. Di sudut kiri sana sebuah garasi besar kendaraan bisa menampung belasan mobil. Tapi mobil pribadi Toyota Alphard 3.5L a/t nyonya Jendral Estianni atau mobil Mitsubishi Pajerro Sport Exceed A/T milik tuan Agung Setiawan Rasmintho. Dan, mobil-mobil pengawal Ford New Everest TDCI Limited Turbo dengan Strobo sirent-light lebih sering terparkir di teras lobby depan ataupun belakang rumah besar. Anggitho senang sekali ada teman berbincang di taman samping kediaman besar itu. Mengamati berbagai tanama hias langka yang di pelihara dengan sangat baik. Tiga staf juru taman bekerja penuh selama seharian menjaga agar bunga-bunga di taman ini tetap segar dan tidak menua.

 

Sedikit saja terlihat daun-daunnya yang menguning pasti akan segera di potong dan di bersihkan. Nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho dikenal sangat perhatian terhadap bunga-bunga ini. Kalau ada satu tangkai saja bunga yang sudah tua dan rontok masih tumbuh diantara hamparan bunga-bunga segar itu, pasti ketiga staf juru taman berpangkat kopral itu akan di marahi habis-habisan. Tapi nyonya Jendral Estianni juga dikenal sangat pengertian kepada anak buahnya. Kalau ada anggota pasukannya yang terlihat berantakan dan sangat putus asa karena persoalan keluarganya, dia akan mengepalkan lima lembar duapuluh ribuan dan menyuruh prajurit itu pulang untuk menuntaskan persoalannya. Nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho tidak mau prajuritnya yang harus mempertaruhkan nyawa dalam tugas di bebani persoalan keluarga yang tidak perlu. Kalau setelah kesempatan itu si prajurit masih tidak bisa menghadapinya maka dia akan diskors dan dibebaskan dari semua tugas. Anggitho tahu, bagaimanapun nyonya Jendral Estianni itu dulunya orang lapangan. Jadi tidak akan heran kalau dia sangat mengenal beratnya beban tugas yang akan di hadapi setiap prajurit.

 

Berjalan-jalan di halaman rumah besar ini. Yang dulunya milik seorang komandan tinggi militer Belanda dari Batavia ternyata sungguh mengasyikkan. Akhirnya mereka beristirahat di seperangkat meja-kursi kayu bergaya rustic di tengah-tengah taman rumput yang tanah sekitarnya diplester dengan semen. Di naungi beberapa pepohonan tropis seperti Calathea rosemary dengan daun-daun yang lebar dan eksotik. Lebih teduh untuk menghindari sengatan sinar matahari diwaktu siang mereka juga menambahkan pohon-pohon besar seperti pohon kelapa muda, kamboja, dan pohon palem. Dengan komposisi tanaman yang rapat seperti itu di satu sisi saja telah terbentuk area-area yang berada pada situasi berbeda dengan bagian terbesar taman yang lain. Dimana hanya ada hamparan taman rumput gajah mini, kucai kerdil dan batu-batu kerikil. Sementara di sekitar pepohonan yang merupakan bagian dari pemanis taman diberikan tanaman Cosus dan Calathea yang merupakan kelompok tanaman dari keluarga semak-semak. Kolam renang belakang yang bentuknya artistik itu hanya beberapa meter jaraknya dari tempat mereka.

 

Sebuah kolam arus berbentuk artistik sedalam satu setengah meter. Wahana menarik ini di kelilingi hiasan air terjun dari pancoran bambu yang mengalirkan air di antara rerimbunan pepohonan. Dengan kenyamanan pijatan air whirpool di sepanjang sisi kolam. Anggitho di temani dua pengawal bersenjata itu. Minum sekaleng blue cola 330ml dari Pepsi dan Snack sumpia udang 165 gram yang dihamparkan di atas meja. Petugas pengawal itu punya satu paket blue cola yang berisi enam kaleng. Mereka menyebutnya akomodasi kuliner dalam penjagaan. Ada banyak di kantor penjagaan supaya mereka tidak bosan. Makanan mereka mendapat layanan dari pantry rumah kediaman. Tiga kali sehari. Mereka menyantap hidangan yang sama dengan menu hidangan untuk keluarga nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho. Tapi di kantor penjagaan sendiri yang memiliki tiga ruangan tidur dengan kapasitas tigapuluh enam bed kanvas bertingkat. Seperti yang kebanyakan ada dalam barak-barak tentara. Bangunan kantor penjagaan itu sendiri dua lantai. Salah satu sisinya tembus ke portal penjagaan yang berhubungan dengan jalur elektrik pintu baja geser.

 

Di dalam ruang istirahatnya ada dua almari pendingin besar yang terisi lengkap dengan berbagai minuman manis dan makanan ringan. Kalau isi almari pendingin itu habis, petugas dari bagian Logistik Kodam akan mengisi kembali dengan berkotak-kotak makanan ringan dan minuman dari sebuah mobil box. Hal yang sama juga dilakukan di almari pendingin rumah dinas asrama para putera angkat keluarga nyonya Jendral Estianni. Sembari menikmati beberapa bungkus snack sumpia udang itu Anggitho masih mengobrol dengan ceria bersama kedua prajurit pengawal. Anggitho mengamati arsitektur taman luar yang indah. Tembok tinggi yang juga di hiasi dengan ornamen pepohonan buatan dan tanaman-tanaman merambat. Pada ujung atasnya beberapa kamera keamanan tampak jeli mengawasi keadaan. Di sini. Meskipun ada tujuh staf layanan rumah tangga dan tiga staf juru taman, kegiatan membersihkan seluruh rumah besar ini memakan waktu hampir setengah hari penuh. Dua staf bertugas mempersiapkan menu hidangan untuk makan siang. Walaupun sesungguhnya nyonya Jendral Estianni sendiri dan suaminya sangat jarang melewatkan makan siang di rumah. Kecuali itu hari minggu atau hari libur lain yang di tentukan Pemerintah.

 

Anggitho menolak ketika di tawari seporsi nasi gulai. Hidangan lezat yang masih panas dengan segelas Ice serbatt. Dia belum berselera dengan hidangan berat siang ini. Walaupun seporsi nasi gulai itu baru saja masak dari olahan. Tapi Anggitho tidak menolak minum gelas Ice serbatt-nya. Anggitho merasa sangat nyaman menikmati Ice serbatt yang membuat segar tenggorokannya. Walaupun mereka berada di tempat yang teduh, tapi udara siang ini sangat panas. Bahkan dua prajurit pengawal yang terbiasa dengan udara kota besar itu sendiri merasa kegerahan. Serombongan penggemar motor besar kawasaki ZR-6R dengan ridding suit dan helmet tertutup beriringan memasuki gerbang kediaman resmi nyonya Jendral Pangko Daerah Militer Jawa V itu. Ada sembilanbelas motor besar. Masing-masing berboncengan kecuali seorang yang berada di barisan paling depan. Perintah-perintah keras dari para senior club ridder itu berbaur dengan kesibukan profesional-profesional muda yang tergabung dalam kawasaki club dengan pacar-pacar mereka mencari tempat beristirahat di lobby depan kediaman resmi nyonya Jendral Pangko Daerah Militer Jawa V ini.

 

Teriakan dari wanita-wanita cantik dengan ridding suit yang membagi-bagikan kotak air mineral dalam botol. Air dingin itu dibawa oleh sejumlah staf pelayan rumah dengan nampan. Seperti mereka memberi bantuan pertama pada sekelompok pelarian dari medan perang. Keluar bersama-sama tujuh staf pelayan rumah tangga itu Letnan satu Evie Widyasari yang baru tiba dari markas besar. Dia juga belum menemukan Anggitho ketika masuk.

                “Evie… kau lihat Anggitho ?”

                “Saya baru datang mbak… Intan. Saya akan menghubungi pasukan pengawal mungkin mereka tahu.”

                “Aku akan mandi sebentar. Katakan padanya untuk menemuiku di kamar.”  Letnan satu Intan Hierrawati memberi perintah seperti yang biasa dilakukan Mammanya pada salah seorang bawahan.

Letnan satu Intan dengan seragam ridding suit ketat itu melepas sarung tangannya dengan tidak perduli dan meninggalkan teman-teman club motornya di teras lobby. Letnan satu Evie Widyasari berbicara dengan komunikasi radionya kepada petugas pengawal. Komunikasi radio itu di jawab oleh petugas di kantor penjagaan. Tapi di dengar oleh semua unit pengawalan termasuk yang sedang menemani Anggitho di taman belakang. Prajurit pengawal itu segera menjangkau komunikasi radionya dan melaporkan posisi Anggitho.

                “Baiklah prajurit. Antarkan sekarang Anggitho ke rumah… Letnan satu Intan menunggunya di ruangan lantai tiga.”

                “Baik, Letnan. Kami masuk sekarang.”

Begitu suara yang keluar dari komunikasi radio Letnan satu Evie Widyasari. Dan dia bergegas masuk ke dalam rumah untuk menemui Letnan satu Intan Hierrawati di lantai atas. Letnan satu Intan sudah menyelesaikan mandinya dengan cepat. Masih mengenakan piyama handuk yang hangat dengan rambut hitamnya yang dibungkus kain handuk biasa. Letnan satu Intan membuka almari pakaian dalam pintu-pintu cermin yang menjadi satu bagian dengan dinding kamar itu sendiri. Seperti juga kamar pribadi Anggitho yang istimewa, kamar ukuran lima kali tujuh meter itu juga dilengkapi soffa panjang di depan teve plasma teve LG Plasma 42PT250 berukuran 42 inch dengan Dynamic Contrast Ratio 1.000.000:1 dan Panel Resolution 1024×768(HD Resolution). Dengan Home Theater HB-806 TM denga 3D BlueRay Disc Playback, 850W Power, dan External HDD Playback. Ranjang tidur springbed ukuran besar dan toilet pribadi. Letaknya juga berseberangan. Kalau kamar pribadi Anggitho menghadap ke arah timur sisi kediaman, kamar Letnan satu Intan menghadap ke arah barat. Sisi depan lantai tiga itu ada ruangan besar untuk tamu dan balkon yang cukup luas untuk standing party. Letnan satu Evie Widyasari bisa mencapai depan kamar Letnan satu Intan setelah melewati beberapa tangga mendaki yang melelahkan. Ujung lingkaran tangga itu langsung menuju ke tengah ruangan besar untuk menjamu tamu yang menghadap ke balkon.  Letnan satu Evie mengetuk pintunya dan menyapa.

                “Mbak Intan… saya Letnan Evie.”

                “Masuk Evie… tidak di kunci.”  Suara yang di dalam memberi perintah.

Ketika Letnan satu Evie masuk, nampak Letnan satu Intan Hierrawati telah mengenakan Sleeveless top dengan print, Cardigan detail unfisihed, dan best in class Angelina flare cut jeans dengan ikat pinggang motif bordir dari Levi’s. Ridding suit dan helmet balap-nya masih terserak di atas ranjang. Akan di kenakan nanti ketika mau berangkat. Di atas meja riasnya ada sepiring Pan fried beef Pizzaiolla yang merupakan santapan favorit Letnan satu Intan dari Café and Resto langganannya. Di temani secangkir kopi Mozzarella Fritta yang di pesan dari restoran yang sama. Staf pelayan rumah tangga yang meminta kiriman itu seperti yang telah dipesan Letnan satu Intan pagi-pagi sebelum berangkat. Letnan satu Intan juga telah mengeluarkan beberapa stel pakaian ganti dan sebuah tas ransel besar yang akan di isinya dengan beberapa bungkus makanan ringan dan botol-botol besar air mineral. Letnan satu Intan Hierrawati sedang merapikan rambutnya yang terurai sepundak itu ketika Letnan satu Evie masuk. Gadis berwajah Indo-Argentina, yang kecantikannya menyamai Catherine Zetha Jonnes karena tuan Profesor Agung Setiawan Rasmintho memiliki Ibu yang berdarah Amerika latin. Menyambut ajudan pribadi nyonya Jendral Estianni ini dengan sambil lalu.

                “Mas Anggitho telah di temukan, mbak. Sedang bersama beberapa penjaga di taman belakang rumah.”  Letnan satu Evie Widyasari melaporkan. “Tapi sudah diminta untuk di antarkan kemari.”

                “Makasih Evie… sekarang bisa kau membantuku, ambilkan beberapa stel pakaian bersih-nya dan masukkan ke dalam tas ranselku. Kami akan pergi ke desa wisata Sidomulyo kota Batu, mempersiapkan acara bakti sosial kami. Kau tentu sudah diberitahu Mamma soal rencana ini, bukan… karena Mamma Estianni telah menyetujuinya.”

                “Iyyaa… mbak. Akan saya persiapkan.”

Letna satu Evie balik menuju ke kamar Anggitho yang ada di seberang. Membiarkan pintu kamar itu terbuka sedikit karena dia berfikir akan segera kembali. Anggitho di antarkan sampai ke balkon teras samping kediaman besar oleh dua prajurit yang mengawalnya. Dan membiarkan sendiri masuk ke dalam. Keramaian yang terjadi di depan tidak terdengar jelas di taman belakang rumah kediaman yang sebesar ini. Jadi awalnya mereka tidak perduli. Mencapai ujung tangga lantai atas itu, Anggitho langsung menuju ke kamar pribadi Letnan satu Intan yang sedikit terbuka. Dia tersenyum melihat pacar keduanya itu sedang berdiri merapikan bajunya di depan cermin. Masuk diam-diam terus memeluk Letnan satu Intan dari belakang. Memeluk erat dan memandangi profil wanita kesukaannya ini dengan seksama dari balik cermin. Bibir merah yang mungil lembut. Leher jenjang wanita yang mempesona. Berwaran keputihan bercahaya karena pantulan lampu. Kontras dengan Sleeveless top-nya yang berwarna agak gelap. Dan Anggitho begitu mengagumi kelembutan kulit pangkal pundaknya yang terjangkau sentuhan bibir itu.

 

Perbuatan yang bagi Letnan satu Intan sangat menyenangkan manakala mereka berdua pelesiran bersama rombongan alumni Akademi Militer di pulau Bawean kemarin. Tapi menjadi riskan setelah apa yang di bicarakan dengan Mamma Jendral Estianni semalam. Anggitho hendak membalikkan dekapannya dengan agak kasar… dan bibirnya hendak mengulum bibir lembut Letnan satu Intan. Tapi cepat-cepat di tepisnya dan Letnan satu Intan mundur beberapa langkah dengan sopan. Sesaat Anggitho terpana, tidak tahu akan terjadi penolakan seperti itu dan, tidak mengerti ada apa dengan Letnan satu Intan Hierrawati ini. Yang sudah mantap menjadi pacar keduanya dalam ketulusan cinta Anggitho.

                “Mengapa, mbak Intan ?”

                “Aaach… tidak. Hhmm… kami akan melakukan ridding tour ke kota Batu. Kalau kau tidak capek, nanti bisa ikut. Aku sudah menyuruh Evie untuk mengambilkan baju-bajumu. Agak mendadak memang, harusnya tadi pagi aku memberitahukan rencana ini padamu. Tapi aku melihat kau masih capek dan pulas sekali tidurmu. Sementara aku pagi-pagi harus berkumpul bersama pengendara motor Kawasaki club lainnya di jalan Ijen.”  Letnan satu Intan mengalihkan pembicaraan.

                “Aku suka jalan-jalan. Daripada bengong sendirian di rumah.”

                “Baiklah. Sekarang pilihlah beberapa pakaian ridding suit dalam almariku. Pilih salah satu yang pas dengan ukuran tubuhmu. Helmet-nya juga. Di rack atas.”

Anggitho melakukan saja apa  yang di perintahkan Letnan satu Intan. Di salah satu almari berpintu cermin itu Anggitho memang menemukan sederet gantungan pakaian ridding suit semua. Di atasnya ada rack tempat sejumlah Helmet. Di bagian bawahnya berderet pula pasangan sepatu-sepatu balap setinggi lutut. Beberapa ada yang khusus dipakai untuk balapan. Di lengkapi dengan roda lacker dari besi di dalam alas sepatunya untuk putaran mendadak dalam kecepatan tinggi. Anggitho mendapat satu ukuran ridding suit yang pas dengan helmet berkaca gelap dan sepatu boots-nya. Anggitho menunjukkan kepada Letnan satu Intan, dan ternyata dia menyetujuinya. Letnan satu Evie kembali dari kamar Anggitho beberapa saat kemudian. Membawa empat stel baju kaos dan flare cut jeans. Membantu memasukkan baju-baju itu bersama-sama dengan pakaian Letnan satu Intan ke dalam ransel. Selanjutnya dua staf pelayan rumah tangga masuk membawakan senampan penuh bungkusan makanan ringan dan dua botol besar air mineral. Tidak terasa, setelah di masukkan semua ransel punggung itu sudah penuh menjulang tinggi. Yang belum dimasukkan lagi adalah matras tidur dari bahan karet. Yang kemudian di ikatkan begitu saja dibawah ransel.

 

 

Warga Desa Pematanglima terbiasa hidup damai jauh dari peradaban di tengah-tengah hutan adat antara Mertung, Kampungbaru, Nipah panjang,dan Muarakumpal. Jalan tembus yang memotong dua wilayah besar antara kota utama Jambi dengan Kualatungkal. Sudah sejak lama kawasan hutan adat di wilayah kota Tanjung Jabung itu menjadi incaran perusahaan tambang minyak dan Gas Alam Axios Ltd. Mexico di Sumatera yang di pertahankan oleh detasemen-B Rimbasti. Pematanglima itu berbanding lurus dengan sumber minyak mereka yang baru di Muaratebo. Mengarahkan jaringan pipa-pipa minyaknya melalui labuhan dagang, Pematanglima dan Nipahpanjang adalah sangat efisien untuk pengapalannya pelabuhan Muarasabak. Tetapi persoalan adat dan banyaknya desa-desa suku yang tersebar diantara hutan adat itu menyulitkan pihak Axios Ltd. Mexico untuk merealisasikannya. Apalagi otoritas Polda Lampung dan Palembang sedang bersengketa soal pihak mana yang harus bertanggung jawab atas tragedi pembantaian rakyat di Mesuji. Yang kebetulan tepat berada di perbatasan propinsi mereka berdua.

 

Adalah Chief Executive Organized kawasan Asia Axios Ltd. Mexico, Mr. Luccas Antoninno Barilla yang memerintahkan direktur keuangan Axios Ltd. Mexico untuk menyuap pimpinan detasemen-B Rimbasti kota Lhoknga. Brigadir Jendral Rimbasti Achmmad Zainnul yang saat sekarang ini, karena mobilisasi seluruh pasukan Rimbasti ke Jakarta. Hanya di wakili oleh komandan pleton markas Kapten Rimbasti Purnomo Setyahadhi. Tugas utama detasemen-B Rimbasti yang dikomandani Brigjen Rimbasti Achmmad Zainnul selama ini memang adalah mengamankan eksplorasi tambang minyak dan gas alam Axios Ltd. Mexico di Lhoknga ini. Tapi seorang Kapten Rimbasti Purnomo Setyahadhi tidak pernah mengambil keputusan sendiri untuk melakukan operasi besar jauh di luar wilayah Lhoknga. Apalagi sampai ke wilayah tambang eksplorasi minyak Axios Ltd. Mexico yang baru di distrik Muaratebo. Tindakan untuk melakukan operasi pembersihan atas permintaan CEO kawasan Asia Axios Ltd. Mexico ini murni adalah inisiatif pribadinya. Dua tas koper penuh uang dolar senilai lebih dari sepuluh milyard itu sungguh membutakan akal sehatnya.

 

Kapten Rimbasti Purnomo Setyahadhi lantas berbicara dengan koleganya di lingkungan teras Polda Jambi. Berbicara langsung dengan Kendali Operasi atau KO Polda Jambi Kombes polisi Hendhra Kustonno dengan menjanjikan imbalan dana operasi satu milyard  cash kalau Kombes polisi Polda Jambi itu mau mendukung rencananya. Kapten Rimbasti Purnomo Setyahadhi menyatakan bahwa ini perintah operasi resmi Rimbasti yang mendapat dukungan politik langsung dari wakil Menhan Oktaprius Oktaprius Surya Prayoga. Dan di restui oleh Menhan Dr. Muzhar Mochtar. Kapten Rimbasti Purnomo Setyahadhi berjanji bahwa operasi ini akan berlangsung singkat, tidak menimbulkan gejolak dan jauh dari incaran media massa. Setelah mendapatkan kesepakatan koordinasi dengan Kombes polisi Hendhra Kustonno, lalu Kapten Rimbasti Purnomo mengeluarkan perintah kepada Letnan Rimbasti Bayyu Siswanto untuk membawa enambelas anggota pasukannya bergerak ke Jambi. Kendaraan tempurnya terdiri dari sebuah kendaraan taktis Pansher APC Strykes dan di dukung tiga mobil Toyota Hillux minnor change spec-200 bak terbuka yang di persenjatai dengan senjata mesin Koaksikal MacMillan M-60 7.62mm di terbangkan dari Lapangan terbang Blangbintang, Banda Aceh dengan dua pesawat carter Axios Ltd. Mexico.

 

Ikut dalam rombongan penerbangan itu adalah kepala Security Internal Axios Ltd. Mexico Mr. Ivan Jurric yang mantan perwira komando elite tentara Bulgaria. Mendarat di Lapangan terbang Sultan Thaha, Jambi yang memiliki Tarmak Denharsabang sendiri yang dikelola oleh satuan komando pangkalan Komsraad AU. Letnan Rimbasti Bayyu Siswanto di sambut kedatangannya oleh komandan pangkalan AU itu. Seorang Marsekal pertama Angkatan Udara yang dengan senang hati meminjamkan fasilitas salah satu Hanggar Tarmak-nya untuk kegiatan briefing. Tapi tidak mau ikut campur apapun dalam misi rahasia yang di emban pasukan Letnan Rimbaasti Bayyu Siswanto. Di pihak Operasional Polda Jambi antara lain ada Sesdit Intelpam Polda Ajun Kombes polisi Muhammad Sofhia Supriatna, Kadenma Polda Kompol Hasyiem Hussein Basuni, Kadit Samapta Polda Komber polisi Alfhian Saronto Nainggolan, dan Kombes Hendhra Kustonno sendiri. Mereka membawa tidak kurang dari duaratus orang Sabharra bersenjata lengkap yang diangkut dalam sepuluh unit truck mitsubishi Coltdiesell HD-150Ps kapasitas satu pasukan berikut kebutuhan logistik untuk kesiapan tempur garis pertama.

 

Enam mobil dinas Timor S-515 DOHC 1.5cc putih patroli jalan raya dengan strobo sirent-light sebagai pembuka jalan dan mobil-mobil dinas untuk petinggi-petinggi Polda yang hadir. Letnan Rimbasti Bayyu Siswanto mempercayakan operasi pasukannya pada Peltu Rimbasti Setiyadhi Djoko Purnomo yang memimpin pasukan Pansher, Serma Rimbasti Sardhonno Santosa, dan Serma Rimbasti Walluyo Rachmman Rahardjo. Meskipun sebuah operasi yang resmi, mereka semua yang hadir dalam taklimat pertama itu di beritahu bahwa missi ini sangat rahasia. Jadi hanya mereka yang diperlukan saja yang boleh tahu tentang adanya operasi ini. Sesdit Intelpam Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna memberikan briefing singkat kepada komandan-komandan pasukan yang hadir baik dari pasukan Rimbasti maupun kesatuan Polisi sendiri. Dengan mengerahkan segenap kemampuannya. Yaitu dengan menyampaikan semua keterangan yang telah di kumpulkan dua anak buah kepercayaannya. Inspektur Ammanudhin Zeinn dan Inspektur Hadhiyonno Marsuidh mengenai kontur pedalaman hutan adat Pematanglima. Tentang desa-desa suku yang menghuni kawasan hutan itu dan aktivitas cocok tanam mereka di sekitar kawasan hutan yang harus di bersihkan.

                “Saya tahu ini kawasan hutan pedalaman. Apa akses kendaraan bisa cukup lancar untuk masuk ke dalam ?”  Serma Rimbasti Sardhonno Santosa menanyakan lebih detail kawasan medan berat yang akan di lalui.

                “Beberapa kendaraan dua gardan mungkin akan bisa mencapai lokasi dengan sedikit kerja keras. Tapi angkutan Truck mitsubishi Coltdiesell HD-150Ps dan sejumlah mobil patroli jalan raya yang mengawal mungkin hanya mengantar sampai jalan utama. Kemudian pasukan pendukung akan menempuh perjalanan delapanbelas kilometer dengan berjalan kaki. Ingat… kita sedang menargetkan sebuah lokasi operasi di tengah hutan adat penuh dengan hamparan lereng pepohonan Kamper, Meranti, dan Sawit. Jalan yang ada hanyalah bekas tapak kendaraan para perambah hutan yang tidak atas perijinan resmi Pemerintah. Bahkan sebagian jalan itu adalah bekas tapak kendaraan para perambah hutan dimasa kolonial belanda.”  Kata Inspektur Hadhiyonno Marsuidh.

                “Hhmm… ini akan sangat menghambat.”  Mr. Ivan Jurric dari Security Internal menyatakan pendapatnya. Sekarang penampilan Mr. Ivan Jurric dengan rompi amunisi dan sepucuk senjata Mousser MP-5 disandangnya menjadi lebih tampak militeristik ketimbang hanya sekedar statusnya sebagai pengamat sipil.

                “Kita sedang menghadapi konflik kerusuhan hutan, gantleman. Bukan huru-hara perkotaan. Medan berat dan kontur pegunungan menjadi tantangan yang nyata harus kita hadapi.”  Sesdit Intelpam Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna menyatakan dengan tegas.

                “Tentu saja. Lalu apa gangguan kita yang lain ?”  Letnan Rimbasti Bayyu Siswanto bertanya mantap.

                “Yang terberat.” Inspektur Hadhiyonno Marsuidh kembali menyatakan rinciannya. “Ini masih musim hujan. Sejumlah besar medan kemungkinan becek dan berlumpur. Resiko kendaraan mengalami selip parah sangat besar. Jadi kita harus sangat hati-hati. Bahkan medan yang sulit ini bisa membuat sepuah Pansher sekalipun terbalik.”

                “Baiklah. Kita akan sangat menjaga itu.”  Letnan Rimbasti Bayyu Siswanto berkata. “Sekarang saatnya kita berbagi tugas. Rencana berjalan seperti SOP. Kami yang di depan menegosiasikan penggusuran. Kalian… pasukan polisi membentu barikade sekitar lokasi. Arahkan senjata kalian untuk tembakan peringatan kalau kerusuhan meledak dan perlawanan penduduk pribumi tidak bisa di elakkan. Mengerti tugas kalian ?”

                “Kami mengerti, Letnan.”  Kata Kendali Operasi atau KO Kombes polisi Hendhra Kustonno.

Lima belas menit kemudian, polisi yang bertugas melakukan pengawalan berangkat lebih dulu dengan suara sirine yang melengking tinggi. Letnan Rimbasti Bayyu Siswanto dan Mr. Ivan Jurric naik ke atas Pansher yang berada di barisan paling depan setelah mobil-mobil dinas Timor S-515 DOHC 1.5cc putih patroli jalan raya dengan strobo sirent-light sebagai pembuka jalan. Di ikuti dengan mobil-mobil bak terbuka Toyota Hillux minnor change spec-200 yang dipersenjati MacMillan M-60 7.62mm, kemudian truck-truck polisi. Sementara pansher APC Strykers mempunyai moncong meriam Hispano Suezha kaliber 76.2 milimeter dalam kubah turretnya. Dari perjalanan kota Jambi menuju distrik Sengerti yang lengang, mereka bergerak menembus padatnya perkotaan yang memacetkan jalanan hampir di seluruh kota. Kemudian melewati tanah pedesaan yang semakin melandai dan angin bertiup semakin kencang. Dari Jambi ke Sengerti yang sekitar limapuluh kilometer mereka hanya di suguhi hamparan luas pemandangan hutan Meranti yang kering.

 

Jalanan sangat lancar dan hampir-hampir tanpa hambatan. Kendaraan yang lewat mulai jarang. Malahan hampir-hampir tidak ada. Masyarakat Jambi memiliki alternatif jalan sungai yang lebih enak di tempuh daripada jalanan darat yang melenggang kosong di tengah-tengah hutan Meranti. Jalanan lurus bagai anak panah yang menuju ke daerah berrawa-rawa. Barisan panjang konvoi bersenjata itu bergerak terus beriringan menembus kekosoangan tengah hutan Meranti dan ladang sawit yang di bangun oleh penduduk-penduduk kaya pemilik hak penguasaan hutan adat. Beberapa kali nampak kendaraan perkebunan. Truck-truck kelas Tronton Hinno dan Nissan yang keluar dari tengah perkebunan dengan muatan penuh panen sawit dan tebangan kayu Meranti. Nyaris memotong jalur mereka dengan tiba-tiba. Segera berhenti begitu mendengar lengking suara sirine polisi yang meraung-raung. Kebanyakan mereka bergerak menuju ke kawasan Sengerti yang dekat dengan Ibukota Jambi dan Kualatungkal yang menjadi jalur utama pengapalan eksport hasil olahan CPO sawit mentah. Banyak Industri-industri raksasa pengolahan sawit yang merupakan sumber utama pajak anggaran belanja Pemkot kota Jambi berada di kota Kualatungkal ini.

 

Sedangkan kawasan distrik Sengerti adalah perkotaan kecil di kilometer limapuluh kota Jambi yang menjadi pusat Industri pengolahan kayu-kayu Meranti dan Kamper yang di tebang dari kawasan hutan-hutan adat Mertung, Nipahpanjang, dan Muarasabak. Titik sasaran yang sedang mereka kejar masih puluhan kilometer lagi. Jauh tersembunyi di dalam hutan-hutan Meranti dan Kamper yang merupakan hamparan lembah dan sedikit bagian yang berbukit. Akhirnya mereka meninggalkan kawasan distrik Sengeti yang hanya meliputi beberapa dusun Industri pengolahan kayu lapis dengan asrama-asrama pekerja imigrant yang lebih menyerupai kamp konsentrasi tahanan perang. Sebuah kantor Camat merupakan bangunan luas dan biasa diantara rumah-rumah dagang yang kaya-kaya. Kebanyakan penduduk kota kecil ini menyewakan lahan-lahan perkebungan untuk sawit dan membuka grosir-grosir perdagangan dari kota Jambi untuk melayani para pekerja pendatang. Kemudian jalanan terus melata di tengah-tengah hutan Meranti dan Kamper yang lengang. Kawasan hutan belantara ini bisa sampai puluhan kilometer jauhnya sebelum mencapai kota kecil terdekat.

 

Di tengah-tengah hutan belantara antara Sengerti, Mertung, dan Kampungbaru. Rombongan panjang itu berhenti. Satuan Pansher yang di ikuti tiga mobil bak terbuka Toyota Hillux minnor change spec-200 membelok lebih masuk ke dalam hutan. Letnan Rimbasti Bayyu Siswanto turun dari atas Pansher Strykers untuk berbicara dengan komandan-komandan polisi yang mendukung operasinya. Ada Sesdit Intelpam Polda Ajun Kombes polisi Muhammad Sofhia Supriatna, Kadenma Polda Kompol Hasyiem Hussein Basuni, Kadit Samapta Polda Kombes polisi Alfhian Saronto Nainggolan, dan Kombes Hendhra Kustonno yang mobil-mobilnya berada di barisan paling buncit. Bersama Letnan Rimbasti Bayyu Siswanto ada Mr. Ivan Jurric yang kelihatannya menjadi Second Command dalam hierartki ekspedisi Pematanglima ini. Pasukan yang di dalam kendaraan dipersilahkan turun. Membawa senjata dan seluruh perlengkapan mereka. Termasuk matras tidur, baju ganti, dan makanan mentah dalam kemasan untuk tiga hari. Rompi amunisinya dipersiapkan sampai tiga tingkat untuk persiapan tempur garis pertama. Memang seperti itu perintah yang datang dari atas. Dan di sampaikan langsung oleh Sesdit Kendali Operasi atau KO Kombes polisi Hendhra Kustonno.

 

Mobil-mobil dinas Timor S-515 DOHC 1.5cc putih patroli jalan raya dengan strobo sirent-light mengambil posisi parkir dengan sedikit memutar arah dan berhenti berderet di seberang jalan. Sementara truck-truck angkut pasukan Mitsubishi Coltdiessel HD-150Ps turun dari jalan aspal dan berhenti di pinggir. Seluruh anggota pasukan Sabharra Polda di perintahkan turun untuk mengadakan apel singkat di tanah lapang sela-sela kawasan hutan Meranti. Pasukan harus melapor kepada komandan pleton masing-masing di tempat berkumpul. Sementara anggota-anggota Logistik bagian kendaraan menurunkan perlengkapan milik mereka sendiri untuk bersiap-siap melakukan tugasnya. Mereka akan berada cukup lama untuk menunggu. Sementara semua orang pergi dengan berjalan kaki jauh di dalam hutan. Tapi yang menjadi pekerjaan pertama bagi mereka sekarang adalah memberi makan kepada semua pasukan yang akan berangkat ke medan perang. Seluruh anggota pasukan Sabharra Polda Jambi ini di kumpulkan dengan tergesa-gesa oleh Kadenma Polda Kompol Hasyiem Hussein Basuni, dan Kadit Samapta Polda Kombes polisi Alfhian Saronto Nainggolan. Mereka tidak di beritahu apa tugasnya sampai saatnya mereka akan di beritahu.

 

Pada saat semua orang sibuk bersiap-siap, Sesdit Intelpam Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna menemui Inspektur Hadhiyonno Marsuidh secara diam-diam. Menyerahkan sebuah peralatan micro camerra yang terkemas dalam sebuah kapsul earphone. Earphone dihubungkan pada sebuah kabel panjang dengan dekoder perekamnya yang harus ditempelkan pada balik pinggang Inspektur Hadhiyonno Marsuidh. Ajun Kombes polisi Sofhia menyatakan.

                “Kau kenakan ini… dan kau akan menjadi mata dan telingaku di belakang sepak terjang mereka.”  Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna memberikan pengarahannya sendiri. “Kau akan masuk ke unit khusus pendukung yang harus berjalan tepat di belakang kendaraan pansher mereka. Lihat apapun yang terjadi dan mereka tidak akan tahu.”

                “Anda hendak bermaksud mengkhianati mereka, tuan Komisaris. Sangat berbahaya bermain-main dengan Rimbasti.”

                “Aku tidak percaya dengan mereka. Tapi kita harus patuh pada perintah KO Kombes polisi Hendhra Kustonno. Ini ansuransi pribadiku kalau tiba-tiba kasus ini gempar di Media. Kita harus menyiapkan jaminan hari tua kita sendiri. Karena kalau tragedi biadab ini muncul ke permukaan… yang pertama kali menjadi sorotan adalah Polda Jambi. Bukan mereka, atau institusi Rimbasti pada umumnya.”

                “Saya mengerti… Komisaris. Akan saya lakukan dengan hati-hati.”

Di tengah-tengah kawasan hutan Meranti ini Letnan Rimbasti Bayyu Siswanto mengumpulkan semua Danton bersama-sama dengan para petinggi Polda yang ikut. Tapi bukan lagi Letnan Rimbasti Bayu Siswanto yang memberi tatklimat. Melainkan Mr. Ivan Jurric yang sekarang mewakili perusahaannya menjadi kendali operasi tertinggi. Inspektur Hadhiyonno Marsuidh yang telah mengenakan rompi amunisinya menutupi seragam sipil sebagai personel lapangan Intelpam Polda Jambi. Mengenakan helmet baja dengan lubang peredam suara dan kapsul penjepit telinga peralatan earphone. Alat seperti ini hal biasa dipergunakan personel lapangan untuk berkomunikasi dengan atasanya. Tapi tidak ada yang menduga kalau perlengkapan itu disusupi dengan micro camerra. Orang seperti Ajun Kombes polisi Sofhia supriatna apalagi Kombes polisi Hendhra Kustonno tidak akan mau repot mengikuti pasukan masuk jauh ke pedalaman hutan. Tapi mereka akan menunggu bersama personel Logistik bagian kendaraan ini. Atau bersantai-santai dengan buaian AC mobil dan alunan lembut dari sound system mobil dinas mereka sendiri.

 

Briefing singkat yang di lakukan Mr. Ivan Jurric untuk mengatur siasatnya sendiri jauh dari semua yang di rencanakan Kombes polisi Hendhra Kustonno sebelumnya. Dan duaratus anggota Sabharra Polda itu tidak bisa berbuat apa-apa karena mereka sudah di bawah kendali operasikan kepada Letnan Rimbasti Bayyu Siswanto. Tidak akan ada tembakan peringatan atau peluru karet yang harus di tembakkan sejauh limapuluh kaki. Mereka di perintahkan mengganti semua amunisi dengan peluru tajam. Dan tugas mereka adalah membuat barikade pengepungan.  Menembak mati siapa saja yang berusaha meloloskan diri dari lokasi pembantaian di kampung adat Pematanglima. Sementara pasukan Rimbasti terus melakukan serangan dan pembantaian massal. Inspektur Hadhiyonno Marsuidh telah menyalakan micro camerra-nya dan Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna bisa merekam semua kejadian didepan mata bawahannya itu dengan layar plasma pada perangkat Laptop-nya di dalam mobil. Sedang supir dinasnya bergabung dengan para supir bagian kendaraan main kartu untuk mengusir tanpa taruhan untuk mengusir bosan.

 

Setelah dibagikan masing-masing satu kardus nasi rendang dengan daging gulai pedas dan urap bayam, pasukan boleh istirahat dan menikmati makan siangnya sebelum melakukan perjalanan jauh. Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna masih di dalam mobil dengan mainan pribadinya saat pintu di ketuk dari luar. Ada Kombes polisi Alfhian Saronto Nainggolan yang datang dengan dua kardus nasi rendang. Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna menoleh. Mematikan mesin laptop-nya dan dan membuka pengait pintu dari dalam.

                “Heei… Soofh. Kau baik-baik saja.”

                “Ekspedisi Pematanglima ini membuatku sangat repot dan lelah, komisaris.”  Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna menjawab dengan tak acuh.

                “Yeea… operasi Pematanglima memang telah merepotkan semua orang. Bahkan aku tidak pernah mendengar soal rencana operasi ini dari beliau Kepala Polda sendiri dalam pembicaraan tidak resmi beberapa minggu ini. Kita tidak sedang bersengketa dengan masyarakat adat Sengerti, Mertung, dan Kampungbaru. Jauh-jauh hari otoritas Muspida Jambi bahkan sudah menolak ketika dua tahun lalu pihak Axios Ltd. Mexico sektor Muarasabak mengajukan proposal pembebasan lahan hutan adat untuk jalur pipa eksplorasi minyak mereka di Muaratebo. Mengapa sekarang tiba-tiba operasi penggusuran itu malah di jalankan ?”

                “Aku juga tidak menduga ketika disodori dokumen Surat Perintah Operasi yang di tanda tangani wakil Menhan Oktaprius Oktaprius Surya Prayoga. Dan KO Kombes polisi Hendhra Kustonno memintaku mengumpulkan informasi apapun soal dusun adat Pematanglima ini.”

                “Oouuyya… ini makan siangmu.”  Kombes polisi Alfhian Saronto Nainggolan menyodorkan kardus makanan untuk sahabat polisinya dan mendesak masuk di sebelah tempat duduk Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna.

Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna menerima kardus makan siang itu dan membuka nasi rendang dengan irisan gading gulai pedas itu. Juga dengan urapan cabe hijaunya yang khas. Satu bagian dari kardus makan siang itu sudah termasuk segelas air mineral yang diselipkan di sudut kardus dengan sedotan. Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna kontan menyantapnya sesuap.

                “Soofh… kau tidak melihat aroma skandal ini bakal menyeret jatuh banyak orang ?”

                “Kita ini hanya pelaksana tehnis di lapangan, komisaris.”  Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna tidak berterus-terang dengan pendapatnya sendiri.

Kombes polisi Alfhian Saronto Nainggolan menyetujui pendapat sahabatnya itu dan tidak mengajukan pertanyaan lagi. Melainkan hanya melanjutkan menyantap nasi rendang dalam kotak kardus seperti yang di lakukan Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna. Personel Logistik bagian operasional kendaraan yang mengapit jalur lengang selebar delapan meter antara distrik Sengerti dan Mertung ini hanya bersantai di gelaran-gelaran matras mereka sendiri. Atau pada puing-puing pohon Meranti bekas tumbangan karena usia uzur. Yang memang terlihat beberapa nampak berserak di pinggir jalan. Sama seperti juga yang di lakukan petugas polantas yang memarkir kendaraan di sisi seberang jalan. Mereka berkumpul di tempat teduh dengan gelaran matras. Sound system Audio salah satu mobil yang terbuka pintunya nampak mengalunkan suara musik berirama sekedar untuk mengusir rasa jenuh.  Karena kehadiran Kombes polisi Alfhian Saronto Nainggolan, Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna tidak bisa mengikuti rekaman visual anak buahnya yang mengikuti pasukan jalan kaki. Tapi sinyal penerima Laptop-nya masih efektif menerima siaran hingga jarak tigapuluh kilometer. Sasaran mereka tidak sampai sejauh itu.

 

Pasukan Mr. Ivan Jurric yang kini memimpin operasi pembersihan rahasia itu telah bergerak menusuri jalan bekas perambah hutan yang terjal dan berkelok-kelok. Sebagian jalanan itu becek dan licin. Persis seperti sirkuit off road kendaran ATV. Pansher Letnan Rimbasti Bayyu Siswanto bergerak lebih dulu. Di ikuti mobil-mobil Toyota Hillux minnor change spec-200 bak terbuka yang di pasangi senjata mesin koaksikal MacMillan M-60, dan pasukan-pasukan Sabhara polisi bersenjata lengkap yang harus berlari di tengah medan sulit sejauh delapanbelas kilometer. Mereka harus bergerak dengan setengah berlari menyusuri lahan-lahan rimbun diantara semak belukar dan pohon-pohon Meranti serta Kamper yang besarnya bisa selebar bentangan tangan dua orang dewasa. Pasukan polisi yang berjalan kaki berada dalam kendali operasi Inspektur Ammanudhin Zeinn dan Inspektur Hadhiyonno Marsuid. Meskipun ada tiga orang ajun Komisaris polisi di dalamnya dan beberapa inspektur lapangan yang memimpin pleton-pleton polisi.

 

Inspektur Hadhiyonno Marsuid membawahkan sekitar empatpuluh polisi Sabharra. Bertugas mengikuti rombongan mobil-mobil penyerang Hillux minor change spec-200 di posisi pemukul utama. Sedangkan Inspektur Ammanudhin Zeinn bergerak dengan sekitar seratus enampuluh anggota polisi Sabharra yang lain sebagai satuan barikade yang akan mengepung seluruh lokasi perkampungan Pematanglima dan meyakinkan bahwa tidak seorangpun akan lolos. Sekitar dua jam kemudian moncong meriam Hispano Suezha kendaraan Pansher Strykers telah muncul pertama kalinya di batas perkampungan Pematanglima yang tengah beraktifitas. Perkampungan itu masih berjarak sekitar setengah kilometer. Tapi sudah jelas terlihat kesibukan warganya. Seperti kebanyakan aktivitas perkampungan suku pedalaman Sumatera. Rumah-rumah panggung tanpa daun jendela. Atapnya terbuat dari daun kelapa dan dindingnya dari kulit kayu. Hanya ada wanita dan anak-anak yang sedang beraktivitas. Para pria hampir semuanya yang berbadan tegap dan masih mampu kerja pergi berkelompok mencari binatang buruan jauh ke dalam hutan.

 

Wanita-wanita pedalaman itu masih pakaian yang terbuat dari kulit kayu dikeringkan, dan menggunakan rock yang dirajut dari tumbuh-tumbuhan. Setiap rumah panggung rata-rata dihuni oleh tiga hingga empat keluarga. Masing-masing berdiam satu keluarga untuk satu kamar saja. Jadi kamar itu merangkap sebagai tempat tidur, dapur, dan tempat penyimpanan sagu atau kerang-kerangan lain. Santap siang mereka pada umumnya adalah sagu dan kerang-kerangan yang direbus begitu saja dengan air. Cara makannya, satu tangan mereka menyuap bubur sagu dan tangan yang lain menyantap daging kerang yang telah direbus begitu saja. Tanpa bumbu dan garam. Minumnya mereka suka sekali dengan air kelapa muda dan tembakau yang dilinting. Malam hari ketika suami-suami sudah dirumah biasanya mereka akan membawa daging musang, daging russa atau babi hutan. Tiga kilometer dibagian timur dan barat perkampungan ini ada perkampungan adat Katurai dan perkampungan adat Pasarkiat. Rumah-rumah adat mereka besar-besar yang di dalamnya sangat gelap karena tidak di lengkapi dengan jendela. Sekelilingnya penuh dengan tengkorak-tengkorak kepala binatang yang pernah mereka buru dan santap.

 

Alat-alat komunikasi tradisional yang berupa gendang mereka letakkan di serambi. Tangga naiknya berupa undakan dari pohon kelapa. Kalau laki-lakinya sedang berburu, para wanita bahu-membahu mengupas pohon sagu dan mengolahnya berhari-hari hingga menjadi bubur sagu yang bisa dimakan. Terkadang sagu disantap dengan pepes ikan bakar atau daging lokan. Setelah itu mereka menutup makan besar dengan menyantap buah durian yang memang banyak di dalam hutan. Di belakang perkampungan mereka dataran meninggi dengan sebuah bukit Kamper di ujungnya. Ada sebuah keluarga yang hanya makan rebusan pisang dicampur dengan serut kelapa dengan campuran air kelapanya. Kulit lokan di jadikan sebagai sendok dan mereka makan dengan sangat lahapnya. Letnan Rimbasti Bayyu Siswanto menghentikan gerak maju pasukannya. Memerintahkan kendaraan dalam formasi serangan dan anggota polisi dalam satuan pemukul bergerak menyebar membentuk bentangan. Mr. Ivan Jurric masih berdiri di atas badan Pansher memerintahkan Letnan Rimbasti Bayyu Siswanto untuk maju.

                “Kita perlu lebih dekat dan memulai serangan bombardier meriam… Bayyu.”  Kata Mr. Ivan Jurric.

                “Kita harus menunggu formasi satuan barikade Sabharra polisi untuk berjalan memutar Mr. Ivan.”

                “Baiklah… suruh mereka cepat.”  Mr. Ivan Jurric melihat tanda waktu di arlojinya dengan tidak sabar.

Sementara pasukan jalan kaki Sabharra polisi terus bergerak menjadi dua bagian kelompok besar. Inspektur polisi Ammanudhin Zeinn mengkoordinasikan komandan-komandan pasukannya dengan radio komunikasinya yang menggunakan kabel earphone. Setengah pasukan itu mendaki mengitari perbukitan untuk mendapatkan posisi nyaman di atas perkampungan adat Pematanglima. Mr. Ivan Juric menginginkan begitu semuanya siap, tembakan meriam kaliber 76.2 milimeter Hispano Suezha yang pertama kali mengawali serangan. Kemudian satuan penyerang Rimbasti merangsek maju dengan di dukung oleh empatpuluh anggota pemukul Sabharra polisi dibawah Inspektur polisi Hadhiyonno Marsuidh. Gerak maju pasukan jalan kaki itu akan di dukung oleh tembakan full otomatis dari senjata mesin koaksikal MacMillan M-60. Seperti yang sudah mereka diskusikan dalam tatklimat singkat di pusat kendali operasi lapangan sebelum mereka berangkat berjalan kaki kemari. Mr. Ivan Jurric yang seorang veteran perang gaek Eropa Timur itu tidak senang dengan keterlambatan-keterlambatan. Dia sangat menghargai ketepatan waktu.

 

Kemudian Inspektur polisi Ammanudhin Zein mengabarkan melalui radio komunikasinya bahwa seluruh pasukan pendukung garis kedua telah siap menempati posisi-nya masing-masing. Menunggu perintah untuk mulai bergerak. Dia berada entah dimana dalam hamparan ladang perkebunan kampung adat Pematanglima yang di tumbuhi Sagu, pohon-pohon kelapa dan semak-semak akar wangi. Daerah perkampungan Pematanglima yang agak tersembunyi dibalik kerimbunan tengah hutan itu sebentar lagi akan berupah menjadi medan peperangan yang kejam dan ladang pembantaian manusia yang maha dahsyat. Bagian tengah-tengah perkampungan itu masih agak terbuka dengan jalan rumput dan halaman-halaman rumah yang dipenuhi anak-anak ayam dan ternak babi.

                “Mereka sudah menunggu tanda isyarat dari kita, Mr. Ivan.”  Letnan Rimbasti Bayyu Siswanto naik ke atas Pansher setelah berbicara dengan anak buahnya yang menyandang radio SSB. “Sepertinya hanya para wanita, orang tua, dan anak-anak saja yang terlihat beraktivitas. Saya  tidak melihat kaum prianya. Mungkin sedang berburu jauh masuk ke dalam hutan.”

                “Kita tidak mungkin lama menunggu mereka.”

                “Kalau begitu bumi hanguskan yang ada saja. Perkampungan ini harus rata dengan tanah dan sisanya bakar habis.”  Pendapat Letnan Rimbasti Bayyu Santosa kepada Mr. Ivan Jurric.

Dua menit kemudian rombongan Pansher mendekat yang di ikuti mobil-mobil toyota Hillux minnor change spec-200 yang mengarahkan senjata mesin MacMillan M-60 mereka. Tanah lumpur sekitarnya menjadi bergetar dengan kepulan asap dari kendaraan-kendaraan yang harus menghindari selip. Kendaraan agak sulit melebarkan formasi tempurnya karena rapatnya pepohonan yang ada di sekitar perkebunan kampung adat. Tapi merupakan kamulfase yang sangat bagus bagi pasukan jalan kaki untuk menyelinap jauh lebih ke dekat perkampungan itu. Wanita-wanita masih nampak sibuk dengan kegiatan menyaring sari-sari bubur sagu di selokan kecil dekat anak sungai yang melintasi sisi perkampungan adat. Mereka bekerja sembari bercanda riang. Seakan tidak menduga sama sekali ini akan menjadi akhir dari riwayat hidup mereka. Anak-anak kecil nampak riang bermain kejar-kejaran di sekitar perkampungan. Gadis-gadis kecil kompak bermain daichon dengan biji-biji Srikaya dan sebagian dari anak laki-laki bersaing dalam memainkan gansing-nya. Di serambi-serambi rumah adat, mengawasi semua aktivitas sehari-hari itu kakek dan nenek-nenek mereka terlihat duduk-duduk mengatasi gerah cuaca panas.

 

Ketenangan kakek dan nenek-nenek yang sudah berusia uzur itu tiba-tiba terhenti dengan kejadian luar biasa ledakan dahsyat di depan mereka. Di susul ledakan-ledakan lain yang menumbangkan pohon kelapa di sisi rumah mereka, menghancurkan gudang-gudang sagu dan beberapa rumah adat di belakang mereka. Senjata mesin mulai ikut menyalak memberondong anak-anak kecil yang tengah bermain-main di tengah perkampungan. Wanita-wanita yang semula berkumpul di pinggir sungai itu berhamburan memburu ke arah anak-anak mereka sendiri. Di tengah ketakutan dan kepanikan yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya, sebagian dari ibu-ibu itu dengan tangis anaknya di dalam gendongan bahkan terlempar oleh ledakan dahsyat dari peluru meriam 76.2 milimeter. Mayat-mayat bergeletakan dengan tubuh hancur tidak karuan. Sedangkan beberapa puing-puing rumah telah mengalami kehancuran total dan terbakar. Para Kakek dan nenek-nenek yang tetap tinggal di beranda berteriak-teriak ketakutan. Berusaha untuk meniti turun batang pohon kelapa yang tidak mudah. Sebagian malah telah ikut tewas bersama puing-puing rumah yang terbakar.

 

Setelah beberapa lama membuat kerusakan dan kehancuran, akhirnya wanita-wanita yang panik itu di kumpulkan ke tengah-tengah perkampungan. Di rumah Umma… tempat tinggal kepala adat yang berdiri paling kokoh dan paling besar bangunannya. Melewati puing-puing batang pohon kelapa dan kakao yang habis terbakar. Juga beberapa bangunan rumah adat warga perkampungan Pematanglima yang hancur. Mereka di giring bersama dengan anak-anak yang buntung kakinya atau usus yang terburai karena terkena pecahan boom. Wanita-wanita masih ketakutan. Tapi tentara-tentara anggota pasukan elite Rimbasti dan polisi-polisi dari satuan pemukul tidak mau perduli. Tidak juga ingin memberinya pertolongan pertama bagi korban luka. Selain dari hanya memaksanya bersimpuh ditengah-tengah perkampungan dalam pilunya tangisan-tangisan bayi dan wanita-wanita yang kesakitan. Pertempuran satu arah itu memang tidak seimbang. Mereka menyerang dengan keji wanita-wanita pedalaman yang tidak berdaya. Bayi-bayi yang hanya bisa menangis dan meregang nyawa dengan tidak mengerti. Atau para Kakek dan nenek-nenek yang bahkan untuk berjalan saja susah. Sehingga banyak yang harus terpanggang hidup-hidup dalam rumah-rumah panggung yang meledak dan terbakar.

 

Dari enamratus jiwa penghuni limabelas rumah panggung perkampungan adat Pematanglima ini. Seratus limapuluh pria dewasanya semua sedang jauh berburu di tengah hutan belantara. Limapuluh para kakek dan nenek-nenek yang sudah tua renta tinggal sepuluh orang yang selamat dari ledakan-ledakan dengan cara menjatuhkan diri ke tanah yang tingginya hampir empat meter. Yang tindakan itu bahkan bisa membuat tulang-tulang persendian mereka yang sudah rapuh terkoyak dan lumpuh selamanya. Sebelum terjadi ledakan hebat di bangunan-bangunan rumah adat mereka. Tigaratus wanita-wanita yang sebagian telah bersuami dan sedang menyusui bayi-bayinya, kini tinggal seratus saja yang selamat dan masih hidup. Sedang dikumpulkan dengan paksa dibawah ancaman moncong senapan di depan rumah kepala adat Umma… Seratus anak-anak yang sebagian besar masih berada dibawah usia lima tahun yang kini masih tersisa duapuluh anak saja dengan kaki-kaki buntung karena boom, sebelah tangannya yang hancur di hantam serpihan mortir. Hingga bagian dari tubuhnya yang terkoyak terserempet desingan-desingan peluru maut.

 

Darah mengucur dimana-mana sehingga sejumlah genangan-genangan air di pekarangan berlumpur akibat hujan semalam semuanya nampak berwarna merah. Perkampungan adat Pematanglima itu sebagian terasa panas akibat puing-puing bangunan yang terbakar. Pohon-pohon yang tumbang bekas boom dan bagian bekas pangkalnya masih menganga karena ledakan. Anggota-anggota tentara elite Rimbasti, anggota-anggota satuan Sabharra polisi yang menjadi satuan pemukul utama dibelakang unit Rimbasti itu mengepung tempat wanita-wanita berpakaian kayu-kayu kering yang dirajut itu sambil tertawa-tawa. Seperti sekelompok Iblis jahanam yang telah berhasil memasukkan Siti Hawwa ke lubang neraka.

                “Hei… entah bagaimana dengan kalian.”  Mendadak Mr. Ivan Jurric maju menghampiri Eeitha… puteri kepala adat Pematanglima yang paling cantik dan terawat sempurna kulit putihnya. “Tapi aku mau berpesta sebentar dengan nonni cantik ini sebelum nanti membunuhnya.”

Mr. Ivan Jurric yang menyandang senjata Mousser MP-5 itu menyambar kerah leher puteri Eeitha yang seperti bidadari di tengah kumuhnya hutan belantara. Tersenyum dan terus memaksanya naik ke dalam rumah kampung adat. Perbuatan bejat itu segera di ikuti oleh enambelas anggota pasukan elite Rimbasti yang lain. Bahkan Letnan Rimbasti Bayyu Siswanto ikut memilih salah satu gadis tercantik di perkampungan adat Pematanglima itu dan meramaikan kegiatan pesta seks di dalam rumah panggung Umma… milik kepala adat. Tetapi Inspektur Hadhiyonno Marsuidh yang sudah menganggap perbuatan-perbuatan anggota pasukan Rimbasti mengikuti kelakuan-kelakuan Mr. Ivan Jurric itu sebagai hal biadab. Melarang anggota polisi yang hendak mengikuti perbuatan mereka. Semua yang sedang terjadi dan dia lakukan di tengah perkampungan adat Pematanglima itu telah di lihat di direkam dengan baik oleh Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna di layar Laptop-nya didalam mobil dinas yang sedang di diaminya sendirian.

                “Kalau ada dari kalian yang mau mengikuti perlakuan bejat mereka, aku tembak sekarang.”

                “Bagaimana dengan tawanan-tawanan wanita yang lain, Inspektur ?”  seorang bripka yang senior diantara satuan Sabharra polisi di unit pemukul itu mengajukan pertanyaan kepada komandannya.

                “Ikat saja mereka menjadi satu, dan kumpulkan semua anggota polisi disini. Kita menunggu perintah-perintah operasi selanjutnya sambil berkumpul. Agar kalian tidak tergoda.”

                “Baik Inspektur.”

Beruntungnya anggota-anggota satuan Sabharra polisi Polda Jambi itu menurut perintah Inspektur polisi Hadhiyonno Marsuidh. Setelah wanita-wanita tidak berdaya itu di ikut menjadi satu dengan tali yang kuat, ke empatpuluh polisi diperintahkan membentuk kelompok-kelompok berkumpul sendiri di pinggir tanah lapang tengah-tengah perkampungan adat itu. Senjata-senjata terkunci dengan pengamannya dan diletakkan bersama-sama membentuk formasi kerucut seperti layaknya anggota militer yang tengah beristirahat. Inspektur Hadhiyonno Marsuidh memerintahkan mereka minum dan memakan ransum mereka sendiri sambil menunggu. Sejenak terdengar teriakan wanita-wanita yang tengah mempertahankan kehormatannya di dalam rumah panggung. Serta erangan dari orang-orang yang tengah kerasukan perbuatan bejat iblis menikmati surga keperawanan wanita. Tidak lama kejadian-kejadian memilukan itu berlangsung. Erangan-erangan kenikmatan itu selalu di akhiri dengan letupan senjata. Satu persatu anggota pasukan Rimbasti nampak turun sembari mengancingkan resleting-resleting celana mereka yang kedodoran. Menapak di pelataran rumah nampak senyum-senyum kepuasan mereka yang mengembang.

 

Mr. Ivan Jurric adalah orang yang paling terakhir keluar dan turun meniti tanggap pohon kelapa. Di bawah sudah ada Letnan Rimbasti Bayyu Siswanto yang menatapnya menunggu perintah.

                “Bagaimana dengan sisa wanita-wanita yang lain, Mr. Ivan ?”

                “Tembak mereka semua. Kalian tidak ingin masih ada orang yang terus hidup dan menjadi saksi kebiadaban kalian ?”  Mr. Ivan Jurric menyatakan dan terus melenggang meninggalkan tempat terkutuk itu. Sebentar kemudian terdengar rentetan tembakan dari anggota pasukan Rimbasti. Kali ini hanya dari anggota pasukan elite Rimbasti dengan sekelompok anggota polisi di bagian lain tanah lapang itu yang menyaksikan kebiadaban mereka dengan tidak percaya. Bahkan bayi-bayi yang menangis di pangkuan sang Ibu saat sedang meregang nyawa ikut ditembak. Seperti kata Mr. Ivan Jurric. Tidak boleh ada satupun saksi mata yang akan membongkar kebiadaban mereka ini. Setelah semuanya selesai, anggota-anggota Rimbasti melemparkan granat-granat fosfor yang membakar bangunan-bangunan rumah perkampungan adat yang masih tersisa. Dan seluruh rombongan di perintahkan meninggalkan tempat terkutuk itu.

 

Jam enam menjelang matahari surut rombongan-rombongan pemburu dari desa-desa adat sekitar Pematanglima mulai kembali. Mereka menjadi terkejut dan takut setengah mati melihat kebiadaban yang terjadi. Puing-puing rumah perkampungan adata Pematanglima masih berbau tubuh-tubuh manusia yang hangus terbakar dan menimbulkan aroma kematian yang sangat kental. Para laki-laki terjatuh berlutut didepan puing-puing perkampungan adat itu menangisi keluarga mereka yang telah tewas. Salah satu dari rombongan pria-pria pemburu itu. Yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan orang-orang primitif ini adalah seorang Ilmuwan bernama Dr. Tomm Chuawiwat. Dia relawan pecinta lingkungan yang sedang mengerjakan penelitian dibawah bendera Organisasi Perlindungan Satwa Langka Dunia. WWF. Sedang tekun melakukan pengamatan terhadap burung Beo dan Siamang yang memang banyak berada di daerah sekitar perkampungan Pematanglima itu. Dr. Tomm Chuawiwat secara cerdik memasang kamera tersembunyi diatas pohon. Di tempat yang sama sekali tidak di sadari oleh hewan-hewan pemalu itu.

 

Salah satu kamera-nya terpasang tepat diatas bukit dengan pemandangan yang cukup bagus ke arah perkampungan adat Pematanglima. Sore itu sebelum keburu malam, Dr. Tomm Chuawiwat diantarkan oleh tiga orang anggota satuan Jagawana dinas Polhut kota distrik Mertung. Selama kegiatan Observasi lingkungan ini Dr. Tomm Chuawiwat memang tinggal di pusat asrama kegiatan Jagawana dinas Kehutana distrik Mertung. Mengambil keping DVD yang merekam kamera malam itu dan menggantinya dengan kaset yang baru. Dan melanjutkan perjalanan tanpa keinginan untuk memeriksa kegemparan yang terjadi di perkampungan adat Pematanglima. Mereka tidak ingin menimbulkan persoalan sehingga harus bentrok dan terkena sambitan sumpit suku pedalaman Pematanglima yang terkenal sangat mematikan. Malam setelah kejadian yang mengusik rasa kemanusiaan itu setidaknya lima perkampungan di sekitar Pematanglima berbondong-bondong mengungsi meninggalkan perkampungan mereka yang di kutuk. Paling tidak sekarang missi yang dilakukan Mr. Ivan Jurric dengan pasukan Rimbasti itu telah berhasil mengosongkan ratusan ribu hektar lahan perkebunan dan hutan yang akan menjadi jalur eksplorasi minyak di Muaratebo.

 

Flat itu kecil dan letaknya dibelakang bilik-bilik asrama satuan Jagawana Polhut distrik Mertung yang berada dibawah naungan dinas Kehutanan kota Jambi. Sebanyak empatpuluh anggota Polhut wilayah tinggal asrama kantor Jagawana dinas Kehutanan ini. Menggunakan sepuluh unit mobil patroli double cabbin Nissan Navarra abu-abu dengan blue sirent-light diatasnya. Mereka harus mematroli kawasan hutan Meranti dan Kamper sejauh Mertung, Kampungbaru, dan Sengerti. Mereka berpatroli dalam team empat-empat. Empat orang untuk setiap mobil, dua mobil untuk setiap unit patroli, dan empat jalur patroli untuk setiap unit. Di tambah dua mobil patroli untuk unit siaga markas. Komisaris Ir. Marsetia Donnosaputra adalah kepala satuan Jagawana yang bertanggung jawab di kantor ini. Di bantu oleh Inspektur Jakobus Nurdhin yang menangani dua team patroli sektor Kampung baru, dan Inspektur Hupadhiyonno Suwondho untuk team patroli sektor Sengerti. Adalah Inspektur Hupadhiyonno yang malam itu bertindak sebagai perwira piket dan begadang di kantor. Rombongan dua mobil patroli Nissan Navarra telah masuk markas dan melapor pada Inspektur Hupadhiyonno.

                “Dokter Tomm sahabatku… bagaimana perjalananmu ?”  Inspektur Hupadhiyonno mengulurkan tangannya menyalami Dr. Tomm Chuawiwat yang baru datang.

                “Perjalanan yang melelahkan. Ini Pekan kedua aku harus berkeliling mengganti limabelas keping DVD yang merekam kegiatan binatang-binatang itu.”

Dr. Tomm Chuawiwat menurunkan tas sandangnya dan di persilahkan duduk di kursi tamu ruang kerja komandan. Ikut bersamanya ada Bripka polhut Didiet Effiudhin  yang memimpin team patroli Sengerti hari ini. Setelah mereka bertiga duduk di kursi tamu ruang kerja komandan itu, Inspektur Hupadhiyonno memanggil petugas piket untuk memesan tiga gelas kopi dari warung kopi di depan markas. Nampan kopi itu diantarkan oleh seorang wanita setengah baya limabelas menit kemudian. “Silahkan Dokter Tomm. Setelah pergi seharian di tengah kerasnya kehidupan hutan, kopi-kopi ini akan menghangatkan kalian.”

                “Makasih. Anda sangat baik… komandan Hupadhiyonno.”

Inspektur Hupadhiyonno tersenyum lalu mendahului mencicipi seteguk kopi yang masih panas. Menuangkannya sedikit di mangkuk cangkirnya dan meniup-niup sebentar untuk membuat kopi itu agak dingin. Supaya lidah tidak harus merasa terbakar waktu meminumnya. Bripka Didiet serta Dr. Tomm melakukan hal yang sama. Komisaris Ir. Marsetia Donno saputra sangat menghormati Dr. Tomm Chuawiwat sebagaimana seorang pejabat Deplu kala itu datang menitipkan Dr. Tomm Chuawiwat kepadanya. Juga menitipkan tanggung jawab keamanan Dr. Tomm Chuawiwat kepadanya. Bersama dengan setumpuk dokumen resmi yang mendapat rekomendasi dari seratus orang pejabat organisasi kemanusiaan dunia, pelaksana tugas PBB wilayah Asia Selatan, dan beberapa nama besar perdana menteri Asia yang pernah menampung Dr. Tomm Chuawiwat menjadi relawan Internasional di negeranya. Dokumen itu juga berisi surat persetujuan resmi dari kepala dinas Imigrasi, Dirjen Perhubungan, pejabat Kemlu, pejabat Kemdagri, Kepala Kepolisian Negara, Panglima Komando Tentara Nasional hingga President.

                “Bagaimana Dokter Tomm… Anda senang dengan pekerjaan di sini ?”  Inspektur Hupadhiyonno melanjutkan percakapannya. “Kami akan berusaha untuk memenuhi segala kebutuhan anda yang kurang disini. Memang… kehidupan kita jauh dari kota. Kantor asrama ini saja jauhnya duapuluh kilometer dari kota terdekat Mertung.”

                “Yang saya bawa dari Swiss sudah cukup banyak untuk memenuhi kebutuhan saya di sini. Inspektur sangat baik membantu saya, saya sangat Makasih.”

                “Sudah menjadi tugas kami, Dokter Tomm… Anda tamu Negara ini untuk tugas kemanusiaan yang sangat mulia. Sudah sepantasnya kami membantu anda semampu kami.”

                “Oouww… saya sangat senang bekerja disini. Dengan dukungan finansial tidak terbatas yang organisasi kami miliki, kami juga telah membantu banyak kesejahteraan kalian disini. Mungkin setelah pengamatan melelahkan ini kami bisa melakukan sesuatu untuk memperbaiki hutan anda di Mertung dan Sengerti ini.”

                “Kami akan sangat Makasih. Dokter Tomm. Rehabilitasi hutan di kawasan utara Jambi ini memang membutuhkan investasi jutaan dolar. Republik ini akan sangat mendukung peran organisasi Internasional anda dalam memperbaiki kembali ekosistem kehutanan di Indonesia yang nyaris bahaya. Perambahan hutan yang tidak terkendali dengan kedok perluasan lahan sawit Industri-Industri multinasional. Yang pemiliknya kebanyakan duduk di lingkaran dekat Istana sendiri.”

Dr. Tomm Chuawiwat tersenyum dan menghabiskan tegukan kopi terakhirnya. Ketika pertama kali datang ke negeri ini dengan penugasan resmi dari WWF. Organisasinya telah mengeluarkan ongkos keamanan langsung sebesar duaratus ribu dollar untuk biaya keamanan yang harus di tanggung oleh Pemerintah Indonesia. Termasuk bagian terpenting dari jumlah itu dinikmati oleh para Jendral Rimbasti yang memerlukan investasi untuk mempertahankan eksistensi kekuasaan Istana. Karena itu Pemerintah Indonesia tidak tanggung-tanggung dalam melindungi setiap kegiatan Dr. Tomm Chuawiwat ini. Kalau sesuatu terjadi sampai akhirnya Dr. Tomm Chuawiwat ini terbunuh misalnya. WWF sebagai anak organisasi underbow PBB akan menuntut ganti ongkos keamanan duaratus ribu dollarnya dan beberapa nama penting akan jatuh karena skandal biaya keamanan ini. Ongkos keamanan ini sekaligus merupakan perskot dari investasi rehabilitasi hutan Indonesia sebesar duapuluh milyard dollar yang telah di janjikan tujuh Menteri keuangan negara Adidaya atas Indonesia melalui WWF.

                “Perkembangan apa yang anda dapat dari pengamatan komunitas burung-burung Beo Sumatera dan Siamang, Dokter Tomm ?”

                “Saya berpendapat, wilayah hutan yang semakin sempit dan banyaknya lahan-lahan gersang telah membuat ekosistem burung-burung Beo Sumatera ini dalam kondisi bahaya. Siamang juga… perkebunan sawit bukanlah habitat mereka sehingga populasinya makin sulit untuk berkembang. Kita perlu memperluas kawasan hutan lindung yang hampir setengah dari luas sesungguhnya kawasan itu sekarang sudah berubah menjadi perkebunan sawit.”  Dr. Tomm Chuawiwat menyatakan penemuannya.

                “Beo Sumatera dan Siamang… memang akhir-akhir ini sangat sulit kita dapati lagi di dalam hutan-hutan Sumatera. Khususnya antara Mertung, Kampungbaru, dan Sengerti ini. Daerah di tiga kota penangkaran Beo Sumatera yang dulunya di kenal surganya satwa-satwa di lindungi ini.”  Inspektur Hupadhiyonno menyetujui pandangan Dr. Tomm Chuawiwat ini.

                “Jadi menurut pendapat saya. Ini pribadi sifatnya dan tidak terkait langsung dengan politik Ekonomi suatu negara pada umumnya. Alangkah baiknya kalau… kawasan Mertung dan Sengerti ini di kosongkan dari segala aktivitas perkebunan dan perladangan liar. Termasuk di antaranya adalah kebiasaan berladang suku-suku terasing yang berpindah-pindah. Yang turut menyumbang hancurnya ekosistim penangkaran Beo Sumatera dan Siamang ini.”

Inspektur Hupadhiyonno mengerutkan bibirnya. Membayangkan reaksi dari Investor-Investor pemilik perkebunan sawit yang telah menyumbang hampir setengah Anggaran pembangunan kota-kota Sumatera disamping investasi gas alam dan minyak bumi. Yang sebagian Investor-Investor lokal itu juga duduk dalam panggung politik nasional. Mulai dari jabatan politik yang bergengsi di kursi Parlemen fraksi Sabit Merah yang sepenuhnya mendukung arah kebijakan politik Pemerintah. Maupun di kursi-kursi basah posisi Wakil Menteri dan Wantipres. “Kalau harus menggusur sedemikian banyak pengusaha perkebunan yang rata-rata kalangan konglomerat di daerah Utara Jambi ini jelas tidak mungkin. Mereka adalah komunitas masyarakat kelas satu yang mempunyai akses masuk ke Lingkaran kekuasaan Istana.”

                “Ini pandangan saya pribadi. Jelas dalam logika ekonomi saya juga menyadari bahwa usulan itu tidak mungkin. Tapi tentu… kita harus mendapatkan solusi dari rencana penggunaan investasi duapuluh milyard dollar yang akan di cairkan WWF untuk rehabilitasi hutan-hutan Indonesia. Tentu… kami tidak mungkin menggelontorkan bantuan rehabilitasi atas hutan-hutan yang sudah tidak ada lagi karena alasan-alasan ekonomi.”

                “Yang anda katakan ini benar… Dokter Tomm. Kita tidak mungkin memperbaharui hutan-hutan yang sudah tidak ada lagi. Kerena setengah dari hutan-hutan yang seharusnya menjadi paru-paru dunia ini sudah disulap menjadi ladang-ladang sawit. Seandainya anda yang diberi wewenang untuk merehabilitasi hutan-hutan ini, apa yang akan anda lakukan ?”  Inspektur Hupadhiyonno bertanya kepada Dr. Tomm Chuawiwat.

                “Tentu… yang pertama-tama saya lakukan adalah merelokasi hutan-hutan sawit yang sudah terlalu banyak menghabiskan hamparan Kamper dan Meranti di daerah Mertung dan Sengerti ini. Mereka bisa pindah kemana saja. Kalimantan, Pappua… asalkan tidak di pulau Sumatera ini lagi. Kemudian merelokasi perkampungan-perkampungan adat yang secara tidak langsung ikut menyumbang rusaknya ekosistem hutan Sumatera sebagai paru-paru dunia. Mereka harus dibina dengan sedikit paksaan agar bersosialisasi sebagai warga masyarakat biasa. Hutan harus bersih dari aktivitas manusia. Apapun itu bentuknya. Dengan duapuluh milyard dollar kita akan bisa bahu-membahu dan bekerja sama untuk menjadikan hutan-hutan Sumatera sebagaimana fungsi yang semestinya. Mungkin kita juga perlu membongkar beberapa jalan lintas yang terlalu masuk jauh ke tengah hutan. Jalan-jalan lintas itu harus di tata ulang agar tidak ikut menjadi penyebab rusaknya hutan lindung di belahan bumi Sumatera ini.”

                “Benar.”  Inspektur Hupadhiyonno mendukung pendapat Dr. Tomm Chuawiwat. “Jadi…”

                “Jadi… sebelum bantuan duapuluh milyard dollar untuk rehabilitasi hutan Sumatera ini di tanda-tangani untuk pencairan. Harus ada kesepakatan-kesepakatan otentik yang dicapai. Menyangkut kondisi warga masyarakat prasejarah disini, dan terkikisnya luas hutan lindung karena ekspansi perkebunan sawit yang tidak terkendali. Ini akan menjadi point penting yang termaktub dalam butir-butir kesepakatan nanti.”

                “Dan apa yang bisa anda paksakan untuk mewujudkan butir-butir kesepakatan itu.?”  Tanya Inspektur Hupadhiyonno lagi.

                “Setidaknya syarat-syarat itu yang menentukan cair tidaknya duapuluh milyard dollar yang telah di janjikan. Kalau atas sebab-sebab ekonomi dan kekuasaan Pemerintah Indonesia menolak, mungkin anggota-anggota kementerian keuangan tujuh negara adidaya perlu bersidang kembali. Mungkin mereka akan mempertimbangkan kembali opsi delegasi keuangan Uni Soviet yang mengedepankan kepentingan Internasional untuk menyelamatkan paru-paru dunia.”

                “Apa itu, dokter Tomm Chuawiwat ?”

                “Anda tidak melihat teve… sudah sering Sekretaris Jendral Soviet yang sangat berkuasa itu mengkampanyekan program penyelamatan suhu ekstrim dunia dengan mengambil alih rehabilitasi paru-paru dunia menjadi program Internasional yang bernaung  dibawah operasional PBB. Kalau… dan saya secara pribadi berdo’a semoga itu tidak terjadi. Misalnya pemerintah Indonesia menolak untuk bekerja sama. Maka tidak ada jalan lain. Dunia Internasional yang diwakili oleh Markas Besar Unproforce atau United Nation Protection Force itu akan mengambil alih paksa Pulau Sumatera itu. Menancapkan bendera PBB dengan pertumpahan darah dan merehabilitasi penuh kawasan hutan itu menjadi Paru-paru dunia yang permanent.”

                “Astaga… Menyerang Indonesia untuk sekedar program lingkungan hidup ?”  Inspektur Hupadhiyonno terkesima.

                “Terkadang demi alasan-alasan perubahan iklim yang ekstrim kita tidak diberikan banyak pilihan. Alam hanya akan memberi kita pilihan merehabilitasi paksa sumber-sumber kehidupan kita sendiri atau membiarkan dunia kita menjadi kering dan terbakar yang akhirnya seluruh umat manusia dimuka bumi ini musnah dengan sendirinya karena iklim kekeringan yang parah.”

                “Sungguh mengerikan, dokter Tomm.”

                “Memang seperti itulah fakta yang dihadapi. Alam tidak mengenal negosiasi seperti kita. Mereka hanya memberi kita dua pilihan yang keduanya sama-sama tidak enak bagi semua orang.”

                “Dan terutama bagi Indonesia.”  Inspektur Hupadhiyonno dengan mencemooh.

Dr. Tomm Chuawiwat mengangguk sambil tepekur. Adalah hal yang wajar sesungguhnya kalau pada akhirnya keterbatasan-keterbatasan alam membuat masyarakat dunia menjadi begitu cemas. Jepang pernah menyerbu kepulauan Malaya termasuk di dalamnya Indonesia karena karena keterpaksaan logistik untuk membiayai perangnya dengan Eropa. Jerman menghancurkan Shaikh Iran dan Kekaisaran Turki untuk bisa tetap memberi makan pasukannya yang berperang melawan Inggris dan Perancis. Dan sekarang, apa yang bisa menghalangi masyarakat dunia Internasional yang sedang panik kalau satu-satunya jalan menyelamatkan paru-paru dunia adalah merebut Sumatera dari wilayah teritorial sah Indonesia. Mengambil alih Sumatera untuk di kelola sepenuhnya oleh sekelompok ilmuan ahli yang bernaung dibawah dan dilindungi sepenuhnya oleh satuan bersenjata Unproforce. United Nation Protection Force yang beranggota duaratus negera di dunia. Dibawah Jendral Angkatan Darat Amerika Serikat Unproforce memiliki hampir dua juta tentara di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri satu divisi khusus Markas Besar komando rahasia Saber-Bosma yang di Pangkalan militer rahasia Sediyatmo itu adalah anggota Unproforce.

 

                “Baiklah Dokter Tomm. Kita berdo’a saja semoga rejim kekuasaan Tuanku Baginda President Albertinus Senno Suhastommo tidak harus menghadapi mimpi buruk serangan Unproforce. Menghadapi perebutan pengaruh di Angkatan Darat sendiri saja mereka sudah repot. Apalagi harus menghadang gelombang pertempuran dengan masyarakat Internasional. Kami tidak bisa membayangkan nasib Republik ini seandainya di jadikan skandal Irak kedua.”  Kata Inspektur Hupadhiyonno memikirkan masa depannya, nasib isteri dan anak-anaknya kalau benar negara ini akhirnya menjadi medan perang. Unproforce sudah membuktikan ketangguhannya saat menghantam Serbia akhir abad sembilanbelasan. Menghajar Irak karena mengacaukan ekonomi dunia dengan embargo minyaknya. Menyerang Ugandha karena pimpinan Diktator itu membunuh hampir setengah bangsanya karena perbedaan Ras dan keyakinan. Dan yang terakhir menghancurkan Libya karena selalu melindungi pelaku-pelaku teror bom terhadap warga sipil tidak bersenjata di seluruh dunia.

                “Well… kita semua tidak mengharapkan malapetaka dan pemusnahan total umat manusia dengan jalan perang seperti itu. Tetapi semua bergantung dari kerjasama Pemerintah Indonesia sendiri dalam menanggapi kebutuhan dunia.”  Dr. Tomm Chuawiwat membandingkan.

Inspektur Hupadhiyonno tertawa. Yang di ucapkan Dr. Tomm Chuawiwat ini memang tidak salah. Dunia sudah menawarkan duapuluh milyard dollar kepada Indonesia untuk melakukan rehabilitasi sendiri hutan-hutan Sumatera agar berfungsi kembali sebagaimana mestinya menjadi paru-paru dunia. Tentunya dengan kerjasama dan supervisi yang baik dari ilmuwan-ilmuwan ahli  dunia Internasional yang akan berdatangan  setelah sukses misi Dr. Tomm Chuawiwat ini. Duapuluh milyard itu hampir sekitar duaratus trillyun. Setengah dari gaji lima juta pegawai negeri sipil dan satu juta orang yang bekerja pada Angkatan Bersenjata. Jumlah uang yang tidak sedikit dan diberikan secara cuma-cuma untuk Pemerintah Indonesia. Kalau tawaran yang sebegitu menggiurkan masih juga di tolak. Artinya memang jalan kekerasan adalah satu-satunya opsi yang harus di hadapi Indonesia untuk nasib pulau Sumatera. Celakanya, untuk menghadapi kekuatan Unproforce bahkan Malaysia dan Thailand sekalipun yang menjadi sekutu terkuat Indonesia dalam Asean tidak mau campur tangan. Indonesia akan benar-benar sendirian menghadapi hari-hari terakhir kebinasaannya. Kecuali ada revolusi yang mengubah politik perlawanan itu.

                “Makasih… Dokter Tomm. Kami tidak akan lama-lama menahan anda lagi. Saya kira masih banyak pekerjaan yang harus anda lakukan setelah ini.”  Inspektur Hupadhiyonno akhirnya menyatakan.

Dr. Tomm Chuawiwat mengangguk menyetujui ucapan tuan rumahnya itu. Malam memang belum terlalu larut. Meskipun dia merasakan tubuh ini capek sekali. Dr. Tomm Chuawiwat sudah tidak sabar ingin melihat hasil rekaman minggu kedua dari aktivitas burung-burung langka itu. Walaupun mungkin kegiatan itu harus dia tonton sambil mandi dan mempersiapkan makan malamnya yang telah di kirim oleh seorang anggota Polhut asrama Kantor dinas Kehutanan Mertung ini sebagai jatah pribadi. Asrama Kantor dinas Kehutanan Mertung punya langganan kedai kuliner yang setiap hari tiga kali mengirimkan nasi kotak ke asrama ini.

                “Memang saya harus segera mengerjakan tugas-tugas saya yang sudah sangat menumpuk ini. Dan sekarang saya harus kembali ke flat saya di belakang. Makasih atas kopinya…”

                “Sama-sama Dokter Tomm. Anda teman baik kami. Sudah pantas mendapat penghargaan.”

 

Rabu siang, hari berikutnya. Saat Dr. Tomm Chuawiwat masih menekuni pekerjaannya melihat rekaman-rekaman keping DVD dalam layar komputer-nya. Sesdit Intelpam Polda Jambi, Ajun Kombes polisi Muhammad Sofhia Supriatna terpaku sendirian di dalam ruang kerja kantornya yang tertutup. Satu ruangan lagi di depan kantor itu tembus ke lorong panjang yang menghubungkan ke kantor-kantor pimpinan direktorat Polda yang lain di lantai tiga itu, adalah ruangan khusus sekretarisnya. Tidak ada tamu atau perwira polisi lain yang masuk ke ruang kerjanya tanpa melalui sekretarisnya itu. Ajun Kombes polisi Muhammad Sofhia Supriatna sedang tercenung menatap layar personal computer Laptop pribadinya itu. Yang terus berulang-ulang merekam kejadian tragis pembantaian warga pedalaman di hutan-hutan belantara Sengerti. Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna tidak tahu rekaman itu harus diapakan. Mungkin akan di simpan sementara waktu untuk koleksi pribadinya sendiri. Tapi apakah naluri polisinya akan membiarkan saja kejahatan orang-orang Rimbasti yang seperti kesetanan itu berlalu tanpa hukuman… Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna tidak tahu.

 

Dia sudah memberitahu dan Inspektur Hadhiyonno Marsuidh saat meminta kembali kamera pemancarnya dalam kamulfase perlengkapan earphone itu. Untuk tutup mulut dan melupakan semua yang telah dia lihat maupun dengar tentang operasi ini. Seperti juga yang telah berulang-ulang Letnan Rimbasti Bayyu Siswanto ucapkan dalam apel kesamaptaan terakhir sebelum gugus tugas bantuan ini dibubarkan. Tapi justeru Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna sendiri saat ini sulit menerima kenyataan, sebagai seorang polisi yang wajib melayani dan melindungi masyarakat melihat tragedi kemanusiaan yang sedahsyat itu di Sengerti. Pribadi Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna berontak. Bathinnya tidak kuat disuruh diam dan tutup mulut setelah apa yang dia lihat dan dengarkan itu. Tidak hanya seorang Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna pribadi. Tujuh dari anggota Sabharra polisi yang terlibat dalam aksi pembantaian di perkampungan adat Pematanglima itu tiba-tiba dilaporkan gila dan harus diikat seluruh tubuhnya tanpa sebab yang jelas. Mendekam dalam ruang isolasi bagian perawatan sakit jiwa Rumah Sakit Polda Jambi. Selalu dalam pengawasa ketat dokter-dokter ahli psikologi dan mendapat suntikan-suntikan antacid untuk mengurangi kelebihan beban mental.

 

Adalah sang Kepala sendiri. Inspektur Jendral polisi Fransiscus Alberth Anantha Yuniastonno yang kemudian mengundang Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna ke kantornya. Perfeksionis yang sudah berumur ini telah meminta salah satu ajudan pribadinya menelephone dan menjadwalkan pertemuan yang resmi dengan Sesdit Intelpam Polda Jambi. Ajudan itu lantas mengkonfirmasi ke sekretaris Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna. Memastikan bahwa Sesdit Intelpam Polda itu akan bertemu dengan Kepala Polda-nya siang ini. Telephone di meja kerja Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna berdering. Telephone internal itu datang dari sekretarisnya sendiri. Dan Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna berbicara dengan nada berwibawa.

                “Iyyaa… Widh.”

                “Waktunya bertemu dengan pak Kepala, Komisaris. Apa saya perlu konfirmasi untuk menundanya ?”  suara di seberang menanyakan kesiapan majikannya.

                “Tidak. Aku kesana sekarang, pasti sudah di tunggu ini. Makasih, Widh.”

                “Sama-sama… Komisaris.”

Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna mematikan personal computer Laptop. Menutupnya dan memasukkan dalam Work’s table cabinet dengan aman dan menguncinya. Di dalam meja kerja, tepatnya dibawah meja dalam ruangan kaca terdapat komputer duduk yang biasa menjadi fasilitas kerjanya. Tapi untuk mengerjakan hal-hal yang bersifat pribadi, dan mendukung mobilitas kerjanya di lapangan Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna menggunakan Laptop pribadi. Aneh, ada suasana lain hari ini. Apalagi banyak petugas polisi yang nampak cemas melihat beberapa teman mereka mengalami kejadian-kejadian aneh. Tujuh brigadier polisi telah masuk rehabilitasi mental hanya sehari setelah ekspedisi rahasia yang mereka lakukan di pedalaman hutan-hutan belantara Pematanglima. Mereka tidak berani bertanya-tanya, apalagi membicarakan secara terbuka apa yang sesungguhnya terjadi dalam ekspedisi Pematanglima itu. Walaupun hampir sebagian besar polisi di Markas Polda Jambi ini tahu apa yang sesungguhnya telah terjadi. Mereka baru saja melakukan pembantaian biadab yang bahkan dalam pribadi mereka sendiri tidak berani membayangkan.

 

Operasi penggusuran biasa yang konon di rekomendasikan langsung oleh wakil Menhan Oktaprius Surya Prayoga. Dan di restui oleh Menhan Dr. Muzhar Mochtar telah berubah menjadi Pembantaian massal warga masyarakat tidak berdosa. Tindakan itu telah bertentangan dengan logika seorang polisi yang seharusnya bertugas melayani dan melindungi masyarakat. Entah setan apa yang sedang merasuki mereka saat itu. Tidak saja membiarkan orang-orang Rimbasti dengan tokoh utamanya Mr. Ivan Jurric yang menjadi jelmaan manusia Iblis jahanam. Melakukan perbuatan-perbuatan yang sangat terkutuk. Bahkan sebagian mereka dengan senjata-senjata terkokang telah ikut menembaki kumpulan wanita-wanita dan anak-anak yang panik berlarian menyelamatkan diri hingga terjerambab di kubangan lumpur bersimbah darah. Hari ini tidak seorangpun melihat Kendali Operasi atau KO Kombes polisi Hendhra Kustonno. Mungkin dia sedang cuti karena merasa bersalah membohongi semua orang di Markas ini. Atau lebih buruk lagi, tengah berfoya-foya menghabiskan uang hasil sogokan pejabat Axios Ltd. Mexico itu dengan sekumpulan wanita bar dan berjudi di suatu tempat entah dimana.

 

Akhirnya Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna menghampiri meja receptionist di lantai empat di ujung lorong utama yang mengarah langsung ke ruangan Kepala Polda Jambi Inspektur Jendral polisi Fransiscus Alberth Anantha Yuniastonno. Ruangan-ruangan di belakang meja balkon receptionist itu terdiri dari ruangan Waka Polda Jambi Brigjen polisi Sukandhri Yitno Sudharmo, Asrena Kepala Kombes polisi Madjid Jaellani Tawill, empat ruang kerja staf ahli Kepala Polda yang saling berhadapan, dan ruangan kerja Kepala Polda Inspektur Jendral polisi Alberth Anantha Yuniastonno yang seukuran lebar bangunan lantai empat Markas Polda itu. Seperti juga ruangan pribadi Sesdit Intelpam Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna yang disekat untuk memberi tempat pada sekretaris pribadinya. Bahkan ruangan kerja Kepala Polda yang luas. Di lengkapi teras balkon di luar, meja soffa untuk minum teh, minibar, toillet dan ruang istirahat yang hanya cukup untuk sebuah veltbed ini memiliki sekat ruangan di depan untuk dua sekretarisnya, dan dua ajudan pribadi. Melewati ruangan-ruangan untuk Waka Polda, Asrena Kepala, para staf ahli untuk kebijakan-kebijakan resmi Polda, akhirnya Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna melapor kepada salah satu sekretaris.

 

Di antarkan langsung ke hadapan Kepala Polda, Inspektur Jendral polisi Fransiscus Albert Anantha Yuniastonno sebagai seorang tamu yang di undang. Irjen polisi Albert Anantha yang selalu terbuka dan ramah terhadap anak buahnya itu langsung menyambutnya dan mempersilahkan Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna duduk.

                “Soofh… kau tahu selama ini aku sudah banyak membantumu sejak kita masih sama-sama masih satu team di PRC. Aku yang sejujurnya menjadikan kamu sukses seperti sekarang ini. Kau setuju ?”  Inspektur Jendral polisi Albert Anantha bertanya dengan lesu.

                “Yya Pak. Sejujurnya, anda sudah mengambil inisiatif membina saya secara pribadi sejak saya menjadi lulusan terbaik Akpol lima tahun yang lalu. Dan untuk itu, saya harus mengucapkan banyak Makasih.”

                “Aku senang kau bisa mengikuti peningkatan karierku hingga seperti sekarang ini. Aku menempatkanmu di posisi Intelpam yang strategis menjadi wakil Kombes polisi Sudharsonno supaya banyak membantuku dalam menjaga stabilitas keamanan di wilayah Polda Jambi ini. Bisa cepat-cepat mengabari aku bila terjadi hal-hal yang bisa mengganggu dalam jangka panjang keamanan di wilayahku ini.”

                “Tentu, Jendral… kami semua bekerja dengan sungguh-sungguh di lingkungan Polda Jambi ini untuk memastikan keamanan dan kenyamanan daerah ini tidak sampai membuat anda risau.”  Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna menjawab dengan mantap keragu-raguan atasannya dengan masih menyimpan segudang rasa penasaran.

                “Kalau begitu, Soofh… coba jelaskan kepadaku. Setan apa yang sedang mengusik kantorku ini sampai tujuh anggota polisiku tiba-tiba kesurupan tanpa sebab dan masih menggila sampai sekarang. Lalu tiba-tiba aku menerima kabar kalau KO-ku Kombes polisi Hendhra Kustonno barusan tewas melompat dari lantai limabelas Da Vinci Apartement-Jakarta. Ayah dari tiga anak yang rumah tangganya di laporkan baik-baik saja itu sedang mengunjungi seorang artis penyanyi yang baru di kenalnya di sebuah diskotik di Jakarta. Coba jelaskan kepadaku Soofh… ada apa ini sesungguhnya ?”

                “Kombes polisi Hendhra bunuh diri ?”  Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna mengulang dengan tidak percaya.

                “Belum jelas kejadiannya. Tapi artis wanita yang menjadi teman tidurnya semalam itu menceritakan, Hendhra tiba-tiba ketakutan seperti sedang di kejar setan. Saat terbangun dengan tiba-tiba siang ini. Lalu berlari-lari kesetanan hingga akhirnya melompat dari kamar  lantai limabelas Da Vinci Apartement itu.”

                “Saya malah tidak tahu Jendral… Mungkin ada hubungannya dengan operasi Pematanglima.”

                “Pematanglima… Dimana itu ?”  jelas bahwa operasi yang katanya resmi itu sama sekali tidak di ketahui oleh Kepala Polda sendiri karena tanggapannya yang begitu sungguh-sungguh untuk ingin tahu.

Kalau Kepala Polda Inspektur Jendral polisi Albert Anantha ini sampai tidak tahu dimana itu Pematanglima, pasti dia juga tidak mengetahui adanya operasi pembersihan yang bekerjasama dengan Satuan Komando khusus Rimbasti dari Lhoknga itu. Lalu darimana Kombes polisi Hendhra Kustonno mendapatkan perintah operasi untuk menggerakkan pasukan Sabharra polisi Polda Jambi. Karena tidak mungkin suatu perintah operasi bahkan yang di klarifikasikan sebagai rahasia sekalipun akan bisa dijalankan tanpa mendapat persetujuan pribadi dari Kepala Polda. Sebagai pemegang otoritas sipil daerah Ibukota Jambi ini. Kalau suatu operasi tanpa ada surat pengesahan secara politis dari Kepala Polda siapapun pasti tidak akan mau menjalankannya. Termasuk juga dirinya. Lalu darimana Kombes polisi Hendhra Kustonno mendapatkan surat pengesahan itu. Karena jelas sebelum dia mengirim dua anak buahnya untuk mengecek geografis hutan-hutan kawasan pedalaman Mertung dan Sengerti itu Kombes polisi Hendhra Kustonno sudah menunjukkan kelengkapan dokumen perintah operasi.

 

Apa seorang Kombes polisi Hendhra Kustonno sampai sebegitu nekadnya memalsukan tanda tangan Kepala demi untuk kelancaran operasi gila ini… pikir Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna. Apa dia juga telah menipu banyak petinggi Polda yang lain seperti Kadenma Polda Kompol Hasyiem Hussein Basuni, dan Kadit Samapta Polda  Kombes polisi Alfhian Saronto Nainggolan. Sekarang, dengan kematian Kombes polisi Hendhra Kustonno jelas untuk menelusuri dari mana sesungguhnya operasi resmi yang melegalkan pembantaian warga sipil tidak berdosa di Pematanglima menjadi mistery tidak terpecahkan. Barangkali secara Institusi otoritas Polda Jambi bisa melayangkan surat permintaan pengusutan kepada Puspom Daerah Militer Sumatera I Bukit Barisan. Untuk mengklarifikasi SOP penyerangan warga sipil di Pematanglima Jambi oleh unit pelaksana pasukan Rimbasti. Kalau dokumen persetujuan Kepala Polda Jambi saja telah di palsukan dengan sangat baik oleh Kombes polisi Hendhra Kustonno almarhum. Kemungkinan dokumen penugasan dari Rimbasti yang di lampiri surat persetujuan resmi dari Wakil Menhan Oktaprius Surya Prayoga.

 

Dan bahkan di restui oleh Menhan Dr. Muzhar Mochtar itu juga ada kemungkinan palsu. Tapi apakah mereka di sini cukup bernyali untuk melaporkan Rimbasti yang notaben-nya di kenal brutal dalam bertindak dan mewakili kekuasaan langsung dari Tuanku Baginda President Albertinus Senno Suhastommo. Dukungan kekuasaan yang tidak terbatas dari lingkaran kekuasaan Istana inilah yang sangat di takuti para pengambil kebijakan sipil di daerah untuk mengusik kepentingan-kepentingan yang menyangkut Rimbasti. Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna memandang sang Kepala di hadapannya ini dengan keragu-raguan yang mendalam. Sekali lagi meyakinkan pada dirinya sendiri bahwa yang dia lakukan beberapa hari terakhir ini bukanlah sebuah keteledoran. Semua persyaratan administratif sudah dia periksa untuk melakukan tugas pemantauan lapangan pra operasi Pematanglima. Seperti yang telah di perintahkan oleh Kombes polisi Hendhra Kustonno almarhum. Tapi sekarang sang Kepala sendiri yang mendesak Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna untuk menjelaskan sesuatu yang seharusnya telah dia setujui untuk dijalankan institusinya.

                “Sungguh-sungguh… Jendral tidak tahu mengenai operasi Pematanglima ?”

                “Kalau aku tahu tidak perlu harus repot-repot bertanya kepadamu, Soofh.”  Inspektur Jendral polisi Albert Anantha menuntut dengan suara keras.

Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna terhenyak dan menimbang pernyataan itu dengan sangat hati-hati. Bagaimanapun Inspektur Jendral polisi Albert Anantha adalah atasannya langsung dan orang nomor satu di institusi Polda Jambi ini. Akan sangat buruk resiko yang harus di tanggung oleh seseorang yang membuat tidak senang perasaan sang Jendral.

                “Sebenarnya… Jendral, saya memiliki copies dokumen persetujuan yang diam-diam saya perbanyak untuk koleksi saya pribadi dari Kombes polisi Hendhra Kustonno. Salah satu dari dokumen resmi perintah operasi itu adalah lampiran persetujuan operasi dari anda sendiri. Dengan cap resmi kepolisian Daerah Jambi dan nomor registrasi resmi dalam arsip lembaran rahasia negara. Sesuai prosedurnya saya mengecek nomor registrasi resmi itu melalui website dokumen negara, dan benar. Nomor registrasi itu di keluarkan petugas dokumen negara atas permintaan resmi dari kantor pribadi anda ini.”  Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna mencoba membela dirinya sendiri.

                “Aku bahkan tidak menanda tangani dokumen apapun dalam seminggu ini. Kalau ada persekongkolan yang bermaksud menggunakan namaku untuk melakukan kejahatan, maka akan ada suatu penyelidikan resmi dan seseorang harus masuk penjara karena skandal ini.”  Tukas Inspektur Jendral polisi Albert Anantha. “Sekarang kembali ke kantormu. Ambil semua bukti dokumen yang kau miliki tentang operasi Pematanglima ini, dan bawa kemari. Aku ingin kita semua disini membahasnya sampai semua persoalan menjadi jelas dan di selesaikan.”

Inspektur Jendral polisi Albert Anantha telah meledakkan seluruh amarahnya, yang beberapa saat telah berusaha di tahannya saat mengetahui seseorang telah mempergunakan namanya untuk perbuatan tidak baik. Dan kemungkinan bahwa itu justeru di lakukan oleh bawahannya sendiri. Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna telah permisi mengundurkan diri dan melangkah balik menuju ke kantornya di lantai tiga. Tenggelam dalam permenungan yang tanpa ujung selama perjalanannya yang panjang itu. Sementara sang Kepala sedang mengumpulkan semua petinggi Polda di kantornya. Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna tahu keadaan saat ini menjadi sangat gentingnya mengingat yang merasa di bohongi kali ini adalah sang Kepala sendiri. Sebagai salah satu petinggi di lingkungan teras Polda Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna tidak akan bisa mempertahankan posisinya selama ini di dalam lorong-lorong institusi Polda yang rumit seperti labirin. Kalau ia tidak memiliki indera keenam untuk mendeteksi adanya bahaya. Tindakannya untuk mengcopies dokumen-dokumen rahasia sebenarnya cukup beresiko.

 

Karena harusnya dokumen-dokumen itu sudah harus di hancurkan mengingat pentingnya sebuah operasi yang di kategorikan rahasia itu. Tapi dokumen-dokumen itu justeru menjadi sangat penting untuk membuktikan dirinya sendiri tidak bersalah. Apalagi bukti visual pembantaian warga perkampungan adat Pematanglima yang semestinya itu sangat dilarang untuk di abadikan. Sekarang rekaman itu menjadi pembenaran yang kuat bahwa sesungguhnya peran polisi disini adalah aktor penguatan saja dari sebuah operasi yang sebagian besar di dominasi oleh kebrutalan pasukan Rimbasty. Ada Inspektorat Polda Kombes polisi Hendhi Budhianto yang saat Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna kembali ke ruangan kerja pribadi Kepala Polda telah hadir. Ada Waka Polda Jambi Brigjen polisi Sukandhri Yitno Sudharmo, dan Asrena Kepala Kombes polisi Madjid Jaellani Tawill. Ada Kadit Intelpam Kombes polisi Hetty Vittorinny yang menjadi atasan Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna. Kadit Serse Kombes polisi Yadhi Nuryanto, Kadit Samapta Polda Kombes polisi Alfhian Saronto Nainggolan, Kadit Lantas Kombes polisi Wahyudhi Setyonno.

 

Kadit Personel Kombes polisi Widiningsih, Kadis Kum Kombes polisi Setyonarko, Kaden Provoost Ajun Kombes polisi Sudhionno, Ka Satbrimob Polda Ajun Kombes polisi Hidhayat Prajotho, dan Kadenma Polda Kompol Hasyiem Hussein Basuni. Setelah kedatangan Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna semua yang hadir saat itu mengikuti Inspektur Jendral polisi Albert Anantha menuju ke ruangan brieffing. Yang sebenarnya berada di sisi lain lorong bangunan lantai empat ini. Yaitu di ujung koridor yang berhadapan dengan receptioninst Kepala. Terletak tepat di sisi tangga naik ke lantai empat. Beberapa anggota provoost Polda telah di siapkan di lorong itu untuk memastikan bahwa rapat mereka hari ini aman. Anggota-anggota provoost itu datang bersama dengan atasannya Ajun Kombes polisi Sudhionno. Sementara rapat di siapkan, seorang asisten polisi mengcopies semua dokumen penting yang dibawa Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna ke ruangan itu. Adalah Kombes polisi Alfhian Saronto Nainggolan yang merasa sangat cemas dengan di kumpulkannya semua petinggi di lingkungan teras Polda ini.

 

Dia pantas merasa khawatir karena desas-desus yang beredar tentang skandal pemalsuan surat penugasan dari sang Kepala yang membuatnya sangat berang. Tentang tewasnya Kendali Operasi Polda Kombes polisi Hendhra Kustonno yang masih simpang siur. Dan sebuah misteri yang menyangkut perkampungan adat Pematanglima. Lebih khawatir lagi karena dia ikut terlibat dalam operasi rahasia itu. Kalau sebuah operasi resmi yang datangnya langsung dari atas, biasanya, setelah operasi berlangsung tidak akan pernah di singgung-singgung lagi tentang operasi itu. Karena langsung di anggap tidak pernah ada. Membicarakannya saja bisa membawa diri mereka ke dalam kesulitan birokrasi yang rumit. Sekarang justeru operasi itu akan dibahas dalam sebuah rapat resmi karena di anggap ada ketidak beresan dalam pelaksanaannya. Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna membuka personal computer Laptop dan menghubungkannya ke alat proyektor yang menyorot ke arah papan kanvas besar di belakang Kepala Polda. Kepada semua orang yang tidak tahu-menahu tentang kegiatan operasi kampung adat Pematanglima, ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna akan menjelaskan kronologisnya.

 

Rekaman video pertama yang ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna dapatkan dengan menyembunyikan kamera pemancar mini yang mirip peralatan dinas rahasia itu di pengait pulpen tintanya. Adalah ketika rombongan petinggi lingkungan teras Polda Jambi menyambut kedatangan pasukan Rimbasti dan seorang tamu pemantau sipil bernama Mr. Ivan Jurric dari perusahaan tambang minyak dan gas alam Axios Ltd. Mexico di Sumatera. Rekaman video itu menjelaskan dengan gamblang rencana penggusuran kawasan hutan Mertung dan Sengerti yang akan di gunakan sebagai jalur eksplorasi tambang minyak Axios Ltd. Mexico di Muaratebo. Selain memperoleh persetujuan dari Komandan Jendral Rimbasti detasemen-B Lhoknga, Brigadier Jendral Achmmad Zainnul dan Panglima pasukan Rimbasti Jendral Bambang Wisesha. Operasi ini juga telah mendapat pengesahan politis dari  Wakil Menhan Oktaprius Surya Prayoga dan di restui oleh Menhan Dr. Muzhar Mochtar. Dalam rekaman gambar nampak Letnan Rimbasti Bayyu Siswanto menunjukkan dokumen pengesahan yang bersifat sangat rahasia itu meyakinkan para petinggi di lingkungan teras Polda Jambi yang hadir.

 

Semua yang hadir di ruangan brieffing Polda itu geleng-geleng kepala. Sebegitu resminya operasi yang kemungkinan telah memalsukan dokumen pengesahan banyak orang. Tidak seperti Kombes polisi Alfhian Saronto Nainggolan dan Kompol Hasyiem Hussein Basuni yang ikut hadir bersama Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna. Pejabat-pejabat lain yang merasa pernah mengikuti kegiatan-kegiatan kepolisian yang rahasia sifatnya merasa sebuah operasi tidak dilakukan semendadak itu dengan hanya melibatkan orang-orang tertentu yang berkepentingan saja. Paling tidak ketika sebuah operasi penting di luncurkan, sudah beberapa waktu gosipnya beredar di kalangan teras Polda. Bahkan pertemuan pendahuluan harus terlebih dulu di adakan yang melibatkan semua unsur Muspida kota Jambi. Operasi yang ini jelas tampak sangat berbeda. Bahkan seorang Kompol Hasyiem Hussein Basuni yang pasukannya terlibat langsung dalam operasi ini di beritahu untuk meninggalkan makan siangnya yang belum selesai, di perintahkan membawa seluruh pasukan dengan kelengkapan amunisi kesiapan tempur garis pertama ke Bandara Sultan Thaha tanpa di beritahu tujuan operasi yang akan mereka lakukan. Seluruh pimpinan pasukan dari Danton ke atas baru mengetahui operasi mereka saat brieffing di Hanggar Tarmak Denharsabang-Bandara ini.

 

Pertemuan pertama ini memang sangat formil, dan seperti kalau sebuah operasi rahasia yang melibatkan lintas instansi di jalankan. Letnan Rimbasti Bayyu Siswanto terlihat sangat dominan mengatur strategi yang meliputi point-point dari operasi yang harus di jalankan oleh masing-masing pasukan. Semua sepakat dengan penilaian itu. Pada saat para petinggi lingkungan teras Polda itu mendapatkan tatklimat-nya di dalam hanggar Tarmak itu. Sejumlah anggota Rimbasti dibawah pimpinan Peltu Rimbasti Setiyadhi Djoko Purnomo yang memimpin pasukan Pansher, dan Serma Rimbasti Sardhonno Santosa membaur ke tengah-tengah pasukan Sabharra polisi yang tengah di istirahatkan. Memeriksa masing-masing persenjataan yang dibawa. Apa sudah sesuai dengan instruksi yang di berikan atau belum. Mulai dengan Senapan serbu mereka dengan gagang yang terlipat. Jumlah amunisi peluru tajam dan granat-granat berbahan fosfor yang di minta. Apakah polisi-polisi itu membawa Handphone yang kemungkinan bisa merekam kegiatan itu di wilayah-wilayah yang tidak di ijinkan. Dan kalau di temukan diantara mereka membawa Handphone berkamera akan langsung di sita.

 

Hanya para komandan yang di tunjuk di ijinkan membawa radio komunikasi dengan frekwensi yang sudah di tentukan oleh para perwira Rimbasti. Satu-satunya pemantau sipil dalam operasi itu yang awalnya di perkenalkan sebagai petugas dari sebuah organisasi Ham dengan sertifikasi Internasional. Belakangan dia justeru di ketahui sebagai kepala Security Internal dari Axios Ltd. Mexico di Lhoknga. Dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan persoalan kemanusiaan Internasional. Seperti yang sejak awal di janjikan oleh Letnan Rimbasti Bayyu Siswanto. Mobil-mobil telah di siapkan dalam suatu konvoi yang di arahkan oleh anggota-anggota Rimbasti. Meliputi sebuah kendaraan lapis baja Pansher Strykers yang di perlengkapi dengan senapan mesin berat. Mobil-mobil bak terbuka Toyota Hillux Minnor Change spec-200 yang dibekali senjata mesin koaksikal Minimi 7.62mm. Ada Waka Polda Jambi Brigjen polisi Sukandhri Yitno Sudharmo yang nampak sedang tercenung. Seseorang memang bisa tertipu dengan semua kebohongan yang demikian sempurna di mainkan oleh orang-orang Rimbasti. Tapi bagaimanapun tersamarnya kebohongan itu Rimbasti jelas memiliki orang dalam yang membantunya untuk meyakinkan kalangan petinggi Polda untuk melaksanakan rencananya.

“Yang masih tidak aku mengerti. Siapa dari kalian yang berada di pertemuan ini yang pertama kali mengambil inisiatif untuk mengundang petinggi yang lain ?”  Waka Polda Brigadier Jendral polisi Sukandhri Yitno Sudharmo sejenak menyatakan rasa ingin tahunya. Dan pandangan itu nampaknya juga di dukung oleh Asrena Kepala Kombes polisi Madjid Jaellani Tawill.

                “Tentu saja Kombes Hendhra Kustonno. Dialah orang pertama yang datang ke ruang kerja saya dengan membawa setumpuk dokumen pengesahan yang mendukung di jalankannya operasi ini. Bahkan surat persetujuan pribadi yang di keluarkan secara resmi dari ruangan dinas Kepala Polda.”  Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna menjelaskan yang dia ketahui. Pengakuan itu di dukung oleh setumpuk arsip yang telah di perbanyak oleh staf sekretaris Kepala Polda dan dibagikan kepada para anggota rapat.

Kadit Intelpam Kombes polisi Hetty Vittorinny yang menjadi atasan Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna. Sedang minum seteguk air dari botol air mineral di depannya sekedar menghilangkan rasa dahaga. Sesaat dia sempat merasa sebagai orang yang paling dipermainkan karena Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna telah mempergunakan kewenangannya memerintahkan para inspektur untuk melakukan tugas-tugas Rimbasti tanpa sepengetahuan dia pribadi. Kadit Serse Kombes polisi Yadhi Nuryanto ikutan merasa tegang karena tidak ada batasan yang jelas antara tugas-tugas satuan Intelpam dengan wilayah kerja Direktorat Reskrim yang di pimpinnnya. Mungkin saja nanti Kepala Polda Inspektur Jendral polisi Albert Anantha menyalah artikan tugas-tugas yang di lakukan Ajun Kombes Polisi Sofhia Supriatna ini sebagai tanggung-jawabnya. Adalah wajar apabila sebuah operasi inteligent yang bersifat resmi digelar, selalu akan melibatkan dua organisasi bawah tanah yang bernaung dibawah institusi kepolisian ini. Ditreskrim dan Intelpam. Mereka sama-sama bertugas melakukan pemantauan lapangan saat pra operasi dan melaporkan balik apa yang telah mereka dapatkan di lokasi sasaran kepada pimpinan yang sama. Tetapi dalam kondisi normal mereka bekerja pada kasus-kasus yang berbeda.

 

Setelah keberangkatan kemudian shooting kamera proyektor berpindah pada situasi makan siang anggota setelah sebuah apel singkat Letnan Rimbasti Bayyu Siswanto memperkenalkan Mr. Ivan Jurrich tidak lagi sebagai pemantau resmi organisasi kemanusiaan Internasional sebagaimana awalnya secarik dokumen yang sah memperkenalkan dia sebagai itu. Setelah acara makan siang kembali di adakan apel yang di ikuti hanya anggota lapangan dari Inspektur polisi ke bawah. Perwira yang menangani tugas-tugas administratif tidak di perkenankan ikut. Petugas bagian lalu lintas juga. Inilah saat dimana Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna memberikan peralatan rekam kamera baru yang terintegrasi pada radio komunikasi earphone salah satu Inspektur polisinya. Pilihannya tepat, karena semua anggota operasional lapangan mengenakan radio komunikasi seperti itu. Dari rekaman kamera rahasianya itu Ajun Kombes polisi memperlihatkan bagaimana kini sosok Mr. Ivan Jurrich yang misterius telah berganti seragam dengan pakaian tempur lengkap. Dengan rompi amunisi dan baret merah dari sebuah institusi resmi yang menyatakan dia masih anggota aktif dari detasemen elite kementerian Pertahanan Bulgaria. Kepada para anggota lapangan Polda yang hadir dalam apel siaga di tengah hutan itu Mr. Ivan Jurrich yang sekarang mendapat kuasa memegang kendali operasi secara mutlak, mulai memaparkan tujuan operasi ini.

 

Dalam taklimatnya Mr. Ivan Jurrich dengan penuh percaya diri menjelaskan tentang keinginan para boss perusahaan eksplorasi minyak dan gas alam yang di dukung sepenuhnya oleh Institusi Rimbasti. Bahwa hari ini tugas mereka adalah membersihkan lahan belantara Meranti dan Kamper sejauh limaratus mill di hutan-hutan kawasan Sengerti, Mertung, dan Kampungbaru yang akan menjadi jalur distribusi penting eksplorasi minyak mentah Axios Ltd. Mexico di kota Jambi ini. Mereka secara resmi tidak mungkin melakukan negosiasi dan migrasi penduduk secara besar-besaran yang nantinya akan melalui kerumitan-kerumitan soal ganti rugi sertifikat tanah, hak kepemilikan hutan adat, serta kemungkinan pencarian lahan pengganti yang akan menimbulkan kerumitan yang baru lagi. Lebih baik perkampungan-perkampungan yang terikat dengan hak-hak perwalian hukum adat itu di singkirkan dengan pukulan telak, rahasia, dan membuat mereka pergi dengan sendirinya tanpa menimbulkan gejolak yang merepotkan di kalangan publik. Lagipula secara geopolitis tanah-tanah yang di minta itu masih berada dalam naungan direktorat kehutanan dan kawasan hutan lindung nasional. Belum di investasikan menjadi milik perorangan.

 

Apabila mengacu pada hukum pertanahan negara, orang-orang di perkampungan adat itu sama sekali tidak memiliki hak untuk tetap tinggal. Pemerintah pusat menyatakan tidak menghalangi tindakan terbaik yang diambil perusahaan tetapi tidak mau tahu atas tindakan yang diambil untuk mengosongkan lahan yang dimaksud. Begitu yang di utarakan Mr. Ivan Jurrich kepada semua yang menghadiri apel siaga hari itu. Selanjutnya orang-orang Rimbasti mulai bergegas naik ke kendaraan masing-masing. Mempersiapkan kondisi senjata mesin Minimi mereka dan artileri meriam Hispano Suezha kaliber 76.2 milimeter dalam kubah turret Pansher APC Strykers-nya. Anggota-anggota polisi yang menjadi satuan pendukung dalam operasi itu harus menempuh jalan kaki yang sangat jauh.

                “Apakah orang bernama Mr. Ivan Jurrich ini seseorang yang bisa dipertanggung jawabkan ?”  Inspektur Jendral Albert Anantha mencoba menggali informasi lebih dalam kepada Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna.

                “Kami tidak tahu pasti, Jendral. Yang jelas… awalnya kami fikir dia orang dari teretorial Rimbasti. Karena dia satu-satunya orang berpakaian sipil dalam rombongan itu. Kemudian baru kami tahu kalau dia sesungguhnya petugas dari Organisasi Kemanusiaan Internasional karena memiliki surat lisensi dan dokumen-dokumen imigrasi yang sah. Dan belakangan malah dia mengaku sebagai orang yang dibayar perusahaan untuk menangani tugas ini.”

                “Mungkin tentang jati diri orang asing ini kita bisa meminta keterangan lebih lanjut via kantor imigrasi Aceh.”  Pertanyaan itu dilontarkan oleh Asrena Kepala Kombes polisi Madjid Jaellani Tawill.

                “Aku akan meminta penjelasan kongkrit mengenai masalah ini. Jangan sampai kita kecolongan dalam menjalankan garis komando karena dipermainkan oleh orang-orang Rimbasti yang dikenal serakah dan sangan doyan suap ini. Mereka sudah mengobok-obok organisasiku. Kalau aku harus kehilangan pekerjaan demi meluruskan krisis ini, akan aku lakukan. Sekalipun itu nantinya akan berhadapan dengan keangkuhan orang-orang di lingkaran elite kekuasaan Istana. Persoalan yang melibatkan anggota-anggota kepolisian Polda Jambi tanpa sepengetahuanku ini akan aku kejar terus sampai ke ujung langit sekalipun. Aku tidak rela orang-orang yang berbakti ini. Yang bekerja dengan sungguh-sungguh hanya demi sesuap nasi bungkus ini akhirnya di fitnah dan di jadikan kambing-hitam kebejatan mereka semua.”  Inspektur Jendral polisi Albert Anantha bersikukuh. Dia sebegitu marahnya sampai tidak memandang orang-orang yang mungkin akan merasa tersinggung jauh di atas kekuasaannya. Tapi hal yang demikian sampai terjadi pada seseorang setinggi Inspektur Jendral polisi Albert Anantha cukup dapat di pahami. Meskipun hanya setingkatan Polda, Inspektur Jendral polisi Albert Anantha memiliki legalitas kekuasaan yang mutlak di wilayah kerjanya. Dan ada nilai-nilai integritas jenjang kewenangan yang seharusnya tidak berhak di langgar dengan semena-mena oleh pihak lain. Melangkahi jabatannya dengan begitu saja akan menimbulkan gejolak yang tidak baik menyangkut nilai-nilai kehormatan seorang Pimpinan Kepolisian Daerah dalam garis komando Institusional. Aturan-aturan baku operasional akan rusak dan garis komando menjadi tidak di percaya lagi untuk menggerakkan sebuah institusi yang resmi sekelas Kepolisian Negara.

 

Peserta rapat menjadi lebih tercengang ketika kemudian di perlihatkan bagaimana Rimbasti dengan selongsong-selongsong Meriam artileri Hispano Suezha kaliber 76.2mm dan granat tangan. Juga berondongan senjata mesin Minimi kaliber 7.62mm dan senjata-senjata otomatisnya membantai wanita dan anak-anak pedalaman yang tidak tahu apa-apa dengan urusan politik negara. Mereka sungguh tidak percaya adegan demi adegan yang terjadi. Bahwa anggota suatu detasemen elite dari Kementerian Pertahanan yang sangat terhormat bisa melakukan kejahatan-kejahatan kemanusiaan yang sehebat itu. Apalagi ketika Mr. Ivan Jurrich mengomando anggota-anggota Rimbasti untuk mulai melakukan aksi perkosaan massal. Bahkan seorang Kadit Intelpam sekelas Kombes polisi Hetty Vittorinni hampir-hampir tidak sanggup menahan murkanya. Aroma kemarahan itu terasa menghinggapi Inspektur Jendral polisi Albert Anantha yang paling tersinggung dengan tragedi drama kemanusiaan ini. Masih segar dalam ingatannya nasib tragis yang menimpa kepala polisi resort Sidoarjo Ajun Kombes polisi Dwi Bagus Satriyo. Padahal dia sama sekali tidak tahu tragedi yang menyebabkan seorang buruh pabrik bernama Marsinah tewas terbunuh dengan tindakan perkosaan yang biadab.

 

Yang diam-diam ternyata melibatkan institusi teretorial dari Danramil hingga wakil kepala staf Intel KomeRad Mayjen inf. Bhekti Hartonno. Institusi yang secara gamblang dilibatkan karena kedekatan Pengusaha tekstil kenamaan Mr. Yamadha Hirromushi dengan wakil staf Intel KomeRad Mayjen inf. Bhekti Hartonno itu ternyata tidak mau di persalahkan. Yang kemudian mengkambing hitamkan kepala kepolisian resort kota Sidoarjo waktu itu sehingga banyak perwiranya dimutasi keluar pulau dan sejumlah anggota Intelpam-nya diseret sebagai tersangka pelaku yang tidak pernah ada. Persoalan tidak berhenti sampai disitu saja. Mayjen inf. Bhekti Hartonno dengan sengaja mengatur agar pada akhirnya kepala polisi resort sendirilah yang terbukti mendalangi aksi pembunuhan itu. Karena IcB memberikan bukti penyadapan pembicaraan Ajun Kombes polisi Dwi Satriyo itu dengan suara yang mirip Mr. Yamadha Hirromushi sendiri. Dan telah di telusurinya keberadaan rekening pribadi kepala polisi Sidoarjo yang belum lama mendapat transferan dana segar sebesar limaratus juta rupiah. Yang mencengangkan adalah setelah vonis bersalah kasus pembunuhan itu Mr. Yamadha Hirromushi datang menghadiri pesta pernikahan puteri Mayjen inf. Bhekti Hartonno sendiri dan berfoto dengan congkaknya di depan Media Massa.

 

Inspektur Jendral polisi Albert Anantha tentu tidak mau dirinya nanti di korbankan seperti itu. Jadi kalau dia mulai mengajukan permintaan resmi untuk penyelidikan Internal kasus ini bukannya tanpa alasan kuat. Dia tidak mau di hukum duapuluh lima tahun penjara karena sebuah kejahatan kemanusiaan yang sama sekali tidak dia lakukan. Setelah semua peralatan proyektor dimatikan dan lampu-lampu kembali di nyalakan, Inspektur Jendral polisi Albert Anantha menatap Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna lama. Seakan sedang merenungkan banyak hal. Yang salah satunya adalah bagaimana memilih jalur yang tepat agar penyelidikan itu tidak justeru berbalik memberikan kesulitan-kesulitan bagi dirinya.

                “Kita sudah mendengar semuanya dari Ajun Kombes polisi Sofhia… semua fakta sudah terbentang dengan jelas di hadapan kita. Sekarang bisa kita mulai penyelidikan internal atas kasus ini. Sementara aku akan mengusahakan kewenangan tertinggi untuk mengusut motif keterlibatan Rimbasti dalam aksi kejahatan kemanusiaan yang biadab ini. Selamat siang.”

Semua yang hadir mengangguk dan bangkit meninggalkan ruang pertemuan yang di jaga ketat itu satu persatu. Berkas-berkas yang menyangkut kronologis aksi kejahatan sudah lengkap. Bahkan dengan dilengkapi fakta visual yang tidak terbantahkan. Inspektur Jendral polisi Albert Anantha tahu. Kalau orang-orang yang sedang berada di puncak kekuasaan tersandung kasus pelanggaran kemanusiaan berat ini dan jatuh. Maka akan banyak orang-orang lain yang menjadi pendukung kekuasaannya ikut jatuh. Kalau ada perubahan besar-besaran di atas maka akan ada tempat lowong sebagai kepala kepolisian Negara yang baru. Suatu jabatan yang menurut Inspektur Jendral polisi Albert Anantha akan sangat cocok baginya. Tapi untuk bisa mengkonsolidasikan semua langkah hukum itu, Jendral polisi Albert Anantha membutuhkan bukti, sangat banyak bukti yang mantap, tak terbantahkan. Bukti dokumenter bahwa tindakan bejat yang dilakukan oknum-oknum Rimbasti adalah kebijakan terintegrasi yang di perintahkan dari pusat. Tidak seorangpun bisa melupakan bahwa Jendral Julio Hernan Cresspo menggulingkan Presiden Mozambhiek Manuell Coppoolla De Leon pada tahun 1974 dengan tuduhan pembantaian etnis di perkampungan gunung Russoablu.

 

Tidak lama setelah penyelidikan internal di lingkungan Polda Jambi sendiri berjalan, Inspektur Jendral polisi Albert Anantha bertemu dengan waka Menhan Oktaprius Surya Prayoga yang namanya ikut tercatut dalam surat pengesahan politik operasi Pematanglima. Fakta-fakta kejadian yang disodorkan kepadanya itu kontan menyulut amarah Wakil Menhan Dr. Oktaprius Surya Prayoga dan menyatakan kepada Inspektur Jendral polisi Albert Anantha bahwa semua yang tertuang dalam surat pengesahan operasi Pematanglima itu tidak benar. Dan dia tidak pernah menanda tangani persetujuan apapun menyangkut operasi Pematanglima. Beredarnya fakta-fakta kejahatan kemanusiaan Rimbasti itu juga membuat panik Rapat Kerja Terbatas Kabinet Pemerintahan Tuanku Baginda President Albertinus Senno Suhastommo. Sehingga Panglima Rimbasti Jendral Bambang Wisesha harus repot-repot menyamar dalam pakaian preman untuk datang ke Istana dengan sejumlah pengawalnya yang menyaru sebagai rombongan Ojek. Menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi dalam operasi kejahatan kemanusiaan Pematanglima.

 

Tapi sebelum semua itu terpecahkan… sebuah kabar menggemparkan muncul di Internet. Menggambarkan dari lokasi perekaman yang sangat jauh tetapi cukup jelas terlihat bagaimana sepasukan polisi melakukan kejahatan kemanusiaan paling brutal di abad ini. Tentang pembantaian keji kejahatan kemanusiaan yang sangat brutal di pedalaman hutan-hutan belantara Sengerti-Sumatera. Setelah ramai di Youtube, muncul ulasan berita yang sangat mengusik rasa kemanusiaan itu di CNN, NBC, Centro News, Star News, France-Presse, Tiskova Kancelar, Periodistica Telam, hingga TASS-Sovietskavo Soyusa. Dan seluruh dunia menjadi tahu seperti apa wajah Rimbasti yang digadang gadang oleh Tuanku Baginda President Albertinus Senno Suhastommo itu sesungguhnya. Dan wajah dari rejim pemerintahan Tuanku Baginda President Suhastommo. Kontan dunia Internasional menjadi marah dan protes-protes diplomatik membanjiri kedutaan-kedutaan Indoensia di luar negeri. Organisasi-organisasi kemanusiaan Internasional menyatakan rejim kekuasaan President Suhastommo sebagai pemerintahan paling kejam di dunia. Ramai-ramai mendesak UNO melakukan tindakan nyata untuk menghukum sang diktator yang terbukti telah demikian brutal menghadapi rakyatnya sendiri.

Hadir dalam rapat darurat Staf khusus Kepresidenan hari itu meliputi Mensekneg JendralSetya Bernawa, pemimpin tertinggi partai Tengku Mu’adh Abdillah Zaenni, Kasau Marsekal pnb. Tengku Iskandarsyah Latief, dan Menhan Dr. Muzhar Mochtar. Semenjak jajaran pimpinan puncak IcB dipecat karena skandal memalukan Lembaga anti korupsi nasional itu yang mempergunakan kekuasaannya untuk berusaha menyandera seorang pelajar Es-em-A di Malang. Sekarang ini kontrol ketat terhadap lembaga rahasia pemerintah itu berada langsung dibawah JendralSetya Bernawa. Lima orang lain yang ikut hadir dalam rapat darurat itu adalah Menlu Dr. Honda Tranggonno Js.D MBA, Menteri dalam negeri Dr. Fendhy Irwan Saputra S.Ad, WaMenhan. Dr. Oktaprius Surya Prayoga Js.D SH, Staf khusus Humas Nikken Wastu Mahestri S.Com, dan Staf khusus keamanan internal Brigjen Kowalsus Hilman Hassya yang juga komandan jendral pasukan khusus pengawal Istana Kowalsus. Rapat darurat itu di adakan dalam ruang rahasia yang anti sadap di basement Istana dengan dijaga oleh enam anggota pengawal khusus detasemen A Kowalsus berseragam yang langsung dibawah perintah Letnan satu Kowalsus Arlho Poetiray yang sedang bertugas hari itu.

 

Sang Penjaga (The Keeper-4

Gambar

Bertualang Wisata di Dunia Sastra Banghar Di Bawah Bendera Revolusi Indonesia

 

 

 

 

 

Chapster IV (empat)

 

 

 

By : Banghar

 

Ini hari jadi divisi kelima Kodam Jawa bagian Timur yang akan di meriahkan dengan lomba-lomba menarik di pusat latihan tempur dan lapangan menembak Resimen Markas Mako Kodam Jawa bagian Timur. Untuk pertama kalinya pagi ini Anggitho Pringadhi di beritahu kalau dia boleh keluar asrama asuh Panglima. Di pusat lapangan menembak Resimen Markas itu sudah di persiapkan acara perlombaan-perlombaan menarik untuk anak-anak komplek kodam di Malang ini. Sementara pagi-pagi seluruh anggota Resimen harus bergabung dengan batalyon-batalyon yang di tarik dari luar kota Malang untuk mengikuti apel dan deville persenjataan di Mako Kodam. Di pimpin langsung oleh inspektur upacara Nyonya Pangko Daerah Militer Jawa V Mayjen infanteri Estianni Rahayu Rasmintho. Sudah hampir sepekan, dan Bripda polisi Sinta Septia Dewi belum juga di cabut dari tugas rutinnya mengasuh Anggitho. Tapi secara pribadi dia tidak mengeluh. Malah bahagia mendapat anugerah penugasan yang sangat tidak biasa ini. Mengasuh lelaki yang dia cintai sendiri. Di fihak Resort Kepolisian  sendiri juga tidak ada complain dari Danres kepolisian kota Malang Ajun Kombes polisi Inoki Wasis Jatmiko.

 

Masa cutinya yang terlalu panjang tidak di permasalahkan sebagai tindakan desersi menelantarkan tugas. Semua tampak baik-baik saja. Dan keluarga besar Nyonya Panglima Mayjen infanteri Estianni Rahayu Rasmintho juga menyambutnya dengan tangan terbuka. Semua seperti mimpi. Begitu lancar dan tanpa halangan. Baju seragam yang harus di kenakan oleh putera-puteri angkat keluarga Rasmintho sudah di antarkan dengan sebuah mobil dinas Angkatan Darat. Di bagikan menurut nama-nama yang di tempelkan dengan plester di pembungkus baju-baju itu. Para pria mengenakan setelan jas hitam dinas upacara kehormatan dengan ikatan dasi yang terbuka sedikit. Mengenakan topi pet hitam seperti milik para penunggang kuda. Yang wanita mengenakan setelah yang hampir sama dengan bawahan rock sebatas lutut. Topi juga sama. Anggitho sedang berbenah di bantu Bripda polisi Sinta yang sedang merapikan ikatan dasinya yang kedodoran. Anggitho memang tidak biasa dengan penampilan formal seperti ini. Di kampungnya, kemeja putih lengan panjang yang polos dengan sarung menutupi hingga mata kaki dan kopyah di kepala sudah menjadi baju seragam yang resmi. Tidak perlu terlalu banyak pernak-pernik dan persyaratan yang macam-macam.

 

Sebuah Nissan Serena Comfort Touring+GPS 2.0cc hijau lumut milik Angkatan Darat yang seharga hampir tigaratus limapuluh jutaan sudah siap mengantarkan delapan putera-puteri angkat keluarga besar nyonya Pangko Daerah Militer Jawa V ke arena kegiatan upacara. Mereka akan di kawal ketat oleh dua unit mobil lapis baja Humvee yang di persenjatai M-60. Di dahului raungan sirine motor-motor besar Honda Goldwing-1000 pengawal Puspom, dan sebuah mobil pengawal Panther Smart Hi-Grade putih Puspomdam dengan Strobo blue siren-light, menguing-nguing di depan sebagai pembuka jalan. Satu lagi yang tampak sibuk di rumah dinas asrama putera-puteri angkat keluarga Pangko Daerah Militer Jawa V adalah Letnan satu infanteri Evie Widhyasari dan  supirnya, Kopral satu Zipur. Yudha Kuncara. Menumpang mobil Suv Hyundai Trajjet hijau lumut yang berplat nomor Angkatan Darat. Yang sekarang sudah di parkir dalam iring-iringan rombongan pengawal Anggitho. Anak-anak masih repot dengan penampilannya di kamar masing-masing ketika akhirnya Lettu infanteri Evie naik ke tangga atas menemui Anggitho. Mengetuk pintu yang tidak tertutup sepenuhnya dan masuk.

                “Mas Githo… kita berangkat sekarang. Sebentar kali rombongan nyonya Pangko Daerah Militer Jawa V sudah akan menuju ke arena upacara. Kalau terlambat nanti tidak bisa masuk.”  Katanya sedikit gelisah.

                “Kami sudah siap kok… mbak Evv. Kami turun sekarang.”  Anggitho menjawab cepat. Dan Lettu infanteri Evie minta diri untuk memberitahu yang lain. Bripda polisi Sinta melakukan pembenahan terakhir pada pakaian jas Anggitho dan lantas mengecup bibirnya. Tanpa banyak bertanya Anggitho menikmati saja kecupan itu. Seperti yang selalu dia lakukan kala mereka bermesraan. “Semoga prosesi upacara itu tidak membosankan yaaa… mbak Sint.”

                “Tentu saja tidak. Aku sudah sering mengikuti apel-apel hari kebesaran militer yang mewah luar biasa. Nanti kau akan melihat atraksi-atraksi yang luar biasa dari kelompok pasukan elite. Deville berbagai jenis senjata mutakhir yang di miliki Angkatan Bersenjata kita dan banyak lagi. Ada marching band juga. Biasanya dari Akademi Militer atau Marching band Rindam kota Malang yang sudah pernah memenangkan beberapa perlombaan Marching band tingkat Asia.”  Kata Bripda polisi Sinta membayangkan kemegahan pesta kemiliteran nanti dengan tersenyum.

                “Di Pesantren Abdussalaam al-Qudd. Daerah perbukitan gersang wilayah distrik Pronojiwo, kota Lumajang, Jawa bagian Timur. Di kampungku. Kami hampir tidak pernah melihat teve. Rutinitas kami hanya sarapan pagi, berkebun, mengaji, dan tidur. Hampir tidak ada acara santai untuk menonton teve. Lagian kami harus nonton dimana…?  Teve hanya ada di rumah besar Rommo Yai Haji asy-Sheikh Raden Muhammad Alli Hassaan Ahmmad, Rommo Yai Haji asy-Sheikh Raden Muhammad Aabbaan al-Ja’ffaar, dan Rommo Yai Haji asy-Sheikh Raden Muhammad al-Qaasim. Kedua yang terakhir adalah adik-adik kandung Rommo Yai Haji asy-Sheikh Raden Muhammad Alli yang ikut membantu mengelola pesantren.”  Kata Anggitho.

                “Pasti berat menjalani kehidupan primitif semacam itu. Aku yang selama dua tahun menjalani pendidikan keras di sekolah bintara Polri tidak sampai sebegitu konservatifnya. Kami masih bisa keluyuran di perkotaan dan Megamall setiap liburan akhir pekan. Dan mendapat uang saku yang pantas.”  Bripda polisi Sinta langsung melontarkan pendapatnya soal latar belakang kehidupan pesantren Anggitho.

Lettu infanteri Evie Widyasari sudah membujuk-bujuk putera-puteri angkat keluarga nyonya Pangko Daerah Militer Jawa V untuk segera naik ke mobil. Sementara mereka masih berkutat di beranda teras rumah menunggu satu dengan yang lain untuk berbenah. Empat anggota pasukan Saber pengawal yang bersenjata lengkap menyebar di antara mobil Nissan Serena yang akan mengangkut rombongan itu. Supir Humvee dan kedua penembak senjata mesin M-60 berada di atas turretnya dengan waspada mengarahkan senjatanya yang telah terkokang ke sudut-sudut yang di curigai. Ada juga Serka pom. Wahyu Sukarmansyah yang memimpin unit motor besar Honda Goldwing-1000 pengawal Puspom, dan sebuah mobil pengawal Panther Smart Hi-Grade putih Puspomdam dengan Strobo blue siren-light. Pemuda gagah dari Puspom Kodam itu masih berdiri di luar mobil pengawal Pather Smart H-Grade sementara mesin-mesin di biarkan menyala dalam posisi netral.

                “Mas Satria… tolong ajak segera saudara-saudaramu. Waktu kita tinggal sebentar lagi. Sementara kalian akan mendapatkan nasi kotak untuk di makan di tribune sebelum acara di mulai. Ingat… upacara ini akan lama sementara kalian belum sempat sarapan.”

                “Iya… mbak Evie.”  Kemudian Satya sebagai saudara  tertua dalam keluarga para putera angkat nyonya Pangko Daerah Militer Jawa V ini mendekati anak-anak sepelantarannya. Wahyunni dan Bagoes. Yang dengan tenang segera memberi perintah kepada keduanya. “Ayo… Yunn, Goes… ajak yang lainnya segera masuk mobil.”

Dengan anggukan hormat keduanya sigap balik kanan. Wahyunni mendekati Ambar, Deassy, dan Hamidha. Sementara Bagoes mendekati Satya dan Angitho. Dengan desakan mereka berdua dengan cepat para putera angkat keluarga Pangko Daerah Militer Jawa V itu bergiliran masuk ke mobil Nissan Serena yang telah di persiapkan. Ada sembilan orang. Wahyunni, Ambar, Deassy, dan Hamidha memilih tempat duduk dengan agak berdesakan di bangku paling belakang. Di tengah Anggitho dan Bripda polisi Sinta duduk di bangku tengah yang lebih lebar dan ada pegangan tangannya. Tapi sebagai konsekwensinya, Bagus menjadi tidak punya tempat dan harus ikut dengan Lettu infanteri Evie. Satria dengan enak bisa duduk di kursi depan sebelah pengemudi dari supir dinas Angkatan Darat. Sliding door di tarik dan kedua sisinya sudah menutup. Lettu infanteri Evie Widyasari masuk bersama-sama dengan Bagoes ke mobil dinas Hyundai Trajjet-nya sendiri bersama dengan supir dinas Angkatan Darat Koptu Zipur. Yudha Kuncara. Serka pom. Wahyu Sukarmansyah melihat semua anggota konvoi sudah siap. Empat anggota pengawal satuan penyabot elite Saber-Bosma telah masuk ke mobil-mobil mereka sendiri. Serka pom. Wahyu masuk ke mobil dinas pengawal Panther Smart Hi-Grade putih Puspomdam dengan Strobo blue siren-light, yang menguing-nguing di depan sebagai pembuka jalan. Dan memberi instruksi melalui komunikasi radio kepada dua pengendara motor besar Honda Goldwing-1000 pengawal itu untuk bergerak. Dari pemandangan sekitar jalanan yang bergerak Anggitho bisa melihat para pengendara mobil dan motor yang harus berhenti atau mengurangi kecepatan lajunya ketika konvoi rombongan para putera angkat keluarga Pangko Daerah Militer Jawa V ini meramaikan lalu lintas dengan lengking sirine-nya. Sejumlah anggota polisi jalan raya yang menjaga setiap perempatan pagi itu terlihat telah berdiri di tengah jalan untuk menghentikan arus lalu lintas di persimpangan yang akan memotong jalur rombongan konvoi. Anggitho mendesah pelan. Acara-acara seremonial seperti ini mungkin hal yang paling membahagiakan bagi orang awam yang sangat jarang mendapat kesempatan bebas menonton deville tentara yang megah. Bahkan itu bagi para putera angkat keluarga Pangko Daerah Militer Jawa V, dan Bripda polisi Sinta sendiri. Tapi bagi seorang Anggitho, ini sangat membosankan.

 

Di masa kecilnya dulu sejak masih berumur satu tahun Anggitho sudah di latih duduk berjam-jam tanpa boleh mengeluh untuk menghadiri sebuah acara kehormatan militer yang sangat membosankan di Jakarta. Anggitho bosan dengan pesta-pesta amal yang di penuhi oleh orang-orang terhormat, mengobrol tentang segala hal sembari meneguk Wines dan Brandy’s. Tanpa ada tempat untuk duduk maupun hiburan yang bisa dia nikmati. Ribut sedikit saja Mamma-nya langsung melotot dan menghampiri Anggitho yang masih anak-anak. Kalau sudah benar-benar bosan akhirnya Anggitho hanya memilih untuk keluar rumah dan bermain dengan para pengawal yang lebih nyantai dan bisa di ajak bermain apa saja untuk mengusir sepi. Sampai terkadang Anggitho kecil tertidur di dalam kursi belakang mobil pengawal Daihatsu Terrios TX 1.5 m/t Puspom Saber Laut dengan Strobo sirent-light itu. Maka ketika Anggitho yang mulai menginjak usia sekolah, sekitar enam tahun, dan lulus dari Taman Pendidikan Anak terpadu fullday Yayasan Karreninna Bina Bangsa, kawasan Cengkareng itu. Anggitho langsung bersedia saat di tawari sebuah legenda hidup yang akan menjadikannya orang lain dan memberinya pengalaman hidup yang berbeda.

 

His Excellency of Prince Demmetrio Alexandher Josse berganti nama dengan Anggitho Pringadhi. Menjalani cara hidup yang sama sekali berbeda dengan dunia glamour seorang Jendral besar pimpinan tertinggi Bosma yang mengendalikan hampir duaratus tujupuluh ribu personel Angkatan Darat. Menjadi santriawan belia sebuah pondok pesantren terpencil di pelosok penggirian dusun lereng gunung Semeru. Sebagai anak Jendral besar yang berpenghasilan limaratus juta sebulan. Anggitho yang masih muda belia itu di bayar tiga setengah juta oleh negara sebagai tunjangan anak atas jasa-jasa sang Jendral besar kepada Negara. Sampai sekarang mungkin nilai deposit yang terkumpul di rekening pribadi atas namanya di salah satu Bank multinasional yang bonafid sudah mencapai enamratus tujupuluh juta. Belum lagi hadiah-hadiah motor dan mobil yang selalu di berikan Pappa-nya setiap Anggitho di selundupkan keluar dari kota Lumajang untuk merayakan ulang tahun dan sekaligus berkumpul keluarganya yang hanya sekali saja dalam setahun. Tetapi Mademoiselle BRAj. Farramurthi Isnna Ingenieur selaku Chief Executive Organized, CEO dan President Direktur Whitco. Kantor pusat seluruh kekaisaran business keluarga multimillioner Husni yang mengendalikan perusahaan di seratus negara di dunia.

 

Mendapat gaji bulanan hampir lima milyard. Tigapuluh lima juta dari bagian itu masuk ke rekening pribadi Anggitho sebagai tunjangan anak. Dari seluruh simpanan itu Anggitho sekarang sudah memiliki deposit pribadi di rekening salah satu Bank multinasional itu sebesar tujuh milyard empatratus juta lebih. Bunga bank yang dia peroleh tanpa melakukan apa-apa sekitar tujupuluh tigajuta sembilanratus duapuluh ribu sebulan. Yang secara otomatis terus menambah pundi-pundi tabungannya di Bank. Atau sekitar empatbelas milyard bila selama enambelas tahun bunga-bunga itu terus di akumulasikan dengan jumlah tabungan pokoknya.. Sayang-nya, selama menjadi Anggitho Pringadhi seluruh simpanan itu tidak bisa di tarik. Bank tidak mengenal nama Anggitho Pringadhi, dan penarikan secara ilegal akan segera di batalkan dan di laporkan kepada Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke. Rekening pribadi atas nama Anggitho Pringadhi di sebuah Bank Negara di Klaten yang bisa di kontrol melalui anjungan tunai mandiri yang manapun di Republik ini sebenarnya hanyalah deposit kosong yang tidak bisa di uangkan dengan cara apapun. Sejak menjalani hidup barunya, Anggitho hanya mengenakan pakaian yang di belikan Ustad santri Nur Achmmad Murtadho secara obral di pasar tradisional Lumajang dalam perjalanan ke Pesantren.

 

Anggitho hanya mendapat bantuan uang saku duapuluh ribu seminggu dari Rommo Yai Haji Raden Muhammad Alli Hassaan selama menempuh pendidikan agamis dan hidup prihatin di pondokan bersama ratusan santri lainnya. Sekarang sebagai anak angkat Jendral hidupnya menjadi lebih baik, dengan menu makanan yang modern dan bergisi. Uang saju satu juta sebulan dan bisa pergi kemana-mana dengan gratis. Apalagi ada Bripda polisi Sinta di sisinya. Yang dengan mudahnya memperkenalkan Anggitho pada surga dunia, bercinta tanpa batas dengan seorang wanita dewasa. Hal yang seumur hidup baru di kenalnya sekarang. Pada saat gadis-gadis sekolah dasar pada masa sekarang ini yang sudah tidak perawan lagi. Saat anak-anak balita laki-laki sudah berani mencium teman gadisnya. Dan remaja-remaja Es-em-P sudah berani tidur serumah dengan pacarnya. Anggitho, anak baru dalam pergaulan dunia bebas di komunitas yang mendapat julukan kota pelajar Malang. Di mana sejumlah pelajar dari berbagai daerah berkumpul di kamar-kamar kost yang sempit di kota ini. Di mana sudah tidak ada lagi ikatan antar warga yang baik.

 

Semua terlanjur sibuk dengan urusan masing-masing. Anak-anak kost yang tidak terurus itu menjadi begitu bebas mengumbar gairah sex mereka di kolong-kolong kamar yang gelap. Mengobral kenikmatan dengan gadis-gadis pramuniaga swalayan yang mau di ajak kencan hanya demi limapuluh ribu perak semalam dan sepiring nasi goreng pengganjal perut. Atau dengan gadis-gadis mahasiswi sekampus mereka sendiri yang melakukannya atas dasar suka sama suka. Atau bahkan dengan pelajar Es-em-P yang mau di ajak tidur setelah dibonceng jalan-jalan dengan sepeda motor Yamaha Vixion atau Honda Megapro. Katanya soal gensi. Punya cowok kuliahan yang bermodal. Bripda polisi Sinta melihat lamunan Anggitho di  sampingnya dan menggapai tangannya.

                “Sabar, sayang… Anggitho. Kau tidak akan bosan disana. Kan ada aku…”  Bripda polisi Sinta berkata sembari meremas-remas mesra jemari tangan Anggitho.

                “Aaach… mbak Sinta, aku tidak apa-apa kok. Trima kasih karena mbak Sinta selalu dengan setia menemaniku. Tidak pernah bosan untuk melayani kemanjaan dan keinginanku untuk selalu menikmati indahnya aroma kecantikan dari mbak Sinta.”

                “Kau ini bicara apa, sayang… tentu saja. Aku tidak akan bosan untuk selalu bersamamu. Karena sejujurnya memang aku sangat mencintaimu. Mana bisa aku bosan, Githo.”  Bripda polisi Sinta mengatakan. Bagaimanapun Anggitho sudah menyelamatkannya dari belenggu perbudakan nafsu Don juan Sonny yang selalu berlindung di balik ketiak polisi-polisi pengawalnya dan modal investasi tunai jutaan rupiah dari penghasilan Pappanya. Pengaruh kuat nyonya Pangko Daerah Militer Jawa V yang ikut melekat pada diri Anggitho sebagai putera angkatnya tidak terjangkau oleh pengaruh kekuasaan pribadi keluarga Himawan. Apalagi hanya oleh remaja ingusan seperti Don juan Sonny. Kesombongannya dan keangkuhan sebagai anak pengusaha yang di sokong aparat keamanan luntur karena kekuasaan mutlak nyonya Pangko Daerah Militer Jawa V Mayjen infanteri Estianni Rahayu Rasmintho yang ikut melekat pada status Anggitho sebagai anak angkat sang Jendral.

 

Sementara Anggitho tenggelam dalam keromantisannya sendiri dengan Bripda polisi Sinta. Di kursi belakang Nissan Serena Comfort Touring+GPS 2.0cc hijau lumut milik Angkatan Darat. Wahyunni, Ambar, Hamidha, dan Deassy sedang berpesta sendiri. Ada kacang Mixnut 200 gr/pck. Ada Roti sobek manis rasa Coklat-Srikaya, Lapis legit Srikaya Morisca 600 gr/pck. Dan Malkist Ckackers Romma 300 gr/pck. Kemudian Deassy menyodorkan sebungkus Roti sobek manis rasa Coklat-Srikaya kepada Anggitho. Tidak bermaksud untuk mengganggu kemesraan Bripda polisi Sinta sama sekali. Karena sesungguhnya dia tidak terlalu suka dengan kedekatan khusus Bripda polisi Sinta. Yang artinya menutup kesempatan baginya untuk mendekati Anggitho secara pribadi. Remaja ingusan hitam manis peranakan Arab-Jogja-Manado. Darah Arab-Jogja dia dapatkan dari perkawinan kakek-neneknya, Mendiang keluarga Industrialis multimillioner Syeich Syuuhaib Muhammad Husni Abdurrochmman al-Hamrraa Gleizzyardhin al-Otmmar Abdoullay al-Behrdourrani al-Zayeed Husni dan isterinya Kanjeng Gusti Sinuhun Paduka Permaisuri Bendoro Raden Ajeng Hajjah Indarwarry Raesmmasundari Hanim Amarra.

 

Wanita berdarah kraton Jogja yang di mazulkan dari tahta Kesultanan demi untuk mengejar cintanya pada bangsawan pelarian Arab itu. Kemudian darah Arab dan kraton Jogja itu menitis melalui Pappanya, Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke. Sedang kulit putih bangsawan Gorontalo diwariskan melalui Mammanya, Mademoiselle Bendoro Raden Ajeng Hajjah Farramurthi Isnna Ingenieur yang memang masih keturunan langsung Istana Adat Bolaang Mangondow. Bahkan keluarganya sempat selama limabelas tahun memegang jabatan Gubernur Gorontallo di era duaribuan pasca kegolak reformasi. Selain luar biasa tampan sesungguhnya kulit tubuh Anggitho putih gading seperti kulit telor. Tapi rupanya di awal-awal penyamaran dinas rahasia menyuntikkan cairan khusus yang membuat Anggitho menjadi hitam. Cocok dengan latar belakang masyarakat petani yang menjadi Legenda penyamarannya. Toh begitu tidak bisa menyembunyikan seluruh ketampanan wajahnya yang membius setiap gadis yang melihatnya. Andai saja, Anggitho bersikap lebih terbuka dan menyambut setiap kesempatan di cintai oleh para gadis, Anggitho bisa jauh lebih sukses sebagai primadona ketimbang Don juan Sonni Putrahimawan. Kenyataannya Anggitho benar-benar seorang yang tertutup.

 

Hanya mengenal satu falsafah bahwa aturan manusia itu lurus. Tidak bengkok dan abu-abu. Hanya Bripda polisi Sinta, satu-satu wanita beruntung yang pertama kali memperkenalkannya pada kenikmatan dan surga percintaan. Dan mungkin Bripda polisi Sinta akan mati-matian mempertahankan anugerah yang telah dia dapatkan dari seorang Anggitho ini. Deassy memajukan badannya yang mengarah ke sandaran kursi depannya di sisi Anggitho. Dan menunjukkan irisan rotinya.

                “Makan ini… Githo, biar perut kita tidak kosong.”

                “Oouww… Makasih mbak Deassy.”  Anggitho berpaling meraih seiris roti sobek manis rasa Coklat-Srikaya itu dan menyuapkan secuil ke dalam mulutnya. Sambil makan roti sobek itu Anggitho mengabaikan Bripda polisi Sinta. Membuang pandanganya ke jendela mobil dengan latar belakang pemandangan yang khas. Kemacetan jalanan kota Metro Malang pada jam-jam sibuk ini. Tapi konvoi rombongan para putera angkat keluarga nyonya Pangko Daerah Militer Jawa V itu tetap melaju dengan lancar. Dua motor besar polisi militer, Honda Goldwing-1000 yang meraung-raung menembus kepadatan lalu lintas. Sementara di setiap persimpangan, petugas kepolisian sibuk menutup jalan untuk mereka. Deassy juga menawarinya untuk Bripda polisi Sinta, meskipun secara pribadi dia tidak menyukai Bripda polisi Sinta itu. Semakin mendekati markas Komando Kodam penjagaan semakin di perketat. Detasemen kavaleri serbu Kodam mengerahkan sejumlah Pansher Renault/Saviyem VAB yang di persenjatai varian Browning M-2Hb kaliber 12.7mm full otomatis di sejumlah persimpangan dekat Mako.

Masuk ke gerbang penjagaan Markas Komando Kodam. Motor-motor besar polisi militer itu dan mobil dinas Panther Smart Hi-Grade melepaskan diri memarkir di pinggir jalan. Bergabung dengan teman-teman anggota Puspom lain yang sibuk mengatur kendaraan-kendaraan Pansher dan tank yang akan ikut deville. Jalan umum di depan Markas Kodam itu sendiri sudah di tutup untuk umum dan hanya mobil-mobil dengan identitas khusus yang di ijinkan lewat. Mendekati jalan belakang tribune mobil-mobil pengawal lapis baja Humvee juga ikut melepaskan diri. Kini keamanan Anggitho di ambil-alih sejumlah anggota Puspom markas yang telah di persiapkan. Pintu-pintu sliding di buka dari luar dan sejumlah pengawal berseragam berbalik membelakangi mobil menjaga keamanan Anggitho.

                “Ayo… ayo, cepat… kita akan sedikit terlambat.”  Bagoes yang datang bersama Lettu infanteri Evie dari mobil lain mengomando saudara-saudaranya supaya cepat keluar. Lettu infanteri Evie memang, untuk seorang Anggitho yang masih berstatus yunior memiliki rasa segan. Tapi untuk anak-anak senior sekelas Bagoes, Wahyunni, dan Ambar tidak berlaku lagi.

Gadis-gadis yang duduk di kursi belakang Nissan Serena Comfort Touring keluar lebih dulu lewat jalan tengah, setelah Bripda polisi Sinta. Kemudian Anggitho paling belakang. Tanpa banyak tanya. Melihat sekeliling sembari merenggangkan tubuhnya. Cukup melelahkan dalam perjalanan yang singkat ini, walaupun Anggitho cukup tidur semalam.

                “Kalian akan duduk di barisan kursi-kursi paling depan di tribune sebelah kanan. Berdampingan dengan undangan para konsuler dan atase pertahanan asing. Komandan-komandan jenderal institusi militer dan institusi keamanan daerah propinsi Jatim ini. Mereka semua sudah lebih dulu di dalam sekitar sejam. Jadi bersikap baik melewati mereka.”  Lettu infanteri Evie Widyasari memberikan instruksinya sembari mereka di kawal masuk ke atas tribune.

Anggihto memandang pada Bripda polisi Sinta yang menggamit tangannya dengan mesra. Dia tersenyum. Senyum seorang kekasih yang tulus dia berikan karena besar perasaan sayangnya pada Anggitho. Anggitho menjadi tergetar melihat betapa manisnya senyum cantik itu. Dan itu pula yang membuatnya tidak pernah bosan mencintai Bripda polisi Sinta.

                “Aku tidak mau jauh-jauh dari mbak Sinta.”

Aaach…!  Wanita itu mendesah lirih. Simpati dengan kerinduan dan kekuatan cinta satu-satunya yang membuat Anggitho bisa bertahan selama ini. Itu yang membuat Bripda polisi Sinta semakin yakin hubungan mereka cocok. Sama sekali tidak ada kaitan dengan status Anggitho sebagai anak angkat nyonya Pangko Daerah Militer Jawa V Mayjen infanteri Estianni Rahayu Rasmintho. Walaupun sejujurnya, status Anggitho itu yang pernah menyelamatkannya dari belenggu keangkuhan cinta Don juan Sonni.

                “Mbak Sinta… iya, kan ?”  tanya Anggitho mengulangi pertanyaannya dengan penuh harap.

                “Ooouuch… tentu sayang, Anggitho. Aku tidak pernah akan mungkin meninggalkanmu sendirian. Tenanglah.”  Desisnya lembut.

                “Aach… bagaimana acara nanti, ya ?”

                “Pasti bagus, sayang… Githo. Ada parade marching band yang meriah, nyanyian-nyanyian hymnee yang membangkitkan rasa kebangsaan kita. Kau jarang nonton upacara kebesaran tiap bulan Agustus, yaa ?”

                “Aku nggak pernah lihat teve…”  kata Anggihto malu-malu. Bukan karena miskin. Tapi tradisi pergaulan agamis di lingkungan Pesantren memang tidak mengijinkan para santri menikmati kebebasan yang berlebihan. Mereka di biayai dengan mahal hanya untuk belajar dan mengamalkan aturan-aturan ketat spiritual. Bukan untuk bersenang-senang.

 

Satu hal yang menjadi istimewa pagi itu adalah Lettu infanteri Intan Hierrawati Rasminto. Gadis lajang berumur duapuluh lima tahun itu mendapatkan cutinya sebelum akhir tahun dan menghadiri upacara di Mako Kodam divisi kelima sebagai hadiah kejutan untuk Mayjen infanteri Estianni Rahayu Rasmintho. Mammanya. Bahkan kepulangannya yang sehari sebelum ini dia sama sekali tidak muncul di rumah. Tidak menelephone Mammanya, dan justeru diam-diam chek-in di sebuah hotel mewah di pinggiran kota Malang. Di barisan tribune untuk para tamu-tamu penting Lettu infanteri Intanini muncul masih dengan pakaian dinas upacara kebesaran dengan topi Angkatan darat yang mirip perahu. Di situ dia bertemu dengan Satria. Lelaki itu tidak percaya. Di antara tamu-tamu yang baru saja datang dan belum akan memilih posisi duduknya ada Lettu infanteri Intan. Puteri tunggal Mayjen infanteri Estianni Rahayu Rasmintho Wahyunni juga.

Ada duaratus undangan khusus di kanan dan kiri panggung tempat Inspektur Upacara akan berada. Sementara di hadapan mereka sekitar limaribu limaratus prajurit tentara mengikuti upacara peringatan hari jadi ke-70 divisi kelima Kodam Jawa bagian Timur. Melibatkan empatribu personel Angkatan Darat yang bernaung dibawah komando Kodam divisi kelima. Tigaratus personel bantuan dari Angkatan Laut, tigaratus bantuan personel dari Angkatan Udara, duaratus anggota Garinmob Polda Jatim dibawah Kepala stafnya sendiri Kombes polisi Tribowo, seratus anggota bantuan personel dari Satpol PP kotamadya Malang, dan seratus anggota bantuan dari Pramuka. Masih ada limaratus personel tentara sebagai pelaku demontrasi dan atraksi untuk memeriahkan hari jadi Kodam ini. Upacara dimulai pada jam sembilan saat kehadiran Inspektur Upacara Mayjen infanteri Estianni Rahayu Rasmintho beserta suami. Yang di kawal ketat oleh pasukan Puspom Kodam. Komandan Upacara di pegang oleh Kasopsdam Kolonel infanteri Budhiarto Supeno. Selain dari Limaribu limaratus peserta upacara dan duaratus undangan, juga akan di meriahkan dengan deville material tempur atau alutsista.

 

Angkatan Udara mengerahkan sembilan pesawat jet akrobatik udara Su-27 Sukhoi, duabelas unit helikopter tempur AH-64 Apache untuk terbang lintas, dan sejumlah pesawat latih Angkatan Udara seperti Alenia Aermachi M-346 Master dan Pilatus PC-21. Ada juga K-8 Karakurom buatan Pakistan  dan pesawat latih Yak-130 buatan Soviet. Di kelas pesawat angkut berurutan melakukan terbang lintas pesawat C-23J Spartan buatan Italia, C-130J Herculles, E-8J WhiteStar dan B-737 Wedgetail AEW&C hibah dari pemerintah Selandia Baru delapanbelas bulan sebelumnya. Deville pasukan darat diawali dengan 200 unit Renault/Saviyem VAB yang di persenjatai varian Browning M-2Hb kaliber 12.7mm full otomatis dan 50 unit Cadhillac Gage V-150. Sejumlah 25 unit mobil toyota Hilux Minor Change 200 LS Standar Spec dan untuk para komandannya, 25 unit jeep Korean Mambo. Ada dua mobil unit ground radar, sepuluh mobil unit senjata roket RM-70 Grad, Enam mobil unit senjata rudal Propat Hanud, 20 unit meriam artileri dan 10 Tank tempur artileri utama Shermman M-1A1 Abraham dengan meriam 155 GCT Howitzer.

 

Mako Renma divisi kelima Kodam sebagai tuan rumah perayaan hari jadi ke-70 ini telah menyiapkan akomodasi penginapan untuk ribuan pasukan dari luar kota Malang. Mulai dari asrama prajurit Mako Renma divisi kelima Kodam, Kodik Angkatan Darat, dan Lanud Abdurachman Saleh-Malang. Perlu di ingat bahwa pertentagan politik antara Angkatan udara dan matra lain hanya spesifik terjadi di Jakarta. Antara Marsekal pnb. Iskandarsyah Latief. Yang tidak lain saudara Ipar JendralBambang Wissesha sendiri dan Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke. Pergaulan antar institusi di daerah masih biasa-biasa saja. Walaupun gesekan-gesekan yang terjadi di atas telah membuat sejumlah petinggi Angkatan Udara di daerah merasa tidak enak hati. Menurut Aspenum Kadispen Kodam Mayor infanteri Tommy Syaifullah yang di wawancarai wartawan dalam acara gladi bersih sehari sebelumnya, peringatan hari jadi divisi kelima Kodam tahun ini di selenggarakan sangat meriah tanpa mengurangi makna dan kekhidmatannya. Tentara sangat menyadari atas tuntutan tugas dan tanggungjawab sebagai alat negara di bidang pertahanan.

 

Setiap prajurit tentara senantiasa di tuntut untuk ikut berperan aktif dalam membantu mengatasi berbagai kesulitan yang sedang di hadapi negara dan bangsa. Walau sesungguhnya sebagaian warga tentara sendiri masih berada dalam kondisi kehidupan yang belum bebas dari kesulitan. Dengan kerja keras dan disiplin tinggi tentara berharap bangsa ini akan mampu terus berdiri tegak menjadi bangsa yang besar, jaya dan tidak akan pernah terpecah belah. Kepada Anggitho yang tidak pernah lepas dari pegangan tangan Bripda polisi Sinta, Lettu infanteri IntanHierrawatti Rasmintho di perkenalkan oleh Wahyunni. Lettu infanteri Intansudah banyak mendengar tentang Anggitho dari Mammanya sendiri saat berkunjung ke Tokyo. Dan baru sekarang dia mendapat kesempatan untuk bertemu langsung dengan Anggitho secara pribadi.

                “Mamma sangat senang menceritakan tentang latar belakangmu, Anggitho… kamu sosok pemuda sederhana yang tidak banyak menuntut dan jujur. Sangat menyesal Mamma lama sekali baru bisa memberimu fasilitas penghidupan yang layak di kota Malang ini. Harusnya sudah sejak setahun lalu ketika bertemu denganmu… Mamma membawamu serta kemari. Apa kau menyukai keramahan kota Malang ini… Anggitho ?”  kata Lettu infanteri Intan menyatakan simpatinya dengan akrab.

                “Aku yang sangat Makasih… mbak Intan. Kalau bukan karena nasib baik, belum tentu aku bisa di angkat putera oleh Orang tua mbak Intan seperti ini. Dan atas semua yang kini aku nikmati… aku merasa sangat bahagia. Sayangnya… pertama masuk dalam keluarga besar Rasmintho aku sudah membuat kesan yang buruk. Aku sangat menyesal harus seperti ini kejadiannya.”

                “Maksudmu soal Don juan Sonny…?”  sembari mengatakan itu Lettu infanteri Intan Hierrawati Rasmintho tidak sengaja melirik pada Bripda polisi Sinta. Sontak pandangan yang aneh itu membuat Bripda polisi Sinta seperti tersindir dan menjadi tidak enak hati. “Jangan merasa bersalah begitu… sudah jelas keluarga besar Himawan itu yang membuat masalah denganmu. Dan sekarang mereka semua sudah menerima getah perbuatannya. Enjoy saja dengan kesenangan hidup yang bisa kau nikmati sekarang. Toh… Pappa dan Mamma maklum saja dengan masalah yang kau hadapi itu. Dan… aku rasa Satya bisa menghandle reaksi anak-anak siswa Es-em-K Negeri 03 Dian Harapan pasca kejatuhan Don juan Sonny itu.”

                “Makasih… mbak. Keluarga mbak Intan bisa maklum dengan kejadian memalukan yang aku alami di hari-hari pertama kepindahanku ini. Aku cemas kalau kejadian ini membuat keluarga mbak Intan merasa tidak enak hati. Dan mungkin… akan meninjau ulang statusku sebagai putera angkat keluarga besar Rasmintho.”

                “Nggak mungkin itu… Anggitho. Mamma selalu mengurus para putera angkatnya dengan baik, dan… urusan friksi-friksi dalam pergaulan anak muda itu biasa. Dulu semasa di bangku sekolah… aku juga pernah bertengkar dengan teman geng sekolah. Dan Mamma juga selalu membelaku sebagaimana harusnya beliau lakukan sebagai seorang ibu. Tentu harus di telusuri dulu apa masalahnya. Walaupun Mamma seorang Jendral… tidak berarti akan asal bela saja kalau ternyata kesalahan ada di fihak anaknya sendiri.”  Lettu infanteri Intanmenyatakan pandangannya dengan serius. Kemudian kepada Bripda polisi Sinta dia berpaling dan berkata. “O… iya Sinta, sementara dalam upacara nanti… boleh aku meminjam Anggitho, biar dia duduk menemaniku selama upacara berlangsung. Kami putera dan puteri keluarga besar Rasmintho harus kelihatan akrab dalam sorotan mass media. Nanti setelah selesai upacaranya aku kembalikan lagi padamu.”

                “Siap! Silahkan… Leutennat.”

                “Trima kasih.”

Anggitho memahami maksud permintaan Lettu infanteri Intan yang notaben adalah puteri kandung nyonya JendralEstianni Rahayu Rasmintho sendiri. Dan jadilah, mereka bersembilan putera dan puteri keluarga besar Rasmintho hadir di barisan kursi tribune paling depan dan tengah. Di antara tamu-tamu penting Angkata Bersenjata seperti beliau Laksamana laut Wahyu Iskandar Pangarmatim. Beliau Kepala Polda Irjen polisi Sukardjo Sudjatmoko. Dan beliau Marsekal udara Wachid Hidayat Pangkohanud III Jatim. Serta juga para Waka seperti Jendral polisi Yussuf Yuhrimaullana, , Kasarmatim Lakda laut Johny Humbrey Kakiay, dan Kashanud III Marsda udara Indhra Zakha Permana. Kemudian beberapa kelompok tamu dari jajaran sipil seperti Wagub Nouvriyansah Yakkub dan undangan lain dari Muspida Malang. Tiba-tiba, dari pengeras suara terdengar suara merdu anggota Kowad yang menjadi Master of Ceremonny upacara ini.

                “Diberitahukan kepada para undangan yang terhormat… bahwa rombongan Ibu Panglima, Mayor JendralEstianni Rahayu Rasmintho beserta jajaran staf telah tiba di tribune upacara. Seluruh undangan di mohon untuk berdiri.”

Sebagian besar para tamu undangan yang telah berdiri langsung melayangkan pandangan ke arah lorong masuk di belakang tribune yang di gelari karpet merah. Dan segera terdengar sayup-sayup nyanyian Marching band Disbinpers Kas Persdam divisi kelima mengiringi kehadiran rombongan Panglima. Selain JendralEstianni Rahayu Rasmintho dan tuan Profesor Dr. Agung Rasmintho suaminya, nampak juga di belakang, Kasdam Brigjen infanteri Richard Salampessy, Kasintel Brigjen teritorial Dewa Made Kaemmanna, Kas Persdam Kolonel infanteri Nawoto Lukmantorro, KasLog Kolonel infanteri Djoko Susetyo, dan Kasops Kolonel infanteri Adhrian Daniel. Nyonya Panglima JendralEstianni Rahayu Rasmintho yang mengenakan pakaian dinas upacara kebesaran lengkap tersenyum ramah kepada para undangan yang menyambutnya penuh hormat. Ketika iringan pengantar Inspektur upacara melewati baris para putera dan puteri keluarga besar Rasmintho, nyonya Panglima JendralEstianni hampir copot jantungnya dan tak mampu berkedip melihat di antara putera-puteri angkatnya itu ada Lettu infanteri Intan Hierrawati. Puteri kandungnya yang mengenakan seragam dinas upacara Angkatan Darat lengkap.

                “Astaga… Intan !  Kapan kau balik dari Tokyo ?”  tak tahan nyonya Panglima JendralEstianni Rahayu Rasmintho ini merengkuh puterinya dan memeluknya dalam-dalam. “Mengapa kau tidak mengabari Mamma dulu kalau mau pulang ?”

                “Kalau Intan memberi kabar dulu, namanya bukan surprisse lagi… Momm.”

                “Kau bisa aja. Thanks Honey…”  dan ketika tanpa sengaja nyonya Panglima JendralEstianni Rahayu Rasmintho melihat Anggitho di samping puterinya, beliaupun berkata lagi. “Oouuw… dan kau sudah ketemu juga dengan saudara barumu, Anggitho ?”

                “Oouuw… kami sudah berbincang akrab kok Mmaa… Trima kasih telah memberi Intan adik baru yang menyenangkan.”

                “Mamma senang kalian bisa akrab.”

Kemudian prosesi upacara kebesaran hari jadi divisi kelima Kodam Jawa bagian Timur mulai berlangsung. Master of Ceremony yang mengalun merdu suaranya di seantero lapangan mengumumkan daftar acara kegiatan yang segera di ikuti oleh peserta upacara. Di mulai dari Inspektur upacara yang diminta naik ke atas panggung podium. Dalam pengawalan anggota-anggota puspom Kodam. Kemudian  Komandan Upacara di jabat oleh Kasopsdam Kolonel infanteri Budhiarto Supeno melapor kepada Inspektur Upacara bahwa kegiatan upacara memperingati hari jadi divisi telah siap di laksanakan. Ada sedikit situasi yang janggal selama upacara itu berlangsung. Tampak jelas Lettu infanteri Intanyang terus mengajak berbincang Anggitho dengan akrab. Memegang tangannya lebih dari sikap seorang kakak kepada adik kandungnya sendiri. Seolah nampak sikap aneh Lettu infanteri Intanini sebagai upaya pribadi yang terselubung untuk mendapatkan perhatian Anggitho. Bripda polisi Sinta bisa melihat itu semua dari tempat duduknya, beberapa baris di belakang mereka. Karena hanya mereka yang di anggap penting berhak duduk di barisan depan. Dia tahu betul sikap ambisius Lettu infanteri Intan. Dia berharap mendapat tempat di hati Anggitho seperti Bripda polisi Sinta. Atau kalau mungkin malah menggantikan dirinya. Apakah sampai sejauh itu Lettu infanteri Intanberharap, Bripda polisi Sinta hanya bisa mendesah. Setelah ketegangan-ketegangan yang mereka lewati bersama, mungkin Anggitho tetap akan mempertahankan cinta mereka. Meskipun sekarang ada Lettu infanteri Intanyang begitu ambisius mendekatinya.

 

Atau mungkin tidak. Lettu infanteri Intan itu puteri kandung JendralEstianni Rahayu Rasmintho. Anggitho sendiri jelas terlihat dari sikapnya sangat bergantung kepada keluarga besar Rasmintho untuk bisa tetap mempertahankan berbagai fasilitas yang kini dia nikmati. Mungkin demi semua fasilitas itu Anggitho akan rela menjual perasaan cintanya sendiri kepada Lettu infanteri Intankalau terus-menerus di desak. Bripda polisi Sinta menjadi begitu kalut memikirkan kemungkinan-kemungkinan itu. Dan akhirnya dia hanya bisa pasrah. Mungkin saja dia segera akan menjadi orang kedua dalam hati Anggitho. Toh bagaimanapun dia telah berjanji jauh di dalam hatinya. Dia akan setia mencintai Anggitho apapun yang terjadi. Tak perduli seandainya dia harus menjadi gundik yang ke seratus.

                “Githoo…”  Lettu infanteri Intan Hierrawati Rasmintho membisikkan nama itu begitu dekat ke telinganya dengan lembut. Di tengah berisiknya pelaksanaan upacara kebesaran.

                “Apa… mbak Intan ?”

                “Kamu merasa nyaman menjalin hubungan dengan Bripda polisi Sinta ?”

                “Aku mencintainya, mbak.”

                “Mungkin seandainya ada wanita lain yang juga mengharapkanmu, gimana ?”  Lettu infanteri Intanmendesak.

                “Aaach… mbak Intan bisa aja.”

                “Mungkin saja, Gith.”

                “Mana ada wanita yang mau sama aku, bocah kampungan yang tidak tahu apa-apa sepertiku. Bahkan mungkin, mbak Sinta saja menerimaku lebih dari sekedar rasa kasihan. Coba kalau aku nggak mati-matian merebut hatinya.”

                “Kalau ada wanita lain yang mengharapkanmu lebih dari Bripda polisi Sinta itu, gimana ?”

                “Entahlah.”

                “Bagaimana kalau aku yang mengharapkanmu ?”

                “Mbak Intan ini suka bercanda. Aku ini apa to… mbak. Kalau bukan karena keluarga mbak Intan, aku ini masih hanya anak kampung bodoh yang tinggal di kaki gunung, wilayah lereng gunung Semeru. Dusun yang masih belasan kilometer jauhnya dari kota distrik Pronojiwo-Lumajang. Mana lagi sekarang kita bersaudara.”  Anggitho berdalih.

                “Kamu putera angkat to… kalau aku bersikeras kepada Mammaku untuk menyetujui hubungan kita, Mamma pasti mengijinkan.”

                “Tapi aku ini tidak pantas.”

                “Pantas atau tidak itu bergantung padaku sendiri.”

                “Entah to mbak. Tapi aku mencintai mbak Sinta.”

                “Meskipun kau tahu sekarang aku juga mencintaimu ?”  ucapan Lettu infanteri Intanmenantang.

                “Mbak Intan… tolong, jangan buat aku bingung. Aku sangat menghormati dan bergantung banyak hal pada keluarga besar mbak Intan. A… aku… tidak tahu harus bagaimana.”

                “Kalau begitu cobalah mencintaiku.”

                “Tapi aku mencintai mbak Sinta.”

                “Hmm… baiklah.”  Akhirnya Lettu infanteri Intanmulai sedikit melunak. “Kalau begitu cobalah untuk terus mencintai Sinta dan…, mencintaiku juga. Kau bisa ?”

                “Memangnya mbak Intan mau di duakan begitu ?”  Anggitho memadang wajah ayu Lettu infanteri Intandengan tatapan tak percaya.

                “Demi untuk mencintaimu, aku rela menjadi pacarmu yang keberapa saja.”

                “Aku bingung… mbak.”

                “Katakan saja… iya.”

                “Ini tidak hanya menyangkut perasaanku sendiri.”

                “Nanti aku bicara dengan Bripda polisi Sinta. Kalau memang dia sungguh-sungguh mencintaimu, pasti mau.”

                “Mbak Intan kok nekad sih. Aku takut… mbak Sinta nanti sakit hati.”

                “Percaya… Aku akan bicara baik-baik dengannya.”

                “Mengapa mbak Intan nekad begini ?”

                “Seperti yang kubilang tadi. Aku mencintaimu. Aku suka padamu. Aku sayang, Gith.”

Lettu infanteri Intan Hierrawati yang gila. Anggitho menjadi merasa terjepit diantara pilihan yang sama-sama tidak mengenakkan untuk dirinya. Anggitho tahu benar pengaruh seorang Lettu infanteri Intandalam keluarga besar Rasmintho. Keluarga Pangko Daerah Militer Jawa V yang sangat terhormat itu. Anggitho bisa saja di kembalikan ke habitat asalnya di pedalaman dusun kaki gunung Semeru di distrik Pronojiwo yang sangat konservatif. Tapi lingkungan pergaulan orang-orang besar. Barangkali memang cinta-cinta sesaat yang seperti Lettu infanteri Intanrasakan ini hal biasa dalam lingkungan pergaulan mereka. Lumrah antar mereka yang masing-masing sudah terikat dengan hubungan cinta orang lain menjadi saling suka dan menikmati percintaan itu dengan bebas. Tapi mampukah Anggitho terlibat dengan cara hidup mereka yang benar-benar aneh dan tidak umum. Lettu infanteri Intansegera terlibat dengan perasaan rindu dan kehangatan cinta keluarganya yang menggebu-gebu saat upacara itu berakhir. Dan Anggitho balik ke rumah asrama para putera angkat keluarga Panglima bersama dengan saudara-saudaranya yang lain, dan Bripda polisi Sinta tentunya. Selama perjalanan pulang dengan mobil dinas Angkatan Darat yang di sediakan oleh staf pribadi nyonya Panglima itu, Anggitho banyak diam. Hingga membuat Bripda polisi Sinta menjadi serba salah.

 

Sudah lewat tengah hari. Dan Anggitho tengah menyandar di kamarnya sendirian. Bripda polisi Sinta membuka kamar itu dengan hati-hati sehingga sedikitpun tidak menimbulkan keterkejutan Anggitho. Menyelinap masuk ke dalam kamar itu Bripda polisi Sinta membawakan nampan saji menu makan siang berupa Sawi Putih Gulung Saus Kacang. Berupa gulungan Sawi putih isi udang, daging ayam cincang, tepung, minyak wijen, bumbu penyedap, lada dan bawang putih goreng.  Dicocol adonan telur, bumbu penyedap, dan dikukus hingga matang. Di sajikan dalam nampan dan disiram saus racikan cabe rawit, bumbu penyedap, bawang putih, kemiri dan gula merah. Dengan tambahan kacang tanah, air dan cuka yang diaduk sampai rata. Minumnya ada Juice Ambula. Racikan buah kedondong, air, dan madu. Di tuang ke dalam gelas saji dan di tambahkan manisan Kiamboy. Yaitu sejenis buah plum yang banyak di jual di toko-toko bahan makanan China. Warnanya putih dan merah. Bripda polisi Sinta meletakkan nampan saji itu di meja keci sisi pembaringan. Baru Anggitho menyadari kehadiran Bripda polisi Sinta saat wanita itu berada di dekatnya dan menyapa.

                “Siang… sayang, gak bisa tidur ya ?”  katanya dengan akrab.

                “Oouuhh… mbak Sint. Sudah lama ya ?”  jawab Anggitho dengan senyum yang hambar. “Gak tahu ni… siang ini suasana hatiku sedang tidak enak benar. Gak tahu pengin ngapain… yaa.”

                “Kalau gitu… makan ini saja. Sawi Putih Gulung Saus Kacang. Buatanku sendiri lho…”  kata Bripda polisi Sinta membawa sepiring Sawi putih gulung saus kacang itu. Dengan sebilah sendok garpu untuk menyuapi Anggitho. Satu suapan itu sudah Bripda polisi Sinta sodorkan dan hampir sampai di mulut Anggitho. Tapi pemuda itu malah menatap wajah ayu Bripda polisi Sinta dalam-dalam tanpa berkedip.

                “Mbak Sinta… mengapa aku ini selalu menjadi terhina dalam perjalanan cinta. Mengapa aku tidak bisa menjadi pria yang pantas untuk di cintai seorang wanita ?”  Anggitho menyatakan dengan menimpakan kesalahan kepada dirinya sendiri.

                “Kau ini bicara apa, sayang… Aku bahagia kok bisa mencintaimu.”  Tapi kemudian Bripda polisi Sinta segera menyadari kalau fokus pembicaraan ini akhirnya tertuju pada Lettu infanteri Intan Hierrawati Rasmintho. Wanita yang telah dengan terus-terang menyatakan rasa sukanya kepada Anggitho. Dan kenyataan itu telah membuat Anggitho dalam situasi yang sulit. Bripda polisi Sinta urung menyuapi Anggitho dan meletakkan piringnya kembali ke nampan saja. Dia kembali duduk di hadapan Anggitho dengan serius.

                “Anggitho… seandainya karena kehadiran Letnan satu Intan itu aku harus pergi dari sisimu, akan aku terima. Itu karena aku sangat mencintaimu. Melihatmu bisa berbahagia bagiku itu sudah cukup. Tidak ada yang bisa membuatku bahagia selain dirimu seorang Anggitho, sayang.”  Bripda polisi Sinta memegang kedua pundak Anggitho.

                “Tapi aku tidak ingin kehilangan mbak Sinta. Aku cinta mbak Sinta.”  Anggitho berusaha menyatakan perasaannya yang ingin tetap mempertahankan cinta Bripda polisi Sinta. “Kalau memang harus… dan aku keluar dari keluarga besar Panglima ini, apa mbak Sinta masih tetap mencintaiku ?”

                “Aaach… Anggitho. Apa sampai harus sejauh itu ?”  Bripda polisi Sinta menjadi terkejut dengan keputusan Anggitho yang demikian drastis. Terbayang jelas dalam ingatannya, begitu banyak orang-orang yang masih menginginkan Anggitho hancur. Mereka yang anak-anaknya masih di jadikan tersangka kasus pengeroyokan dan usaha pembunuhan terhadap Anggitho. Yang sampai sekarang belum jelas nasibnya dan masih mencari-cari informasi kesana- kemari. Mungkin, Kombes polisi Bagus Wibawa sudah bukan ancaman lagi bagi Anggitho. Kekuasaan tertinggi nyonya Pangko Daerah Militer Jawa V Mayjen infanteri Estianni Rahayu Rasmintho sudah membungkam ambisi gila Kombes polisi Bagus itu untuk menyandera Anggitho sebagai alat untuk di tukar dengan para tersangka. Tapi masih ada keluarganya. Anak isteri Kombes polisi Bagus yang pasti akan senang sekali mendengar Anggitho telah di usir keluarga nyonya Panglima, dan menjadi pemuda biasa lagi. Bripda polisi Sinta… dia mungkin juga tidak mudah untuk selalu menjaga Anggitho.

                “Tidak… Anggitho, sayang. Kau tidak boleh bersikap manja seperti itu. Meninggalkan keluarga ini demi mencintaiku bukan pilihan yang tepat untuk masa depanmu. Kau tahu… di luar sana masih banyak orang yang ingin melihatmu hancur. Tanpa dukungan keluarga nyonya Panglima, kau bukan siapa-siapa di luar sana. Dan akan sangat mudah di hancurkan orang.”  Katanya.

                “Kalau aku bertahan di rumah ini, mungkin aku harus memilih hal yang paling tidak ku sukai.”

                “Hmm…”

Bripda polisi Sinta sedang berfikir ketika pintu di ketuk dari luar dan nampak Ambar muncul dengan wajah ceria. Bripda polisi Sinta berpaling dari Anggitho tanpa beranjak dari duduknya. Anggitho juga sama penasarannya menunggu penjelasan mengapa wanita ini muncul tanpa di minta.

                “Sorry… aku ngganggu. Di bawah ada Letnan satu Intan. Ingin ketemu secara pribadi dengan mbak Sinta.”

                “Aku…”  Bripda polisi Sinta menyakinkan pernyataan itu dengan serius. Dan setelah menenangkan Anggitho agar suasana tidak menjadi semakin runyam, Bripda polisi Sinta memutuskan turun menemui Letnan satu Intan Hierrawati Rasmintho. Dan sesaat berpaling memberikan satu kecupan kepada Anggitho sambil berkata sebelum turun. “Habiskan saja makanmu, sayang… nanti biar kami di bawah yang merundingkan jalan tengah demi kebaikan semuanya. Okey…?”

Letnan satu infanteri Intan Hierrawati Rasmintho telah datang dengan mobil keluarga Volkswagen Carravelle 2.469cc yang di kemudikan supir dari Angkatan Darat. Langsung dari rumahnya di kawasan Brawijaya  no. 01 Malang untuk menjemput Anggitho. Telah meminta ijin kepada petugas Puspom Kodam yang bertugas bersama-sama dengan unit mobil lapis baja Humvee yang berjaga di depan rumah dinas asrama putra-putri angkat keluarga Panglima. Letnan satu Intan duduk menunggu di soffa ruang tamu yang dialasi permadani bulu domba. Hingga terlihat Bripda polisi Sinta turun dari lantai atas. Bripda polisi Sinta tidak mengenal baik Letnan satu Intan Hierrawati ini. Tapi dia pernah mendengar tentang keluarga nyonya Pangko Daerah Militer Jawa V, Mayjen infanteri Estianni Rahayu Rasmintho yang puterinya sudah lama bertugas di luar negeri. Letnan satu Intan masih mengenakan seragam dinas Angkatan Darat tanpa jas-nya. Sungguh harmonis dengan gaya tomboy Letnan satu Intan, di tengah tradisi keluargaya yang bercorak militer. Topi dinasnya yang mirip perahu untuk korps wanita Angkatan Darat. Letnan satu Intan duduk dengan tenang membelakangi tangga turun yang berada di sudut ruang tengah.

 

Menghisap dengan nikmat sebatang rokok putih Sampoerna A Mild 16 Lasermild kretek kesukaan Letnan satu Intan, besutan dari PT. HM Samperna Tbk. Surabaya. Bripda polisi Sinta tak sanggup berfikir. Seluruh tubuhnya terasa lemas. Sudah pasti Letnan satu Intan mendengar ketika dia turun tadi. Tapi dia sama sekali tidak bergeming. Tetap menikmati hisapan rokoknya dengan nyaman sembari mengarahkan pandangannya pada kesibukan para pengawal di pekarangan depan. Bripda polisi Sinta menahan nafas. Antara lega dan was-was.

                “Letnan satu Intan…”  Bripda polisi Sinta akhirnya maju dan memberanikan diri menyapa. Letnan satu Intan meniupkan asap terakhir rokok putihnya dan memandang Bripda polisi Sinta dengan senyum yang dingin. Bripda polisi Sinta mencoba untuk tidak memperdulikan itu. Mengambil tempat duduk di soffa sebelah Letnan satu Intan dengan tenang. “Saya… Bripda polisi Sinta. Mungkin kita perlu membicarakan ini lebih serius. Tentang Anggitho.”

Bripda polisi Sinta menggertakkan gigi dan membusungkan dada. Ia berusaha untuk bersikap tenang. Meskipun tiba-tiba saja karier polisinya bisa berakhir setelah ini. Sebaliknya Letnan satu Intan yang merasa dirinya jauh berada di atas angin karena kepangkatan dan pengaruh orang tuanya bersikap sangat tenang dan dingin.

                “Terus-terang saja, Sinta… pertama kalinya bertemu dengan ketampanan Anggitho yang begitu kental berbalut kepolosan. Dan… aku yyeaa… jatuh cinta karena itu. Sejak kecil aku biasa memperoleh setiap keinginanku dengan mudah. Dan aku paling tidak suka dengan kegagalan. Aku akan mempergunakan segala pengaruhku untuk mendapatkan keinginan itu.”  Kata Letnan satu Intan mempresentasikan sikap pribadinya. Semangat Bripda polisi Sinta langsung down. “Tapi kau sendiri tahu. Sulit memaksakan perasaan pada seseorang seperti Anggitho. Dia sudah jatuh cinta untuk pertama kalinya denganmu, Sinta. Dan fakta itu tidak bisa di bantah. Jadi… supaya kita tidak harus saling berdebat tanpa hasil. Dan tidak ada yang harus merasa kehilangan. Maka… mau tidak mau kita berdua memang harus berbagi. Kita akan mulai belajar untuk mencinta pria yang sama. Bagaimana.”

                “Seandainya mungkin, karena besar cinta saya pada Anggitho… saya juga rela pergi untuk menyerahkan sepenuhnya kepada Letnan satu Intan. Bagi saya, melihat Anggitho bahagia dengan pilihannya sudah lebih dari cukup. Tapi seperti yang Letnan satu Intan mengetahui juga. Anggitho lebih tidak rela melepaskan diri saya ketimbang statusnya sebagai putera angkat keluarga nyonya Pangko Daerah Militer Jawa V. Mayjen infanteri Estianni Rahayu Rasmintho.”  Kata Bripda polisi Sinta memberanikan diri.

                “Hmm… kau benar. Hal itu juga yang mengharuskanku menganggap sangat penting perbincangan ini.”  Kata Letnan satu Intan lagi. “Jadi… mungkin kita harus mengatur waktu untuk bisa berdua saja dengan Anggitho tanpa ada beban kecemburuan yang memalukan antara kita. Karena jelas… kesempatan untuk membawa-bawa Anggitho keluar untuk saat-saat sekarang ini sangat terbatas.”

                “Oouuww… Letnan satu Intan bisa mengunjungi Anggitho kapan saja. Hanya saat sekarang ini Anggitho masih suka ketakutan pasca usaha penangkapan orang-orang IcB yang mau menyandera dia tempo hari.”  Kata Bripda polisi Sinta sedikit memperingatkan. Semua kata-katanya di ucapkan dengan penuh keragu-raguan dan cemas.

                “Yeaa… aku mengerti. Anggitho tidak boleh di tinggalkan sendirian untuk jangka waktu yang lama. Karena itu kita harus mengatur jadwal pertemuan. Selama Anggitho bersamaku, tentu… aku akan terus menemaninya selama duapuluh empat jam. Tidak akan meninggalkan Anggitho satu kedipan saja.”

                “Yeaa… saya percaya Letnan satu Intan mengenai hal itu.”  Kata Bripda polisi Sinta. “Yang terpenting saya percaya pada Letnan satu Intan. Anda akan menjaga Anggitho seperti anda melindungi diri anda sendiri. Karena setiap kali Letnan satu Intan membawa Anggitho pergi dari rumah ini… sebagian dari diri saya akan terbawa dan hambar.”

                “Trima kasih… karena kau telah percaya padaku. Bripda polisi Sinta. Tentu aku akan menjaga Anggitho dengan baik. Sebagaimana aku melindungi diriku sendiri. Karena sejujurnya aku juga sangat mencintainya. Sementara nanti kami pergi, mungkin sejumlah pengawal yang menjaga rumah ini akan ikut pergi. Kuharap kau tidak keberatan.”  Lettu infanteri Intan Hierrawati menyatakan untuk yang terakhir kalinya dan meminta diri.

Di antarkan Bripda polisi Sinta sampai ke teras beranda rumah dan terus melangkah melewati beberapa pengawal menuju ke mobilnya sendiri. Mobil keluarga Volkswagen Carravelle 2.469cc yang di kemudikan supir pribadi Angkatan Darat. Sebelum berpisah tadi Lettu infanteri Intan Hierrawati menitipkan bungkusan amplop coklat untuk Anggitho. Dari bentuknya bisa di duga kalau bungkusan amplop itu berisi uang. Anggitho sendiri dari keluarga besar Pangko Daerah Militer Jawa V mendapat uang saku satu jutaan sebulan. Artinya dia punya modal pacaran tigapuluh lima ribuan sehari dengan uang saku itu. Tidak termasuk biaya sekolah dan buku-buku yang kesemuanya di tanggung oleh keluarga Pangko Daerah Militer Jawa V. Tampaknya juga seluruh putera angkat keluarga Pangko Daerah Militer Jawa V mendapat uang saku yang sama dengan Anggitho. Bripda polisi Sinta membuka bungkusan amplop itu yang memang tidak disegel. Mengembangkan selembar surat dengan tulisan tangan Lettu infanteri Intan sendiri. Ada tiga bendel uang kertas seratus ribuan yang total jumlahnya tigapuluh juta rupiah. Di sertai dengan satu paket daftar belanja yang harus Bripda polisi Sinta belikan untuk keperluan Anggitho besok.

 

Rupanya Lettu infanteri Intan Hierrawati. Selain ingin berbagi mencintai Anggitho dengannya, juga menganggap Bripda polisi Sinta sebagai pembantunya yang pantas di suruh-suruh sebagai pelayan Anggitho.  Dasar anak Jendral. Sudah melakukan cara-cara busuk untuk mendapatkan keinginannya, masih menganggap orang lain itu seperti semua anggota pasukan bawahan Mamma-nya yang akan patuh dan hormat pada segala perintahnya. Padahal Bripda polisi Sinta sama sekali bukan anak buah nyonya Panglima Mayjen infanteri Estianni Rahayu Rasmintho. Bripda polisi Sinta bahkan tidak berada dibawah institusi yang sama dengan institusi yang menaungi Mayjen infanteri Estianni Rahayu Rasmintho. Bripda polisi Sinta melipat kembali daftar belanjaan itu dan memasukkan ke dalam bungkus amplop. Kembali ke dalam kamar Anggitho pada saat pemuda yang rapuh dan tanpa semangat hidup itu masih duduk mematung di atas ranjang. Menutup pintu dari dalam dan Bripda polisi Sinta melangkah dengan senyum menghampiri Anggitho.

                “Gimana… mbak Sinta, mbak Intan sudah pergi ?”  tanya Anggitho dengan nada yang khawatir.

                “Hmmhh… yyeaaa. Pergi untuk kembali menjemputmu sore nanti.”  Kata Bripda polisi Sinta dengan putus asa. “Sore nanti ada acara Api Unggun, esoknya ada Diving Party dengan teman-teman satu angkatan Lettu infanteri Intan di Sangkapura, pulau Bawean.”

                “Tapi aku… lebih memilih mbak Sinta untuk… aku… cintai.”  Anggitho mempertahankan keteguhan cintanya.

                “Hmmhh… sayang, Anggitho… aku memaklumi keteguhanmu. Aku juga sangat mencintaimu dan tidak ingin membagi cinta ini dengan wanita lain. Tapi…”  Bripda polisi Sinta duduk menghadapi Anggitho di tepian ranjang. Merengkuh pundaknya dan memberinya satu ciuman. “Untuk saat sekarang ini kita tidak punya pilihan, sayang… kondisi kita, keselamatanmu, sekarang ini sedang terancam yang di picu oleh kasus penyerangan dan percobaan pembunuhan dirimu tempo hari. Hanya sebagai putera angkat nyonya Pangko Daerah Militer Jawa V kau terlindungi. Kita menghadapi komplotan petinggi-petinggi pemerintahan yang anak-anak dan keponakannya masih di tahan sampai sekarang dan, belum jelas nasibnya. Mereka akan memburumu sampai ke lubang semut sekalipun, begitu mereka tahu kau bukan putera angkat nyonya Pangko Daerah Militer Jawa V lagi. Kau mengerti ?”

                “Jadi… situasi ini tetap memaksa hubungan cinta kita harus berakhir ?”  Anggitho menanyakan kejelasan hubungan mereka dengan nada yang lesu.

                “Tidak harus begitu, sayang… Anggitho. Hmmhh… begini, tadi… kami, Letnan satu Intan dan aku sudah bicara. Kami akhirnya sepakat dalam situasi sekarang ini tidak bisa menguntungkan semua orang. Harus ada hal yang di korbankan. Daripada kami yang mundur salah satu dan, itu artinya menyakiti salah satu fihak. Lebih baik lagi kalau kami berbagi saja.”  Bripda polisi Sinta mengatakan sembari bangkit mengambil gelas minum Juice Ambula. Menyendok racikan buah kedondong rasa madu dan manisan Kiamboy. Untuk di santap. Bahkan sempat memberikan sesuap untuk Anggitho sendiri.

                “Apakah itu artinya… aku harus… mencintai… kalian… ber…dua… ?”  Anggitho terpatah-patah. “Bagaimana aku harus menerima keadaan ini ?”

                “Kalau ini sulit kau jalani… paling tidak, awali dengan menganggap ini sebagai kewajiban. Kewajibanmu membalas semua fasilitas yang telah di berikan oleh keluarga nyonya Panglima. Dengan menjadi pelayan pribadi Letnan satu Intan Hierrawati. Puteri kandung beliau. Kau setuju ?”  Bripda polisi Sinta membujuk.

                “Maksud mbak… pelayan yang memenuhi segala kebutuhan pribadi termasuk memuaskan nafsunya di atas ranjang ?”

                “Apakah itu membuatmu keberatan ?”

                “Sesungguhnya… aku tidak siap dengan cara hidup yang aneh seperti itu. Aku merasakan kenikmatan bercinta dari mbak Sinta. Dan bagiku itu sudah lebih dari cukup. Tidak ingin berbagi dengan yang lain. Sekalipun kita sudah benar-benar menikah nanti.”

                “Seandainya kita bisa memilih yang seperti itu… Anggitho. Aku juga mau. Tapi…”

                “Yyaa… sudahlah. Aku mengerti situasinya kok, mbak. Asalkan mbak Sinta berjanji tidak akan meninggalkanku. Dalam keadaan bagaimanapun. Oke…?”

                “Tentu, sayang… Anggitho.”  Keputusan tepat, seperti yang di rencanakannya, Bripda polisi Sinta berkata dalam hati dan tersenyum. Di raihnya pundak Anggitho dan mencium bibirnya dengan erat.

Sudah hampir jam satu siang, Bripda polisi Sinta memandang ke arah jam dinding yang tergantung di sisi kiri atas mereka dalam kamar besar itu. Udara begitu dingin terasa walaupun di luar cuaca sedang sangat panas. Karena hari itu kedinginan udara AC di atur sedikit lebih tinggi. Mereka menjadi bergairah untuk saling memeluk dan mulai bercinta lagi. Tapi tidak. Bripda polisi masih mempunyai tugas yang harus dia kerjakan. Membelikan Anggitho sepotong baju selam yang tertutup seukuran pas dengan tubuh Anggitho. Beberapa stel baju santai  yang mahal dan pantas untuk bepergian. Karena selama menjadi anggota keluarga Pangko Daerah Militer Jawa V Mayjen infanteri Estianni Rahayu Rasmintho, Anggitho masih mengenakan baju-baju lamanya peninggalan masa mondok di Pesantren yang biasa-biasa saja. Di sesuaikan dengan uang saku dari Rommo Yai Haji Raden Muhammad Alli Hassan yang kala itu hanya duapuluh ribuan seminggu. Di kalangan Pesantren Abdussallaam al-Qudd kala itu uang saku delapanpuluh ribu sebulan sudah sangat banyak untuk di belanjakan pakaian dan keperluan mandi Anggitho sehari-hari di pasar dusun.

                “Aku tinggal dulu… sayang, Anggitho. Akan ku belikan beberapa baju bagus dan parfum yang pantas untukmu.”  Bripda polisi Sinta memberikan kecupan terakhir di bibirnya dan bangkit untuk pamitan pergi.

                “Baik sekali mbak Sinta melakukan itu… memang ada uang ?”  Anggitho menyindir.

                “Aku sih nggak punya. Tapi Letnan satu Intan yang punya. Barusan dia memberiku sebungkus uang tunai tigapuluh juta rupiah untuk aku belanjakan siang ini. Apa kau mau nitip sesuatu, sayang ?”

                “Apa boleh begitu…?”

                “Tentu saja. Sekarang ini semua sudah menjadi uangmu. Jadi selain baju-baju yang dia pesan, kau boleh minta yang lain… apa saja.”  Bripda polisi Sinta menegaskan.

                “Baiklah… aku mau mbak Sinta belikan kue klepon, kue lopis dan kue kicak. Sudah lama sekali aku tidak merasakan makanan-makanan pasar yang aku gemari seperti itu.”  Anggitho memesan apa yang sedang di pikirkannya. “Mbak Sinta pergi naik apa ?”

                “Jangan pikirkan itu, sayang… Anggitho. Uangku banyak sekarang. Aku bisa naik apa saja. Sewa taksi kalau perlu.”

                “Mbak Sinta ajak mbak Yunni atau mbak Ambar saja. Biar nggak bosan.”

                “Aku sedang berfikir untuk minta bantuan Bripda polisi Nirrina, temanku. Lagian sudah lama kami tidak bertemu.”

                “Kalau itu membuat mbak Sinta nyaman, baiklah.”  Kata Anggitho akhirnya.

                “Githo…”  kata Bripda polisi Sinta lembut sambil memegang kedua jemari tangan Anggitho. “Aku mohon satu hal baik-baik kepadamu. Demi hubungan cinta kita berdua… disini kita banyak bergantung pada keluarga nyonya Panglima Mayjen infanteri Estianni Rahayu Rasmintho. Jadi… jangan kacaukan hubungan segitiga ini dengan letupan emosimu. Oke ?”

Tidak terasa dan tanpa dia sadari, dua tetes bening airmata telah bergulir ke pipinya. Sesak nafas Bripda polisi Sinta dengan tiba-tiba. Dia meninggalkan Anggitho dengan senyuman yang hambar. Dia sangat mencintai Anggitho seperti ketika dulu pertama kali dia jatuh cinta pada Don juan Sonny Putrahimawan. Hampir mirip dengan kisah cinta yang akhirnya mendamparkan hatinya pada keangkuhan lelaki bernama Don juan Sonny itu. Yang ternyata hanya menjadikan dirinya sebagai pemuas nafsu berahi belaka di antara sekian banyak gadis-gadisnya yang juga di perlakukan sama. Hanya bedanya sekarang, Anggitho terpaksa harus menduakan cintanya karena keadaan. Yang celakanya malah, dia sendiri paling mendukung gagasan itu di tanamkan pada Anggitho. Bayangan masa lalu itu sesungguhnya telah dia kubur dalam-dalam. Semasa Bripda polisi Sinta masih kadet calon bintara muda yang sedang meniti jenjang kepangkatan dasar di institusi kepolisian. Saat itu Kombes polisi Bagus Wibawa adalah mentor para calon bintara magang yang melakukan praktek pendidikan lapangan. Semacam magang kerja di wilayah operasi Resort Kepolisian Metro Malang.

 

Don juan Sonny juga adalah siswa baru yang menjalani Masa Orientasi Sekolah di Es-em-K Negeri 03 Dian Harapan kawasan jalan Juanda kota Malang. Masih lugu dan suka bersembunyi dibelakang kedua polisi pengawalnya yang dengan setia mengantarkan Don juan Sonny ke sekolah. Hubungan yang di perantarai Kombes polisi Bagus Wibawa itu memang berpengaruh baik bagi kariernya. Bripda polisi Sinta tercatat sebagai kadet bintara yang lulus terbaik dan tanpa cacat beberapa bulan kemudian berkat pengaruh Kombes polisi Bagus Wibawa. Bripda polisi Sinta juga langsung menerima surat penugasan pertamanya di Satlantas Resort Kepolisian Metro Malang dan menempati pos pengamanan di simpang Juanda. Tepat di depan sekolah Don juan Sonny. Juga karena pengaruh pribadi Kombes polisi Bagus Wibawa. Dan hampir tiga tahun menjalani hubungan, akhirnya semua menjadi seperti ini. Apakah kenyataan yang pahit itu harus terulang dengan Anggitho…

 

Bripda polisi Nirrina Angelinne siang itu menjemputnya dengan mobil dinas Timor S-515 DOHC 1.5cc putih patroli jalan raya dengan strobo sirent-light yang dia pinjam dari bagian kendaraan Resort Kepolisian Metro Malang. Meluncur tenang meninggalkan kawasan Brawijaya. Mobil putih patroli jalan raya itu langsung menuju ke Mataharai Plaza yang sedang ramai. Mobil boleh terus masuk saja tanpa harus membayar ticket parkir karena mereka menggunakan mobil dinas saat jam tugas. Bripda polisi Nirrina Angelinne juga mengenakan seragam polisi lengkap dengan jacket hitam polisi yang menutupi seragam dinas itu. Sementara Bripda polisi Sinta yang sedang cuti mengenakan pakaian sipil. Tidak langsung hunting pakaian untuk Anggitho dan mungkin sebagian kecil juga untuk memuaskan selera belanja mereka sendiri, Bripda polisi Sinta mengajak temannya mampir ke stand makanan fast food. Tepatnya di lantai gedung paling atas yang satu lantai dengan tempat bermain anak-anak. Mulai dari video game sampai mobil-mobilan yang paling di sukai anak-anak balita. Laksa Susu Kedelai Bu Ratmi adalah salah satu menu makanan favorite para pengunjung di Matahari Plaza kota Malang ini.

 

Laksa Susu Kedelai itu seperti yang Bripda polisi Sinta ketahui adalah tumisan bumbu-bumbu yang dimasak dengan serai, lengkuas, dan daun jeruk. Ditambahkan susu kedelai hingga matang. Di campur dengan kaki-kaki ayam atau ceker, irisan wortel, dan diberi bumbu penyedap. Setelah itu di hidangkan dalam mangkuk saji, di campur dengan mie bihun, irisan telur matang, kentang goreng dan daun kemangi. Lalu di taburi bawang goreng dan di sajikan dengan satu cawan kecil irisan jeruk nipis. Kaki-kaki ayam atau ceker itu telah dimasak dalam panci presto sehingga tulang-tulang kaki itu menjadi lunak. Untuk minumnya mereka pesan juice alpukat. Bripda polisi Nirrina meneguk minumannya dengan sedotan setelah melewatkan beberapa suap Laksa Susu Kedelai-nya.

                “Jadi gimana Sint… betah dengan anak nyonya Panglima itu ?”  Bripda polisi Nirrina menanyakan kondisi sahabatnya. Bripda polisi Sinta menghabiskan sesuap Laksa Susu Kedelai-nya sebelum akhirnya menanggapi pertanyaan sahabatnya.

                “Aku berharap juga akan baik-baik saja, Rinn…”

                “Lho… memangnya ada masalah apa lagi to ?”

                “Masalah yang sangat serius. Ternyata bukan aku saja yang naksir berat Anggitho. Letnan satu Intan Hierrawati. Puteri kandung nyonya Panglima Mayjen infanteri Estianni Rahayu Rasmintho. Dia juga sangat menyukai Anggitho. Kemarin dia baru pulang dari Tokyo dan pagi tadi memberi kejutan kepada orang tuanya.”  Jawab Bripda polisi Sinta ringan seakan itu bukan masalah besar baginya. Dia meraih gelas Juice Alpukat dan meminumnya seteguk dengan sedotan. Sikap yang biasa saja dari Bripda polisi Sinta ini sungguh mengherankan sahabatnya.

                “Jadi cerianya… kamu terdepak juga dari jalinan cinta Anggitho. Pengaruh kekuasaan Letnan satu Intan Hierrawati itu jelas sangat jauh dari perhitunganmu. Kau tidak mungkin bersaing dengan wanita itu, Sint…”  Bripda polisi Nirrina menyatakan pandangan pribadinya dengan jujur. Bripda polisi Sinta tersenyum. Entah bagaimana tanggapan sahabatnya nanti kalau tahu kesepakatan gila yang telah dia buat dengan Letnan satu Intan Hierrawati Rasmintho.

                “Kau tahu Rinn… lucunya justeru, aku di larang keras meninggalkan Anggitho. Kami akan membagi cinta Anggitho untuk berdua sebaik mungkin. Anggitho dengan usianya yang belum genap enambelas tahun itu sangat mudah di tekan dan di pengaruhi. Sangat lama dia terkungkung dalam dunia Pesantren di pelosok dusun terpencil di kaki gunung Semeru. Hanya mengenal kegiatan mengaji dan menurut apa kata Rommo Yai –nya sendiri. Jadi kami tidak memberinya banyak pilihan.”

                “Kau ini gila… Sint.”

                “Keadaan yang memaksaku harus menerima kesepakatan ini.”  Protes Bripda polisi Nirrina setengah berbisik. Memandang wajah ayu Bripda polisi Sinta dengan tatapan tidak percaya. Namun secara pribadi Bripda polisi Nirrina mengagumi keberanian Bripda polisi Sinta untuk menerima resiko menjalin hubungan segitiga dengan anak seorang Pangko Daerah Militer Jawa V yang sangat besar pengaruh kekuasaannya di kota Malang ini. Bripda polisi Nirrina menjadi tercekat.

                “Bagaimana kau sampai terlibat dengan kesepakatan itu ?”

Bripda polisi Sinta tersenyum meneruskan nikmatnya makan Laksa Susu Kedelai sesuap sebelum melanjutkan lagi jalan cerita yang sangat di tunggu-tunggu sahabatnya. Lalu menyerutup juice alpukat miliknya sedikit.

                “Aku khawatir… Rinn. Letnan satu Intan Hierrawati telah mengancam akan mempergunakan segala pengaruhnya untuk merebut cinta Anggitho dari sisiku. Di lain pihak, saat ini posisi Anggitho masih sangat berbahaya. Kau tahu wakil walikota Malang yang sampai sekarang masih sibuk mencari-cari keponakannya yang hilang, Komandan satuan distrik Militer kota Malang yang masih kehilangan puteranya, beberapa kepala dinas Kabupaten Malang. Bahkan seorang mantan Bupati Malang yang sekarang mengembangkan wirausaha di bidang perumahan. Satu-satunya putera beliau juga hilang. Semua berawal dari perintah pribadi Don juan Sonni Putrahimawan untuk menghabisi Anggitho di sekolah.”

                “Apa dia mengancam akan mengusir Anggitho dari status putera angkat keluarga nyonya Panglima Mayjen infanteri Estianni Rahayu Rasmintho ?”  Bripda polisi Nirrina melantunkan pemikirannya.

                “Secara resmi sih… tidak. Tapi seperti itulah makna yang tersirat dari keteguhan hatinya ingin mendapatkan Anggitho. Celakanya, Anggitho sendiri… Rinn. Dia lebih memilih keluar dari status putera angkat keluarga nyonya Pangko Daerah Militer Jawa V Mayjen infanteri Estianni Rahayu Rasmintho itu daripada berpisah dariku.”

                “Aku rasa sih… pelik juga. Kalau Anggitho sendirian, rasanya perlindunganmu sendiri tidak akan mempan menyelamatkan Anggitho dari tangan-tangan keji pejabat-pejabat daerah yang mulai gelap mata itu.”  Desis Bripda polisi Nirrina kemudian. Bripda polisi Sinta mendesah. Bripda polisi Nirrina berpandangan, dia mungkin akan melakukan kegilaan yang sama dengan Bripda polisi Sinta bila di tempatkan dalam posisi itu. Duganya dalam hati.

                “Jadi kau benar-benar dengan kesepakatan itu, Sint…”

                “Yaa. Bahkan daftar belanjaan untuk Anggitho ini, Letnan satu Intan yang memberi modalnya padaku.”  Jawab Bripda polisi Sinta serius.

                “Tigapuluh juta ?”

Bripda polisi Sinta menghela nafas sesaat. Bagi seorang Letnan satu Intan Hierrawati memang nilai uang tigapuluh juta rupiah tidak ada artinya. Sebagai perwira pemula Angkatan Darat yang di perbantukan untuk Kementerian Luar Negeri Letnan satu Intan mendapatkan gaji bersih sembilan juta sebulan. Sementara untuk mobilitas pelaksanaan tugasnya dia bisa mempergunakan mobil dinas yang tidak membebani kantong pribadinya sesenpun. Mendapatkan rumah dinas di lingkungan komplek kedutaan dan mendapat jatah makan tiga kali sehari. Tidak terasa Bripda polisi Sinta tinggal menyisakan sepertiga Laksa Susu Kedelainya untuk disantap kemudian.

                “Gaji Letnan satu Intan sendiri besar, Rinn. Belum lagi Mammanya… nyonya Panglima Mayjen infanteri Estianni Rahayu Rasmintho mendapat penghasilan tetap empatpuluh juta sebulan. Suaminya, tuan Profesor Dr. Agung Rasmintho SH, Js.D, pemilik yang sekaligus direktur Kantor Advocate Rasmintho SH, Sw.D, Ph.D, Js.D, Laws Master.& Friends. Untuk sekali pemenangan kasus sengketa tanah senilai empatratus limapuluh milyard dia mendapatkan bayaran bersih senilai sembilanpuluh milyard rupiah. Apa nggak gila itu… ?”

                “Kau benar Sint… uang bagi mereka sama sekali bukan masalah.”  Desis Bripda polisi Nirrina kemudian. Membayangkan betapa besar kemampuan finasial keluarga Mayjen infanteri Estianni Rahayu Rasmintho itu. Menjadi deposit terbesar di beberapa kantor cabang Bank Multinasional di Malang, tentu sangat luar biasa. Dari bunga bank yang mereka dapatkan sebulannya bisa mencapai enam milyard lebih yang sebagian kemudian di gunakan untuk mendanai kegiatan-kegiatan amal keluarga besar Mayjen infanteri Estianni Rahayu Rasmintho. Termasuk membiayai pendidikan para putera angkat mereka.

Setelah membayar nota tagihannya, Bripda polisi Sinta mengajak sahabatnya berkeliling melihat-lihat stand fashion Matahari Plaza. Di mulai dengan stand perlengkapan alat-alat olah raga. Mencari baju selam dari bahan karet yang kuat, memilih corak yang pas dengan selera Bripda polisi Sinta pribadi. Stand perlengkapan olah raga itu juga menyediakan pakaian dalam yang cocok untuk di pakai bersama-sama dengan baju selam. Sementara kacamata selam dan sepatu katak biasanya di sediakan bersama dengan persewaan tabung oksigen di daerah wisata. Atau di sediakan oleh agensi outlook party yang menyelenggarakan kegiatan. Memilah-milah sendiri baju selam yang cocok dari Anggitho tidak mudah. Untungnya Bripda polisi Sinta telah mengenal betul ukuran baju yang cocok dengan badan Anggitho. Setelah mendapatkan yang di inginkannya, Bripda polisi Sinta membawa barang-barang belanjaannya ke meja kasir.

                “Sudah yakin itu cukup… Sint ?”  Bripda polisi Nirrina Angellinne menanyakan kepada sahabatnya itu.

                “Untuk baju selamnya aku rasa iya. Kita akan membeli lebih banyak untuk setelan pakaian Anggitho yang di pakai untuk kegiatan sehari-harinya. Semua yang aku temukan dalam almari pakaiannya dari bahan murahan. Letnan satu Intan pasti tidak suka dengan itu.”  Kata Bripda polisi Sinta menyodorkan pakaian-pakaian itu kepada petugas kasir yang langsung menyensor label harga pada baju selam dan pakaian dalamnya.

                “Akan banyak belanjaan kita hari ini, Sint.”

                “Apa itu mengganggumu. Jarang-jarang kita mendapat kesempatan belanja-belanja seperti ini.”

                “Yyeaa… kau benar. Lagipula budjet kita kali ini praktis unlimited.”  Bripda polisi Nirrina mendukung dengan tawa ceria.

                “Okey… kita lanjut.”

Mereka meneruskan langkahnya di lorong-lorong koridor Matahari Plaza itu sambil cuci mata. Mengamati pemandangan-pemandangan simpatik dari cowok-cowok Metropolitan yang sedang mencari perhatian. Kemudian mereka masuk ke stand perlengkapan fashion. Memilih kemeja lengan panjang berornament print garis, dengan aquare cut jeans 525 bootcut fit dari Levi’s. Kaos T-Shirt berornament print dengan square cut jeans 525 slim fit dari Levi’s. Knetted sweater berleher V dengan celana pinstripe. Scraf sutera dari Hermes. Kemudian ada lagi kemeja atasan bermotif garis dengan jacket kulit dari Hugo Boss. Mantel Woll denga blazer satu kancing da sepatu boots kulit dari Louis Vuitton. Ada jacket Woll dengan vest kulit dan celana katun dari Louis Vuitton. Kalungnya Bripda polisi Sinta memilih neckace dari Vintatic. Dan parfum dia lebih memilih Memoir D’Homme dari Nina Rici dengan aroma yang maskulin dan sensual. Tidak terasa hunting belanja mereka sudah menghabiskan uang belanja sekitar sepuluh juta rupiah. Lima kantung tas sudah mereka jinjing di kedua tangan tanpa sedikitpun merasa kecapekan. Beberapa tambahan sandal kulit mungkin Anggitho juga butuh. Ini menambah beban berat tangan-tangan mereka yang lembut.

                “Sint… lihat, tas baru dari Kelly Reborn. Berformat lining dari material yang mewah.”  Tatapan mata Bripda polisi Nirrina terbelalak. Memang benar. Tas berukuran 35cm itu berbalut bahan goat skin dengan lining bulu domba yang sangat glamour. Cocok untuk feminimisme Bripda polisi Nirrina yang manja. Tapi sangat tidak cocok untuk gaya gadis tomboy sekelas Bripda polisi Sinta.

                “Atau mini Amazone bag dari bahan suede itu… darling, oouuwww… sangat sweet.”  Kembali Bripda polisi Nirrina seperti merajuk.

                “Baiklah… Amazone bag itu saja, lebih cocok untukmu.”

Akhirnya mereka berdua masuk ke stand perlengkapan tas wanita itu. Melihat-lihat dengan lebih detail koleksi tas mereka dengan beragam pilihan yang bagus-bagus. Sebuah Amazone bag dari bahan suede. Benar kata Bripda polisi Sinta. Lebih cocok untuk polisi wanita seperti Bripda polisi Nirrina.

                “Thanks… Sint. Aku sangat suka dengan koleksi tas ini.”  Komentar Bripda polisi Nirrina yang kegirangan saat menuju ke meja kasir. Sudah terlalu banyak barang-barang belanjaan mereka. Akhirnya sebuah kereta dorong dalam Matahari Plaza itu mereka pilih untuk meringankan beban di tangan. Mereka kembali menyusuri lorong-lorong koridor Matahari Plaza. Melihat-melihat etalase product jam tangan emas. Davinci-Italia dari Leonardo Collection menjadi pilihan mereka untuk di padukan dengan setelan kemeja Anggitho kemudian. Bripda polisi Sinta sendiri tertarik pada jam tangan bermata berlian dari Piaget Interchangeable Strap.

 

Saatnya mereka memilih baju-baju untuk diri mereka sendiri. Pilihan jatuh pada Cropped jacket double breasted dengan payet dari Theirloom d’Socialite. Celana jeans tuju perdelapan James Cured dari Seun d’Olive. Dengan sepatu boots aksen jahit dari Sendra d’Linea. Keduanya memilih model pakaian yang sama. Kembar. Sudah semua. Bripda polisi Sinta menghitung sisa uang belanjanya masih sebelas jutaan. Antara suka dan ragu. Bripda polisi Sinta memilah-milah apa saja yang telah di belikannya untuk Anggitho. Sepertinya tidak ada lagi yang terlewatkan.

                “Apa masih ada yang kurang… Sint.”  Pertanyaan Bripda polisi Nirrina itu kontan menyadarkan permenungannya. Tatap matanya bersinar cerah. Bulat hitam itu bermain-main dalam kelopak mata yang indah. Begitu sedap untuk di pandang.

                “Aach… aku rasa tidak. Sekarang uang kita masih sebelas jutaan.”

                “Berarti itu keberuntungan bagi kita. Ambil saja, toh Letnan satu Intan tidak akan perduli dengan sisa uang yang telah dia berikan. Benar to…”

                “Tentu… O iya, kau perlu bensin to… ini, dua juta untuk bensin dan uang sakumu.”  Dari dompetnya kemudian Bripda polisi Sinta mengeluarkan duapuluh lembar uang kertas seratus ribuan yang masih baru. Hendak di serahkan untuk sahabatnya, Bripda polisi Nirrina. Tapi ternyata tidak.

                “Jangan Sint… kau lebih membutuhkan uang itu sendiri sekarang. Kau akan lama berada di lingkungan rumah dinas para putera angkat Pangko Daerah Militer Jawa V. Aku sudah senang dengan tas baru dan baju-baju ini. Sedang bensin mobilnya… itu mobil kantor, sudah terisi penuh sebelum aku pinjam. Kita kan dapat jatah premiun fulltank untuk patroli.”

Menyesal Bripda polisi Sinta tidak bisa memberikan tanda jasanya kepada Bripda polisi Nirrina Angellinne untuk semua yang telah di lakukannya ini. Tapi masih ada satu pesanan lagi yang harus dia beli untuk Anggitho. Dimana dia bisa menemukan pedagang jajanan pasar dekat Matahari Plaza ini. Untuk membeli kue klepon, kue lopis, dan kue kicak kesukaan Anggitho…?  Lantai dasar. Yeaa… dulu pernah dia melihat stand yang menjual kue-kue tradisional dekat pintu lobby. Tapi mobil dinas Bripda polisi Nirrina terparkir di lantai tiga. Apa setelah belanja itu mereka harus naik lagi ke lantai tiga untuk kemudian mengambil mobil. Ada jalan tengah.

                “Rinn… bagaimana kalau kau bawa belanjaan ini dulu ke mobil. Lalu keluarlah dan tunggu aku di parkiran lobby ?”

                “Apa masih ada yang harus kau beli ?”

                “Yyeaa… pesanan pribadi Anggitho. Tapi kelihatannya aku harus membelinya di lantai dasar Matahari Plaza. Kalau itu masih ada.”  Bripda polisi Sinta menyatakan dengan sedikit memohon.

Bripda polisi Nirrina Anggellinne melihat tatapan penuh harap dari sahabatnya dan menjadi sangat tidak tega. Bripda polisi Sinta sudah begitu baik kepadanya dengan membelikan semua ini. Padahal dia sendiri sedang butuh uang untuk situasi yang sulit saat berada di rumah dinas asrama para putera angkat keluarga besar nyonya  Panglima Mayjen infanteri Estianni Rasminto.

                “Baiklah… nanti call aku kalau sudah turun ke parkiran. Aku akan menunggu di sana.”

                “Makasih… Rinn. Entah bagaimana aku tanpa bantuanmu.”

                “Sudah. Kau teman baikku. Kita juga satu korps dalam menjalankan tugas. Tidak perlu ada rasa tidak enak dan sungkan.Okey ?”

Bripda polisi Sinta tersenyum. Dia cukup memaklumi rasa senasib dan sepenanggungan yang telah sama-sama mereka teladani dalam korps. Mungkin dirinya juga akan melakukan hal yang sama untuk Bripda polisi Nirrina kalau di tempatkan dalam posisi seperti dirinya sekarang ini. Bripda polisi Sinta mengangguk. Dan Bripda polisi Nirrina membawa kereta dorong Matahari Plaza yang penuh belanjaan itu pergi. Bripda polisi Sinta masih memandang kepergian Bripda polisi Nirrina dengan simpati sebelum dia sendiri mengangkat bahu dan beranjak menuju tangga eskalator. Pada saat itu jam sudah menunjukkan pukul dua lebih. Dia berjanji akan mempersiapkan Anggitho pukul tiga. Ketika Letnan satu Intan Hierrawati akan datang menjemputnya. Dan kemudian dia akan benar-benar merasa kehilangan Anggitho sampai wanita terhormat itu mengembalikannya. Kalau benar Anggitho di kembalikan padanya. Bripda polisi Sinta telah mencapai eskalator dan terus beranjak ke lantai bawah. Semua barang belanjaan sudah di angkut Bripda polisi Nirrina dengan kereta dorongnya ke parkiran mobil dinas polisi.

 

Saat berdiri di atas eskavator itu menuju ke lantai-lantai yang lebih rendah. Handphone Bripda polisi Sinta berdering. Di buka layar touch screen-nya dan ada nomor pribadi Letnan satu Intan di situ. Bripda polisi Sinta mengaktifkan telephone masuk dan menjawab.

                “Hallo… yaa, mbak Intan.”

                “Hallo… Sinta, apa Anggitho sudah siap di jemput ?  Akan ku kirim mobil untuk membawanya ke rumah. Kami akan berangkat ke Bawean sama-sama dari Dermaga ujung Tanjung Perak dengan Pesiar fiber boat milik seorang temanku.”  Suara di seberang sana terkesan mendesak-desak terus.

                “Oouu… iya, mbak. Sebentar lagi Anggitho siap. Ini saya baru mau kembali dari Matahari Plaza.”

                “Baiklah. Kuharap kau masih tepat waktu seperti yang telah kau janjikan. Jam tiga tepat. Pesawat komuter dari Abdulrachman Saleh akan menerbangkan kami jam tiga limabelas dan tiba di Surabaya duapuluh menit kemudian. Aku tidak ingin ketinggalan pesawat gara-gara keteledoranmu.”

                “Baik… mbak.”

 

Bripda polisi Sinta mendesah. Menutup kembali Handphone-nya dan memasukkan ke dalam saku celana. Tas kecilnya yang berisi uang tunai sebelas juta rupiah masih tersandang di bahu. Terus meluncur ke lantai dasar. Beruntung, stand jajanan pasar yang hanya beberapa kios kecil itu masih buka. Segala macam aneka jajanan pasar itu di kemas dalam kotak-kotak plastik mika dan steril dari kuman-kuman penyakit dan serangga. Bripda polisi Sinta melihat-lihat beberapa product dan kemudian mencomot beberapa jenis jajanan dari tempatnya.

                “Ini… saya ambil. Berapa, mbak ?”  Bripda polisi Sinta memperlihatkan tiga bungkus jajanan pasar dan rujak di tangannya.

                “Kue klepon, kue lopis, dan kue kicaknya, to… Duapuluh empat ribu, mbak.”  Pelayan kios itu mengambil belanjaan Bripda polisi Sinta untuk di masukkan ke dalam tas plastik. Kemudian Bripda polisi Sinta memberikan lembaran limapuluh ribuan dari tas pinggangnya. Yang di tukar dengan selembar duapuluh ribuan, selembar limaribuan dan selembar uang seribuan.

Menerima uang kembalian itu Bripda polisi Sinta langsung berlalu dari kios. Menemukan mobil dinas Timor S-515 DOHC 1.5cc putih patroli jalan raya dengan strobo sirent-light milik Bripda polisi Nirrina Angelline dengan mudah di parkiran lobby. Mengetuk kaca pintunya pada saat Bripda polisi Nirrina sibuk berbicara dengan orang lain di Handphone. Dia masuk mobil dan segera mereka meluncur meninggalkan area parkir Matahari Plaza. Ada yang memberitahu kalau Zahierra… pemilik salon kecantikan dan hair stylles Zahierra sudah cukup lama menunggunya. Atas permintaan Bripda polisi Sinta memang Zahierra Eksanti telah menutup salon kecantikannya lebih awal karena harus merehabilitasi penampilan Anggitho secara total. Dalam kotak tas kecantikannya yang besar dan kaku berwarna coklat keemasan telah tersedia aneka ragam gunting potong untuk berbagai model rambut. Aneka ragam sisir untuk menata gaya rambut yang di inginkan. Berbagai obat-obat untuk creambath bila di butuhkan. Cairan pelembab untuk Spa dan menetralisir rambut, obat-obat pewarnaan dan banyak lagi yang telah dia siapkan.

Melaju di jalanan utama kota Malang di jam sibuk begini, sulit bagi mereka untuk berjalan cepat. Antrian kendaraan beriringan dalam kerapatan yang padat. Kecepatan tidak lebih dari tigapuluh kilometer perjam. Mobil dinas Timor S-515 DOHC 1.5cc Bripda polisi Nirrina yang menyalakan strobo sirent-light merambat diantara iring-iringan itu. Setiap anggota kepolisian yang menggunakan mobil patroli jalan raya saat bertugas memang di anjurkan untuk menyalakan strobo sirent-light. Maksudnya agar kendaraan lain yang berada di sekirat mereka tidak berusaha ngebut, saling mendahului di tengah kemacetan dan tetap berada di antrian kendaraan dalam batas kecepatan yang di tetapkan. Bripda polisi Sinta bisa melihat Zahierra yang duduk gelisah di bangku panjang depan kios salon kecantikkannya. Yang segera tersenyum renyah begitu melihat sebuah mobil dinas patroli jalan raya datang menghampirinya. Tidak ada keraguan lain bahwa mobil dinas patroli jalan raya itu pastilah Bripda polisi Sinta. Maka Zahierra beranjak dari tempatnya. Menghampiri pintu belakang mobil dan dengan sapaan ceria masuk ke dalamnya. Menghembaskan badannya ke sandaran kursi belakang, Zahierra menutup kembali pintu mobil dan membiarkan udara AC mobil yang dingin menerpa wajahnya yang suntuk.

                “Lama menunggu… jeng Zahierra ?”  tanya Bripda polisi Sinta yang berbasa-basi.

                “Lumayan tadi mbak Sinta. Aku sudah berusaha hubungi Handphone mbak Sinta… lho. Kok sibuk terus.”  Zahierra menimpali dengan cepat. Masih menggoyang-goyangkan rambut panjangnya yang merasa agak nyaman di terpa udara AC double blower. “Lagi sibuk pacaran kali ya ?”

                “Aach… ini lho, jeng. Belanjaan untuk Anggitho banyak sekali terus… temanku yang mau membawa Anggitho pergi, nggak sabaran sekali. Sebentar-sebentar nelphone terus.”  Kata Bripda polisi Sinta menjelaskan kepada Zahierra sehingga beberapa kali Handphone-nya tidak bisa di hubungi.

Mereka berhasil masuk ke jalan pintas yang agak tenang menuju ke kawasan Brawijaya. Ketika membelok ke persimpangan yang menuju komplek rumah dinas asrama para putera angkat keluarga nyonya Pangko Daerah Militer Jawa V. Di lihatnya mobil pribadi keluarga nyonya Pangko Daerah Militer Jawa V. Sebuah mobil keluarga Volkswagen Carravelle 2.469cc yang di kemudiakan supir dari Angkatan Darat. Sudah menunggu di depan rumah dinas asrama para putera angkat keluarga nyonya Pangko Daerah Militer Jawa V. Mobil-mobil lapis baja Humvee dari satuan komando elite Saber yang membawa senjata mesin M-60 juga telah di siapkan untuk pengawalan. Di dukung oleh mobil dinas Isuzu Panther Smart Hi-Grade putih Puspomdam dengan Strobo blue siren-light, menguing-nguing di depan sebagai pembuka jalan. Jalan masuk rumah itu tertutup parkir mobil keluarga Volkswagen Carravelle. Bripda polisi terpaksa parkir lebih jauh ke belakang melewati anggota pasukan Saber bersenjata lengkap yang sibuk mengatur jalan. Bripda polisi Sinta dan dua temannya berjalan kaki agak jauh hingga masuk ke rumah dinas asrama para putera angkat keluarga nyonya Pangko Daerah Militer Jawa V.

 

Anggitho masih duduk enggan di kursi soffa dalam kamarnya. Dia tahu mobil keluarga Volkswagen Carravelle suruhan Letnan satu Intan sudah menunggunya. Pengawal-pengawal dari satuan komando elite Saber dan anggota Puspom Kodam sedang sibuk melakukan pengaturan-pengaturan sampai dia berangkat dan benar-benar pergi bersama mereka. Anggitho sudah mandi membersihkan dirinya, tapi tidak buru-buru mengenakan pakaian yang pantas. Karena dia masih menunggu kehadiran Bripda polisi Sinta. Kekasih yang sangat dia cintai disini. Anggitho hanya mengenakan handuk pengering model baju kimono yang ada untaian tali pengikat di pinggangnya. Pintu di ketuk kemudian. Bripda polisi Sinta dan seorang teman polisinya, di sertai penata rias itu masuk ke kamar.

                “Mereka sudah mengetuk pintuku dua kali, mbak. Mungkin akan melakukan yang ketiga kalinya sebentar lagi.”  Anggitho mengeluh. Sementara tanpa menunggu permisi darinya, penata rias Zahierra menarik Anggitho ke bangku kecil dekat meja cermin. Mengeluarkan beberapa peralatan potong yang dia perlukan dan mulai bekerja.

                “Iya… Anggitho, sayang. Tadi mbak sudah berusaha cepat. Tapi jalanan padat sekali. Beberapa kali kami sempat macet tidak bisa bergerak.”  Bripda polisi Sinta menjelaskan alasan keterlambatannya. Sementara itu dia membongkar barang-barang belanjaan yang di hamparkan di atas ranjang. Memilih salah satu setelah favorit dan mengemas yang lain ke dalam tas koper bertrolly. Termasuk yang kemudian dia masukkan adalah pakaian selam yang paling utama di pesan Letnan satu Intan. Ahli penata rambut itu tidak membutuhkan waktu lama untuk merias model rambut Anggitho dengan semprotan spray dan minyak rambut jell. Memotong disana-sini dan akhirnya penampilan Anggitho yang baru telah siap.

Anggitho dengan penampilan barunya di antar keluar. Bripda polisi Nirrina membawakan tas koper bertrolly untuk Anggitho di belakangnya. Seorang anggota pengawal Saber mengangguk dan membuka sliding door mobil Volkswagen Carravelle dan membantu memasukkan tas koper bertrolly Anggitho di bagian bagasi. Anggitho menarik nafas enggan. Menghempaskan badannya di sandaran kursi tengah mobil Volkswagen Carravelle yang nyaman.

                “Hati-hati sayang… ingat pesanku tadi. Jangan kacaukan situasi ini dengan emosimu, oke ?”  Bripda polisi Sinta mengantarkan Anggitho dengan cinta. Mencondongkan sebagian badannya ke dalam mobil agar bisa mendekatkannya ke wajah tegang Anggitho. Dan kemudian dia menciumnya. Anggitho membalas ciuman terakhir itu dengan bersungguh-sungguh.

                “Seandainya kita tidak harus menghadapi dilema cinta yang seperti ini.”

                “Sabar… sayang, Anggitho. Kita pasti bisa melalui semua ini, oke ?”

Bripda polisi Sinta melepaskan pegangan tangan Anggitho seolah mereka akan di pisahkan lama sekali. Kemudian anggota pengawal dari pasukan elite Saber itu menutup pintu sliding dari luar. Dia dan beberapa rekannya bergegas masuk ke mobil mereka sendiri dan iring-iringan konvoi pengawal itu bergerak meninggalkan depan rumah dinas para putera angkat keluarga nyonya Pangko Daerah Militer Jawa V. Bripda polisi Sinta mendesah lunglai. Bripda polisi Nirrina yang tahu bagaimana lukanya perasaan sahabatnya yang tengah di pisahkan merangkulnya dan mengajaknya duduk di bangku panjang yang teduh dibawah pohon besar sudut halaman.

                “Kau sudah mengambil jalan yang menurutmu terbaik, Sinta. Kau harus terima resiko dari keputusan itu.”

                “Aku tahu, Rinn.”  Kata Bripda polisi Nirrina seperti sedang berbicara pada dirinya sendiri. “Sangat berat melepaskan kepergian seorang yang paling kita cintai. Apalagi itu… untuk bersama dengan wanita lain. Tapi seperti yang pernah kau bilang padaku Sint… lebih baik kehilangan untuk sementara, daripada tidak memiliki Anggitho lagi selamanya. Lagipula perjanjiannya sudah jelas.”

                “Itu benar… Rinn. Makasih.”  Dan Bripda polisi Sinta tertunduk di dalam kesedihannya. Bripda polisi Nirrina merengkuh bahu sahabatnya ingin memberikan kekuatan yang saat ini tipis membentangi relung hati Bripda polisi Sinta. Perjalanan panjang kisah cinta Bripda polisi Sinta yang panjang. Sungguh menyentuh perasaan Nirrina yang teramat dalam. Menyentuh ke dalam relung hatinya. Suasana sepi di sekitar rumah dinas asrama para putera angkat keluarga nyonya Pangko Daerah Militer Jawa V. Kalau toh ada saudara-saudara Anggitho yang lain di dalam rumah itu, mereka memilih tetap berada di dalam. Tidak ingin terlibat dengan Bripda polisi Sinta yang tengah mengalami duka yang teramat dalam. Pilihan untuk di duakan Anggitho itu sangat tepat. Mereka secara pribadi juga tidak bisa mengusulkan yang lain daripada itu. Mereka sadar keteguhan hati Anggitho kepada Bripda polisi Sinta. Itu di buktikan ketika dalam situasi yang terdesak sekalipun dia masih merajuk ingin bertemu dengan Bripda polisi Sinta. Dan memberi peluang bagi pihak lain yang sangat berambisi untuk menyandera Anggitho demi untuk kepentingan mereka sendiri.

 

Sementara Letnan satu infanteri Intan Hierrawati Rasmintho. Mereka tahu wanita ini sangat di sayangi oleh nyonya Mayjen infanteri Estianni Rasminto. Yang sejak kecil selalu di turuti setiap keinginan-keinginannya. Kalau Letnan satu Intan tidak bisa mendapatkan cinta Anggitho bisa saja kemudian dia mengusulkan untuk mengeluarkan Anggitho dari daftar para putera angkat keluarganya. Anggitho sudah terlibat terlalu dalam dengan sendi-sendi kekuasaan pemerintah daerah kota Malang. Sejumlah anak dari Kadis. Pendidikan kota Malang, Kadis. Perekonomian Daerah, sampai wakil Bupati Malang terseret dalam kasus penyerangan Anggitho. Yang sekarang permasalahannya masih mengambang di tingkat Pengadilan Tinggi Surabaya. Kalau sampai status anak angkat keluarga nyonya Pangko Daerah Militer Jawa V itu di lepas dari diri Anggitho, anak itu akan habis menjadi bulan-bulanan balas dendam orang tua mereka. Bagaimanapun mereka terlanjur menyalahkan Anggitho sebagai penyebab anak-anak pelajar delapanbelas tahun dari kalangan kaum pejabat ini terlibat kasus hukum. Walaupun pada kenyataannya memang mereka melakukan pelanggaran hukum berat.

 

 

Lobby utama pelabuhan udara sipil Abdurachman Saleh, Malang. Letnan satu Intan Hierrawati tengah gelisah menunggu di ruang pemberangkatan bandara. Ada Letnan satu infanteri Evie Widyasari yang waktu itu bertugas sebagai asisten pribadi nyonya JendralEstianni Rahayu Rasmintho. Membantu mengurus segala keperluan puteri tunggal majikannya ini untuk perjalanan bersama Anggitho ke Surabaya. Di ujung apron sudah menunggu sebuah pesawat Airesia Fokker F-100 yang harusnya berangkat lima menit lagi. Seluruh penumpang pesawat jurusan Makasar-Pontianak-Malang-Surabaya-Jakarta-Surabaya ini yang berjumlah 80 orang telah masuk ke dalam pesawat. Kalau sekali ini Anggitho terlambat, artinya dia telah mengacaukan seluruh jadwal perjalanan Letnan satu Intan Hierrawati ke pulau Bawean. Letnan satu Intan Hierrawati berjanji dalam hatinya, kalau sampai ini terjadi dia akan marah besar pada Bripda polisi Sinta. Wanita itu tidak bisa di ajak bekerja sama dan sangat tidak tepat waktu. Tapi ternyata tidak. Menit berikutnya iring-iringan konvoi rombongan pengawal Anggitho sudah terdengar dan perlahan memasuki parkir lobby pelabuhan udara sipil Abdurachman Saleh, Malang.

 

Letnan satu Intan Hierrawati bersyukur kepada Tuhan karena telah mengantar Anggitho pada waktu yang tepat. Sejenak Letnan satu Intan menjadi tertegun. Begitu besar perubahan pada penampilan Anggitho. Bripda polisi Sinta telah berbuat begitu banyak untuk mendandani Anggitho agar tidak memalukan. Semua pegawai pelabuhan udara yang cukup ramai itu melihat bagaimana Anggitho berjalan di iringi dengan sejumlah pasukan bersenjata lengkap. Mata-mata seperti terbelalak dan calon-calon penumpang yang sedang menunggu di depan loket pemberangkatan seperti terbius. Anak seorang pejabat yang sedang lewat. Tidak ubahnya artis terkenal yang bisa mereka pandang secara langsung di depan mata. Langsung melewati portal pemeriksaan keamana bandara. Metal detector dan xray scanner hanyalah formalitas untuk Anggitho. Pengawal-pengawal dari pasukan elite Saber-Bosma itu tidak harus menyerahkan senjatanya untuk masuk ke tempat pemberangkatan.

 

Berat juga menjadi pusat perhatian. Padahal Anggitho selalu berfantasi enaknya menjadi artis terkenal yang selalu menjadi pergunjingan gadis-gadis cantik dan berlimpah hartanya. Kini Anggitho benar-benar merasakan popularitas itu ketika puluhan orang tiba-tiba berjubel ingin melihat siapa sesungguhnya dia gerangan. Di ruang tunggu pemberangkatan, Letnan satu Intan Hierrawati bangkit dan mengulurkan tangannya dengan mesra.

                “Oouuww… Anggitho, darling. Ku pikir kau nanti akan terlambat.”  Letnan satu Intan Hierrawati mendekati wajah Anggitho dan mengecup kedua pipinya bergantian dengan bahagia.

                “Sejujurnya aku tidak mau membuat mbak Intan terlambat. Tapi jalanan siang ini begitu padat. Mbak Intan tahu sendirilah.”

                “Yyeaa… yang penting kau sekarang sudah ada disini.”

Berjalan-jalan di ruang tunggu Bandara, sejenak membuat Anggitho bertinggah seperti remaja ingusan yang baru pertama kalinya melihat lapagan terbang. Mulutnya tiada henti berdecak kagu. Bola matanya berkilat dan bergerak-gerak takjub. Bibirnya terus-menerus menyunggingkan senyuman. Semua yang di lihatnya, membangkitkan minat di hatinya. Anggitho tidak sepenuhnya asing dengan pemandangan di pelabuhan udara ini. Dulu sekali di lingkungan pergaulan orang tuanya di Jakarta, sudah sering Anggitho di ajak pergi dengan helikopter maupun pesawat terbang. Milik pribadi malah. Tapi itu sudah sangat lama. Begitu lamanya sampai-sampai semuanya kembali asing dalam bayangan Anggitho. Lettu infanteri Evie Widyasari memberikan ticket Anggitho dan dua pengawal dari Puspom Kodam. Serka pom. Wahyu  dan, Serda pom. Sollahudin Setiyadhi yang memang di perintahkan tetap ikut bersama mereka. Ticket untuk Letnan satu Intan Hierrawati sudah sejak tadi dipegang oleh pramugari penjaga apron. Dua pramugari yang lain memandu mereka ke dalam pesawat. Menunjukkan tempat untuk Anggitho dan Letnan satu Intan Hierrawati yang mengenakan seragam dinas harian Angkatan Darat dan dua pengawal dari Puspom Kodam. Serka pom. Wahyu  dan Serda pom. Sollahudin Setiyadhi. Yang masing-masing menyandang tas ransel mereka sendiri dan dua tas koper trolly milik Anggitho dan Letnan satu Intan.

                “Kau lelah, Anggitho… darling ?”  tanya Letnan satu Intan Hierrawati memberikan sebutir mint penyegar strepsills kepada Anggitho. “Aku tahu rasanya dulu ketika pertama kalinya di ajak terbang. Cukup berat.”

                “Memang agak tegang sih… Berapa lama penerbangan kita nanti, mbak Intan ?”  kata Letnan satu Intan mengencangkan sabuk keselamatan pada Anggitho. Kemudian dia lakukan pada dirinya sendiri. Memang harus begitu ketika pesawat akan tinggal landas. Nanti mereka boleh melepas sabuk keselamatannya lagi setelah pesawat berada di udara.

                “Paling juga duapuluh menit. Lebih lama itu karena kita harus menunggu antrian Landing pesawat di Bandara Juanda yang padat. Nanti kita tidak usah melapor. Seorang perwira Angkatan Laut akan menjemput kita dan mengantarkan ke dua buah Helikopter  militer Mi-17v Hip Milanov yang di panaskan mesin limabelas menit sebelumnya di Tarmak Denharsabang Lanud Juanda, Surabaya.”  Kata Letnan satu Intan menyatakan dengan nada yang penuh rasa sayang tanpa lepas memandang wajah rupawan Anggitho.

                “Kenapa harus Bawean sih… mbak Intan. Apa tidak bisa kita mengadakan acara itu di sekitar kota Malang saja yang tidak harus menjadi seribet ini ?”

                “Acara suka-suka rutin ini hanya ada sekali dalam setahun. Ada duapuluh orang dalam perkumpulan alumni seangkatanku yang menggagas temu kangen yang suka-suka ini. Dua diantaranya anak Jendral yang sekarang sedang menduduki jabatan penting di Mabes. Satu orang lagi adalah putera Menteri Pertahanan Doctor Muzhar Mochtar. Dia yang membiayai seluruh kegiatan pesta ini, termasuk akomodasi perjalanannya.”

Letnan satu Intan Hierrawati tersenyum dalam hati. Untuk yang kesekian kalinya, dia begitu bahagia bisa berada di dekat Anggitho lagi. Kali ini bahkan dalam sebuah acara pribadi yang di adakan khusus untuk mereka berdua, di tengah suasana pesta silaturahmi anak-anak Geng di lingkungan akademi Angkatan Darat. Selain dia sendiri yang menjadi asisten Atase Pertahanan RI di Tokyo. Sejumlah teman seangkatannya yang rata-rata berpangkat letnan satu dan sebagian sudah kapten, juga menduduki pos-pos penting di lingkungan Markas Besar Angkatan Darat. Melalui headphone di kepalanya pilot Airasia  itu menghubungi Air Traffic Controll untuk meminta ijin lepas landas. Setelah ijin di dapatkan, pesawat bergerak perlahan menuju ke landasan pacu. Dari jendela kaca pesawatnya, pilot bisa melihat petugas radar di air traffic control dan memberi isyarat hormat atas ijin terbang yang di berikan. Anggitho bisa melihat dari jendela kecil di sebelahnya, pemandangan pelabuhan udara Abdurachman Saleh, Malang berlalu semakin cepat. Dan kemudian pesawat itu airborne. Memburu ke angkasa dengan deru mesinnya yang mendengung.

 

Setelah berada di angkasa, kopi-kopi ekspresso mulai di hidangkan bersama kacang-kacang mente dan lumpia daging. Penumpang boleh melepas sabuk keselamatan mereka sendiri dan bersantai. Lumpia daging, Anggitho begitu suka dengan camilan itu seperti halnya dia menyukai, kue lopis, kue kicak dan kue klepon. Letnan satu Intan Hierrawati lebih memilih kacang mente-nya. Hanya sekitar limabelas menit dan pesawat sudah mendarat kembali di Bandara Internasional Juanda. Pesawat Airasia itu sedang memutar pada poros rodanya dan merambat ke arah apron. Ketika sampai di lorong apron yang bisa memanjang hingga berkait dengan pintu pesawat, dua petugas Bandara membantu di luar sementara pramugari membuka kenop pintu. Menarik ke dalam da menggesernya ke atas. Begitu yang biasa di lakukan untuk membuka pintu pesawat. Di sebelah mereka di bagian cluster kedatangan domestik ada dua pesawat B 737-200 dari Sriwijaya Airlines dan sebuah Fokker F-50 dari Riau Airlines. Satu orang lagi yang menyambut para penumpang di lorong Apron itu adalah Kapten udara Sunartho yang memimpin operasi pengamanan atas kapten infanteri Noer Yuzhak Mochtar. Putera tunggal Menteri Pertahanan Doctor Muzhar Mochtar yang menjadi penggagas pesta pribadi di tengah pulau Bawean ini.

 

Empat orang yang keluar dari pesawat Fokker F-100 Airasia itu langsung di pandu menuju ke dua buah mobil dinas Korean Jeep Mambo dengan kap terbuka yang telah menunggu di bawah. Anggitho bersama dengan Letnan satu Intan naik bersama kapten udara Sunartho di mobil jeep pertama. Serda pom Wahyu Sukarmansyah dan Serda pom Sollahudin Setiyadhi beserta barang bawaan mereka naik ke mobil jeep kedua. Kapten udara Sunartho mengenakan ban lengan kuning pasukan keamanan Bandara. Di sudut pelabuhan udara itu. Di antara barisan pesawat-pesawat patroli pantai Angkatan udara jenis Douglas Hueghes C-6 Twin Otter, Douglas Hueghes C-7, Piperhawk Seneca V, Fokker F-28 MK 4000 dan Beachcraf Baron B-58 PK yang di gunakan Polairud untuk pengamanan pantai. Di Tarmak Denharsabang Lanud Juanda, Surabaya sudah dipanaskan dua unit Helikopter angkut militer Mi-17v Hip Milanov. Disana ada teman-teman Letnan satu Intan Hierrawati yang tengah bersiap. Kapten infanteri Noer Yuzhak Mochtar, Kapten infanteri Hendra Rozaq Wisesha putera Komandan Jendral Rimbasti JendralBambang Wisesha, dan Kapten infanteri Yustianna Indrawati Suhastommo. Tidak lain adalah puteri kedua Tuanku Baginda Presiden Albertinus Senno Suhastommo sendiri.

 

Karena itu tidak heran kalau perjalanan wisata pribadi kali ini begitu istimewa. Selain dari Letnan satu Intan Hierrawati yang membawa dua anggota pengawal Puspom Kodam. Kapten infanteri Yuzhak Mochtar di akomodasi dengan pengawalan resmi dari kesatuan kawal vi-ai-pi KomSraad AU dan Kapten infanteri Yustianna di kawal oleh unit khusus dari Kowalsus detasemen satu Istana. Selain mereka masih ada Geng pribadi Letnan satu Intan sendiri. Lettu infanteri Naniek Setyorinni yang kini bertugas di bagian protokol Kodam III Siliwangi, Lettu infanteri Dewi Karrina yang bertugas di staf sekretariat Sekmil Istana dan sangat dekat dengan Kapten infanteri Yustianna. Dan Lettu infanteri Lissa Wahyunni yang bertugas di pos Atase Pertahanan Konjen Ri di Riyadh.

                “Intan… Intan…”

Tiga gadis berseragam harian Angkatan Darat yang di bungkus jacket parashute hitam itu berlarian mengejar kedatangan Letnan satu Intan yang baru turun dari mobil Jeep. Sejenak Letnan satu Intan Hierrawati mengabaikan Anggitho dan menyambut pelukan teman-temannya dengan kedua tangan. Mereka melepas kerinduan yang telah lama mereka pendam. Dan masuk ke hanggar Tarmak Denharsabang tempat semua orang sibuk bersiap-siap. Anggitho masih terbengong hingga dia di kejutkan Serda pom. Wahyu dan Serda pom. Sollahudin di ajak masuk ke dalam. Bergabung dengan delapan anggota Kowalsus detasemen satu Istana, empat anggota pasukan elite Rimbasti, dan delapan anggota pasukan KomSraad AU yang bersenjata lengkap.

                “Jadi… sekarang kau di pos Atase Pertahanan Konjen RI di Tokyo…  Sering ngerasain musim dingin, ya ?”  Letnan satu Lissa Wahyunni membayangkan betapa enaknya tempat Letnan satu Intan bertugas.

                “Enakan kamu to Liss… ku dengar kau menduduki pos Atase Pertahanan Konjen RI di Riyadh. Bisa naik haji tiap hari, dong.”

                “Tapi… Ntann, huuhh… panasnya itu minta ampun. Mana di sana-sini hanya melihat padang pasir melulu.”  Letnan satu Lissa mengeluh.

                “Kalau Naniek, gimana kamu sekarang ?”

                “Enak dia Ntann… sekarang dia kerja sama Bokap sendiri di bagian protokol Kodam III Siliwangi. Tinggal sekalian di kediaman resmi Pangko Daerah Militer Jawa V malah. Nggak perlu pake tinggal di asrama yang sempit.”  Kata Letnan satu Lissa Wahyunni.

                “Tapi nggak bisa pergi-pergi seperti kalian. Tiap hari hanya lihat kampung halaman kalau tidak menemani Nyokap shopping ke Jakarta. Anak sendiri malah di perlakukan layaknya pembantu.”  Letnan satu Naniek Setyorinni menjawab.

                “Kalau kamu Dewi… ?”

                “Sekarang aku di tarik ke pos ajudan di Sekmil Istana. Aku di perbantukan untuk asisten pribadi mbak Yustianna.”  Letnan satu Dewi Karrina menjelaskan.

                “Oo… ya, Ntan… tadi kulihat kau membawa seseorang. Pacar baru ya ?”  Letnan satu Lissa Wahyunni mengingatkan.

                “Oouuww… ya, dia… Anggitho, saudara angkatku.”  Kemudian kepada Anggitho di belakang Letnan satu Intan Hierrawati memanggil. “Anggitho… sini, kenalan sama teman-teman mbak Intan,  darling.”

Tidak banyak dari duapuluh anggota rombongan pesta pribadi yang melibatkan banyak anak pejabat tinggi negeri ini yang membawa serta pacar-pacar pribadi mereka. Selain dari Kapten infanteri Noer Yuzhak Mochtar yang membawa tunangannya Hemma Kommetha Zilvanna mantan Miss Indonesia, Kapten infanteri Hendra Rozaq Wisesha putera Komandan Jendral Rimbasti JendralBambang Wisesha yang membawa tunangannya seorang foto model terkenal dunia Kate Vodiannova dari Kazakhstan, dan Kapten infanteri Yustianna Indrawati Suhastommo yang memacari bintang sepak bola dunia asal Jepang Hourrinochi. Ada empat orang lagi yang berasal dari luar alumni sehingga total jumlah mereka kini duapuluh orang. Satu diantaranya adalah pacar Letnan satu Lissa Wahyunni yang seorang diplomat asal Iran bernama Aghilly. Sebagian mereka tidak membawa serta pacar-pacar mereka bukan karena malu, tapi karena memang belum punya. Kesibukan pekerjaan selalu menjadi alasan klise bagi mereka untuk tidak sempat memikirkan soal nikah dan keluarga. Jadi ada empatbelas perwira muda dalam acara temu kangen alumnus terbaik Akabri seangkatan dengan Letnan satu Intan Hierrawati itu.  Enam peserta tamu yang tidak lain adalah tunangan dan pacar-pacar mereka sendiri. Anggitho salah satunya.

 

Dengan cepat Letnan satu Intan menarik tangan Anggitho menghampiri teman-temannya. Anggitho melangkah dengan tertatih-tatih karena kuatnya tarikan tangan lembut Letnan satu Intan dan, melangkah tergesa-gesa. Tiga teman seangkatan Letnan satu Intan itu berbinar mengagumi ketampanan Anggitho. Meski ketampanan itu sedikit terbungkus oleh kulit badanya yang coklat kehitaman. Kalau saja, Anggitho sedikit lebih putih. Mungkin dia bisa di sejajarkan dengan ketampanan Leonardo deCapriyo atau penyanyi legendaris Justin Beiber. Yang pasti akan menjadi idola para gadis-gadis dan semakin banyak pesaing yang memperebutkan hati Anggitho bersama-sama Letnan satu Intan.

                “Sorry… ya. Karena bertemu teman-teman lamaku, sampai kau terlupakan sejenak.”  Kata Letnan satu Intan Hierrawati  setengah berbisik di telinga Anggitho. Dan kemudian, sambil melihat kepada Letnan satu Dewi dan Letnan satu Naniek, dia lantas berkata lagi. “Kenalkan dulu. Ini temanku Letnan satu Dewi Karrina… yang bekerja di kantor Sekmil President. Jangan heran, karena Bokap-nya… JendralSetya Bernawa adalah seorang Menteri Sekretaris Negara yang sangat di segani sebagai pembantu utama Tuanku Baginda Presiden Albertinus Senno Suhastommo sendiri. Sayang Letnan satu Dewi ini sosok pribadi yang tidak suka di istimewakan. Kalau mau dia sudah Kapten sekarang. Seperti Kapten infanteri NoerYuzhak Mochtar, Kapten infanteri Hendra Rozaq Wisesha dan, bahkan Kapten infanteri Yustianna Indrawati Suhastommo sendiri. Dan temannya ini Letnan satu Naniek Setyorinni… puteri Pangko Daerah Militer Jawa III Siliwangi yang lebih memilih menjadi ajudan pribadi Bokap-nya di Bandung. Kalau gadis yang terakhir itu Letnan satu Lissa Wahyunni, bekerja di staf Atase Pertahanan Konjen RI di Riyadh. Tapi dia sudah ada yang punya.”

Anggitho mengulurkan tangannya, dan… sembari sedikit membungkukkan badannya menjabat tangan-tangan lembut Letnan satu Dewi, Letnan satu Naniek, dan Letnan satu Lissa. Wajahnya mengembangkan senyum yang tulus. Setiap kali dia menyentuh tangan seseorang, Anggitho selalu berulang-ulang mengucapkan namanya. “Saya Anggitho. Anggitho Pringadhi.”

                “Senang bisa berkenalan denganmu, Anggitho. Gimana… perjalanannya menyenangkan ?”  Lissa Wahyunni menyatakan simpatinya.

                “Yyeaa… bersama dengan mbak Intan, membuat saya bisa… pergi-pergi begini. Capek sih… tapi, senang.”

                “Ntaannn… jauh-jauh pergi ke Jepang, akhirnya kamu cuma kecanthol sama pemuda polos bermental kampungan seperti ini ?”  Letnan satu Dewi Karrina menyindir dengan setengah berbisik di dekat wajah Letnan satu Intan. “ Nggak rugi apa… sudah, biar Anggitho buat aku saja. Ntar kamu cari yang lebih oke… di Jepang sana.”

                “Hhhuusshh… enak saja. Aku disini sampai mati-matian mendapatkan hatinya. Kamu aja yang cari sendiri.”

                “Aduh Nttaannn… Aku nggak kuat sama kepolosannya itu, lagian… dia sangat immuuutttt.”  Letnan satu Dewi Karrina malah menjadi merajuk.

                “Justeru itu yang membuat aku keblinger. Segala jenis cowok sudah pernah aku kencani… Yang satu ini, malah membuat aku bertekuk lutut.”  Kata Letnan satu Intan kepada teman-temannya. Letnan satu Intan tertawa lepas atas penilaiannya sendiri terhadap Anggitho ini. Yang segera di ikuti oleh tawa lepas ketiga teman wanitanya. Anggitho hanya tersenyum ringan tanpa menunjukkan ekspresi yang jelas. Senyum yang polos. Sama sekali Anggitho tidak tersinggung menjadi bahan perbincangan yang lebih bernada olokan dari teman-teman Letnan satu Intan. Sedangkan Letnan satu Intan sendiri tidak pernah mempunyai rasa simpati yang jelas kepada orang lain. Terbiasa dengan selalu mementingkan diri sendiri. Selain dari ketika dia ingin merajut sentuhan-sentuhan cinta romantis hanya berdua saja dengan Anggitho. Tapi tidak kalau sedang berkumpul bersama teman-teman lingkungan sosialnya begini. Sejenak hatinya telah benar-benar melupakan Anggitho. Bahkan setelah mengenalkan Anggitho itu, Letnan satu Intan sudah kembali sibuk dengan percakapan-percakapan pribadinya dan melupakan lagi Anggitho.

 

Kapten udara Sunartho memberi pengumuman agar seluruh peserta temu kangen di komplek Mercu Suar Bawean ini segera masuk ke pesawat Helikopter masing-masing. Waktu sudah menunjukkan empat sore. Mereka tidak ingin tiba di lokasi pendaratan pada saat hari sudah mulai gelap. Tas-tas di siapkan oleh satuan pengawal yang kini berjumlah duapuluh dua orang. Terdiri dari anggota pasukan elite Kowalsus yang menangani Istana Presiden. Anggota pasukan elite KomSraad AU yang bekerja untuk Menteri Pertahanan Doctor Muzhar Mochtar. Anggota-anggota satuan elite Rimbasti yang bekerja sebagai satuan pribadi Komandan JendralBambang Wisesha. Dan dua anggota Puspom Kodam divisi kelima Brawijaya. Para pengawal dan perlengkapannya di akomodasi ke helikopter kedua. Sedangkan Anggitho dan teman-teman seangkatan Letnan satu Intan di akomodasi ke helikopter pertama. Kedua helikopter Mi-17v Hip Milanov itu akhirnya mengudara dan mendesing pergi dari lapangan udara militer Juanda sore itu. Tidak banyak yang di bicarakan dalam penerbangan helikopter yang singkat ini. Perjalanan dengan helikopter berkecepatan tigaratus mill perjam ini di perluka waktu sekitar setengah jam penerbangan.

 

Persiapan-persiapan ternyata sudah di lakukan di pulau kecil yang hanya dipisahkan sebuah selat dangkal dengan pulau utama Bawean dengan perkampungan distrik bernama Sangkapura ini. Setidaknya karena tempat strategis yang menjadi komplek Mercu Suar peninggalan kolonial Belanda dan masih di fungsikan dengan baik ini, akan menjadi tempat menginap salah satu puteri Tuanku Baginda Presiden Albertinus Senno Suhastommo. Sebuah kapal fregatte KRI Teluk Lombok melepas jangkar tidak jauh dari pulau Mercu Suar di Bawean. Fasilitas radar dan tembakan sonar bawah airnya memberikan jaminan keamanan dan kenyamanan anak-anak Petinggi Angkatan Bersenjata dan orang nomor satu di Republik ini. Sebuah tenda komando besar di dirikan di pinggir pantai sisi pulau utama, oleh team pasukan katak KRI Teluk Lombok. Mereka yang akan menjadi tameng hidup ring dua dan ketiga dari pulau Bawean ini. Sedang ring pertama dan bagian dalam komplek Mercu Suar dengan duabelas kamar tidur dan dua kamar mandi luar ini. Para pasukan pengawal di akomodasi ke bekas gudang penyimpanan peralatan yang telah di bersihkan di ruangan bawah tanah.

 

Anggitho dan Letnan satu Intan Hierrawati mendapat kunci salah satu kamar yang telah di benahi menurut standar fasilitas hotel bintang lima itu. Barang-barang di antarkan oleh kedua anggota Puspom Kodam ke dalam kamarnya dan sekaligus mereka bertugas menjaga pintu kamar Letnan satu Intan dari luar. Walaupun semua fasilitas tersedia di dalam kamar ini, toh mereka harus bergantian mandi di luar kamar. Hanya ada dua kamar toilet. Salah satunya khusus di peruntukkan bagi para Kapten dan Letnan-letnan muda itu. Kamar toilet yang lain di khususkan bagi para pengawal tentara yang ikut bersama mereka. Belum hilang rasa capek yang mereka rasakan, ketika kemudian suara peluit terdengar dari luar. Para peserta temu kangen dan rombongannya di minta untuk berkumpul di halaman depan komplek asrama. Satu persatu dan sangat enggan mereka akhirnya beranjak keluar. Hampir jam enam sore. Cuaca sedang tidak bersahabat dan mulai agak gelap Tapi lampu-lampu mercury yang di pasang dengan bantuan dua generator Genzet menerangi halaman komplek Mercu Suar itu menjadi terang-benderang. Entah kapan mereka menyiapkan.

 

Tapi anggota-anggota tentara pengawal sudah memenuhi meja-meja saji beralas kain putih dengan aneka minuman dari buah segar yang mereka belanjakan khusus dari perkampungan itu sendiri. Mulai dari ice serut kelapa muda, ice serut alpukat, ice buah rambutan, ice serut durian, dan beraneka ragam camilan buah yang ada di sekitar perkebunan pulau Bawean. Anggota pasukan pengawal yang lain memperoleh sembilan ekor domba panggang yang dibeli dari peternakan penduduk setempat, limapuluh ekor musang panggang hasil buruan anggota-anggota tentara itu di hutan. Mereka juga menyiapkan seribu ekor tongkol panggang yang di jaring sendiri oleh KRI Teluk Lombok saat berlayar ke pulau ini sehari sebelumnya. Semua masakan di buat seadanya sebagaimana anggota-anggota tentara itu menjadi kebiasaan saat hidup di alam bebas. Panggangan dibuat di atas galian-galian seadanya pada tanah-tanah kosong di lokasi sekitar komplek Mercu Suar. Daun-daun digunakan untuk menyalakan kayu-kayu kering yang di belah dengan kampak menjadi kecil-kecil, dibantu dengan sedikit sisiran kulit bambu kering. Di buatkan tusuk-tusuk bambu yang di kaitkan pada dua pilar bambu penyangga yang melintang di atas bara api-api kecil yang berderet panjang. Jadilah tempat pangganggan untuk tusukan-tusukan daging sate musang yang banyak sekali. Untuk sembilan ekor domba mereka harus memanggang di atas api unggun yang besar pula di tengah halaman.

                “Silahkan kalian nikmati makan sore ini yang sudah ada. Ayo…”  kata kapten udara Sunartho sebagai penanggung jawab kegiatan di darat ini. Percakapan Anggitho dan Letnan satu Intan yang mulai merasa kedinginan di terpa angin laut yang bercampur dengan air. Gelombang menjadi sedikit lebih tinggi dari biasanya. Kapten infanteri Yustianna Indrawati Suhastommo yang menjadi pusat perhatian acara temu kangen ini sedang sibuk sendiri dengan pacar pemain bola idolanya Hourrinochi. Tidak terlalu ambil perduli dengan anjuran makan sore hari ini yang dilakukan di tempat terbuka.

 

Letnan satu Intan, tetap masih menggamit tangan Anggitho. Mengunjungi meja saji penuh aneka minuman Ice buah dan Ice serut. Memilih Ice serut durian untuk dirinya sendiri dan menawarkan satu untuk Anggitho. Lelaki muda itu nampak tertarik dengan promosi para anggota pengawal Angkatan Darat yang mempersiapkan hidangan. Sate-sate daging musang. Sepertinya enak untuk di cicipi. Rasanya gurih seperti daging ayam atau daging domba. Mereka sangat pintar mengolahnya sehingga rasa daging musang yang sesungguhnya hampir tidak kentara. Atau memang daging musang yang sesungguhnya itu memang sangat gurih. Ada banyak bumbu kecap manis disana dengan irisan-irisan brambang segar yang di simpan dalam kotak pendingin. Sangat menggiurkan. Lantas mereka mencari tempat yang nyaman untuk duduk memojok sendiri. Di sebuah undakan batu bekas pondasi taman menjadi pilihan mereka. Agak jauh dari peserta yang lain. Tidak sengaja rupanya ada empat Letnan pria bujangan dan empat Letnan wantia bujangan dalam rombongan temu kangen istimewa ini. Diam-diam mereka saling mencari perhatian dan melakukan pendekatan. Di antaranya adalah Letnan satu Dewi Karrina dan Letnan satu Naniek Setyorinni sendiri.

                “Duuhh… yang lagi keranjinga sama sate yyaa. Baru ngerasain sekarang to.”  Letnan satu Intan yang masih memegang gelas ice durian serutnya. Terasa nyaman dalam tenggorokannya ketika ice durian itu diteguk masuk ke dalam mulut. Kehausan yang sudah lama Letnan satu Intan tahan selama dalam perjalanan dengan helikopter dan saat membenahi kamar sembari menunggu giliran untuk mandi. Perbekalan mereka memang telah di bawa dan dirapikan di dalam kamar oleh dua anggota pengawal Puspom Kodam. Tapi toh… rasanya perjalanan ini tetap membuat Letnan satu Intan capek.

                “Mbak Intan tidak lapar… ambil aja dari piring sateku.”

“Ngobrol terus di perjalanan tadi membuat aku merasa haus. Tapi… kalau kau sudah keburu lapar, Anggitho… kau bisa habiskan saja sepiring penuh sate musang yang kau ambil itu. Atau mau nambah sama irisan daging domba panggang-nya. Jangan sungkan, mereka semua sudah di bayar kok.”  Kata Letnan satu Intan Hierrawati meriah. Anggitho nampak menjadi lebih enjoy dengan suasana nyantai ini. Tidak ada persiapan khusus. Apalagi mendatangkan pelayan-pelayan terbaik dengan koki-koki berkelas hotel berbintang. Walaupun sesungguhnya mereka di persiapkan untuk menyambut acara temu kangen dan reuni angkatan para putera-puteri Petinggi negeri ini.

 

Semua… sesuai dengan permintaan Kapten infanteri Yustianna Indrawati Suhastommo dan Kapten infanteri Noer Yuzhak Mochtar yang menggagas acara ini, dibuat sederhana saja. Walaupun itu tidak berarti mengabaikan masalah keamanan bagi mereka. Persiapan untuk konsumsi cukup di tangani oleh anggota-anggota pengawal mereka sendiri dengan cukup finansial dan sedikit ketrampilan melaut dan berburu di hutan. Tuanku Baginda Presiden Senno Suhastommo rupanya juga menyetujui usulan puterinya yang di perkuat dukungan politik dari Menteri Pertahanan Doctor Muzhar Mochtar.

                “Kau suka dengan suasana di sini, Anggitho ?”

                “Hmm… yyeaa, dan aku senang menemani mbak Intan di sini. Trima kasih telah mengajakku.”  Anggitho mengungkapkan rasa bahagianya dengan tulus. Tidak hanya sekedar kewajiban dan perbuatan balas budi karena telah di berikan begitu banyak oleh keluarga nyonya Pangko Daerah Militer Jawa V, Mayjen infanteri Estianni Rahayu Rasmintho.

                “Hmmhh… tentu, sayang… apapun pasti akan ku lakukan untukmu, Anggihto.”  Letnan satu Intan merasa bahagia dengan jawaban yang dia dengar dari mulut Anggitho. “Setelah ini pasti akan ada acara nyanyi-nyanyi di sekeliling api ungun besar itu. Akan ada permainan-permainan yang berakhir dengan memilih salah satu pasangan yang di hukum. Bersiaplah untuk melakukan hal-hal yang mungkin tidak kau sukai, sayang.”  Katanya cepat. Dalam hatinya Letnan satu Intan benar-benar merasa bahagia bisa bersenang-senang lepas dengan Anggitho. Tidak ada lagi rasa sungkan dan asing yang memisahkan perasaan mereka berdua. Pasangan-pasangan perwira muda dengan masa depan cerah itu sibuk dengan perbincangan mereka masing-masing. Bahkan delapan perwira bujangan yang kini mulai menempel pilihan masing-masing. Sesama perwira dalam alumnus angkatan yang sama. Tidak nampak lagi kebersamaan seperti awal-awal mereka berkumpul di Tarmak Denharsabang pelabuhan udara Juanda tadi. Sementara sebagian anggota tentara pengawal sibuk membentuk perimeter penjagaan, sebagian mereka masih mempersiapkan hidangan ikan bawal asap dan daging domba panggang yang dibakar dan dicocoli bumbu kecap diatas bara api unggun.

 

Tadi Letnan satu Intan begitu ceria di antara teman-teman seangkatannya. Keceriaan yang memang baru pertama kali ini Anggitho perhatikan secara langsung. Anggitho memang tidak mengenal betul Letnan satu Intan Hierrawati. Selama beberapa bulan masuk dalam urutan anak angkat keluarga nyonya Pangko Daerah Militer Jawa V, Anggitho belum pernah sekalipun bertemu dengan Letnan satu Intan… kecuali hanya mendengar cerita-cerita gosip tentang kehidupannya di seberang lautan. Anggitho sebagai lelaki yang masih teramat polos untuk pacaran. Dan itu karena didikan tradisi konservatif yang agamis di pedalaman pelosok dusun lereng pegunungan Semeru. Bahkan ketika pertama kalinya Anggitho diperkenalkan dengan kenikmatan berahi asmara yang tidak terbayangkan indahnya oleh Bripda polisi Sinta. Akhirnya justeru seperti bubuk puthauw yang membuat Anggitho terus ketagihan dan menjadikan begitu ketergantungannya Anggitho pada Bripda polisi Sinta demi membuatnya selalu bahagia.

Kini Letnan satu Intan sedang mencoba untuk sejenak menggantikan kekaguman Anggitho pada kenikmatan berahi asmara yang sanggup Bripda polisi Sinta berikan. Dengan sengaja membawa Anggitho ke sudut taman komplek Mercu Suar Bawean ini yang agak terpisahkan dari yang lain.

                “Kau benar-benar belum lapar, tidak ingin menyantap sesuatu dulu… Anggitho, sayang ?”  tanya Letnan satu Intan hendak menawarkan kembali kalau Anggitho menginginkan sesuatu. Ternyata tidak. Hanya gelengan ringan yang menyambut pertanyaan itu. Anggitho tidak tahu sebenarnya perasaan apa yang sedang Letnan satu Intan pendam terhadap dirinya. Apakah menginginkan hubungan yang sangat serius seperti selama ini telah dia jalani bersama Bripda polisi Sinta. Apakah Letnan satu Intan hanya sekedar ingin mengoloknya dan suka melihat kekonyolan-kekonyolan Anggitho yang bisa membuatnya tersenyum. Hanya sebatas itu saja. Mimpi rasanya kalau orang setinggi Letnan satu Intan akan menyerahkan pasrah tubuh dan hatinya hanya untuk seorang Anggitho yang kampungan ini. Seperti yang sebelumnya juga pernah di ucapkan teman-teman angkatan Letnan satu Intan.

                “Kau sedang memikirkan apa, Anggitho… sayang, apa kau rindu kepada Bripda polisi Sinta ?”  desis Letnan satu Intan dengan nada tidak senang.

                Aachh…

                “Kenapa mbak Intan bertanya seperti itu… Mbak Intan nggak senang aku temani di sini ?”

                “Sebaliknya… Anggitho, sayang. Aku begitu bahagia, tapi…”  Letnan satu Intan tercekat hendak mengatakan sesungguhnya atas keraguan yang menderanya tentang ketulusan Anggitho berbagi cinta dengan Bripda polisi Sinta dan dirinya.

                “Tapi kenapa, mbak Intan…?”

                “Aachh… tidak. Hiburlah aku yang sedang suntuk ini, Gith.”  Pinta Letnan satu Intan dengan begitu memohon pada lelaki yang kini menatapnya dengan penuh kelembutan. Letnan satu Intan menggigit bibirnya sendiri. Dia ragu kalau Anggitho benar-benar akan mau membagi cintanya seperti yang telah di janjikan Bripda polisi Sinta.

                “Dengan apa aku harus menghibur mbak Intan… selama ini aku tidak terlalu pintar bercerita, main drama, apalagi untuk melucu. Mbak Intan.”

                “Hhmmhh… aku juga tidak ingin mendengar lucuanmu.”

                “Lalu apa ?”

Perwira muda yang dikenal sangat vokal dan keras pendirian itu tersenyum tipis. Aach… begitu teduh senyumnya di rasakan diam-diam dalam hati Anggitho. Apa senyum penuh ketulusan itu di tujukan seutuhnya untuk dia. Letnan satu Intan tidak kalah cantiknya dengan Bripda polisi Sinta. Dia memang anggun, sangat cantik, dan feminin. Perpenampilan modern, tapi juga sosok gadis yang penuh percaya diri dan glamour. Bertemperamen keras, sangat teguh pendirian dalam setiap tindakannya, dan tidak bisa menerima kekalahan seperti Catherine Zeta Jones. Pemenang Best Actrees in Supporting Role pada Academy Award 2002 yang berdarah Inggris berumur 37 tahun ini. Aktris top dalam film legendaris Mask of Zorro dan Chicago. Sangat berbeda dengan Bripda polisi Sinta yang lebih bertemperamen lembut, tanpa mengurangi ketegasan institusional dalam tradisi kepolisian, lebih bisa menerima pandangan orang lain, dan  berparas mungil seperti sosok Magdallena.

                “Aku menginginkan kehangatanmu. Maukah kau mendekapku… ?”  Letnan satu Intan berkata dengan terus terang.

Keterus-terangan itu mengejutkan Anggitho. Walaupun sesungguhnya dia tahu Letnan satu Intan pasti akan meminta ini. Tapi tidak di sangka secepat itu. Cahaya lampu-lampu Mercury sebagian saja menerpa wajah putih nan memukau Letnan satu Intan. Sungguh sebuah pemandangan yang menjadi impian setiap lelaki di dunia ini. Kepasrahan itu adalah yang paling di idamkan Anggitho betapapun polosnya dia sebagai seorang pria.

                “Dekap aku, Gith… sayang. Dan… mulailah dengan mencoba mencium diriku.”

                Aaachh !

Desah Anggitho menahan keterkejutannya seraya meminta maaf. Letnan satu Intan memang sangat berterus-terang. Dan sejujurnya itu Anggitho suka. Hanya keterus-terangan itu membuatnya shock. Bripda polisi Sinta yang sudah begitu berpengalaman saja tidak berusaha meminta secepat ini.

                “Mengapa Anggitho… Kau takut ?”

                “Bukan aku takut, mbak Intan… tapi tidakkah ini terlalu cepat untuk memulai hubungan yang sangat serius. Apa mbak Intan tahu… akibat dari yang sedang kita lakukan malam ini ?”  ucap Anggitho jujur dan polos.

Letnan satu Intan tersenyum nakal. Dia malah merapatkan tubuhnya pada tubuh lelaki yang penuh keluguan ini. Dia meyakinkan bahwa ucapannya memang suatu pilihan yang telah dia putuskan dengan tekad bulat. Anggitho tidak bisa berbuat banyak ketika Letnan satu Intan merangkul bahunya hangat. Yang dia rasakan di dadanya seperti sedang ada sesuatu yang lunak dan kenyal menekan-nekan berusaha meruntuhkan benteng harga dirinya. Terasa hangat sekali. Anggitho mendesah. Namun memang akhirnya dia ikut memeluk pinggang Letnan satu Intan dengan erat. Nalurinya sebagai laki-laki tumbuh. Mereka sudah seperti erat melekat. Letnan satu Intan tersenyum dalam hatinya. Sudah banyak gaya lelaki dia pacari di Tokyo. Mulai yang berdarah Eropa, oriental, dan sampai laki-laki Indonesia tulen yang sama-sama bekerja di Kedutaan. Tanpa pernah di minta. Biasanya mereka sudah akan lebih dulu menyerangnya dengan sentuhan-sentuhan panas yang bertubi-tubi. Memabukkan. Tapi Anggitho?  Sungguh membuat Letnan satu Intan terheran. Bagaimana di dunia ini masih ada sosok lelaki yang begitu lugunya seperti Anggitho ini.

                “Ciumlah, Gith…”  ucap Letnan satu Intan seperti mendesis. Dia telah pasrah menyerahkan sekujur tubuh molek yang melekuk sintal itu seutuhnya. Bulat-bulat hanya untuk seorang Anggitho yang telah menaklukkan hatinya pada pandangan pertama.

Perlahan Anggitho memberanikan diri mendekatkan wajahnya ke wajah ayu Letnan satu Intan. Sapuan hangat yang tergetar sangat kentara di wajah ayu Letnan satu Intan. Namun gadis cantik itu tetap diam. Teguh pada keinginannya untuk menikmati kemanjaan cinta Anggitho. Sembari menunggu apa yang hendak di lakukan.

                Aaacchhh !

Begitu lembut bibir lelaki itu berlabuh. Letnan satu Intan memejamkan mata menikmati segala keindahan itu dengan keutuhan hatinya. Cukup lama memang, sentuhan bibir Anggitho. Dan manakala itu hendak berakhir, Letnan satu Intan bergegas merebutnya kembali. Dia membalas semua itu penuh kehangatan. Gairah asmaranya meledak-ledak seperti gemuruh kawah Merapi yang siap menyemburkan bencana lahar panas. Anggitho dibuatnya tersentak. Namun ketika di rasakan permainan itu ternyata indah, dia menjadi lebih berani lagi. Dia ikuti hempasan-hempasan gelombang asmara yang Letnan satu Intan yang menggebu-gebu dalam tarian-tarian lidah di rongga mulut mereka yang menyatu. Anggitho benar-benar menikmati tarian-tarian itu dengan sepenuh hati.

 Yeeaaahhh… !

Tidak banyak pengalaman yang bisa Anggitho andalkan untuk memuaskan diri Letna satu Intan dalam berciuman. Selain yang pernah dia lakukan bersama-sama Bripda polisi Sinta, Anggitho belum pernah merasakannya dari wanita yang manapun selama hidupnya. Jangankan bisa berpacaran dengan seorang gadis. Bertemu dengan sosok seorang gadis di pondok pesantren Abdussallaam al-Qudd itu sudah sulitnya setengah mati. Pesantren milik Rommo Yai Haji Asy-Sheikh Raden Muhammad Alli Hassaan bukannya tidak menerima santri perempuan sama sekali. Tetapi para santri perempuan itu hanya tinggal di rumah besar Rommo Yai Haji Asy-Sheikh Raden Muhammad Alli Hassaan sendiri yang terdiri dari tiga bagian rumah besar. Berada di bagian depan yang terpisah sepenuhnya dengan lingkungan pondok. Di lindungi oleh tembok beton setinggi tujuh meter dan hanya nyantrik di lingkungan rumah kediaman Rommo Yai Haji Asy-Sheikh Raden Muhammad Alli Hassaan sendiri. Sementara para santri laki-laki, hanya mereka yang berstatus sebagai Ustad santri saja yang secara resmi memperoleh dispensasi bertamu di lingkungan rumah besar kediaman Rommo Yai Haji Asy-Sheikh Raden Muhammad Alli Hassaan.

 

Kecuali hanya pada saat berjamaah shollat dan itu mereka di kenal sangat fanatik dalam menjalankan aturan-aturan Islam. Termasuk menutup aurat menggunakan baju ruku’ dengan kerudung smada yang menjuntai sampai ke tanah. Serta cadar yang membuat wajah mereka menjadi penuh misteri. Tubuh-tubuh mereka sudah semakin menyatu dengan sejuta perasaan hangat yang membuat mereka benar-benar nyaman. Letnan satu Intan mempermainkan perasaan Anggitho yang lugu ini dengan caranya sendiri. Setidaknya dia ingin membuktikan kepada Anggitho, memang sebagai sama-sama wanita yang mencintai Anggitho… Letnan satu Intan tetap memiliki taste yang berbeda dengan Bripda polisi Sinta. Permainan cinta yang jauh lebih indah. Cinta yang menggebu-gebu dengan kenikmatan gairah asmara yang tidak tertahankan. Dada Anggitho semakin terasa hangat oleh tekanan lembut keindahan membusung bukit kembar yang tersembul dibalik kemeja lengan pendek dinas harian Angkatan Daratnya.

Aaachh…! 

Kehangatanya terasa membuat tangan lelaki itu selalu ingin menjamahnya. Dan memang, sekali lagi Anggitho melakukannya Membuat Letnan satu Intan bagai bergetar hebat. Jemari tangan yang kekar itu makin meremas dengan kegemasan. Dan terasa bagai busungan dada wanita yang begitu indahnya teraduk-aduk oleh dada atletis Anggitho. Lelaki itu semakin tidak tahan untuk terus menjamahnya. Dan itu semakin membuat perasaan Anggitho tidak karuan. Letnan satu Intan terasa bergetar. Jemari tangan yang kekar itu benar-benar telah menelusup jauh ke dalam belahan indah membusung penuh berisi bagian dada wanita yang begitu sahaja. Letnan satu Intan merintih-rintih. Benar-benar menikmati sebuah keindahan itu dengan utuh. Kelembutan tangan-tangan kekar Anggitho telah mampu menyentuh dinding hati Letnan satu Intan yang terdalam. Dan wanita itu semakin terlena oleh belaian-belaian lembut itu. Bukan sekali ini memang, yang namanya berciuman dia lakukan. Tapi Letnan satu Intan memiliki taste yang berbeda. Letnan satu Intan adalah sosok wanita yang penuh gairah, menggebu-gebu, dan hot.

 

Sementara seorang Bripda polisi Sinta yang pernah mengenalkannya untuk yang pertama kali pada kehangatan melayari samodera asmara, lebih pada sosok kewanitaan yang lembut, menghantarkan sentuhan demi sentuhan nafsu yang berirama. Setahap demi setahap. Bagai memperlakukan bayi mungil yang baru lahir. Semakin lama… bibir mereka semakin merasakan kelelahannya. Hingga akhirnya Letnan satu Intan menarik diri dengan terengah-engah dari permainan yang sungguh mendatangkan sejuta keindahan rasanya itu. Anggitho pun tersenyum. Letnan satu Intan juga demikian. Tapi Anggitho belum lagi melepaskan pelukannya di bahu wanita itu dengan hangat.

                “Makasih, sayang… kau benar-benar membuktikan kesungguhanmu untuk juga mencintaiku.”

                “Maaf kalau aku tidak cukup memuaskan mbak Intan. Tapi ini semua nantinya akan menjadi rumit… aku tidak yakin apakah bisa berbuat adil untuk kalian berdua. Itu kalau tidak keburu kalian berdua saling bunuh.”  Bisik Anggitho dengan kurang yakin. Sesuatu yang membuatnya takut untuk melangkah lebih jauh. Yang sesungguhnya itu sama sekali tidak Letnan satu Intan kehendaki. “Aku memaklumi naluri seorang wanita yang akhirnya tetap tidak rela hati kalian di duakan dengan cinta wanita lain. Pada saat bencana itu terjadi… maka disini aku yang akan merasa paling berdosa. Memaksa untuk menerima cinta Mbak Intan sementar cinta Mbak Sinta sudah terpatri teramat dalam di sanubariku.”

                “Itu tidak akan terjadi, sayang… Anggitho. Kami sama-sama telah bersumpah untuk mencintaimu dengan ikhlas. Kami tanggung bersama-sama resiko apapun yang akan terjadi. Semua akan baik-baik saja, Anggitho… sayang.”

Kembali dengan begitu lembut bibir pemuda ini berlabuh. Letnan satu Intan memejam demi menikmati segala keindahan itu dengan keutuhan hatinya. Cukup lama memang sapuan bibir ini. Dan manakala hendak berakhir. Letnan satu Intan segera merebutnya kembali. Ia membalas semua ini dengan hangat. Betapa di rasakannya keindahan itu, hingga Anggitho semakin berani melakukanna. Sementara tubuh mereka masih menyatu dengan hangat. Letnan satu Intan mempermainkan perasaan Anggitho dengan caranya sendiri. Setidaknya dia ingin menyatakan pada Anggitho bahwa di saat apapun cinta itu tetap indah. Bahwa cinta itu tetap memabukkan. Dada Anggitho semakin hangat oleh tekanan lembut keindahan membusung bukit kembar yang tersembul dibalik kemeja lengan pendek dinas harian Angkatan Daratnya.

                Aaachh…! 

Kehangatanya terasa membuat tangan lelaki itu selalu ingin menjamahnya. Dan memang, sekali lagi Anggitho melakukannya Membuat Letnan satu Intan bagai bergetar hebat. Jemari tangan yang kekar itu makin meremas dengan kegemasan. Dan terasa bagai busungan dada wanita yang begitu indah di aduk-aduk dalam rasa nikmat dan kegelian yang sangat. Letnan satu Intan merin Tidak tahan Anggitho memeluk Letnan satu Intan dengan erat. Dan sekali ini dia semakin merasa takut kehilangan. Aneh memang perasaan yang menggejolak di hatinya. Karena perasaan itu tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Kini Letnan satu Intan semakin memeluk dan menciumi Anggitho. Ciuman yang begitu lembut bagai sentuhan gaun sutera dan lumatan yang penuh cinta. Cinta itu akhirnya berlabuh di kamar mewah salah satu bagian komplek Mercu Suar Bawean yang khusus di peruntukkan bagi mereka berdua. Intan kembali terebah. Begitu erat memeluk dan membalas ciuman Anggitho. Keduanya kini tenggelam ke dalam kehangatan yang begitu menggelora.

                “Aach… Githo. Love youuu… uuuch.”  Dan suara desah Intan itu semakin menjadi. Sosok tubuh cantik yang molek itu terbentang indah di atas pembaringan. Tubuh putih mulus yang tergolek tanpa cela. Begitu licin menyiratkan cahaya nan indah.

 

Semalam Bripda polisi Sinta begadang. Mulanya dia masih mencoba untuk tidur bersama-sama dengan Wahyunni, teman satu kamar kost. Tapi toh… rasa kehilangannya atas diri Anggitho begitu dalam membekas di hatinya. Hatinya masih tidak rela pemuda rupawan yang hitam manis dan polos situ di kuasai Letnan satu infanteri Inta gara-gara kalah pengaruh. Letnan satu Intan Hierrawati Rasmintho memang sangat dominan pengaruhnya dalam keluarga ini. Bagaimanapun Letnan satu Intan adalah puteri kandung nyonya Pangko Daerah Militer Jawa V Mayjen infanteri Estianni Rahayu Rasmintho. Keluarga penguasa satu-satunya yang menyokong ekonomi para putera angkat di rumah dinas yang menjadi asrama kost mereka ini. Wanita itu mendesah pelan. Hatinya bagai tersayat sembilu. Nyeri sekali. Bagaimanapun Bripda polisi Sinta ikut merasa bersalah karena menganjurkan memberi kesempatan pada Letnan satu Intan untuk merajut benang-benang cintanya dengan Anggitho. Tapi keadaan sungguh tidak memberinya pilihan. Anggitho akan jauh lebih rawan kondisinya kalau di campakkan ke jalanan oleh keluarga nyonya Mayjen infanteri Estianni Rahayu Rasmintho.

 

Berkali-kali Bripda polisi Sinta terbangun dan menghampiri pemandangan yang kosong di jendela kamar yang berhadapan dengan tembok tinggi berhias taman dinding. Dan berusaha untuk bersikap sehati-hati mungkin agar Wahyunni yang sedang pulas tidak sampai terbangun. Wahyunni seorang mahasiswa yang cukup matang. Lebih bisa bersikap arief menanggapi hubungan Bripda polisi dengan Anggitho. Tidak seperti Deassy yang terang-terangan merasa syirik dengan hubungan itu. Yang tidak segan-segan menunjukkan rasa tidak sukanya di hadapan Bripda polisi Sinta ketika tidak ada Anggitho. Wahyunni berpandangan lebih realistis bahwa meskipun dalam hati kecilnya ikut mengagumi ketampanan yang terpancar dari wajah imut Anggitho yang hitam. Toh… Anggitho secara pribadi telah menjatuhkan pilihan hatinya sendiri pada Bripda polisi Sinta. Jadi tidak ada gunanya kalau dia bersikeras memperjuangkan isi hatinya itu sementara tidak mungkin Anggitho membuka diri untuknya. Anggitho juga lebih pantas menjadi adiknya sendiri ketimbang seorang pacar. Sangat tidak sepadan dengan dia.

 

Kalau Anggitho sudah dia anggap sebagai adiknya sendiri, dan memang seperti itu faktanya. Bripda polisi Sinta yang telah menjadi gadis pilihan Anggitho juga pantas mendapat perlakuan sebagai saudaranya. Atau paling tidak calon adik iparnya walau usia antara mereka boleh dibilang seplantaran. Wahyunni terbangun jam tujuh pagi. Pada saat cahaya terang matahari pagi menembus tirai tipis kamarnya. Hari minggu. Wahyunni berfikir tidak usah bangun terburu-buru. Tidak ada pekerjaan berat hari ini. Wahyunni sama-sama Satria dan Bagoes terbilang saudara senior di rumah dinas asrama para putera angkat keluarga besar Rasmintho. Mereka tidak terlalu terbebani pekerjaan bersih-bersih rumah yang sudah biasa di tangani oleh staf Kodam yang khusus di kirim kerumah mereka setiap pagi. Hamidha, Ambar, Deassy, dan Satya pun tidak perlu repot-repot memasak untuk mereka semua. Seperti kebiasaan, cattering sarapan nasi kotak dari asrama Denma Resimen Kodam akan di antar pada jam delapan pagi kalau hari minggu. Mereka makan dari nasi kotak yang sama dengan satuan kuliner dinas logistik Denma Resimen Kodam memasak untuk seluruh batalyon pasukan yang bertugas di Markas besar.

 

Perlahan Wahyunni membuka pintu kamar, tidak ingin mengganggu Bripda polisi Sinta yang baru bisa tertidur setelah lewat jam lima pagi. Wahyunni bukannya tidak tahu, semalaman Bripda polisi Sinta tidak tidur. Hanya mondar-mandir antara tempat tidur dan jendela yang tidak bisa memandang kemana-mana. Tapi tentu, bukan pemandangan terbatas jendela besar itu yang menjadi perhatian Bripda polisi Sinta. Hatinya sedang resah membayangkan apa yang Anggitho Pringadhi lakukan jauh di luar sana. Wahyunni tidak ingin mengusik kegelisahan Bripda polisi Sinta, yang akhirnya justeru membuat perasaan wanita itu semakin tidak enak. Melangkah di lorong yang menuju ke kamar mandi tamu di sisi depan. Wahyunni sudah membawa serta pakaian gantinya yang hanya berupa baju atasan sifon bermotif polkadot dengan celana Bermuda dari LaRok d’Fj’L. Dia tidak memilih pakaian yang lebih bergaya. Wahyunni tidak bermaksud kemana-mana hari ini. Selain hanya berdiam diri di rumah dan menikmati hari istirahatnya.

                “Hhsssstt… mbak Yunn !”   terdengar suara memanggil yang memaksa Wahyunni menghentikan langkahnya dan berpaling. Ternyata Deassy. Adik angkatnya. Wahyunni tahu apa yang hendak di bicarakan gadis itu. Pasti tentang Bripda polisi Sinta yang di biarkan tersiksa sendirian semalaman karena di tinggalkan Anggitho. Wahyunni tersenyum dalam hati. Dasar pergaulan anak-anak. Masih ribut-ribut dengan cinta monyet.

                “Oouuww… Deassy. Mau mandi juga ?”

Deassy buru-buru menutup mulutnya menahan senyum. Jelas pertanyaan basa-basi yang di lontarkan Wahyunni, karena Deassy sudah sangat rapi pagi ini dengan penampilan bergaya mengenakan tank top dengan square cut jeans ‘Eve’ straight fit dan ikat pinggang stud berantai. Gadis ini sudah harum dan rapi siap untuk bepergian. Deassy terus menghampiri Wahyunni berusaha untuk berbicara setengah berbisik. Tidak ingin apa yang di bicarakannya nanti sampai kedengaran saudara-saudara satu asrama yang lain. Apalagi sampai ketahuan Bripda polisi Sinta sendiri.

                “Siapa yang mau mandi. Gimana tidurnya Bripda polisi Sinta itu, semalam… mbak ?”  Tanya Deassy dengan nada yang menyalahkan.

Wahyunni memandang sikap nekad Deassy yang sedang di bakar perasaan cemburu buta ini dengan getir.

                “Deassy… kau harus maklum. Ini hari-hari yang berat bagi Bripda polisi Sinta. Terlebih karena sekarang ada Letnan satu Intan yang masuk dalam hubungan dia dan Anggitho. Deass… dengarkan mbak Yunni. Tidak baik mengejar sesuatu yang sudah menjadi takdir kehidupan orang lain. Itu akan menyakiti diri kita sendiri. Kau hanya akan membuang-buang waktumu untuk memikirkan sesuatu yang tidak perlu. Kenapa tidak kita gunakan saja untuk memikirkan hal-hal yang positif. Bagaimanapun Anggitho sekarang adalah saudara kita dan… kita wajib untuk ikut bersyukur karena Anggitho telah menentukan pilihan di hatinya. Yang berarti Bripda polisi Sinta akan menjadi adik ipar kita juga.”

Deassy tersenyum tipis. Wahyunni berkata dengan jujur. Sorot matanya demikian polos berucap. Aachh… Wahyunni begitu matang dalam menilai sebuah keadaan dimana sesungguhnya di hati kecilnya dia sendiri juga ingin terlibat. Tapi mungkin benar, tidak ada gunanya menjadi kandidat yang ikut bersaing dalam memenangkan hati Anggitho. Berbeda dengan Letnan satu Intan yang jelas, dia memiliki kekuatan sangat besar dalam pengaruh dan kekuasaan yang bisa memaksakan Bripda polisi Sinta… dan Anggitho khususnya, untuk menerima kehadirannya di antara mereka. Sedangkan Deassy… entah apa yang bisa dia andalkan untuk masuk dalam hubungan cinta Anggitho, Bripda polisi Sinta dan Letnan satu Intan Hierrawati Rasmintho. Tapi setiap melihat wajah rupawan Anggitho yang menghitam sangat manis. Perasaan Deassy ini sulit di bohongi. Dia terlanjur jatuh cinta pada Anggitho ketika pertama kali mereka saling bertatap mata. Mungkin tidak ada perasaan apa-apa di hati Anggitho kala itu. Selain daripada perasaan sungkan masuk ke dalam pergaulan keluarga yang baru. Anggitho terlihat sangat canggung tidak hanya menghadapi dirinya. Tapi juga semua anggota keluarga para putera angkat nyonya Pangko Daerah Militer Jawa V. Mayjen infanteri Estianni Rahayu Rasmintho yang diperkenalkan padanya kala itu.

 

                “Entahlah… mbak Yunni. Sebenarnya aku juga tidak ingin terlibat seperti ini. Mungkin saja, aku bisa mencuri perasaan Anggihto dari Bripda polisi Sinta karena memang gadis itu datang dari komunitas luar keluarga kita. Masih ada perasaaan cemas dan rendah diri dalam diri Bripda polisi Sinta menghadapi kita. Tapi Letnan satu Intan ?”  ungkapan Deassy melantunkan apa yang sedang mengalir dalam pikirannya.

Wahyunni mengangguk sembari mengumbar senyum manisnya. Wahyunni melihat sebenarnya Deassy cukup sadar untuk tidak terlalu berharap pada Anggitho. Dari depan, di ruangan lain, ia sempat mendengar alunan lagu lembut Subhanna Allah oleh Maher Zein featuring Mesut Kurtis dari LG Home Theater HB-806 TM dengan 850 watt power dan 3D BlueRay Disc Playback seharga hampir lima juta rupiah. Di samping Samsung Plasma teve 51D450 dengan Mega Contrast Ratio ukura 51 inch seharga hampir sepuluh juta rupiah yang sengaja tidak dinyalakan.

                “Itu yang harus kau pikirkan, Deass.”

                “Seperti anak-anak yang sedang di rundung jatuh cinta… kadang-kadang Deassy juga merasa sulit mengendalikan perasaan ini saat berdekatan dengan Anggitho, mbak. Bagaimana Deassy harus bersikap ?”  Tanya Deassy sambil membuang nafas sesal.

                “Bercermin pada kenyataan yang musti kau hadapi. Deass.”  Wahyunni berkata dengan membesarkan hatinya. “Mungkin seandainya dirimu. Sanggupkah kau bila harus berbagi cinta seperti Bripda polisi Sinta. Harus menerima kehadiran orang ketiga seperti letnan satu Intan dalam kehidupan cinta kalian dengan ikhlas. Hubungan ini tidak akan berjalan dengan mudah. Deassy.”

                “Tidak. Aku tidak akan pernah bisa membagi perasaan ini dengan orang lain. Aku tidak akan sanggup, mbak Yunn.”

                “Karena itu. Kita harus berbesar hati. Menghormati hubungan cinta yang Bripda polisi Sinta jalin dengan adik ipar kita sendiri.”

                “Maafkan Deassy… mbak.”

                “Sudahlah. Mulai sekarang mari kita nikmati hidup ini dengan suasana yang baru. Dan satu hal. Hargailah Bripda polisi Sinta sebagai calon adik iparmu.”

Deassy mengangguk dengan tersenyum. Kemudian Wahyunni berlalu melanjutkan rencana dia ke kamar mandi yang sedang kosong. Suara music Compact disc dari LG Home Theater HB-806 TM dengan 850 watt power dan 3D BlueRay Disc Playback itu masih mengalun dengan indah. Melanjutkan nyanyian lembut Maher Zein featuring Fadhli yang berlabel Insya Allah. Deassy mendengarkan music itu dengan sambil lalu. Di saat hatinya sedang terluka memang, sangat cocok di hibur dengan alunan music lembut seperti itu. Meski itu tidak berarti akan menghilangkan beban berat yang sedang menggantung sesak di dadanya. Entahlah… apa harus Deassy melupakan begitu saja mimpi-mimpi indah yang lama dia rajut bersama Anggitho. Tapi dia memang harus semangat. Bahwa masih ada hari esok yang akan menyambut. Dan tentunya, dengan untaian cinta bersama seorang pria lain yang mungkin akan datang esok hari untuknya. Bagaimana sesungguhnya dia harus memperhitungkan kembali perasaan-perasaan agar tidak terlalu membebaninya. Bagaimana harus menyelesaikan. Yeeaah… hidup ini memang berat. Siapa yang tidak sanggup mengikuti permainan hidup yang demikian kerasnya, akan mudah sekali menjadi korban kehidupan itu sendiri.

                “Heey… Deass. Kau masih di situ ?”  sentak Wahyunni yang tidak di sadari telah keluar dari kamar mandi. Mengenakan baju atasan sifon bermotif polkadot dengan celana Bermuda dari LaRok d’Fj’L. Dengan sehelai handuk yang membungkus rambutnya yang masih basah. Sementara pakaian kotornya telah di lemparkan ke dalam keranjang cucian di sisi kamar mandi. Seorang petugas kebersihan dari satuan perlengkapan Garnesun akan mengambilnya pagi esok untuk di cuci bagian Loundry. Senyum Deassy pun mengembang.

                “Ekhhmmm… Ini Deassy juga mau pergi, mbak.”

                “Deass… jangan lupa pesan mbak tadi. Lupakan perasaanmu pada Anggitho, dan tempatkan dia sebagaimana mestinya, yaitu adik angkatmu. Sebagaiaman kita sangat menghormati Letnan satu Intan Hierrawati sebagai puteri kandung nyonya JendralEstianni Rahayu Rasmintho.”

Deassy tersenyum ringan. Wajahnya merah menunduk memikirkan apa yang baru saja Wahyunni ucapkan. Dan kenyataannya memang, perkataan itu sangat kuat mengandung kebenaran. Malu rasanya harus mengakui itu.

                “Tenang, mbak Yunn. Setelah ini tidak ada lagi cinta Anggitho dalam kamus hidupku.”

                “Mbak Yunni senang mendengarnya…”

                “Yyeaa… mbak.”  Kata Deassy yang segera mengeloyor pergi. Sejenak dalam langkah-langkahnya yang gontai itu Deassy merasakan bahwa hidupnya kosong. Deassy sudah cukup dewasa untuk menyadari bahwa pilihan cintanya salah. Akhirnya hanya sebuah desahan kecil yang keluar dari Deassy. Berat rasanya menanggung kegagalan sebelum dia benar-benar bisa memperjuangkan mimpinya.

 

Wahyunni kembali ke dalam kamarnya sendiri untuk sekedar member sedikit polesan make up pada wajahnya. Tidak di sangka ternyata Bripda polisi Sinta sudah terbangun. Tapi tidak bermaksud untuk turun. Selain hanya bersandar malas di atas ranjang. Bripda polisi Sinta menyambut kembalinya Wahyunni dengan senyum kecil.

                “Sudah bangun, Sinta… Tadi aku tidak enak waktu mau membangunkanmu. Nampaknya semalam kau kurang sekali tidurnya.”

                “Aach… kau tahu, Yunn. Maaf karena aku sama sekali tidak bermaksud mengganggu tidur pulasmu. Aku juga ingin menikmati tidur malam yang jenak. Tapi entah mengapa… mata ini sangat sulit terpejam.”  Kata Bripda polisi Sinta menyatakan penyesalannya.

                “Oouuww… jangan khawatir, aku sama sekali tidak merasa terganggu. Sinta pasti sedang memikirkan Anggitho. Tapi percayalah, Anggitho sekarang ini sedang berada di tangan yang tepat. Letnan satu Intan pasti sedang menjaga dia dengan baik. Anggitho tidak akan kenapa-kenapa.”

                “Aku percaya itu Yunn.”

                “Sebetulnya… yang tidak habis aku mengerti, mengapa kau terima kesepakatan Letnan satu Intan ?”

                “Aku tidak punya pilihan, Yunn.”

                “Kau tidak takut Letnan satu Intan Hierrawati akan merebut hati Anggitho untuk dirinya sendiri saja ?”  Wahyunni menanyakan dengan rasa penasaran.

Bripda polisi Sinta membalas dengan senyum yang tulus. Di tarik badannya sekedar untuk mengencangkan urat-urat tulang sendinya. Dan kembali Bripda polisi Sinta menyandarkan tubuhnya.

                “Walaupun hanya sekali bertemu, aku yakin dengan perasaan Letnan satu Intan. Dia benar-benar ikhlas untuk berbagi kehidupan cinta Anggitho denganku. Yang aku cemaskan justeru Anggitho, kalau ternyata dia menolak mentah-mentah cinta tulus yang di tawarkan Letnan satu Intan Hierrawati kepadanya. Pilihan itu akan berimplikasi luas pada masa depannya. Juga bagi masa depan hubungan kami berdua nanti. Sangat sulit bagi aku dan kami berdua khususnya untuk menjalani hidup di bawah bayang-bayang ancaman pembalasan dendam dari orang-orang yang memegang kekuasaan. Yang keluarganya terlanjur tersandung kasus hukum pidana atas pengeroyokan dan percobaan pembunuhan yang di perintahkan oleh Don juan Sonny.”

                “Aku sangat memaklumi pilihan hidup kalian, Sinta. Kalau aku dalam posisimu… barangkali juga aku mengambil sikap yang sama. Asalkan kita benar-benar yakin bahwa pilihan itu benar dan yang terbaik.  Wahyunni memberikan dukungannya.

Bripda polisi Sinta menyambut dengan senyum yang tulus. Paling tidak sekarang telah ada seseorang yang bisa mengerti keputusan Bripda polisi Sinta ini pada saat sebagian besar orang malah mencibirnya. Perlakuan-perlakuan yang hampir setiap hari selalu dia rasakan menyudutkannya dari orang-orang. Memuakkan sekali memang. Hampir tidak pernah dia mengerti. Kemana rasa toleransi dan persaudaraan orang lain itu menghilang. Tidak pernah dia tahu. Yang menjadi pandangan orang hanyalah sikapnya yang memaksakan Anggitho menduakan dia dengan wanita lain yang di anggap tidak wajar. Pada saat semua orang berpendapat bahwa cinta itu hanyalah untuk satu laki-laki dan satu wanita sebagai sesuatu yang wajar.

                “Kau melamunkan apa, Sint.”

Bripda polisi Sinta mencoba untuk tersenyum pada wanita cantik ini. Namun ternyata gagal. Kepedihannya karena telah di tinggalkan Anggitho merasuk begitu dalam ke dalam relung-relung jiwanya. Terlalu menyesakkan dan hanya bisa di sembuhkan dengan kehadiran Anggitho seorang.

                “Kau sedang suntuk sekali. Kalau boleh aku tahu… mungkin kita bisa saling berbagi kesedihan dengan membicarakan kekalutanmu. Karena dengan membicarakannya, itu akan mengurangi beban kesedihan di hati kita.”

                “Aaach… tidak Yunn. Aku tidak akan bisa membagi kesedihan ini dengan siapapun. Kesedihan yang telah aku ciptakan sendiri.”

Wahyunni terhenyak tapi kemudian tersenyum. Tersenyum karena sebenarnya dia telah tahu yang terjadi sebenarnya. Dia tahu kesedihan yang sebenarnya sedang di rasakan Bripda polisi Sinta saat ini. Dan sesungguhnya tidak tidak usah berbohong soal itu. Banyak orang yang telah mencemooh keputusan Bripda polisi Sinta untuk membagi cinta tulus Anggitho dengan Letnan satu Intan Hierrawati. Pada saat banyak wanita yang patah hatinya karena tidak sanggup memiliki hati Anggitho untuk diri mereka sendiri. Anggitho memang sangat tampan dan raut wajahnya yang hitam manis itu memantulkan ketulusan. Kalau saja… dalam pandangan gadis-gadis yang jatuh cinta kepadanya. Itu juga termasuk Deassy. Anggitho lebih sedikit bisa toleran menanggapi letupan-letupan api asmara yang di isyaratkan gadis-gadis itu. Lebih menerimanya sebagai ajakan petualangan yang mengasyikkan dengan gadis-gadis itu. Mungkin Anggitho bisa jauh lebih populer dari Don Juan Sonny. Terlebih karena Anggitho tidak memiliki sifat angkuh dan kesombongan diri sendiri. Anggitho lebih bisa menghargai naluri seorang wanita yang tidak ingin di permainkan cintanya seperti budak berahi semata.

 

Yang bisa di hina dan di campakkan seperti sikap-sikap Don Juan Sonny selama ini terhadap mantan-mantan gadisnya yang telah habis di peras sari kenikmatannya. Tapi Anggitho toh… seorang pribadi yang teguh memegang tradisi satu cinta. Kalau bukan karena atas permintaan Bripda polisi Sinta yang sangat memaksa. Tidak akan mau dia menanggapi letupan-letupan api asmara yang di tunjukkan oleh Letnan satu Intan Hierrawati.

                “Dengar, Sint. Kau harus percaya padaku.”

                “Entahlah Yunn… Sepertinya aku sulit melepaskan perasaanku dari Anggitho saat ini. Aku tidak bisa lepas memikirkan yang sedang dia lakukan dengan Letnan satu Intan Hierrawati. Sementara aku sendiri yang telah memaksakan padanya perasaan itu untuk berbagi antara aku dan Letnan satu Intan. Apa aku berdosa kalau merasa sangat cemburu ?”

Bripda polisi Sinta mendesah lirih. Kemudian menundukkan wajahnya. Malu menunjukkan ketidak tegasan sikapnya di hadapan Wahyunni yang di anggapnya senior di rumah asrama para putera angkat keluarga nyonya Pangko Daerah Militer Jawa V ini. Seolah-olah di anggap menyalahkan Anggitho atas situasi yang dia alami. Padahal dengan jelas dia sendiri yang telah begitu memaksakan dan menjerumuskan Anggitho pada kondisi membagi dua cinta yang sangat tidak dia sukai.

                “Cemburu itu sifat yang alami dari setiap manusia Sint. Kau tidak harus malu mengakuinya.

Bripda polisi Sinta kembali mengangguk lesu. Bayang-bayang kemesraan Anggitho yang tengah berdua saja dengan Letnan satu Intan Hierrawati sejenak melintas di benaknya. Kalau saja dia tidak harus memaksakan Anggitho berbagi cinta antara dia dan Letna satu Intan. Tapi aach… hidup ini tidak memberi banyak pilihan untuk dirinya dan Anggitho. Lagi-lagi, keamanan menjadi alasan yang mutlak untuk menentukan sebuah pilihan yang tidak pantas. Terlalu berat beban resiko yang harus dia tanggung dan Anggitho kalau mereka keluar dari zona perlindungan keluarga nyonya Panglima Mayjen infanteri Estianni Rahayu Rasmintho. Apa yang bisa di lakukan oleh seorang kepala dinas dalam Pemkot kota Malang terhadap seorang Anggitho yang di anggap biang-nya situasi yang menyebabkan salah seorang putera kesayangan mereka hilang tak tentu kabar hingga sekarang. Apa yang bisa di lakukan oleh seorang kolonel Angkatan Darat, komandan satuan distrik militer Metro Malang. Apa yang bisa di lakukan oleh seorang wakil Bupati. Bahkan seorang Walikota Pemkot kota Malang karena dua keponakannya turut menghilang paska kerusuhan yang di tokohi oleh Don Juan Sonny Putrahimawan itu.

                “Tapi tidak kalau aku sendiri yang telah memaksakan Anggitho untuk hidup berbagi dengan dua wanita yang sama-sama mencintainya. Semua ini bukan atas kemauan pribadi Anggitho… Yunn.”

                “Aaach… Jika kau sudah menyadari itu. Mengapa tidak mencoba untuk mengikhlaskanya ?”  tanya Wahyunni dengan kelembutannya. Saran yang sangat wajar. Memang keikhlasan. Itulah kunci masalah yang sedang Bripda polisi Sinta hadapi sekarang ini. Andai saja perkataan itu mudah pula untuk di jalankan. Tapi kenyataannya, Bripda polisi Sinta sulit berpaling dari perasaaan cemburunya sendiri.

                “Entahlah… Yunn. Harusnya memang sejak awal aku sudah memperhitungkan perasaan ini. Kecemburuan yang sama sekali tidak pantas untuk pemuda sebaik Anggitho.”

                “Atau… kau takut akhirnya Letnan satu Intan merebut Anggitho untuk dirinya sendiri ?”

                “Kalau akhirnya Anggitho sendiri menerima itu, aku nggak masalah… Yunn. Bagiku pribadi, melihat Anggitho bahagia dengan wanita yang di cintainya adalah hal terindah yang bisa aku rasakan. Anggitho pantas mendapatkan kebahagiaan itu.”  Bripda polisi Sinta mendesah kecil. Hatinya telah terlanjur kosong untuk yang namanya keikhlasan cinta. Terlalu sesak dengan perasaan rindu dan kecemburuan semata.

                “Tapi percayalah… aku yakin dengan Letnan satu Intan Hierrawati. Dia ikhlas membagi cinta Anggitho untuknya dengan cintamu, Sint. Walau jarang bertemu, aku tahu pasti… Letnan satu Intan seorang yang sangat memegang teguh janjinya. Apa yang telah dia ucapkan tidak akan pernah di tarik kembali.”  Wahyunni membesarkan hatinya. “Aku saksinya kalau Letnan satu Intan itu wanita yang suka menuntut ketegasan dan tidak pernah mentolelir pengingkaran. Walaupun itu terhadap dirinya sendiri. Tapi memang, sebagai puteri tunggal seorang Pangko Daerah Militer Jawa V yang sangat memanjakan puterinya… Letnan satu Intan juga di kenal sangat piyawai untuk mendapatkan setiap keinginannya. Termasuk ketika dia bersikukuh untuk mendapatkan promosi jabatannya ke Jepang. Yang di kenal sangat minim dalam kesempatan mendapatkan kenaikan pangkat. Tapi memperoleh tunjangan operasional yang sangat besar nilainya. Sebagai sesama anggota Angkatan Bersenjata kau pasti tahu… penugasan ke luar negeri adalah hal minus dalam kenaikan pantas. Selain hanya sekedar kerja plesiran dan bersenang-senang. Berpenghasilan besar. Penuh dengan tantangan baru. Tapi karena ambisinya Letnan satu Intan justeru mengabaikan pertimbangan kepangkatan itu. Lihatlah sekarang… betapa banyak temannya sudah naik pangkat menjadi Kapten. Tapi dia sama sekali tidak perdulikan itu.”

                “Hhmmhh… itu memang benar. Sebagai puteri seorang Jendral yang menguasai limabelas ribu tentara di propinsi ini. Letnan satu Intan dapat dengan cepat memperoleh promosi jabatannya bila mengabdikan dirinya di pusat-pusat kekuasaan negara.”  Bripda polisi Sinta membenarkan pandangan Wahyunni.

                “Hidup ini bagi Letnan satu Intan… adalah bagaimana dia menjalaninya sekarang. Tidak pernah dia berpandangan jauh ke masa depan. Tapi Letnan satu Intan Hierrawati juga seorang yang memegang teguh tradisi kehormatan. Dia selalu menepati setiap yang telah dia janjikan. Jadi kalau dia telah berjanji mengembalikan Anggitho kepadamu… pasti, nanti dia akan datang mengembalikannya.”  Wahyunni membesarkan semangat Bripda polisi Sinta. “Sekarang mengapa kita tidak berfikir positif saja dan cerahkan hatimu dengan mandi air hangat dan merias diri untuk tampil cantik dan segar ?”

Sejenak Bripda polisi Sinta memperhatikan dirinya sendiri di dalam pantulan cermin besar dekat deretan almari kamar. Sungguh memalukan dan lesu. Kini sadar betapa dirinya sudah terlanjur bermalas-malasan karena mengemban rasa kesedihan yang terlalu mendalam atas sesuatu yang telah dia setujui sendiri.

                “Sebaiknya memang aku mandi dulu, Yunn… Makasih karena kau  telah mengingatkanku.”

                “Memang itu lebih baik. Bayangkan kalau tiba-tiba Anggitho sudah pulang dan melihatmu dalam keadaan buruk seperti ini. Pasti dia berfikir yang bukan-bukan. Mungkin dia akan berfikir kalau kau tidak ikhlas melepaskan dirinya untuk menemani Letnan satu Intan. Padahal sejak awal dirimulah yang begitu memaksa dia untuk pergi.”  Pendapat Wahyunni di sampaikan dengan bersemangat.

Bripda polisi Sinta manggut-manggut menanggapi ucapan Wahyunni. Dalam hatinya dia merasa lega penilaian Wahyunni secara tidak langsung memang sepandangan dengan dirinya sendiri. Bripda polisi Sinta menyambar handuknya di gantungan sudut kamar itu dan mengeluarkan setelan baju ganti untuk kegiatan sore yang ringan. Hanya sepotong kaos tanpa lengan, satu stel pakaian dalam dan sehelai celana model Hawai. Dan meninggalkan kamar Wahyunni menuju ke kamar mandi yang masih kosong. Bripda polisi Sinta mengurai rambutnya yang sepundak. Mengguyur dibawah siraman air hangat dari shower dan menuangkan sabun cair ketangannya untuk membilas ke seluruh tubuh. Air hangat memang memberikan kesegaran dan semangat baru bagi Bripda polisi Sinta. Kurang tidur semalam ternyata harus di tebus dengan bangun yang kesiangan. Pagi ini Bripda polisi Sinta menyusun rencana. Tidak ingin hanyut dalam kesedihan yang dia buat sendiri. Bripda polisi Sinta akan jalan-jalan sesukanya sampai dering suara Handphone menyadarkannya dan memberitahukan kalau Anggitho sudah pulang.

 

Dengan tampilan yang lebih segar dan nyaman, nanti Bripda polisi Sinta yakin akan menikmati hari dengan lebih bersemangat. Dengan baju-baju gantinya yang lebih segar dan fresh, Bripda polisi Sinta meninggalkan kamar mandi. Memasukkan baju kotornya ke keranjang pakaian dekat pintu kamar mandi itu sendiri dan balik ke kamar Wahyunni dengan masih membungkus rambutnya dengan handuk. Wahyunni tengah merapikan wajah dan rambutnya di meja rias kamar itu. Dan Bripda polisi Sinta menyusulnya kemudian. Wahyunni berpaling menyambut kedatangan Bripda polisi Sinta dengan tersenyum dan tidak keberatan memberikan tempatnya.

                “Kamu ada acara keluar pagi ini… Yunn ?”  Bripda polisi Sinta menanyakan sembari mengurai rambutnya yang lama terbungkus dalam handuk kering.

                “Tidak. Kau…”

                “Aku sedang berfikir. Bagaimana kalau kita habiskan kegiatan hari ini dengan acara shopping di Mall. Lama aku tidak jalan-jalan lagi sejak terlibat hubungan dengan Anggitho.”  Kata Bripda polisi Sinta.

                “Shopping… hhmm… yaa. Mengapa tidak ?”  Wahyunni membalas ajakannya dengan penuh semangat. “Kebetulan rumah lagi sepi. Semua pengawal ditarik karena Anggitho sedang pergi. Kita ajak Ambar dan Hamidha. Gimana ?”

                “Kalau mereka mau tentu lebih asyik. Aku masih ada simpanan uang sepuluh juta sisa belanjaku untuk Anggitho kemarin. Sayang kalau tidak di gunakan.”  Tanggapan Bripda polisi Sinta.

                “Aku juga punya simpanan dua juta sisa belanja bulan kemarin. Kita shopping sama-sama, oke.”

Satria dan Bagoes telah pergi pagi-pagi dengan sepeda motor. Deassy juga telah berangkat ke rumah temannya dengan menumpang kendaraan umum yang banyak melewati di jalan besar depan komplek. Satu-satunya laki-laki yang masih tinggal hanya Satya, yang akhirnya kebagian tugas tunggu rumah. Semua wanita itu dipastikan bisa semua mengendarai Jeep Mini Puch 4×4 yang masih dibungkus kain untuk mobil di garasi samping. Empat wanita yang sedang keranjingan hunting belanja ini akhirnya memutuskan untuk membiarkan saja Satya yang masih molor di kamarnya. Satya memang kebetulan tidak ada janji keluar hari minggu ini. Mereka meninggalkan dia begitu saja dan mengisi penuh premium mobil Jeep Mini Puch-nya yang terbilang boros. Delapan kilometer untuk satu liter bensin. Dengan daya tangki empatpuluh liter mereka harus merogoh uang pribadi sekitar duaratus ribu rupiah. Ambar kebetulan yang kebagian tugas mengemudikan mobil. Mereka bisa mengisi penuh tangki premium dari Pengisian Bahan Bakar pribadi milik Markas Kodam sendiri yang berada di dalam pangkalan. Tapi itu nanti akan di sertai dengan pertanyaan-pertanyaan. Wahyunni tidak menyukai sesuatu yang ribet.

 

Tujuan mereka sekarang adalah Megaria Plaza di belakang alun-alun kota Malang. Dekat dengan Cineplex 21 Metro. Mobil kecil dengan hanya beratap kanvas itu mengalir dalam arus lalu lintas yang ramai lancar dan menelusuri jalanan protokol besar dua arah menuju ke kota. Dan lagi-lagi timbul kekacauan, kebisingan-kebisingan kendaraan yang mengantri di lampu merah menuju arus dalam kota yang padat. Keributan yang selalu sama seperti saat mereka terjebak dalam kemacetan lalu lintas pagi hari. Jalanan mulai agak lancar ketika mereka sudah mendekati arah ke alun-alun kota dan berpisah dengan kendaraan-kendaran besar antar kota dan truck. Jalanan di penuhi dengan mobil-mobil mahal sekelas Mercedhes-Benz, Audhi, BMW, dan Honda yang meluncur dengan sombong di jalur tengah. Di ikuti deretan-deretan mobil angkutan kota yang berjalan lamban di tepian sambil sesekali berhenti dengan mendadak di tempat-tempat yang sesungguhnya di larang. Membaur dengan becak-becak yang masih di perbolehkan operasi dengan bebas di tengah kota. Yang terkadang memotong jalanan ramai dengan seenaknya saja untuk menyeberang. Motor-motor Beat, New Varrio, dan Yamaha Vixion mengular di jalanan bagai kumpulan lebah yang berparade tiada putus-putusnya.

 

Megaria Plaza sudah di depan mata. Ambar memutar kemudi mobil masuk ke lahan parkir bawah tanah yang langsung menuju ke jantung perbelanjaan teramai di kota Malang ini. Membayar ticket parkir sesuai dengan harga yang tertera dan kemudian mengikuti belokan-belokan jalan sesuai dengan penunjuk arah menuju tempat yang masih kosong. Agak jauh menuju lahan parkir yang masih tersedia. Mematikan mesin mobil itu kemudian empat wanita penggila hunting belanjaan ini bergantian menyisir rambut-rambut mereka yang berantakan di terpa angin.

                “Ayoo… ayoo, kita cari makan di atas sekalian ya ?”  ajakan Hamidha dengan tidak sabar.

                “Kita ke stand Bu Mirrah aja ya… Sawi putih gulung saus kacangnya enak sekali. Bayam udang kukusnya juga enak buat sarapan.”

                “Aaach… ke stand Oriental food aja. Lagi pengin cobain Lumpia Gou Cuon nich.”  Ambar memutuskan. Dan mereka masih belum menemukan jalan masuk ke Megaria Plaza di lantai atas.

Setelah berputar-putar agak lama akhirnya mereka masuk ke pintu kaca bertangga dengan tulisan Mall Entrance. Di ujung tangga itu  mereka langsung di sambut dengan padatnya pengunjung Plaza. Hari minggu. Ramai begini sudah merupakan hal yang biasa karena semua warga kota yang sedang tidak ada kegiatan membutuhkan penyegaran suasana. Kesejukan udara AC sedikit mengurangi rasa lelah dan penat mereka setelah beberapa waktu terjebak dalam kemacetan jalanan. Dari sebuah counter minuman Wahyunni memesan satu paket murah Pepsi Blue-cola 330ml perkaleng. Satu paket itu terdiri dari enam kaleng. Dia membuka satu dengan tangannya sendiri dan meneguknya. Kemudian juga menawarkan kepada saudara-saudaranya yang lain.

                “Oouuch… Lihat Hamidha, sepatu peep-two suede beraksen bunga dari Dorothy Perkins. Soo… sweet.”  Ambar mendekati etalase kaca di stand sepatu berkelas yang mereka lewati. Harga tigaratus enampuluh sembilan ribu tertera di label product dekat sepatu.

                “Kita lihat-lihat dulu yang di Guess atau Roddo. Ntar nyesel lho…”  kata Hamidha memperingatkan. Sepatu-sepatu dari Guess dan Roddo memang yang tertinggi di kelasnya. Karena memasang tarif berpasang antara satu juta hingga empat juta rupiah.

                “Kau benar Midh… kita lihat koleksi Roddo.”

                “Eeich… lihat. Ada potongan harga di dailly promo Santanny Planet. Kita bisa menikmati Santanny Punch, Shirley Temple, atau Blueberries Smoothies dengan setengah harga.”  Wahyunni membaca sebuah banner brossur yang dipasang di pinggir lorong.

                “Potongan harga di Santanny Planet… berita heboh nich.”  Ambar yang baru mendengar yang baru di ucapkan Wahyunni itu ikutan nimbrung.

                “Ayoo… ayoo, kita kesana sekarang.”

Dan, Bripda polisi Sinta yang hanya ikut arus mengikuti mereka menuju Café Santanny Planet yang berada di bagian depan lantai tiga. Mereka menapak eskalator dengan penuh semangat. Santanny Café yang cukup punya nama di jagat hiburan kota Malang ini. Jarang-jarang mereka mendapat kesempatan masuk ke tempat nongkrong kalangan jetset kota Malang ini walaupun letaknya berada di tengah-tengah Plaza paling laris di kota Malang ini. Masuk ke dalam Café yang elegant itu langsung di suguhi dengan alunan musik lembut Selena Gomez and The Scene-nya dalam Love You Like a Love Song. Empat wanita-wanita ini ternyata bukan yang pertama duduk di Santanny Café. Sudah ada belasan pasangan lain dan semakin membuat Café yang sedang menggelar dailly promo ini meriah. Menunggu pelayan Café menghampiri, mata wanita-wanita itu keluyuran ke pasangan demi pasangan tamu yang berkunjung.

                “Yunn… ada Bambang dan Lutik Astri.”  Ambar membisikkan di telinga Wahyunni yang tengah terlena alunan musik lembut Selena Gomez.

                “Kau bilang apa… Bambang ?”

Spontan Wahyunni memutar bola matanya. Mencari-cari pasangan yang di maksud. Setelah beberapa kali menamatkan, akhirnya memang benar. Di sudut meja sana ada Kantor Advocate Rasmintho SH, Sw.D, Ph.D, Js.D, Laws Master & Friends, Nathannia Gunawan S.Com., pacarnya. Entah sudah berapa lama mereka di dalam. Yang jelas keberadaan Bambang Tristam membuat Wahyunni sedikit kurang nyaman. Bambang adalah salah satu fihak yang menyalahkan Anggitho atas terseretnya Kombes polisi Bagus Wibawa ke dalam kasus pidana karena hendak menangkap Anggitho untuk suatu kasus. Bripda polisi Sinta juga mengikuti petunjuk Ambar itu dan melihat posisi Bambang Tristam. Tapi diam saja karena bukan orang yang ikut di ajak bicara oleh Ambar. Pelayan Café datang membawakan  dua piring kecil Snack Sumpia Udang kepada mereka dan sekaligus menyodorkan buku menu. Hamidha yang paling dulu menyerbu sumpia udang kesukaannya itu. Diikuti Ambar dan Bripda polisi Sinta. Sementara Wahyunni membuka-buka buku menu untuk menentukan pesanan.

                “Okeey… saya minta tiga porsi Shierly Temple dan satu Blueberry Smoothies.”

                “Ada pesanan yang lain, mbak ?”  pelayan Café itu mengajukan penawaran.

                “Kami bisa minta porsi besar snack Sumpia Udang ini, nanti kami bayar sendiri. Kayaknya saudara-saudaraku begitu keranjingan dengan makanan ringan di sini.”  Kata Wahyunni memandang saudara-saudaranya dengan geleng-geleng kepala. “Kalau ada Nugget Spicy Wing yang di bumbui, saya juga mau. Dalam porsi besar, yyaa…”

                “Baik. Mbak.”

                “Heei… Sumpia Udangnya, sisakan sedikit buat aku dong.”  Wahyunni mengangguk kepada pelayan itu dan berpaling ke saudara-saudaranya yang seperti kelaparan.

                “Aaach… tadi mbak Yunni kan, pesan lagi… tunggu giliran aja.”  Hamidha yang rakus menyambar semua sumpia udang dari piring kecil yang tersisa.

Musik telah berganti. Dan kini Selena Gomes and The Scene mengalunkan musik lembut Outlaw yang di suarakan samar-samar. Seperti permintaan Bripda polisi Sinta sebelumnya, dia memilih Blueberry Smoothies yang bercita rasa lebih ringan. Sementara ketiga wanita yang lain berpesta dengan Shierly Temple yang cita rasa anggurnya sangat kuat. Dua mangkuk besar Sumpia Udang dan Chicken Nugget Spicy Wing yang masih hangat ikut di hidangkan ke meja mereka oleh pelayan-pelayan Café yang cekatan. Setelah mencicipi sebuah Chicken Nugget Spicy Wing yang ternyata enak, Bripda polisi Sinta meneguk Blueberry Smoothies-nya dalam gelas anggur yang besar. Seteguk saja dan itu bisa di nikmati di lidah hingga berlama-lama. Dengan sebuah kecupan kecil di pipi kekasihnya, nampak Lutik Astri di meja seberang sana bangkit hendak permisi menuju ke toilet sebentar. Mengusapi bibirnya yang basah oleh sentuhan winne Santanny Punch dengan tissue dan beranjak meninggalkan Bambang Tristam sendirian. Saat berjalan menuju ke pintu toilet itu secara tidak sengaja Lutik Astri melihat Hamidha bersama saudara-saudaranya.

 

Hamidha… Lutik Astri tahu wanita ini adalah saudara angkat Anggitho Pringadhi. Remaja ingusan yang baru lulus dari pondokan di Pronojiwo yang entah dimana itu. Yang begitu kampungan, tapi telah menyengsarakan banyak orang karena kepolosannya yang kebablasan itu. Lutik Astri tahu dia sedang menjadi perhatian wanita-wanita di meja Hamidha. Dan Lutik Astri sudah gatal ingin mendamprat mereka. Tapi dia putuskan untuk melangkah terus ke dalam toilet. Menenangkan wajahnya di depan cermin toilet sebelum akhirnya mencuci mukanya dengan siraman air dari wastafel. Lutik Astri sama sekali tidak terlibat urusan dengan keluarga Pangko Daerah Militer Jawa V itu. Tapi dia tahu bahwa merekalah kini yang membuat keluarga Bambang Tristam, kekasihnya itu berantakan dan membuat hati Bambang Tristam seperti hancur. Setelah beberapa lama menenangkan diri di depan cermin toilet itu. Lutik Astri merapikan pakaiannya kembali, menyisir rambutnya dan keluar menuju ke meja Bambang Tristam kembali. Urung menjalankan niatnya untuk mendamprat keluarga Pangko Daerah Militer Jawa V yang penuh kuasa itu.

 

Karena toh… pada akhirnya justeru dia sendiri yang bisa terseret ke dalam masalah serius. Lutik Astri sudah barang tentu tidak mau konyol. Lutik Astri muncul di belakang Bambang Tristam yang sudah setengah mabuk. Dia meneguk gelas winne Santanny punch-nya terlalu banyak dan kembali mengisinya dari botol winne yang nyaris kosong. Padahal satu botol tersegel dari winne itu bisa berharga tujuratus hingga dua juta rupiah. Bambang Tristam memang gila. Mabuk dengan winne. Tapi musibah keluarga yang sedang menimpa hidupnya ini jauh lebih gila lagi. Pappanya di tahan karena pembangkangan terhadap aturan hukum padahal Pappanya sendiri seorang penegak hukum. Sementara Mamma-nya sedang sekarat di rumah sakit karena tidak bisa menerima situasi yang menimpa suaminya itu.

                “Sayaang… mengapa lama sekali… ayyooo… kita ber… pesta… laaaaggi…”  suara Bambang Tristam yang sudah mulai setengah sadar mengangkat gelasnya dalam rangkulan mesra Lutik Astri.

                “Sudah mmaaass… kau sudah cukup mabuk dengan minuman ini.”

                “Mabuk!  Siapa yang bilang aku mabuk… ini minuman suuurggaa… minuman yang tidak memabukkan… tapiiii… menikmatkaaaann… haa… haa… haa…”  Bambang Tristam tertawa dalam rangkulan Lutik Astri. Tapi kemudian suara tawa itu lambat laun seperti berubah menjadi sebuah isyak tangisan yang menyentuh.

                “Aaaach… maasssss, sudaaah… malu kita maassss. Kau tidak lihat… ada Hamidha dan kakak-kakaknya disini.”  Lutik Astri mencoba menyinggung soal Hamidha untuk mengalihkan pelampiasan Bambang Tristam pada minuman.

                “Hamidha… ada Hamidha disini ?”  Bambang Tristam yang sudah seperti orang kesurupan itu menoleh ke belakang setengah ingin berdiri. Mencari-cari orang yang di sebutkan kekasihnya. Karena setengah mabuk ternyata dia tidak menemukannya. Dan menghempaskan kembali pantatnya ke sebelah Lutik Astri dengan kesal. “Aaaach… persetan dengan mereka semua. Yang terpenting… aku bisa menikmati minuman suurggaa ini… haaa… haa… haaa.”

Bripda polisi Sinta terlihat sangat prihatin dengan kondisi Bambang Tristam. Orang yang sesungguhnya tidak ada sangkut paut dalam perseteruan antara Don juan Sonny Puterahimawan dengan dirinya dan Anggitho. Salahnya hanya karena keluarganya yang berpihak terlalu jauh melindungi kepentingan-kepentingan pribadi Don juan Sonny yang sesungguhnya itu tidak pada tempatnya. Karena urusan cinta berbeda jauh dengan tugas perlindungan keamanan dari Negara. Dan Negara tidak boleh sampai melibatkan diri dalam urusan cinta seseorang. Kalau kemudian itu berbenturan dengan kenyamanan seorang beliau nyonya Pangko Daerah Militer Jawa V Mayjen Infanteri Estianni Rahayu Rasmintho, wajar kalau kemudian ada respon yang sama-sama kerasnya. Terbukti setelah itu memang oknum pelaksana tugas pengamanan untuk keluarga Andhre Permana Himawan menyalahgunakan kewenangannya terlalu jauh. Bahkan sampai pucuk pimpinan tertinggi IcB yang di anggap melindungi oknum pelaksana tugas itu rontok satu persatu terjerat sangksi hukum atas penyalah gunaan kewenangan yang mereka miliki.

 

Sebagai pelengkap penderitaan Bambang Tristam kini, nyonya Lucia Bagus Wibawa kini masih terbaring pasrah di rumah sakit dalam kondisi yang tidak kalah memperihatinkan dari nasib buruk suaminya. Karena besar rasa cintanya pada Kombes polisi Bagus Wibawa, nyonya Lucia tetap bersikukuh agar nama baik dan kehormatan suaminya di pulihkan. Dan dia mengancam tidak akan mau sembuh dari sakitnya sampai dia tahu suaminya bebas dari penjara. Ancaman yang lebih bertingkah kekanak-kanakkan ini bukannya akan mengundang iba orang lain untuk membantu membebaskan suaminya.. Tapi justeru menambah penderitaan Bambang Tristam. Anak sulungnya yang kini harus menanggung beban berat mengurusi nasib malang kedua orang tuanya itu. Seandainya saja… Lutik Astri tidak mengorbankan banyak waktu untuk mendukung setiap aktivitas Bambag Tristam, mungkin sekarang anak malang itu sudah nekad menceburkan mobil Hyundai H-1 yang dikemudikannya ke jurang. Dan biaya perawatan Mammanya yang tidak sembuh-sembuh… atau lebih tepatnya tidak mau sembuh dari sakitnya itu terus menggerogoti uang simpanan keluarganya yang tidak lebih dari seratus juta rupiah. Mungkin sebentar lagi mobil Hyundai H-1 miliknya itu juga akan terjual. Karena biaya operasionalnya yang juga mahal.

 

 

Selain dari mereka berdua. Pasangan-pasangan lain di Santanny Planet Café ini semuanya nampak riang bergembira. Gurauan orang-orang yang sedang meneguk winne terdengar ke setiap pojok ruangan. Juga suara dari setiap orang yang berbicara sekeras-kerasnya karena membutuhkan jasa dari pelayan Café. Bripda polisi Sinta kemudian mengacuhkan saja perasaan ibanya pada Bambang Tristam. Dan ikut melanjutkan pesta yang di gelar oleh saudara-saudara Anggitho dengan Snack Sumpia Udang dan Shierlly Temple winne. Bripda polisi Sinta mengajak semua orang jalan-jalan kemari untuk melepaskan diri dari kecemasannya kehilangan Anggitho. Kenapa sekarang dia harus pula perduli pada persoalan Bambang Tristam

                “Mau nambah Blueberry Smoothies-nya… Sinta, kau boleh nambah sesukamu. Toh nanti nota pembayaranya kita sokong sama-sama.”  Wahyunni menawarkan untuk Bripda polisi Sinta. Dua saudaranya yang lain sudah sedari tadi meminta pelayan Café untuk mengisi kembali gelas winne yang kedua. Snack Sumpia Udang yang mereka pesan dalam porsi jumbo. Satu anglo crystal penuh itu, bahkan sudah mulai menipis menjadi ajang banca’an wanita-wanita gila makan ini.

                “Oouuw… tidak Yunn. Ini… milikiku masih separuhnya. Belum habis kok.”

                “Jangan sungkan bersama-sama kami disini. Kami kalau sedang pesta memang seperti ini. Apa saja yang kami pesan dalam porsi jumbo pasti dibuat banca’an sampai habis. Sayang loo, kalau di sia-siakan. Kita… toh bayar disini.”  Ambar menyatakan kepada Bripda polisi Sinta tanpa menghentikan aktivitas makannya.

                “Iyaa… Sint. Yang malu-malu nanti gak kebagian.”  Hamidha ikutan menimpali.

Wahyunni bersantai mendengarkan musik lembut yang dialunkan oleh Suzy. Pemeran Miss A dalam teledrama Winter Child yang berjudul Dream High part-4. Dan kemudian meneguk Shierlly Temple winne miliknya hingga habis sebelum memanggil seorang pelayan Café untuk mengisinya kembali. Yang paling dia sukai adalah Chicken Nugget Spicy Wing itu untuk di santap menemani Shierly Temple winne-nya. Dia suapkan satu demi satu Chicken Nugget itu ke mulutnya yang tiada henti menelan seperti mesin penggilingan pabrik roti. Menurut Bripda polisi Sinta, mereka semuanya komunitas anak muda terbiasa memegang banyak uang dan menghabiskannya untuk sekali acara pesta pribadi seperti ini. Maklum… walau mereka sesungguhnya bukan berasal dari keluarga yang kaya. Tapi menjadi para putera angkat nyonya Pangko Daerah Militer Jawa V Mayjen infanteri Estianni Rahayu Rasmintho. Dengan belanja bulanan satu juta rupiah, yang biasa mereka habiskan hanya sesekali saja dalam akhir minggu itu. Mereka adalah komunitas wanita yang cukup punya modal patungan untuk menggelar pesta-pesta di tempat seperti ini.

                “Masih kepikiran Anggitho… sudah lupakan saja untuk sementara ini. Kalau sudah waktunya nanti toh… akan pulang sendiri.”  Hamidha tiba-tiba nyeletuk ke persoalan pribadi Bripda polisi Sinta.

                “Aaaach… iyyaa sih.”  Jawab Bripda polisi Sinta.  “Tapi sekarang aku sudah tidak terlalu perduli lagi. Pesta siang ini sedikit menyegarkan hatiku. Membuatku terhibur dengan alunan music itu… dan juga… minumannya.”

                “Hhmmm… yaaa. Bagus. Sesekali memang kita perlu bersenang-senang dalam pesta di luar seperti ini. Membuat kita merasa bebas dan bergembira.”  Kata Wahyunni mendukung pendapat Hamidha.

Bripda polisi Sinta melanjutkan aktivitas pestanya, dan nampak telah ikut larut dalam kemeriahan pesta pribadi mereka hari ini. Kepada Wahyunni dia menyatakan bahwa nada panggil Handphone-nya berbunyi dan harus menerima panggilan itu di luar Café. Suara di dalam Café terlalu berisik sehingga sulit bagi dia untuk menerima dengan jelas apa yang di bicarakan oleh si penelphone. Kemudian Bripda polisi Sinta beranjak keluar. Ada tempat sepi di depan pintu Café yang ramai lalu-lalang pengunjung plaza itu, di seberang lorong. Bripda polisi Sinta menerima panggilan dari nomor yang tidak dia kenal itu dan mengulangi perkenalannya.

                “Hallo… Sinta. Ini Ibu… Jendral Estianni Rahayu Rasmintho. Apa hari ini kau ada waktu untuk berbincang sebentar saja ?”  terdengar suara yang lembut di seberang sana.

                “Oouuww… tentu, nyonya Jendral. Dimana saya harus ketemu ?”

                “Dimana kau sekarang ?”

                “Di Santanny Planet Café… Megaria Plaza, nyonya Jendral.”  Bripda polisi Sinta menyatakan posisinya. “Kebetulan tadi kami ramai-ramai keluar. Ada Wahyunni, Ambar, dan Hamidha juga.”

                “Baiklah… Siang ini Ibu dari perjalanan ke rumah seorang kenalan Ibu di Perumahan Puncak Dieng distrik Sukun. Setengah jam lagi kita ngobrol-ngobrol di  Resto Bu Mirrah… yaa.”

                “Resto Bu Mirrah… di Megaria Plazza ?”

                “Iyyaa… anak-anak tahu tempatnya. Nanti kita ketemu di lorong masuk lantai stand kuliner Megaria Plazza. Kalau tidak salah juga… tepat di depan pintu Santanny Planet Café itu.”

                “Baik, nyonya Jendral.”

Bripda polisi Sinta menutup sambungan telephone itu dan menyeberang kembali ke pintu masuk Café. Bripda polisi Sinta hendak mendorong pintu masuk itu, ketika tiba-tiba dari dalam muncul Lutik Astri yang sedang berusaha memapah Bambang Tristam dalam kondisi sempoyongan keluar meninggalkan Café. Bripda polisi Sinta menoleh, mundur beberapa langkah dalam ketekejutannya. Lutik Astri telah menatap Bripda polisi Sinta dengan melotot tajam Seperti hendak menerkam wanita itu. Dan Bripda polisi Sinta bisa merasakannya, entah itu dari penglihatannya atau sekedar meraba-raba saja, yang dia sendiri sesungguhnya tidak yakin. Bahwa Lutik Astri sedang berada dalam puncak kemarahannya.

                “Bisa yaa… kalian ini. Setelah membuat keluarga Wibawa berantakan dan menderita, lalu berpesta pora seperti itu.”  Bentak Lutik Astri langsung menumpahkan segunung kemarahannya.

                “Maaf… saya tidak berbicara dengan orang mabuk.”

Semakin tersinggung dengan ucapan balasan Bripda polisi Sinta yang di anggapnya memancing. Lutik Astri sudah gatal sekali hendak melepaskan Bambang Tristam dan mendaratkan tamparan tangannya ke wajah sombong Bripda polisi itu. Tapi yang terjadi justeru Bambang yang merosot dari peganga Lutik Astri dan nyaris bergulingan di lantai. Lutik Astri berteriak memanggil kekasihnya dan berusaha untuk merangkulnya kembali. Sangat menyesal Lutik Astri karena nyaris kehilangan kontrol dirinya dan melampiaskan seluruh ledakan emosinya itu. Sehingga bahkan dia melupakan satu hal. Saat itu Bambang Tristam sedang mabuk berat dan mengandalkan bantuannya untuk sekedar jalan pulang. Sebenarnya… mereka sudah sejak jam lima sore kemarin melampiaskan kepenatan yang begitu membebani pikiran Bambang Tristam. Berkali-kali nyonya Lucia Wibawa, Mamma Bambang hilang kesadaran dan terus meracau dalam serangan panas yang meninggi. Mengharapkan suaminya, Kombes polisi Bagus yang di tahan di rutan Mako Garinmob Polda Surabaya untuk pulang. Dokter sudah berusaha keras mengusahakan agar panas tinggi itu bisa turun dan tidak sampai menyebabkan nyonya Lucia Wibawa koma.

 

 

Tidak mungkin mendatangkan Kombes polisi Bagus Wibawa pulang karena dia sedang dalam pengawasan ketat Garnesun Infanteri Brimob dan sedang terlibat kasus hukum yang sangat serius. Yang karena penahanannya itu menyebabkan sejumlah petinggi dinas keamanan IcB. Sejumlah jenderal-jenderal yang sangat berkuasa itu harus rontok satu persatu kehilangan jabatan dan kekuasaannya. Sangat mungkin kalau toh Kombes polisi Bagus di bebaskan. Dia akan menjadi sasaran balas dendam jenderal-jenderal itu karena menjadi biang keladi kejatuhan karier militer mereka yang cemerlang di Pusat. Bagi mereka, kasus Kombes polisi Bagus Wibawa yang sepele itu telah menjadi blunder dalam perjalanan karier mereka. Sehingga secara politis sudah tidak mungkin di pakai lagi siapapun pemegang kekuasaan negara yang baru nantinya. Blunder yang menyebabkan ditengah keberhasilan politik mereka hasil kerja keras selama puluhan tahun itu, mereka bangkrut dan terperosok dalam saluran got paling jorok yang tidak satu orangpun akan mau berdekatan dengan mereka. Apalagi untuk menolongnya. Sungguh parah penderitaan mereka. Dan kalau salah satu saja dari mereka itu, menginginkan Kombes polisi Bagus terbunuh dalam penjara… keinginan itu adalah sangat wajar.

 

Lutik Astri memendam kejengkelan yang sungguh luar biasa terhadap Bripda polisi Sinta. Sampai-sampai dalam beberapa waktu dia sudah tidak mampu lagi untuk berpikir. Dan juga tidak sepatah kata pun yang bisa keluar dari bibirnya, setelah mendengar jawaban sepintas Bripda polisi Sinta yang penuh dengan nada sinis. Sebelum akhirnya jari-jari tangannya yang sudah gatal hendak melayang ke arah pipi indah Bripda polisi Sinta yang putih berkilau dan lembut. Kalau saja tidak… akhirnya Bambang Tristam hampir tersungkur dari rangkulannya. Lutik Astri sudah meninggalkan bekas tamparan yang membiru di pipi indah bangsat betina itu. Saat Lutik Astri sedang dalam kepanikannya berusaha untuk membantu Bambang Tristam bangkit kembali dengan sempoyongan. Bripda polisi Sinta malah tersenyum dengan tenang.

                “Jangan dulu berfikir untuk menimpakan kegusaran pada orang lain. Urus dulu pacarmu yang sudah hampir hilang kesadaran karena kebodohannya sendiri itu…”

Untuk kedua kalinya Lutik Astri betu-betul terkejut dan, tidak mengerti dengan apa yang telah di ucapkan Bripda polisi Sinta barusan. Di tengah usaha kerasnya membantu Bambang Tristam untuk berdiri kembali, semburat merah telah meronai pipinya. Dia telah benar-benar kehilangan kesabarannya untuk sikap-sikap yang memancing Bripda polisi Sinta. Tapi sebelum Lutik Astri semakin terbakar emosinya, Bripda polisi Sinta telah melangkah santai kembali ke dalam Café. Dengan susah payah akhirnya Lutik Astri berhasil juga turun ke lantai dasar dan menuju ke tempat parkir mobil Hyundai H-1 milik pacarnya. Menyandarkan Bambang Tristam di kursi penumpang depan setelah berhasil memutuskan central lock. Memasangkan sabuk pengamanan ke tubuhnya dan menutup kembali pintu mobil dari luar. Kemudian membuka pintu di sisi pengemudi. Memasukan kunci mobil dan menempatkannya dalam posisi start. Begitu Hyundai H-1 yang sekelas dengan mobil Toyota Alphard itu hidup, Lutik Astri langsung memasukkan persneleng ke posisi maju dan mobil itu meluncur keluar.

Nyonya Panglima Komando militer divisi kelima Daerah Operasi Jawa bagian Timur, Mayor JendralEstianni Rahayu Rasmintho tiba dengan mobil Toyota Alphard 3.5L a/t hitam. MPV lima pintu seharga lebih dari satu milyard warna hijau lumut.

 

Di kawal oleh enam unit motor besar Honda goldwing-1000 Puspomdam dengan dua mobil dinas Isuzu Panther Smart Hi-Grade putih Puspomdam dengan Strobo blue siren-light, menguing-nguing di depan sebagai pembuka jalan dan satu lagi mengawal di paling ujung konvoi sebagai penutup rombongan. Di ikuti satu mobil dinas Suv Hyundai Trajjeet milik Letnan satu Evie Widhyasari dan  supirnya, Kopral satu Zipur Yudha Kuncara. Serta tiga mobil ford New Everest TDCI Limited Turbo dengan Strobo sirent-light untuk masing-masing empat pengawal bersenjata. Ada Letnan satu infanteri Evie Widyasari di dalam Toyota Alphard hitam itu menemani beliau nyonya JendralEstianni Rahayu Rasmintho. Seorang supir Angkatan Darat dan seorang pengawal berseragam safari. Enam pengawal bersenjata dalam seraga safari dari dua mobil ford New Everest TDCI Limited yang mengapit mobil hitam Alphard itu sontak keluar mengelilingi Alphard ketika rombongan berhenti. Tepat di depan pintu lobby Megaria Plaza. Pintu sliding dibuka dari luar dan beliau nyonya JendralEstianni Rahayu Rasmintho di kawal masuk. Dua orang pengawal berseragam  safari berjalan lebih dulu mengamankan lorong Plaza. Lima orang termasuk pengawal pimpinan yang berada di mobil Alphard menjaga ketat nyonya JendralEstianni Rahayu Rasmintho bersama Letnan satu infanteri Evie Widyasari dalam formasi berlian.

 

Ketika nyonya JendralEstianni Rahayu Rasmintho yang sangat dihormati itu melewati lorong menuju stand kuliner. Di depan Santanny Planet Café sudah terlihat Wahyunni, Ambar, dan Hamidha yang sedang menemani Bripda polisi Sinta menunggu kedatangan nyonya Jendral Estianni dengan rombongan pengawalnya. Resto Bu Mirrah berada agak jauh di stand yang ujung. Asisten pribadi nyonya Jendral Estianni, Letnan satu Evie sudah menghubungi melalui saluran Handphone untuk reservasi satu meja Vip vi-ai-pi di Resto Bu Mirrah itu. Jadi ketika mereka datang, meja-meja telah di siapkan. Merasa agak gugup Bripda polisi Sinta merapatkan dirinya di belakang Wahyunni yang tidak lain putera angkat yang senior dalam keluarga besar nyonya Jendral Estianni. Bagaimanapun masuknya dia dalam komunitas keluarga besar nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho ini membawa serta masalah. Sehingga keluarga nyonya Jendral Estianni terpaksa bersengketa denga beberapa pihak yang berkuasa di kota Malang. Walaupun nyonya Jendral Estianni sendiri tidak pernah bermaksud untuk menyalahkannya, Bripda polisi Sinta sendiri tetap merasa tidak enak.

                “Aaach… Sinta, Wahyunni. Kalian disini rupanya. Aku mengundang kalian semua menikmati kuliner di Resto Bu Mirrah. Tapi aku ingin melakukan sedikit pembicaraan pribadi dengan Sinta. Jadi… tidak keberatan to, kalau kita duduk di dua meja yang terpisah ?”  kata nyonya Jendral Estianni dengan tidak enak hati. “tapi jangan khawatir… kalian boleh pesan menu kuliner apa saja. Semua sudah di bayar.”

                “Tentu… Mamma. Kami tidak akan mengganggu privasi Mamma. Yang penting kami kenyang… hee… hee…”  Ambar centil memberikan balasan.

                “Kalau begitu ayyoo… semua. Kita sama-sama menuju ke Resto Bu Mirrah.”

Dan jalanan lorong yang di ramaikan oleh keberadaan beberapa pria berseragam safari itu telah menarik perhatian orang. Maka rombongan nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho yang kini bertambah dengan Wahyunni dan saudara-saudaranya itu semakin menarik perhatian orang. Tujuh orang pengawal nyonya Jendral Estianni bekerja keras untuk melancarkan perjalanan majikan mereka di tengah kerumunan banyak orang. Belasan petugas security internal Plaza bahkan ikut membantu untuk menyibak padatnya kerumunan orang yang hendak menonton. Mereka berhasil mencapai stand kuliner di lantai tiga itu walau dengan susah payah. Seperti artis yang harus di bantu untuk menghindari serbuan lautan penggemarnya. Setengah dari Resto Bu Mirrah yang telah di pesan telah di kosongkan. Yaitu daerah berbentuk panggung yang tidak tinggi dan diberi batas seperti tempat khusus untuk lesehan. Di panggung rendah beralas karpet dengan meja-meja berukuran rendah berjumlah empat buah yang umumnya bisa menampung empatpuluh orang itu kini hanya tiga bagian meja saja yang di pakai.

 

Satu sisi di deret selatan untuk para pengawal berseragam safari itu dan Letnan satu Evie. Satu sisi di deret selatan lain untuk para putera angkat keluarga nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho. Dan sisi yang lain di utara tepatnya di bagian yang paling pojok khusus di tempati oleh nyonya Jendral Estianni pribadi dan Bripda polisi Sinta. Meja-meja itu sudah penuh di tata berbagai masakan kuliner khas Bu Mirrah. Seperti Sawi putih gulung saus kacangnya dan Bayam udang kukus. Ada barbeque Chicken Steak dalam nampan-nampan batu yang sangat panas. Sehingga orang harus hati-hati sekali memakannya agar tidak sampai bersentuhan nampan panas itu dengan kulit mereka. Sampai dengan Mirradelima Punch yang terdiri atas irisan semangka, buah leci dan simplies syrup yang di taburi bubuk Ice. Nyonya Jendral Estianni mempersilahkan Bripda polisi Sinta duduk di sebelahnya dengan akrab. Seperti dia memperlakukan seorang puterinya sendiri. Begitu pengertiannya sampai-sampai Bripda polisi Sinta terbuai dan lupa siapa sebenarnya nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho ini. Mamma kandung dari Letnan satu Intan Hierrawati. Satu-satunya sahabat dan sekaligus saingan ketat dalam merebut hati Anggitho.

                “Apa kau cukup nyaman tinggal di rumah dinas asrama para putera angkatku, Sinta… Kau bisa berterus-terang denganku dan nyatakan saja kalau kau ingin suatu suasana yang berbeda di salah satu kamar disana yang bisa cocok untuk privatisasimu sendiri. Dengan corak yang kau pilih sendiri dan Merk AC yang lebih kau sukai.”  Tanya nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho.

                “Tidak… nyonya Jendral. Bagi saya… selama ini bisa bersama Anggitho, dan bisa berbagi dengan Wahyunni sudah sangat bahagia. Saya akan terus mengabdi dan melayani Anggitho… dan juga untuk keluarga besar nyonya Jendral Estianni selama saya bisa dan masih di harapkan.”  Jawab Bripda polisi Sinta.

                “Kau adalah kekasih kesayangan Anggitho… yang berarti calon puteriku juga. Kau tidak boleh merendah seperti itu, Sinta.”

                “Maaf… saya tidak merendah, nyonya Jendral. Saya berkata apa adanya.”

Nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho bercerita panjang lebar tentang keluarganya dan kehidupan pribadi keluarga yang kadangkala tidak seperti yang beliau harapkan sendiri. Tentang masa remajanya sebelum menikah. Ketika dia masih seorang Mayor infanteri yang relatif muda dan semangat-semangatnya berjuang meraih prestasi tertinggi agar tanda jasanya terukir dan mengharumkan nama Ibu Pertiwi. Nyonya Jendral Estianni masih memimpin sebuah unit satuan tugas khusus anti teror yang bekerja sama dengan institusi kepolisian Negara tingkat Markas Besar. Mengintai sebuah rencana yang terselubung sebuah konglomerasi swasta Multinasional bekerjasama dengan pihak asing  yang hendak menjalankan operasi business peredaran mata uang rupiah aspal yang sangat bagus buatannya di Indonesia. Mata uang rupiah pecahan limapuluh ribuan dan seratus ribuan itu dicetak dari lembaran uang kertas seratus rupiah bekas pakai yang sudah tidak berlaku lagi. Kertas-kertas usang itu entah bagaimana caranya, harusnya telah dimusnahkan. Ternyata bisa keluar dari gudang-gudang barang afkiran Bank Indonesia dan jatuh ke tangan konglomerasi yang banyak berkolusi dengan pejabat-pejabat penting Pemerintahan itu.

 

Sebuah industri kertas raksasa di Bangkok yang di kendalikan oleh persekongkolan asing mendaur ulang kertas-kertas itu. Mencampurkan unsur plastik di dalamnya dan jadilah lembaran-lembaran uang kertas siap cetak limapuluh dan seratus ribuan. Kemudian kertas-kertas siap cetak itu dikapalkan ke sebuah negara di Polynesia. Kemungkinan kepulauan Marquesas atau pulau Fanning koloni Inggris. Otoritas Bankir disana yang kemungkinan sudah di suap memerintahkan percetakan milik pemerintah yang resmi untuk membuat rupiah-rupiah dengan uang kertas yang baru saja di bongkar di pelabuhan. Mereka menerima pelat-pelat pencetak uang yang asli milik Pemerintah Indonesia. Bukan tiruan. Karena pelat-pelat pencetak uang itu bersegel burung Garuda dan memiliki sertifikat dari perusahaan baja yang mengeluarkannya. Pelat-pelat penting itu, yang entah bagaimana mendapatkannya. Telah dipasangkan pada tengah malam dengan pekerja-pekerja yang harus lembur dibawah ancaman moncong senjata petugas-petugas kepolisian setempat yang dibayar. Supaya tidak menimbulkan kecurigaan orang. Pekerja-pekerja percetakan negara itu dibagi dalam dua shift.

 

Sang Penjaga (The Keeper-3)

Gambar

Bertualang Wisata di Dunia Sastra Banghar Di Bawah Bendera Revolusi Indonesia

 

 

 

 

 

 

 

 

Chapster III (tiga)

 

 

By : Banghar

 

Sang Ketua sendiri yang malam itu menemui Kombes polisi Bagus Wibawa dalam kamar Interogasi Mako Puspom Kodam divisi Lima Malang. Di ruangan pengab dengan satu-satunya cermin dinding di sisi kanan dari pintu masuk yang merupakan penyekat satu arah bagi ruangan lain yang berfungsi sebagai kamar pemantauan. Di sana dua petugas tengah bekerja. Menangani rekaman aspek Audio dan sekaligus melakukan perekaman dengan kamera cctv. Dua bintara pengawal Pomdam berdiri mengapit pintu ruangan yang terkunci dari dalam. Kombes polisi Bagus sendirian duduk di kursi pesakitan. Menghadapi meja besar panjang dari rangka besi yang kokoh. Meja besar itu ditanam dengan baut dengan lantai supaya tidak bisa bergerak kemana-mana. Jendral teritorial Dewa Made Kaemmana duduk di kanan meja dekat dengan Kombes polisi Bagus sendiri. Dan mempersiapkan sebuah dokumen yang harus di tandangani oleh Kombes polisi Bagus Wibawa sendiri. Tidak ada makanan, kecuali hanya segelas air aqua dari Galon yang di beri sedotan. Kedua tangan tangan dan kaki Kombes polisi Bagus di ikat dengan gembok pada kaki-kaki kursi yang juga di tanam pada lantai. Satu-satunya yang bisa Kombes polisi Bagus lakukan adalah mencondongkan badannya ke depan untuk menghirup air gelas dengan sedotan sedikit demi sedikit. Seluruh pakaian seragam Kombes polisi Bagus telah di lucuti dan di ganti dengan pakaian biru tahanan Mako Puspom Kodam divisi Lima ini.

                “Bagaimana komisaris… nyaman tinggal di penginapan sementara ini… ??  Memang tidak cukup layak. Tapi… bisa saja kau segera di pindahkan dari tempat busuk ini. Dan mungkin, mendapat perlakuan-perlakuan kurang baik dari bintara-bintara muda Puspom itu. Kau mengerti to… bagaimana anak-anak muda itu terlalu bersemangat mendisiplinkan orang-orang yang mereka anggap pengkhianat. ”  Jendral teritorial Dewa Made Kaemmana menyarankan.

                “Jangan… Jendral.  Saya… pasti tidak kuat menghadapi siksaan-siksaan yang tidak terhingga seperti itu. Saya ini bukan pengkhianat… dan, saya juga tidak merasa bersalah… Jendral.”

                “Semua hanya tergantung padamu… Bagus.”

                “Jendral… apapun akan saya lakukan. Tolong keluarkan saya dari neraka pengab ini.”

Hening sebentar dengan sorot mata Kombes polisi Bagus yang tajam menatap Jendral teritorial Dewa Made Kaemmana dengan penuh harap. Ketika pertama datang ke dalam rumah tahanan Pomdam yang berada di jantung komplek pertahanan Resimen Infanteri Markas Kodam divisi Lima ini. Kombes polisi Bagus sudah mencium aroma tidak bersahabat. Ada riwayat buruk penyiksaan-penyiksaan tahanan militer yang kurang sedap di dengar. Tentang kematian-kematian tidak terduga para terdakwa karena keganasan bintara-bintara Puspom yang keras dalam menginterogasi dan menegakkan disiplin. Tentu… Kombes polisi Bagus sangat tidak ingin mendapat perlakuan buruk yang seperti itu.

                “Katakan, Jendral… dan saya ingin segera pergi dari sini.”

                “Tidak banyak yang ku inginkan. Selain dari tanda tangan surat pernyataanmu atas pengakuan usaha penculikan dan pembunuhan terhadap putera keluarga Panglima, Mayjen infanteri Estianni Rahayu Rasmintho. Sementara pernyataan di bawah sumpah ini cukup.”

                “Tapi tuduhan itu sama sekali tidak benar… Jendral.”   Serta merta Kombes polisi Bagus menolak tawaran dengan tegas.

                “Terserahlah… ini hidupmu. Toh hanya pengakuan seperti ini saja yang bisa aku tawarkan kepadamu sebelum lebih jauh terjadi sesuatu hal yang tidak kau inginkan. Ingatlah… Komisaris, aku tidak mungkin selamanya harus menungguimu disini. Aku juga mempunyai tugas-tugas penting yang harus aku kerjakan. Kau tahu bagaimana anak-anak itu menanggapi dengan penuh sentimen, kalau seorang perwira polisi sepertimu di dakwa akan membunuh anak seorang Jendral Angkatan Darat. Kau… dalam hal ini benar-benar menempatkan diriku dalam posisi yang sulit.”

                “Tapi soal tuduhan itu… saya sama sekali tak bersalah.”   Kombes polisi Bagus masih bersikeras.

                “Terserah padamu, Komisaris. Ini masalahmu…”

Hening lebih lama. Jendral teritorial Dewa Made Kaemmana bisa melihat wajah Kombes polisi Bagus yang tertunduk kusut. Bathinnya sedang berkecamuk antara dua pilihan yang benar-benar menentukan antara hidup dan mati. Berpakaian sangat rapi dan bersih. Seperti biasanya, Jendral teritorial Dewa Made Kaemmana selalu mempersiapkan jurus-jurus maut dan kartu truf yang tidak bisa di bantah demi memperoleh setiap keinginnannya. Kombes polisi Bagus malahan curiga, karena sikap lembut itu. Konon, banyak orang lain juga di bujuk dengan kehangatan sambutannya ini, tapi kemudian yang terjadi justeru di hancurkan sampai tidak bisa bernafas lagi. Jendral teritorial Dewa Made Kaemmana masih menunggu kesediaan Kombes polisi Bagus menyetujui pengakuannya. Tapi benarkah Kombes polisi Bagus memang sudah tidak punya pilihan lagi… ?

                “Aku masih menunggu… Komisaris. Tapi entah sampai kapan kesabaranku dan rasa belas kasihan ini bertahan untukmu. Mungkin besok sudah lain lagi keadaannya. Banyak pihak yang menginginkan masalahmu di selesaikan lewat jalan belakang saja. Karena tidak ada yang perlu di pertahankan darimu. Artinya itu… akan ada kematian yang disamarkan. Mungkin sebuah kecelakaan dalam tugas dan kami akan melakukan pemakaman kecil yang sangat terhormat untuk keluargamu. Tapi… aku masih berusaha mencegah mereka.”

                “Jendral…”  Kombes polisi Bagus Wibawa nampak ragu-ragu ketika melihat gelagat Jendral teritorial Dewa Made Kaemmana hendak bangkit meninggalkan ruangan itu. “Saya akan menanda tangani pengakuan itu… saya akan tanda tangani… Oke.”

                “Ouuww… well, Komisaris. Syukurlah… karena itu berarti institusiku tidak perlu harus merekayasa hukuman matimu. Sekarang aku persiapkan dokumennya.”   Jendral teritorial Dewa Made Kaemmana tersenyum menyodorkan selembar dokumen dalam sampul Map plastik yang tersegel. Dan mengambil tinta dari saku bajunya sendiri. Jendral teritorial Dewa Made Kaemmana menekan sesuatu di bawah meja dan pintu segera dibuka dari luar. Dua anggota Puspom Kodam yang tadi berjaga sigap bergerak membuka dua gembok tangan yang mengikat Kombes polisi Bagus di kursi. Di bawah pengawasan kedua anggota Puspom Kodam itu Kombes polisi Bagus menanda tangani pernyataan pengakuan atas kasus usaha penculikan dan pembunuhan terhadap Anggitho Pringadhi. Atas pengakuannya secara sukarela itu nantinya Kombes polisi Bagus, setelah di copot dengan tidak hormat dari kepolisian akan di ganjar hukuman penjara selama lebih dari empatpuluh tahun. Tanpa remisi. Dengan usianya kini yang sudah limapuluh tahun, sulit bagi Kombes polisi Bagus untuk menjalani hidupnya setelah bebas nanti di usia sembilanpuluh tahun.

                “Ini… Jendral, dan… saya harap tidak ada lagi tekanan terhadap saya, dan keluarga saya setelah ini. Sudah cukup saya saja menjadi tumbal atas bencana politik yang menimpa ini. Dan… apa setelah ini saya mendapat kesempatan untuk menjelaskan kepada keluarga saya… ??”  Kombes polisi Bagus akhirnya bertanya dalam keputus asaan.

                “Tergantung kondisinya nanti… Kita lihat saja apa yang bisa aku lakukan untukmu. Tapi tenang saja. Mereka akan mendapatkan berita dengan segera.”

                “Aaach… saya tahu. Pasti ini permintaan yang sulit untuk di kabulkan. Tapi saya tidak terlalu berharap tentang itu. Saya rasa cukup, Jendral.”   Kata Kombes polisi Bagus.

Gembok kaki Kombes polisi Bagus Wibawa ikut di lepaskan dari kursi. Dan untuk sesaat Kombes polisi Bagus begitu bahagia bisa berdiri di atas kakinya sendiri. Rasanya seperti bangkit dari koma selama bertahun-tahun di kurs belenggu itu. Dua orang petugas yang lain datang membawakan bungkusan berisi pakaian tahanan yang lain. Kali ini bertuliskan tahanan ditpropam Mako Brimob Surabaya Barat. Sementara Kombes polisi Bagus di suruh berganti pakaian. Jendral teritorial Dewa Made Kaemmana meninggalkannya dengan Map dokumen yang dia butuhkan. Satu bungkus lagi pakaian yang dibawa anggota pengawal Mako Puspom Kodam itu adalah seragam dinas Kombes polisi Bagus sendiri. Lengkap dengan senjata, borgol, dan kartu pengenal anggota kepolisiannya. Bahkan isi dompetnya masih utuh. Tidak berkurang satu sen-pun.

 

Pria-pria yang menunggu di lobbi kantor Puspom Kodam ini sekitar satu pleton. Duapuluh orang masing-masing menggunakan sebuah kendaraan lapis baja Pansher Barracudha bertulis detasemen Perintis Brigade Mobil-Polri. Dua unit mobil Ford New Ranger Double Cab Hi-Rider TDCI m/t 4×4 dengan strobo light sirent diatasnya, dan sebuah mobil Mitsubishi New Lancer Ex 2.0GT abu-abu dengan strobo sirent light. Di pimpin oleh KasGarinmob Polda-nya sendiri, Kombes polisi Tribowo Laksonno. Empat mobil taktis Garnesun Infanteri Brimob itu di parkir sangat dekat dengan lobbi kantor. Mematikan lampu-lampu utama mereka tetapi tetap menjaga agar mesin mobil-mobil itu tetap hidup. Kombes polisi Tribowo Laksonno sedang berbicara dengan Jendral teritorial Dewa Made Kaemmana di luar. Di saat Kombes polisi Bagus Wibawa yang di rantai tangan dan kakinya seperti terdakwa kasus pembunuhan massal, oleh empat anggota pengawal Puspom Kodam. Penyerahan di terima oleh dua anggota Satbrimob Polda di depan pintu lobbi. Seorang petugas Brimob yang lain maju menerima sebungkus pakaian dinas Kombes polisi Bagus Wibawa lengkap dengan perlengkapannya.

 

Dua anggota Brimob di sisi mobil membuka pintu baja bagian samping Barracudha dan sudah ada dua teman mereka yang berada di dalam juga. Pintu samping ini sempit. Hanya muat untuk satu orang keluar masuk. Tapi sangat pas di sesuaikan dengan posisi parkir kendaraan yang berada di depan pintu Lobby. Di apit oleh kedua mobil Ford New Ranger Double Cab. Mitsubishi New Lancer abu-abu milik KasGarinmob Kombes polisi Tribowo berada di barisan paling depan sebagai pembuka jalan. Malam terasa mencekam. Sedikit lewat jam tujuh, dan suasana komplek Rindam yang gelap itu terkesan kaku dan angker. Tidak ada orang yang melihat, atau nyinyir mau tahu dengan sengaja kegiatan di Mako Puspom Kodam malam itu. Yang bisa membuat diri mereka sendiri berada dalam masalah yang serius. Penyerahan tidak resmi tahanan Mako Puspom Kodam itu berlangsung singkat. Semua bertindak dengan gesit dan businesslike. Pria-pria yang tidak suka membuang waktu. Yang sedang melaksanakan suatu pekerjaan, dan berpendapat bahwa semakin cepat pekerjaan itu selesai akan semakin baik.

 

Di mata mereka, Bagus Wibawa yang terdakwa usaha penculikan dan kasus percobaan pembunuhan itu sudah bukan Komisaris besar polisi lagi. Dan memang sebentar lagi, saat di persidangan Bagus Wibawa akan di non aktifkan sebagai perwira menengah polisi. Akan di pecat dengan tidak hormat setelah di vonis bersalah atas kasus kejahatan yang serius itu. Kombes polisi Bagus Wibawa pasrah saja ketika dibawa dua anggota Brimob masuk ke dalam mobil lapis baja Pansher Barracudha. Di susul lima anggota brimob lainnya yang di luar mo-bil mulai bergiliran masuk kedalam. Tiga anggota Brimob di masing-masing mobil Ford New Ranger Double Cab yang berada di luar dalam kondisi siaga tembak masih tetap berjaga. Menunggu komandan mereka, KasGarinmob Polda Kombes polisi Tribowo yang berbincang dengan Jendral teritorial Dewa Made Kaemmana. Mobil-mobil itu, keempat-empatnya menyalakan strobo light sirent warna biru yang berkerlap-kerlip seperti lampu disko. Tetapi belum akan mengeluarkan bunyi sirine melengking yang menghebohkan kepadatan lalu lintas jalanan.

 

Jendral teritorial Dewa Made Kaemmana sendiri masih di tunggu supir dinas mobil Chevrolet Captiva 2.0 CVDI diesel a/t My09 warna hijau lumut dengan antena radio komunikasi SSB yang hampir tujuh meter panjangnya. Di tekuk sampai ke gardan depan. Di tambah dua unit motor besar pengawal Goldwing-1000 ditpropam Kodam divisi Lima. Mereka salah satu dari petugas Propam yang secara bergantian di gilir tugas pengawalan di Wisma kediaman resmi Kasintel Kodam Jendral teritorial Dewa Made Kaemmana. Kepala Staf Kodam juga mendapat fasilitas pengawalan yang sama. Tapi hanya keluarga Panglima saja yang di tambahkan satuan pengamanan pribadi dalam mobil-mobil mobil Ford New Everest TDCI Limited Turbo dengan Strobo sirent-light untuk pengawal bersenjata seperti tuan Profesor Dr. Agung.  

                “Makasih komisaris Tribowo… kalian telah mengurangi beban tahanan kami untuk kasus Bagus ini. Memang permintaan pribadi tuan Profesor Dr. Agung sangat merepotkan kita semua. Tapi kau tahu sendiri. Bagaimana bajingan-bajingan ini berusaha memperlakukan keluarga seorang Pangko Daerah Militer Jawa V seperti buronan perampok Bank. Aku sendiri mungkin akan bersikap sama marahnya kepada kombes polisi Bagus dan antek-antek IcB-nya.”   Jendral teritorial Dewa Made Kaemmana mengungkapkan kejujuran hatinya.

                “Saya sendiri juga terkejut. Seorang komisaris polisi seperti Bagus bertindak sedemikian jauh melindungi kepentingan pribadinya dengan kewenangan-kewenangan yang semestinya tidak pantas dia gunakan. Hal yang justeru membuat malu Inspektur Jendral polisi Sukardjo Sudjatmoko sendiri dan Jendral polisi Yussuf Maullana.”

                “Okey… aku rasa penyerahan sudah selesai. Aku menitipkan dokumen pengakuan ini sekalian kepadamu.”  Jendral teritorial Dewa Made Kaemmana menyerahkan sekalian dokumen pengakuan yang di tanda tangani Kombes polisi Bagus Wibawa di dalam. “Kejaksaan Tinggi Surabaya akan senang hati menerima pemberkasan Kombes polisi Bagus ini seperti halnya dulu mereka melakukan pemberkasan kasus ke Enambelas terdakwa yang masih mendekam dalam rumah tahanan Ditpropam Mako Garinmob Polda.”

                “Yyeaa… akan saya sampaikan sendiri, Jendral.”

Kedua petinggi Angkatan Bersenjata yang beda institusi ini saling berjabat tangan dan berpisah. Kombes polisi Tribowo menuju mobil pengawal Mitsubishi New Lancer abu-abu yang menyalakan strobo sirent light dengan terang benderang. Masuknya Kombes polisi Tribowo ke dalam mobil pengawal Mitsubishi New Lancer segera di ikuti para anggota brimob di kedua unit mobil Ford Ner Ranger Double Cab. Kemudian rombongan meluncur perlahan meninggalkan Mako Puspom Kodam. Menyusuri jalan-jalan lengang komplek Rindam yang sesekali berpapasan dengan mobil-mobil jeep Korean Mambo dengan petugas ditpropam Kodam yang berpatroli. Tapi mereka bersikap tak acuh saja menyimpangi rombongan polisi ini. Mereka sudah di beritahu sebelumnya oleh petugas piket penjagaan gerbang. Soal masuknya rombongan tamu yang di undang secara resmi oleh Kasintel Kodam Jendral teritorial Dewa Made Kaemmana. Melewati gerbang stopplang yang telah dibuka tanpa mereka perlu berhenti dulu meminta ijin. Rombongan mobil-mobil konvoi Brimob ini membelok ke jalan besar dan membunyikan lengking sirine yang menguing-nguing meminggirkan kendaraan-kendaraan lain di depan mereka.

 

Rombongan mobil-mobil polisi brimob ini meluncur tanpa hambatan keluar kota. Menuju ke arah kota Singosari dengan kecepatan tinggi dan berharap sudah memasuki kawasan toll Surabaya-Gempol sebelum lewat jam sembilan malam. Agar mereka tidak harus begadang semalaman menuju kota Surabaya. Atau terjebak kemacetan jalur alternatif bencana lumpur Lapindo-Porong yang tidak habis-habisnya. Sekarang giliran Jendral teritorial Dewa Made Kaemmana sendiri masuk ke mobilnya. Pintu depan samping kemudi Chevrolet Captiva warna hijau Angkatan Darat itu dibuka oleh supir dinasnya sendiri. Satu motor besar Honda Goldwing-1000 siap membuka jalan di depan dengan lampu-lampu rething birunya yang berkerlap-kerlip dalam mode sirine. Satu motor besar Honda Goldwing-1000 satunya berada di belakang Chevrolet Captiva sebagai pengawal.

                “Langsung ke rumah… sersan. Rasanya aku sudah capek sekali setelah kejadian di Wisma Bhayangkara tadi. Aku butuh Istirahat yang cukup dan, barangkali besok aku harus ijin cuti seharian.”  Kata Jendral teritorial Dewa Made Kaemana kepada supirnya dengan tanpa gairah lagi.

                “Apa perlu saya menghubungi pembantu di rumah menyiapkan air hangat dan makanan kecil untuk Jendral… ??”

                “Tidak… tidak, biar aku bicara sendiri dengan Ibumu.”  Yang dimaksud Jendral teritorial Dewa Made Kaemmana tidak lain dari Isterinya sendiri.

                “Baik. Jendral…”

Motor besar Goldwing-1000 meluncur di depan mengikuti jalanan berliku dalam komplek asrama Rindam yang lengang. Tahu ada mobil Jendral yang lewat di kawal pasukan motor besar, beberapa bintara kodam yang sedang berjalan langsung berhenti dan sigap memberi hormat.  Kediaman resmi Kasintel Kodam, Jendral teritorial Dewa Made Kaemmana berada tidak jauh dari kawasan komplek Rindam seluas hampir limapuluh acre ini. Berada di deretan Kediaman resmi pejabat elite lingkungan Kodam divisi Lima Jawa bagian Timur. Berbeda dengan lokasi komplek perumahan staf dan perwira Kodam yang hampir tiga blok jauhnya di belakang daerah ini. Seperti yang selalu menjadi kebiasaan. Rombongan kecil kendaraan Jendral teritorial Dewa Made Kaemmana tidak perlu harus melapor lebih dulu kepada petugas piket jaga pintu gerbang. Dari kejauhan mereka terlihat mau lewat saja, pintu stopplang sudah dibuka dan beberapa anggota tentara yang bertugas berdiri berjajar di depan pos penjagaan memberi hormat.

 

Keesokan paginya, tepat sebelum jam masuk kantor pukul delapan. Rombongan mobil pengawal MenSetneg JendralSetya Bernawa. Pejabat penghubung kekuasaan eksekutif dengan Direktur IcB Jendral Icb Mannaf membelok masuk komplek gedung Kementerian Pertahanan dan langsung menuju ke Kantor Pusat IcB. Yang letaknya di salah satu bangunan kokoh masih dalam area komplek KemenHan yang tidak terlihat dari luar. Orang yang tidak tahu pasti mengira kalau agen-agen lapangan IcB ini adalah pegawai kantor Kementerian Pertahanan yang bekerja untuk Menteri Pertahanan Dr. Muzhar Mocthar. Padahal organisasi mereka sama sekali tidak ada hubungannya dengan tugas-tugas rutin urusan pertahanan Negara. IcB bekerja atas wewenang Undang-Undang Anti Korupsi yang kedudukannya setara dengan Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung, Parlemen, dan Tuanku Baginda Presiden. IcB bisa menyeret seorang Tuanku Baginda Presiden seperti halnya mereka menyeret anggota-anggota Parlemen yang bersalah menerima suap proyek-proyek infrastruktur negara yang membuat bangkrut pemerintah hingga ratusan trilyun rupiah.

 

IcB memiliki kewenangan melakukan operasi penyamaran, pemantauan, penyelidikan dan penyidikan seperti polisi. Memiliki fungsi pemberkasan perkara dan penuntutan seperti Kejaksaan. Dan sekaligus memiliki fungsi memutuskan perkara dalam sistem pengadilan adhoc seperti Mahkamah Agung. Dengan pertimbangan, untuk masalah-masalah mengadili penyalah gunaan wewenang yang dilakukan pejabat negera seperti Tuanku Baginda Presiden dan Parlemen, tidak bisa di tangani hanya oleh sistem peradilan konvensional sekelas Mahkamah Agung. Dalam prakteknya jauh menyimpang dari isi Undang-Undang yang telah di rativikasi Parlemen. IcB di bawah sistem pemerintahan otoriter Tuanku Baginda Presiden Albertinus Senno Suhastommo di isi oleh orang-orang Inteligent pendukung kekuasaan rejim kabinet Tuanku Baginda President Senno Suhastommo. IcB menjadi lembaga keamanan terbesar kedua yang pro Pemerintah. Dan  bekerja dalam domain kekuasaan Kementerian Pertahanan. Mereka menggunakan kekuasaan Undang-Undang yang tidak terbatas, justeru untuk menghancurkan fihak-fihak yang dianggap tidak sefaham dan menentang kekuasaan otoriter Tuanku Baginda Presiden Senno Suhastommo.

 

Hanya Bosma. Satu-satunya lembaga keamanan negara yang mutlak mengendalikan domain kekuasaan Angkatan Bersenjata yang tidak disentuh. Dan karena mereka tidak sanggup membayangkan harga politik yang harus dibayar oleh kabinet Pemerintahan Senno Suhastommo apabila Tentara di obok-obok. Kebanyakan pegawai negeri pada jam masuk kantor ini sudah berada di tempat kerja masing-masing. Tapi bagi Mensekneg JendralSetya Bernawa dengan empat pengawal pribadinya dalam mobil dinas Daihatsu Terios TX m/t 2008 berplat nomor Polri yang dilengkapi strobo sirent light. Dan dua motor besar Honda CBR-1000 warna putih pengawal dari satuan polantas Metro. Boleh berada dimana saja demi kepentingan dinas. Selama satu setengah tahun Pemerintahan Tuanku Baginda Presiden Senno Suhastommo, yaitu selama dia mengabdi sebagai Sekretaris Negara sejak di angkat dari kepangkatan di staf umum Kantor Kementerian Pertahanan. Tidak lain karena kedekatan dengan Tuanku Baginda Presiden Senno Suhastommo pribadi. JendralSetya Bernawa tidak banyak berhubungan dengan yang namanya IcB.

 

Biasanya perintah-perintah dan kesepakatan pribadi untuk menyingkirkan seseorang di bicarakan langsung antara Jendral Icb. Mannaf Trighanna Thallib dengan Tuanku Baginda Presiden sendiri. Seperti yang sudah menjadi rahasia umum. Jendral IcB Mannaf itu tidak lain adalah wakil JendralSenno Suhastommo ketika masih menjadi pimpinan dinas inteligent Puspomad Angkatan Darat di bawah kendali langsung Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke. Semasa JendralSenno Suhastommo di lantik menjadi Tuanku Baginda Presiden dengan segudang janji-janji pemberantasan korupsinya. Anggota Parlemen dalam masa jabatannya yang baru melanjutkan kebijakan Undang-Undang Parlemen terdahulu yang melahirkan suatu ide pembentukan suatu lembaga anti korupsi Independent yang dengan kekuasaannya itu sanggup mengadili penyalah gunaan jabatan seorang Tuanku Baginda Presiden. Dalam pelaksanaannya, lobby-lobby politik yang keras menghasilkan sebuah lembaga keamanan baru kekuasaan sipil yang resminya menjadi lembaga anti korupsi Independent. Tapi dalam pelaksanannya justeru di kuasai oleh orang-orang pendukung kekuasaan Tuanku Baginda President Senno Suhastommo.

 

Berita hangat yang santer beredar di kalangan terbatas di Jakarta sedang mencemaskan keterlibatan anggota-anggota IcB yang tertangkap tangan sedang berusaha menculik seorang pelajar di Malang. Mengapa seorang anak pelajar enambelas tahun sampai bisa menjadi target yang dalam versi mereka disebut penangkapan oleh agen-agen profesional Investigated Corruption Bureau ini. Tuanku Baginda Presiden Senno Suhastommo saat sekarang ini tengah dalam ketegangan yang luar biasa dengan pimpinan tertinggi Lembaga Keamanan Negara Bosma. Ulah konyol agen-agen lapangan IcB seperti ini bisa menjadi bahan tertawaan dan menjatuhkan kehormatan Tuanku Baginda Presiden di hadapan Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke. Seharusnya IcB tidak pernah terlibat dalam urusan kenakalan remaja yang sepele seperti itu. Karena memang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan masalah korupsi yang biasanya menjadi senjata ampuh IcB untuk menyingkirkan orang-orang yang menentang kekuasaan Tuanku Baginda Presiden Senno Suhastommo. Sehingga buru-buru menyuruh Sekneg JendralSetya Bernawa untuk menanyakannya langsung kepada Jendral Icb. Mannaf Trighanna Thallib.

 

Nampak orang-orang dinas keamanan Internal IcB berlalu-lalang di sekitar komplek Gedung Kementerian Pertahanan itu dalam pakaian biasa. Tapi petugas yang berjaga di balik lobbi resepsionist depan kantor pusat IcB itu semuanya berseragam. Mengenakan seragam dinas harian Angkatan Darat yang rapi dan baret hitam berlambangkan burung hantu dengan latar belakang pin merah putih. Hinggap di atas bendera logo yang bertuliskan IcB. Serve and Protect. Mengenakan sarung pistol di pinggang dan saku borgol. Petugas di pos gerbang melihat rombongan mobil dinas Menteri Sekretaris Negara dan membuka stopplang tanpa diminta. Kemudian mendekat ke tepi jalan memberi hormat ketika rombongan mobil Menteri ini lewat. Walaupun resminya, kantor pusat IcB ini masih dalam lokasi komplek Kementerian Pertahanan. Mereka memiliki area gedung tersendiri yang di beri pagar pembatas setinggi empat meter. Seluruh jalan masuknya di jaga dan hanya orang yang mempunyai ijin khusus di persilahkan lewat. Jadi bahkan orang Kementerian Pertahanan sendiri harus meminta ijin kepada mereka.

 

Petugas respsionist lobby depan melihat kedatangan mobil dinas Volkswagen Touareg 3.0 TDi V6 Metro seharga satu setengah milyard. Dengan segera menghubungi KaStaf IcB Brigjen Icb Arrie Dhammarjati dan sejumlah internal security IcB. Memberikan penyambutan yang singkat di bangsal lobby itu sementara Jendral Icb. Mannaf di minta turun dari kantornya di lantai atas. Ada sekitar duabelas anggota internal security yang langsung berkumpul di bangsal lobby. Sementara dua pengawal polisi JendralSetya Bernawa menunggu di luar bersama dua pengendara motor. JendralSetya Bernawa hanya di temani dua pengawalnya dan seorang asisten pribadi. Di sambut oleh Jendral Icb. Arrie Dhammarjati dengan ramah. Ada asisten Protokoler Letda teritorial  Ekarinni Saraswati dan kepala Propam Letkol infanteri Suyatno.

                “Selamat datang di kantor IcB. Pak Menteri. Sebentar lagi Jendral Icb. Mannaf akan turun untuk menemui anda.”  Kata Jendral Arrie Dhammarjati mempersilahkan tamunya di Lobbi.

                “Aku hanya mampir sebentar, sedang di tunggu sidang kabinet perang Tuanku Baginda President Senno Suhastommo di Istana. Kalau dia tidak keberatan untuk lekas.”

Kemudian Setneg JendralSetya Bernawa di antarkan ke Wisma tamu di sisi lain Lobbi. Sebuah ruangan besar di kelilingi dinding kaca anti pecah yang penuh dengan soffa. Sebuah meja besar tempat kerja Jendral Icb Mannaf ada di sudut. Dengan kursi ergomatik yang empuk di belakangnya. Sebuah Minibar ada di sudut lain. Dengan aneka botol-botol wines yang mahal-mahal dari berbagai negara. Kulkas kecil dibawah almari buffet dan meja bartender untuk mengoplos minuman. Tapi untuk suguhan yang formal kebanyakan di datangkan dari pantry gedung  IcB sendiri. Dua wanita resepsionist datang sebentar kemudian dengan membawa nampan saji. Ada Coffee expresso dalam gelas cangkir yang hangat dan satu toples kacang mente kering yang renyah. Coffee expresso ada lima gelas cangkir dalam dua nampan saji yang mereka bawa. Terserah nanti siapa yang meminumnya.

                “Pak Menteri… silahkan.”

Tidak seperti halnya Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke, yang kantor pusatnya di jalan Veteran Raya di belakang komplek Istana. Yang mencintai pajangan-pajangan semarak, gaya Rococo, dan yang mewah. Direktur Jendral IcB ini di kenal sebagai seorang purian dalam selera pribadinya. Perabotannya terbuat dari kayu Jepara atau khas Jogja yang berbentuk ukiran sederhana, coklat alami dan rapi. Selalu dibuat dengan fungsionl. Kecuali dua permadani Turki yang pasti sangat mahal. Tidak ada banyak barang antik disini. Minibar hanya berupa meja kayu berbentuk kereta dorong di depan buffet berisi aneka botol wines berkelas yang hanya di buka pada hari-hari tertentu untuk di bersihkan. Di dalam buffet kaca yang di pesan khusus itu di pasang alat pengatur suhu. JendralSetya Bernawa menyambut tawaran minum itu dengan anggukan dan meminum Coffee expresso dalam cangkir itu setegukan. Direktur Jendral IcB Mannaf Trighanna Thallib muncul tidak berapa lama kemudian. Tapi JendralSetya Bernawa merasa diri jauh lebih terhormat sebagai seorang Menteri Sekretaris Negara sehingga tidak merasa pantas berdiri ikut menyambut.

                “Suatu kunjungan yang tidak biasa. Apakah ini ada kaitan dengan rencana mobilisasi pasukan kita yang di Perbukitan Gunung Puteri-Cibodas untuk masuk Ibukota… ??”

                “Kita semua masih belum berfikir sejauh itu. Ada hal lain yang jauh lebih penting saat sekarang ini. Dan itu menyangkut organisasimu. Mannaf.”  Kata JendralSetya Bernawa.

                “Organisasiku… ??”  Jendral Icb. Mannaf Trighanna Thallib menanyakan dengan lebih detail. “Apakah tiba-tiba Hyang Mulia Tuanku Baginda President Senno Suhastommo memikirkan suatu aksi lain yang sangat rahasia sifatnya sehingga harus melibatkan Organisasiku dengan begini mendadak. Tidakkah harusnya, aku di beritahu jauh-jauh hari sebelumnya… ??”

JendralSetya Bernawa berpikir dan mendengus kesal. Kalau kau pikir kedatangan ini untuk mengabarimu suatu operasi rahasia yang penting di usulkan oleh Tuanku Baginda Presiden, kau salah besar. Bodoh !!  Tercenung sejenak JendralSetya Bernawa melantunkan bisikan hatinya.

                “Jawab saja pertanyaanku dan jangan menyela dengan topik lain. Apakah hari-hari terakhir ini ada anggotamu yang nyinyir kelayapan dengan identitas IcB sampai jauh ke Jawa bagian Timur. Tepatnya di kota Malang… ??  Atau aku harus mendengar fakta bahwa kau sama sekali tidak bisa mengontrol anak buahmu sendiri yang jalan-jalan seenaknya pada jam kantor.”

                “Saya tidak pernah menanda tangani perintah operasi rahasia di luar Ibukota dalam situasi genting begini. Apalagi sampai mengirim anggota untuk tugas-tugas yang tidak perlu ke Jawa bagian Timur segala.”  Jendral Icb. Mannaf Trighanna Thallib menjawab dengan nada yang tidak senang. Merasa organisasi yang di kelolanya dengan segenap jiwa raga dan menjadi tumpuan hidup ini di campuri dan seperti di lecehkan orang lain. Meskipun itu seorang Menteri setinggi JendralSetya Bernawa.

                “Kalau begitu benar kau sama sekali tidak sanggup mengontrol anak buahmu sendiri dalam situasi yang menurut Hyang Mulia Tuanku Baginda President kita harus di mobilisasi dalam kondisi kesiapan tempur garis pertama. Aku memegang beberapa file rahasia yang setelah aku chek identitas mereka memang benar bekerja sebagai kontraktor Black Operation dalam IcB.”

Tanpa berbicara lagi JendralSetya Bernawa bangkit dan melemparkan seberkas file yang baru di ceritakannya itu di atas meja. Meninggalkan begitu saja wisma tamu kantor pusat IcB yang segera di ikuti asistennya. Di luar pintu ruangan sudah ada dua polisi pengawalnya yang berpakaian sipil resmi dan berbalik mengikutin langkah Pak Menteri. Tidak seorangpun dari pejabat teras IcB yang habis di makinya itu mengikuti kepergiannya. Dan memang dia tidak mengharapkan itu. Setelah rasa malu yang telah mereka perbuat bagai menampar muka Tuanku Baginda President Senno Suhastommo.

 

Jendral Icb. Mannaf Trighanna Thallib memungut seberkas file-file di atas meja itu dengan gemetar dan membukanya satu persatu. Dia tidak percaya orang-orang ini, yang seharusnya menjadi tim inti kebanggaan IcB sendiri untuk melakukan tugas-tugas yang sangat penting atas perintah Jendral Icb Mannaf sendiri. Kalau yang di maksud orang-orang IcB jalan-jalan di waktu jam kantor itu hanya petugas fotokopi atau tukang bersih-bersih toilet barangkali dia akan maklum. Tapi ini… Agen kontraktor Black Operation IcB, kapten Ricky Siswonno. Dia tahu Ricky adalah anggota tim siluman terbaik yang di punyai dinas IcB. Tidak akan pernah suatu aksi Black Operation yang sampai melibatkan orang setinggi kapten Ricky Siswonno selain dari misi-misi darurat yang di setujui melalui suara bulat anggota Kabinet dan restu secara pribadi dari Tuanku Baginda President Senno Suhastommo.

                “Ini sungguh keterlaluan… !!!”  tiba-tiba saja Jendral Icb. Mannaf pada kemarahanya yang memuncak. Membaca riwayat kedua belas file agen penting IcB ukuran kertas kwarto itu. Di satu bagian tertentu dia menarik nafas dalam-dalam. Meremas tangan-tangan yang sedang menelaah satu persatu halaman riwayat file agen IcB, membuat kedua sisi bagian kertas file itu mengerut. Setelah membalik halaman terakhir, dia membuangnya. Menutupkan kedua tangannya ke wajah dengan tubuh berayun ke belakang perlahan.

                “Oouuch… Tuhan.”  Tuturnya sambil mendesah. “apa yang sudah aku lakukan terhadap kekuasaan kabinet Tuanku Baginda President Suhastommo.”

                “Apakah benar-benar serius tuduhan yang di timpakan pada kita, Jendral… ??”  Jendral Icb Arrie Dhammarjati bertanya dalam ketidak tahuan. Sejenak dia menunggu Jendral Icb. Mannaf menyerap seluruh kesengsaraannya tanpa di sela. Dia duduk menyandar dan memandang dengan penuh rasa simpati kepada pejabat negara yang karier hidupnya telah hancur itu. KaStaf Jendral Icb. Arrie tahu, bagaimanapun kalau pimpinan tertingginya hancur karena tersandung kasus memalukan ini maka akan banyak orang yang ikut jatuh. Mungkin juga termasuk dirinya sendiri. IcB akan mengalami reorganisasi menyeluruh. Akan ada generasi-generasi yang benar-benar baru masuk dinas keamanan IcB. Dari petugas administrasi sampai pucuk pimpinan yang akan di comot dari institusi lain. Sedang nasib mereka sendiri sudah jelas. Akan di bentuk komite investigasi khusus dari para pejabat di tingkat atas. Dan pada saat itu mereka menyadari bahwa karier inteligent Jendral Icb. Mannaf dan kelompoknya sudah tamat. Tidak ada pilihan lain. Skandal operasi penculikan seorang anak Pelajar oleh sepasukan agen keamanan sekuat IcB telah mencoreng muka kabinet Pemerintahan Tuanku Baginda President Senno Suhastommo.

 

Seseorang harus di korbankan untuk memuaskan kecaman publik atas tindakan sangat tidak patut itu. Dan sementara pasukan agen senior IcB kapten Ricky Siswonno mengikuti proses persidangan Mahkamah Militer atas tuduhan kejahatan mereka tanpa seorangpun mau campur tangan untuk membelanya. Jendral Icb. Mannaf Trighanna Thallib harus mengalami investigasi yang perkepanjangan di pusat. Bagian paling tidak enak dari seseorang yang sedang jatuh. Pertanyaan-pertanyaan yang melecehkan, interogasi-interogasi. Rasa tidak percaya yang sangat menyakitkan dari pihak atas. Nasib Jendral Icb. Mannaf selanjutnya sudah jelas. Dia telah benar-benar melakukan sebuah blunder yang tidak termaafkan. Semua karena ulah agen keamanan IcB kapten Ricky Siswonno yang melakukan operasi Ilegal atas nama IcB. Jendral Icb. Mannaf dianggap sudah tidak berguna lagi. Kehadirannya justeru akan menjadi beban bagi kabinet Pemerintahan Tuanku Baginda President Senno Suhastommo yang sedang bersaing ketat dengan kekuasaan bayangan Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke.

 

Jadi bahkan dia harus di pensiunkan dini. Tidak boleh mengisi jabatan struktural yang manapun dalam jaringa birokrasi otoriter Tuanku Baginda President Senno Suhastommo. Pilihannya hanya dia harus mengundurkan diri dengan tanpa tunjangan pensiun maupun hak memperoleh pesangon yang pantas atas pengabdiannya sebagai pejabat negara selama lebih dari empatpuluh tahun. Atau dia menghadapi tuntutan tidak hormat dalam Mahkamah Militer sebagai sanksi pembangkangan dari kebijakan yang sudah menjadi di undangkan Pemerintah. Dan tampaknya pilihan pertama akan jauh lebih baik.

Jauh di tempat lain. Malam itu kota Malang mulai di selimuti keheningan. Sekitar jam sebelasan, hampir tengah malam. Ketika telephone di rumah keluarga Himawan berdering. Nyonya Emmy Wulan Hartadhi Himawan, yang menjadi Prescom HSW Limited mengangkat sendiri telephone itu. Setengah sadar dia menanyakan identitas sang penelphone. Sampai akhirnya dia mendengar nama oleh Brigjen infanteri Eggy Sudharmonno dengan terkejut. Kepala divisi Ranpur, pada departemen kerja direktorat Pengadaan Prasarana, dirjen Persenjataan, Kementerian Pertahanan. Yang tidak lain suami dari adik kandungnya sendiri yang tinggal di Jakarta.

                “Mbak Emmy… apakah keberatan kalau kita bertemu sebentar saja malam ini. Ada sedikit persoalan mengenai kontrak kerjasama kalian dengan intitusiku. Aku kira ada baiknya kalau kalian mendengar pertama kalinya persoalan ini dariku. Mungkin kita bisa berdiskusi dan memutuskan sebuah jalan keluar terbaik dari kita bersama… Tidak… tidak, kalian tidak perlu jauh-jauh ke Jakarta. Karena sesungguhnya malam ini aku sedang berada di kantor administratif Pindad. Yyaa… yyaa… tempat biasa kita biasa bertemu itu. Aku sedang ada sedikit pekerjaan disini. Dan aku sangat memerlukan kerjasama kalian. Aku tahu kalian semua pasti capek. Tapi akan baik untuk kita semua kalau kalian mau meluangkan sedikit denganku disini malam ini.”

Malam itu juga nyonya Emmy Wulan Hartadhi Himawan memaksa suaminya untuk berganti pakaian dan memanaskan mobil. Mereka berangkat saat itu juga dengan Toyota Alphard 3.5 a/t hitam yang harganya satu milyard lebih. Dikawal sebuah mobil dinas polisi Toyota Rush S m/t dengan stobo light sirent yang berkelap-kelip. JendralEggy Sudharmonno yang nampak sangat khawatir dan sedang mengamati tujuh lembar file dokumen yang berserak di atas mejanya. Dan di beritahu kalau nyonya Emmy Wulan Himawan dan suaminya telah datang. Di kawal oleh dua petugas polisi berpakaian sipil resmi yang nampak waspada. Setelah mendapat ijin dari JendralEggy lantas asisten pribadi itu mempersilahkan suami isteri keluarga Himawan masuk. Dan dua petugas polisi yang mengawalnya berdiri balik kanan menjaga di pintu masuk. JendralEggy menceritakan garis besar masalah yang sedang dia hadapi. Tentang berita-berita miring yang semakin gencar di lansir ke mass media oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat pro keadilan yang sangat kritis terhadap misteri-misteri permainan dibalik kontrak kerjasama HSW Limited dengan Departemen Pertahanan.

 

Pemberitaan-pemberitaan yang semakin gencar menyorot kejanggalan kontrak itu membuat posisi Pemerintah menjadi sulit. Dan timbul usulan-usulan beberapa kalangan untuk meninjau kembali kontrak kerjasama itu. Yang sekaligus membuktikan kepada masyarakat yang penasaran bahwa benar kontrak kerjasama di bidang Pertahanan dengan swasta itu tidak di ikuti dengan embel-embel apapun. Apalagi tuduhan suap dan korupsi anggara negara yang melibatkan nilai nomial sampai tujuh trilyun rupiah.

                “Kalau sampai nantin Tuanku Baginda President kita, Suhastommo menyetujui usulan audit independent atas kontrak kerjasama Pertahanan senilai tujuh trilyun rupiah ini… Jelas malapetaka buat kita semua. Buat Tuanku Baginda President Senno Suhastommo sendiri dan khususnya pelaku-pelaku utama dalam Partai Sabit Merah. Dan pastinya, Tuanku Baginda President Suhastommo tidak mungkin lagi menutup-nutupi lagi kasus ini karena bisa menjadi senjata ampuh Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke untuk menyerang balik. Karena selama ini terus-menerus di tekan dengan ancaman pemecatan oleh Tuanku Baginda President karena penentangan atas perintah tindakan represif aparat keamanan untuk mengakhiri blokade unjuk rasa jutaan manusia yang berteriak karena himpitan kemiskinan.”  Kata JendralEggy Sudharmonno termenung.

                “Kalau kontrak kerjasama kita di audit… jelas, borok-borok pembagian komisi yang hampir meliputi dua pertiga nilai kontrak itu akan ketahuan. Kami bisa terseret dalam kasus penyelewengan penggunaan anggaran negara, penyuapan untuk memperkaya pundi-pundi partai dan dana kampanye partai. Saya sungguh tidak bisa membayangkan respon IcB  yang dengan cepat akan menangani kasus ini. Apa tidak bisa kita mengusulkan kepada yang di atas untuk menyediakan legenda yang mengcover kasus kita. Karena kontrak kerjasama ini juga akan menjatuhkan banyak orang di pihak mereka.”  Tuan Andhre Permana Himawan mencoba mengusulkan.

                “Masalahnya fakta yang beredar di mass mendia sudah sangat gamblang. Orang awam saja bisa melihat dengan mata telanjang bahwa penyelewengan anggaran yang begitu besar memang jelas adanya. Pihak Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke juga di ketahui sudah mengakses data-data resmi yang terekam dalam arsip dokumen Pemerintah. Menciptakan fakta bohong demi mementahkan fakta sesungguhnya hanya akan menciptakan masalah-masalah yang baru lagi. Kota ini sedang menjadi sorotan. Dan sebuah kekuasaan bayangan yang tidak remeh sedang menunggu kita untuk di jatuhkan.”

                “Jadi sekarang apa saran Jendral Eggy untuk kami sekeluarga… ??”  nyonya Emmy Wulan Himawan akhirnya memutuskan untuk menyerah.

JendralEggy Sudharmonno diam sejenak dengan memandang kosong ke arah depan. Terdengar jari tanganya mengetuk-ngetuk meja sebagai isyarat dia sedang berfikir keras. Mempertimbangkan yang terbaik dari banyak pilihan untuk mereka semua.

                “Begini… kalau kita tidak bisa menghentikan arus badai yang demikian kuat menerjang, maka jangan coba-coba untuk menantang di depannya.”  Kata JendralEggy Sudharmono kemudian. “Langkah terbaik untuk menghadapinya adalah menghindar sementara sampai terjangan badai itu berlalu.”

                “Maksudnya… anda menyarankan kami sekeluarga untuk lari…??”

                “Jangan salah paham dulu… my dear, mbak Emmy.  Ini sesungguhnya hanya sekedar siasat. Teman-teman kita di atas menginginkan untuk memutus rantai aliran dana penyelewengan anggaran yang sedang menjadi persoalan. Jika kita bisa membuat keluargamu menghilang untuk sementara waktu, mungkin, Pemerintah dan… khususnya IcB bisa membantarkan kasus ini. Sampai semua ribut-ribut ini berakhir. Jika kalian tidak ada, IcB dan kepolisian tidak punya entry point untuk masuk. Karena memang tidak ada fakta persidangan yang bisa di ungkap dari saksi kunci perkara pidana ini. Bagaimana…??”

                “Baiklah… sekarang mari kita fikirkan langkahnya satu persatu.”  Kata tuan Andhre Permana Himawan. “Seandainya kami sekeluarga bersedia untuk pergi. Kemana tujuan kami… apa moda transportasi kami yang paling aman… dan bagaimana mengatur dukungan finansial kami di tempat tujuan nanti… ??”

                “Kami sudah merencanakan semuanya dengan matang. Malam ini juga kalian sekeluarga akan di jemput oleh sebuah mobil travel agensi yang akan mengantar kalian dengan akomodasi secukupnya ke Semarang. Kalian tidak usah cemas tentang rumah kalian. Polisi yang bertugas mengawal kalian akan mensterilkan seluruh rumah. Mengunci pintu-pintu dan menyalakan lampu seadanya. Kemudian memberi pesangon pada pembantu-pembantu kalian sebelum di antarkan pulang ke kampung masing-masing. Hanya menyisakan seorang tukang kebun kalian untuk tetap bekerja sebagai penjaga rumah. Yang jelas tidak akan mengatakan apa-apa soal kepergian kalian. Karena memang dia sama sekali tidak di beritahu kemana tujuan kalian pergi. Setelah itu para polisi akan pulang. Kembali ke satuan tugas reguler mereka masing-masing dan di perintahkan untuk tidak pernah membahas lagi tentang kalian.”

                “Kami di kirim ke Semarang, terus apa… ??”

                “Sebuah kapal dagang yang akan berlayar ke Eropa sedang bongkar muat di Tanjung Mas. Kalian akan diberi kabin tersendiri, semua kebutuhan kalian selama perjalanan akan di tanggung oleh Kapten kapal yang sudah kami suap. Di Singapura kalian akan di jemput atase pertahanan kita dari Kedubes Indonesia di pelabuhan Tanjung Rhu-Singapura. Kemudian kalian memperoleh surat-surat identitas baru yang menyatakan kalian warga negara sah Singapura. Memiliki sebuah villa mewah di Gaylang Serai dan sedang dalam penjajagan business tembakau di kota perbatasan Mong-Yawn, Myanmar.”

                “Apa… kota perbatasan Myanmar, kalian bermaksud menyelamatkan atau membuang kami ke belantara hutan yang perawan ?”  nyonya Emmy Wulan Himawan memprotes dengan keras.

                “Tenanglah dulu… mbak Emmy. Kami tetap akan melindungi kalian dalam kondisi yang bagaimanapun di sana. Kami di Singapura sudah mengontrak sebuah agensi keamanan swasta dari New York yang bisa di percaya. Kalian akan di kawal oleh satu tim pengawal ahli dari negara asing yang kebanyakan dari jebolan Corps  Marinir Amerika. Ada lima orang dengan masing-masing menangani satu tugas yang khusus. Salah satu di antaranya adalah petugas sandi terlatih yang bisa melacak jaringan informasi nirkabel antar satelit melalui perangkat komputer canggih. Sehingga setiap tindakan polisi internasional, dan bahkan jaringan agensi penyelidik swasta dunia yang berusaha melacak kalian bisa terpantau. Untuk kemudian melakukan tindakan penangkalan atau menghindar dengan sempurna.”

                “Bagaimana dengan kebutuhan finansial kami selama disana. Bagaimana dengan pendidikan anak-anak kami nanti…?”  nyonya Emmy Wulan Himawan kembali menuntut penjelasan. “Jelas rencana pelarian ini akan mengacaukan jenjang  pendidikan Sonny… putra tunggal kami. Sebentar lagi dia mau ujian. Bagaimana dia akan mengejar ketinggalannya. Bagaimana dengan akses ujian kelulusan dia nanti. Akan sulit Sonny mengejar ketertinggalannya selama dalam pelarian.”

                “Tentu… kami tahu itu. Kami di sini akan mengatur supaya Sonny bisa terus mengikuti pelajaran-pelajaran sekolahnya di Indonesian School College yang di selenggarakan KBRI Rangoon. Kedubes akan mengatur jadwalnya supaya kalian tidak nampak terlalu sering muncul di komplek Kedutaan. Dan akan di sesuaikan dengan kesibukan tim pengawal ahli dari Private Security Agency kalian.”

Tidak mungkin bisa di tawar lagi. JendralEggy Sudharmonno merencanakan semua ini karena harus melindungi banyak orang di Pusat. Nyonya Emmy Wulan Himawan akhirnya menyetujui skenario pelarian dengan menanda tangani selembar dokumen pernyataan yang bersifat sangat rahasia. Kemudian JendralEggy Sudharmonno bangkit menyalami mereka berdua.

                “Sekarang kalian pulanglah… dan tunggu instruksi dari para pengawal kalian. Saat ini orangku sudah berada di rumahmu. Mensupervisi tiga pembantu kalian mengemas barang-barang yang perlu saja untuk di bawa pergi. Sonny juga sudah di bangunkan dari tidurnya yang baru sebentar, dan segera diminta untuk mandi membersihkan dirinya.”

Tuan Andhre Permana Himawan menelephone puteranya saat sedang dikawal keluar menuju mobil Toyota Alphard 3.5 a/t yang sudah di persiapkan di parkir Lobby. Ternyata benar. Disana sedang ada dua petugas Kementerian Perhatian yang memerintah kesana-kemari kepada semua pembantunya dan di bantu oleh dua polisi pengawal yang bekerja untuk melindungi Sonny sendiri. Malam itu kantor administrasi Industri Persenjataan Pindad sepi. Karena seluruh kegiatan produksi pada malam hari di hentikan dan karyawan boleh pulang. Tapi ada satu pasukan keamanan Internal yang tetap bekerja. Dan malam ini pasukan keamanan Internal itu di perkuat dengan kompi utama yang mendatangkan dua pasukan tambahan untuk kepentingan JendralEggy Sudharmonno itu. Rombongan keluarga Himawan meninggalkan komplek administrasi Industri Persenjataan Pindad dengan di dahului dua motor pengawal CBR-1000 polantas Metro kota Malang dengan lampu-lampu rething biru yang berkelap-kelip. Di ikuti Toyota Alphard dan Toyota Rush yang ikut menyalakan strobo sirent light-nya. Jalanan kota Malang sudah mulai surut dari keramaian pada jam tengah malam begini. Konvoi mobil-mobil yang di dahului oleh dua motor besar pengawal itu menembus kepekatan malam dengan lancar tanpa gangguan.

 

Di rumahnya ada sebuah mobil jeep Korean Mambo yang di parkir dekat gerbang masuk. Di parkiran dalam sudah ada sebuah Toyota Kijang Innova Minor Change 2.0 Captain Seat a/t plat kuning milik sebuah agensi traveling yang di sewa atas nama orang lain. Nyonya Emmy Wulan Himawan nampak sangan capek dan pucat. Belum pernah seumur hidup dia di perlakukan sehina ini hingga membuatnya frustasi. Turun dari mobil Alphard tahu-tahu nyonya Emmy jatuh pingsan. Sehingga harus di angkat oleh beberapa pengawal ke soffa tamu di ruang depan. Pembantunya datang memberikan olesan minyak gosok yang sangat tajam baunya. Sonny yang sudah siap pergi dengan dua koper pakaiannya menjadi nampak sangat bersalah atas semua kejadian ini.  Mobil traveling Innova Minor Change sudah menunggu di luar. Tuan Andhre Permana Himawan untuk yang terakhir kalinya menyalami satu persatu pengawal yang telah bertahun-tahun bekerja untuknya. Semua nampak sangat bersedih. Tidak menyangka akhir kenyamanan mereka harus seperti ini. Tidak bisa ditahan lagi. Tuan Andhre sampai meneteskan air mata di hadapan mereka.

 

Tapi tidak bisa di cegah lagi. Semua harus berakhir dengan segera. Dua orang dari keamanan Internal Pindad yang mendapat tugas pribadi dari JendralEggy Sudharmonno itu terus mendesak mereka segera berangkat. Akhirnya setelah dengan susah payah memaksa, mobil traveling Toyota Innova Minor Change itu meninggalkan rumah besar keluarga Himawan. Tapi enam polisi pengawal itu masih punya tugas lain sebelum mereka boleh meninggalkan rumah ini besok pagi. Kembali ke satuan komando masing-masing.

 

Sedang keluarga Himawan terkantuk-kantuk dalam perjalanan panjang dengan mobil traveling Toyota Innova Minor Change. Di bagian kota Malang yang lain, Bambang Tristam Wibawa. Putra sulung Kombes polisi Bagus Wibawa yang menghilang sejak melakukan tugas menyergapan tiga hari yang lalu kebingungan mencari-cari informasi. Hampir setiap hari dia datangi kantor Kanwil Kepolisian kota Metro Malang tempat Ayahnya bekerja. Menanyakan kabar terakhir Kombes polisi Bagus Wibawa. Tapi tidak satupun berita dia dapat. Dan semua anggota Kanwil Kepolisian kota Metro Malang tidak ada yang tahu. Dia mencoba mencari informasi ke Markas Resort Kepolisian Metro tempat Ajun Kombes pol Inoki Wasis Jatmiko berkantor. Mereka juga tidak tahu apa-apa. Atau mungkin sengaja tidak mau tahu. Karena jelas ada peristiwa di komplek Wisma Bhayangkara yang mendahului kasus hilangnya Kombes polisi Bagus Wibawa menghilang. Ajun Komisaris polisi Parjudhi pasti sudah bercerita banyak kepada atasannya, Ajun Kombes polisi Inoki Jatmiko. Apalagi dia juga yang mengajukan permintaan cuti untuk Bripda polisi Sinta Septia Dewi.

 

Yang pastinya kejadian yang sangat penting itu tidak akan sampai terdengar ke telinga Bambang Tristam Wibawa. Karena jelas sifatnya yang rahasia. Tapi keluarga Bambang mempunyai seorang informan. Bripka polisi Johny Lonno Melia. Yang sekarang tinggal di asrama polisi Komplek Bhayangkara, Malang. Cepat-cepat Bambang mengambil Handphone di saku bajunya ketika mobil Hyundai H-1 Elegance Slider milik orang tuanya membelok di jalan lingkar Ijen. Hampir saja dia akan menemukan nomor pribadi Bripka polisi Johny Lonno Melia. Ketika tiba-tiba panggilan masuk dari nomor telephone rumahnya yang berdering. Terpaksa, Bambang memprioritaskan telephone dari rumah itu, dan menjawab.

                “Halo… siapa ini.”

                “Dheen… dheen Bambang. Cepat pulang, Dheen. Nyonyaa… dheen… ngedrop lagi…”  suara yang nampak sangat gugup disana.

                “Tenang… Bhiii. Tenang… sudah hubungi nomor pribadi dokter Iskhan… ??”

                “Sudah… dheen. Malah sekarang dokter Iskhan sudah ada di rumah untuk memberi pertolongan. Tapi kata dokter Iskhan sebaiknya Nyonya di rawat intensif di rumah sakit. Kalau tiba-tiba sampai ngedrop lagi… akan sulit untuk menyelamatkan nyawa Nyonya.”

                “Oke… Minta dokter Iskhan untuk memanggil ambulance dan membawa Mamma ke rumah sakit langganan kita. Sebentar lagi aku sampai di rumah.”  Kata Bambang Tristam Wibawa terus menutup sambungan telephone.

Hilang sudah kesempatan untuk menemukan informasi dari Bripka polisi Johny Lonno Melia. Mantan supir pribadi Kombes polisi Bagus Wibawa sendiri yang sudah seperti keluarga sendiri bagi mereka. Kini setelah naik pangkat Bripka polisi Johny di mutasikan ke Pamapta Kepolisian resort Metro Malang dan tinggal di asrama polisi. Urung Bambang Tristam Wibawa berbincang dengan Bripka polisi Johny dan urung juga mengarahkan mobilnya ke asrama polisi itu. Dia berputar di persimpangan dan terus melaju ke rumah dinas kepala Kantor Wilayah Polisi. Setibanya Bambang di rumah itu, masih ada mobil Bentley flying spur 6.0 W12 yang harganya lima setengah milyard milik dokter spesialis bedah syaraf Iskhan. Sebuah mobil ambulance Mercedes-Benz B-170 Autotronic dengan strobo sirent light dari rumah sakit Bhayangkara Malang. Dan beberapa perawat tampak sibuk membawa kereta tandu beroda ke dalam. Bambang memarkir mobil Hyundai H-1 di tepi jalan. Mengunci dengan remote alarm dan bergegas masuk. Dokter Iskhan sedang mengontrol denyut nadi dan tekanan darah Nyonya Lucia Ririn Anggraenni Wibawa. Mamma kandung Bambang Tristam Wibawa. Dokter spesialis bedah syaraf Ischan melihat kedatangan Bambang yang nampak bingung. Meninggalkan Nyonya Lucia Ririn sejenak yang sudah mulai di tangani oleh para Perawat. Dan merangkul Bambang keluar. Dokter spesialis Iskhan menjelaskan secara singkat apa yang telah terjadi dengan kesehatan Mamma kandungnya sore ini. Dan pandangan pribadinya mengenai depresi berat yang sedang di alami Nyonya Lucia Ririn sekarang ini. Bahwa untuk menjaga kemungkinan yang tidak di duga-duga, menjalani rawat inap di rumah sakit adalah pilihan terbaik untuk Nyonya Lucia Ririn Wibawa.

                “Oouhh… Tuhan, mengapa sampai harus begini.”  Guman Bambang Tristam. Masih segar dalam ingatannya kondisi kesehatan Mamma kandung ini saat ketika Kombes polisi Bagus ketahuan selingkuh dengan seorang kolega businessnya. Seorang janda cantik yang menjadi claim officer sebuah kantor Leassing di Malang. Tiba-tiba setelah kejadian itu Mamma anfhall dan stroke membuat Mamma terbaring koma di rumah sakit selama hampir setahun. Setelah itu kesehatan Mamma tidak pernah benar-benar pulih lagi. Mamma sudah memaafkan Kombes polisi Bagus, suaminya. Tapi Bambang tidak. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri. Kalau sekali lagi stroke Mammanya kambuh dan itu karena Pappa-nya. Bambang tidak akan pernah sekali saja dalam seumur hidupnya memaafkan Pappa-nya.

                “Well… dokter. Lakukan apapun… yang terbaik buat Mamma.”

                “Tentu. Kami akan memberi perawatan intensif dan yang terbaik di rumah sakit.”  Kata dokter spesialis Iskhan. “Ngomong-ngomong… bagaimana kabar Pappamu… ??  Maaf, bukan maksud aku menyinggungmu. Kebetulan aku sempat bicara dengan pembantu rumah. Mereka bercerita banyak soal hilangnya Kombes polisi Bagus sejak tiga hari lalu. Aaach… jangan terlalu bersedih. Seorang Komisaris besar polisi. Mungkin saja ada kunjungan kerja mendadak di daerah, dan Pappamu tidak sempat menghubungi. Mungkin saja sedang menjalankan suatu operasi yang rahasia sifatnya.”

                “Atau… berhubungan lagi dengan janda cantik manager kantor leassing itu.”  Bambang mendengus dengan kesal. Hilang sudah semangatnya untuk berusaha mencari informasi tentang Kombes polisi Bagus Wibawa. Sekarang konsentrasinya lebih tersita untuk memulihkan kesehatan Mamma yang baru saja anfhall.

                “Tidak selalu begitu… semua sudah menjadi masa lalu bagi Pappamu. Aku yakin itu. Selama ini hubungan kami sebagai teman sangat baik. Aku tahu benar di usia Pappamu yang sudah berumur seperti sekarang. Keinginannya hanya satu. Melewatkan masa-masa terakhir dinasnya di kepolisian dan menjalani hari tua yang bahagia bersama Mammamu dan kamu.”

Rumah Sakit Bhayangkara Malang, isteri Kepala Kanwil Kepolisian kota yang terhormat itu segera mendapatkan pelayanan istimewa dan di tempatkan di suite Penthouse lantai tiga yang istimewa. Apalagi ini adalah pasien pribadi dokter spesialis Iskhan yang karena keahlian dan kekayaannya mempunyai pengaruh cukup besar di Rumah Sakit milik Polri ini. Bambang memarkir mobil Hyundai H-1 milik orang tuanya di sebelah gedung rawat inap Pavillyun. Tempat yang di anggap paling dekat dengan suite Penthouse itu. Membiarkan kedua pembantu rumahnya turun dengan masing-masing membawa satu tas besar keperluan sehari-hari Mamma kandungnya. Penthouse pavillyun rumah sakit itu seperti biasa lebih menyerupai apartement mewah sekelas hotel berbintang. Para perawat sedang membenahi kenyamanan tidur Nyonya Lucia Wibawa di atas pembaringanya. Sementara Bambang memilih kamar lain di dalam Penthouse itu yang memang di peruntukkan bagi pengantar.

                “Bagaimana… mbak Lucia. Kami harap istirahat nyonya nyaman disini.”  Kata dokter Iskhan yang datang berkunjung setelah menyelesaikan administrasi di lobby bawah. Kepada isteri Kepala Kanwil Kepolisian kota ini memang dokter Iskhan sudah memperlakukan seperti saudara sendiri. Karena memang dia sudah seperti adik sendiri kalau sedang bersama Kombes polisi Bagus. Maka kepada Isterinya juga dokter Iskhan menganggap seperti kakaknya sendiri.

                “Dhik Iskhan… apa sudah ketemu Bambang ?”

                “Oouuw… Bambang. Tadi juga ikut kemari.”  Dokter Iskhan berkata sambil celingukan.

Yang di cari ternyata muncul tidak lama kemudian. Mengulurkan tanganya untuk Mamma dengan hangat dan berpaling untuk mengucapkan banyak Makasih kepada dokter Iskhan. Tapi kemudian Nyonya Lucia Wibawa yang sudah tidak sabar meraih tangannya.

                “Bambang… sudah kau temukan Pappamu…??”

                “Belum Mma… tapi Bambang akan terus berusaha. Bambang sudah menghubungi kantor Pappa, tapi mereka hanya bilang Pappa pergi dengan orang-orang yang datang dari Pusat. Tidak di jelaskan lebih lanjut siapa mereka.”

                “Kau harus terus mencari tahu, Mbang… Hati Mamma ini sangat tidak enak. Mamma takut terjadi apa-apa dengan Pappamu.”

                “Iyyaa… Mmaa. Bambang tidak akan menyerah. Tapi Mamma juga harus memikirkan kesehatan. Ini jauh lebih penting dari apapun. Kita sudah kehilangan dua saudara sepupu Bambang. Sekarang Pappa. Bambang tidak mau kalau Mamma menjadi anfhall lagi. Bambang tidak siap kehilangan Mamma saat ini.”

Keluarga besar Kombes polisi Bagus masih berkutat dengan pemulihan kesehatan Nyonya Lucia Wulan Wibawa di rumah sakit Bhangkara. Di rumah dinas komplek perumahan staf dan perwira Kodam yang di jaga dengan ketat. Sejak mengalami trauma hebat Anggitho yang kedua beberapa malam yang lalu, dalam sebuah pertaruhan antara hidup dan mati. Kenyamanan Anggitho tidak pernah pulih kembali seperti sedia kala. Kalaupun dia mulai bisa menjalankan aktivitas yang rutin di rumah. Bercakap-cakap dan bercanda tawa dengan Bripda polisi Sinta. Itu semata-mata di lakukan karena semata-mata kekerasan hatinya untuk menunjukkan kehadiran Bripda polisi Sinta menjadi penuh arti untuk dirinya. Padahal dalam kenyataannya hati Anggitho sangat rapuh. Fisiknya sama sekali tidak sehat. Anggitho terbiasa ketakutan sendiri tanpa alasan di waktu malam. Terbangun tiba-tiba dari tidurnya di tengah malam dengan deru nafasnya yang tersengal-sengal. Tekanan darahnya mudah sekali drop sehingga sering pingsan mendadak. Anggitho mudah sekali di kejutkan oleh suara letusan knalpot motor yang tanpa sengaja lewat di depan rumah.

 

Atau ban sepeda yang pecah menyerupai suara letupan senjata. Dia menjadi Paranoid. Sangat takut ada orang yang diam-diam mendekati untuk membunuhnya. Anggitho selalu berusaha untuk tampi sehat di depan Bripda polisi Sinta. Saat semua orang sudah tidur, barulah Anggitho menggigil terus sepanjang malam. Seperti di hantui oleh sesuatu yang tidak pernah ada. Sampai-sampai hampir tiap malam Bripda polisi Sinta harus rela pindah menemani tidur Anggitho sampai pagi. Untungnya telah di  pasang kamera cctv dalam kamar tidur Anggitho yang di hubungkan langsung dengan kamar pribadi Wahyunni. Tempat dimana Bripda polisi Sinta ikut menumpang tidur. Dengan motion detector yang akan membunyikan alarm kalau tiba-tiba Anggitho terbangun tengah malam. Beberapa kali tuan Profesor Dr. Agung Rasmintho mendatangkan dokter phsycoterrapy dari Rumah Sakit Angkatan Darat Malang. Dan memang benar, Anggitho membutuhkan perawatan yang khusus dan lama untuk mengurangi traumatik yang menyerang kejiwaannya itu.

 

Jam tujuh malam sudah lewat beberapa waktu lalu. Dan karena kebetulan malam minggu, anak-anak asrama itu banyak yang nongkrong di jalan sambil bermain gitar. Satria, dan Bagoes yang duduk semester dua Universitas yang berbeda serta Satya duduk santai di pinggir jalan dengan sejumlah anggota pengawal Saber yang membawa mobil lapis baja Humvee. Deassy, dan Ambar yang duduk di tingkat akhir Es-em-K serta Hamidha nampak sedang membuat steak irisan daging rawon segar yang dipanggang di atas Barbeque Maestro Grill 32 inch. Ada juga Crisp seafood dan Martabak dari bumifood yang digoreng dalam panci teflon diatas kompor listrik. Di belakang balkon teras ada Anggitho dan Bripda polisi Sinta bersandar pada kursi malas aluminium yang bisa di lipat sembari minum Marco Juice dingin rasa cocopandan dan jambu merah. Sedang di meja depannya ada Anchor Smoked Beef Chesse yang tinggal separuhnya.

 

Kursi malasnya mereka dekatkan. Dan Anggitho bisa bersandar manja di bahu Bripda polisi Sinta dengan tangan lembut Bripda polisi Sinta yang melingkar di bahu Anggitho. Terasa begitu damai bagi Anggitho di perlakukan demikian. Botol-botol  Marco Juice yang mereka minum dengan sedotan sudah tinggal sedikit dan mereka masih terus menikmatinya seperti anak kecil yang baru mendapat hadiah pertamanya. Anggitho mengecup bahu Bripda polisi Sinta yang mengenakan kaos putih singlet dengan celana senam putih yang ketat mengikuti bentuk tubuhnya. Anggitho bagai tertantang menikmati penampilan Bripda polisi Sinta yang sangat seksi malam ini. Dengan senyum yang sangat manis Bripda polisi Sinta berpaling pada Anggitho  dan membalas dengan satu kecupan di keningnya.

                “Githoo…”  serunya perlahan. Bripda polisi Sinta merengkuh pelukannya di bahu Anggitho dengan hangat. “Bilang padaku sayang… apa yang kau inginkan.”

                “Aku bahagia di dekap mbak Sinta.”

                “Apapun maumu… sayang. Aku pasti akan memelukmu selama yang kau suka.”  Kata Bripda polisi Sinta. “Aaach… kau mau Smoked Beef Cheese lagi… aku ambilkan.”

                “Tidak. Aku hanya ingin dalam rangkulan mbak Sinta saja. Yang selama ini membuat aku sangat bahagia. Mampu menggantikan ketakutan-ketakutanku selama ini. Rasa traumatikku yang takut di culik orang dan kenekadan-kenekadan untuk membunuhku.”

                “Tenang… sayang. Sekarang ini sudah tidak ada lagi yang berani mengusik dirimu. Aku juga akan terus menjagamu sampai kau benar-benar merasa nyaman.”  Kata Bripda polisi Sinta dengan penuh keyakinan. Jari-jari lembut Bripda polisi Sinta menyentuh dagu Anggitho. Di angkat wajah sedih berbalut kejujuran itu mendekat ke wajahnya. Dan kemudian bibir mereka saling bersentuhan. Anggitho sampai terpejam ketika Bripda polisi Sinta memagut bibir pemuda itu dengan hangat. Kehangatan mereka yang di lakukan di tempat terbuka itu baru terhenti ketika Deassy muncul dengan sepiring steak daging segar dan Martabak goreng dari Bumifood.

                “Hello… ini steak daging dan martabak kalian. Di nikmati yyeaa…”  kata Deassy meletakkan piring saji dengan sebilah sendok garpu di atasnya itu di meja. Bripda polisi Sinta buru-buru melepaskan rangkulannya dari Anggitho dan pemuda itu menarik badannya mengambil jarak. Berdebar cemas dan merasa sangat tidak enak. Bripda polisi Sinta sangat tahu disini, membahagiakan Anggitho dengan membuatnya senyaman mungkin adalah tugasnya. Jadi dia tidak merasa bersalah dengan apa yang baru saja mereka lakukan berdua. Dia beranggapan pastilah mereka semua di sini maklum dengan yang mereka perbuat. Yang sesungguhnya Bripda polisi Sinta lakukan dengan tanpa keterpaksaan. Karena pada hakekatnya memang dia mencintai Anggitho. Cinta yang benar-benar tulus dari wanita kepada seorang pria.

                “Makasih… baik sekali kalian juga memasakkan buat kami.”  Kata Bripda polisi Sinta membalas.

Deassy tersenyum mengangguk memperhatikan wajah mereka berdua yang sedang bermesraan di beranda rumah dinas itu. Ambar dan Hamidha juga sedang membagikan menu masakan malam ini kepada Satria, Bagoes, Satya dan kepada sepuluh petugas pengawal dari satuan penyabot elite Saber dan Puspom Kodam di jalanan. Bripda polisi Sinta memajukan badan meraih sendok garpu yang berada di atas piring saji. Menusuk salah satu irisan steak daging dengan harum kecap dan daging panggang. Menggigitnya separuh saja dan kemudian menyuap separuh yang lain kepada Anggitho.

                “Hhmmm… enak sekali mbak Deassy. Makasih sudah ikut mencicipi masakan kalian. Kalian memang wanita-wanita yang di lahirkan sebagai koki masak yang hebat.”  Kata Anggitho ketika merasakan sisa irisan steak daging yang disuapkan Bripda polisi Sinta untuknya. “Ayo mbak… kita nikmati steak daging ini sama-sama.”

                “Aaach… Makasih Githo… aku ambil bagianku sendiri di meja masak sana. Silahkan kalian menikmatinya.”  Kata Deassy yang kemudian memutuskan untuk segera mengundurkan diri.

Sayup-sayup di ruang tamu utama belakang mereka berdua terdengar alunan musik lembut dari Justin Beiber berjudul Never Say Never. Di suarakan oleh LG Home Theater HB-806 TM dengan 850 watt power dan 3D BlueRay Disc Playback seharga hampir lima juta rupiah. Di samping Samsung Plasma teve 51D450 dengan Mega Contrast Ratio ukura 51 inch seharga hampir sepuluh juta rupiah. Teve mahal ini merupakan satu-satunya sarana berkumpul keluarga besar para putera angkat JendralEstianni Rahayu Rasmintho setiap akhir pekan. Walaupun setiap kamar pribadi mereka di dalam rumah dinas dua lantai itu di lengkapi dengan LG teve 21SA4RL Ultra slim teve ukuran 21 inch. Dan sebuah Laptop dengan Printer Canon Pixma. Demi untuk memudahkan mereka mengerjakan tugas-tugas kampus.

                “Cerah sekali suasana malam minggu ini. Beruntung orang-orang yang sedang mengajak kencan pacar-pacarnya di tempat favorite mereka.”  Kata Anggitho menatap jauh ke langit hitam yang bertabur bintang. Di mulutnya masih mengunyah secuil steak daging panggang perlahan sambil meresapi kenikmatan rasanya sedikit demi sedikit. “Aku mau ambil juice lagi.”  Kata Anggitho yang hendak bangkit.  “Mbak Sinta mau lagi… ??”

                “Kau di sini saja, sayang… Githo. Biar aku saja… sekalian aku mau ambil Happy-Tos Roasted Corn yang renyah. Untuk bumbu menyantap steak daging panggang kita.”  Bripda polisi Sinta mendahului bangkit. “Kamu mau tetap yang Marco Juice rasa Cocopandant… soalnya aku mau ambil yang Ankerbear Can 300 botol kaleng aja. Atau mau Ankerbear-nya juga. Pilih mana, Gith.”  Kata Bripda polisi Sinta lagi menawarkan. Dia sudah berdiri di antara gawang pintu besar yang bergaya kupu tarung itu. Menunggu jawaban yang keluar dari mulut Anggitho.

                “Ankerbear Can 300 botol kaleng boleh juga. Mbak Sinta…”  jawaban Anggitho yang kemudian lebih menyetujui usulan Bripda polisi Sinta.

Setelah Bripda polisi Sinta pergi, Anggitho kembali menyandarkan tubuhnya di kursi malas aluminium. Menusuk seiris steak daging panggang yang memancarkan aroma sedap kecap. Sedikit mengurangi rasa manisnya dengan melahap sesuwir daun selada yang di tata sebagai pemanis hidangan steak daging panggang itu. Mengangguk-anggukkan kepalanya mendengarkan alunan musik dari oleh LG Home Theater HB-806 TM dengan 850 watt power-nya yang melantunkan lagu Bonamana dari artis boyband Korea Super Junior. Sementara para putera angkat yang lain bergabung di bangku panjang pinggir jalanan depan asrama itu. Yang di penuhi Satria, Bagoes, Satya, Ambar, Deassy, Hamidha, dan Wahyunni. Dua bangku panjang untuk ketujuh anak angkat JendralEstianni Rahayu Rasmintho. Sedangkan sejumlah anggota pengawal satuan elite Saber menggunakan dua bangku panjang yang lain di sebelahnya. Dua orang penembak M-60 tetap duduk di atas turret mobil lapis baja Humvee dengan waspada. Lalu lintas cukup lancar setelah sersan pom. Sollahudin Setiyadhi dan sersan pom. Wahyu Sukarmansyah memasang rambu satu arah di jalan masuk komplek rumah dinas perwira ini.

 

Di tengah keceriaan mereka berpesta. Mobil Hyundai H-1Elegant Slider milik keluarga Kombes polisi Wibawa berhenti di belakang mobil pengawal Panther Smart Hi-Grade putih dengan strobo sirent light Puspom Kodam. Bambang Tristam sendiri yang mengemudi mobilnya. Keluar dari mobil itu dan menyalakan alarm dengan remote-nya. Masih agak jauh di sebelam asrama dinas para anak angkat keluarga Panglima. Satu-satunya yang dia kenal dari keluarga itu adalah Satya. Ketua persaudaraan karate Sekolah yang baru. Berjalan mendekati deretan bangku-bangku panjang yang mengapit pintu pagar rumah dinas itu, langsung di hentikan oleh Sersan pom. Sollahudin Setiyadhi.

                “Maaf dhik… ini kawasan terlarang bagi masyarakat umum. Kau mau kemana ?”

Sejenak Bambang Tristam terhenyak dan memandang sersan pom. Sollahudin dengan aneh. Dia memang sudah melihat ketidak wajaran kondisi rumah dinas perwira dan staf Kodam ini. Terlihat penambahan petugas penjagaan yang lebih banyak dari biasanya. Di gerbang masuk komplek dia sudah disambut dengan tiga buah Pansher Renault-Saviyem VAB yang berderet di pinggir jalan. Dia harus menjawab terlalu banyak pertanyaan dari petugas jaga di portal sebelum akhirnya di ijinkan lewat. Sekarang ini. Kendaraan lapis baja Humvee dengan dua orang penembak M-60 di atas turret-nya yang bersikap curiga kepada semua orang yang datang mendekat. Dan akhirnya dia di hentikan oleh seorang anggota Puspom Kodam hanya karena mendekati rumah dinas perwira tersebut.

                “Saya hanya mau ketemu dengan Satya… sebentar saja.”  Kata Bambang Tristam dengan setengah memohon. Kemudian dia melihat kehadiran Satya di tengah kumpulan anak muda yang bermain gitar. “Satya…!!  Aku perlu bicara… sebentar !!”  Bambang Tristam sampai berteriak, berusaha agar Satya yang ingin dia temui mau mendekat dan membebaskannya dari gangguan petugas keamanan Puspom Kodam ini. Padahal Satya, dan semua para putera angkat keluarga Panglima itu sudah mengetahui kedatangannya dari tadi. Tetapi setelah apa yang Ayah Bambang Tristam lakukan terhadap Anggitho. Sulit rasanya mereka bersedia menuruti apa yang dia minta.

                “Maaf… kamu memasuki kawasan terlarang untuk masyarakat umum. Kembalilah… dan jangan sampai ada penangkapan yang tidak perlu disini.”  Sersan pom. Sollahudin Setiyadhi terus memaksa. Tindakannya ini memancing dua anggota satuan penyabot elite Saber yang menyandang senjata Steyr di dada bangkit dan mendekat.

                “Tolong… saya hanya perlu bicara dengan Satya. Sebentar saja.”

                “Mas Satya tidak mau di ganggu. Dan… sebaiknya kamu pergi sekarang.”  Sersan pom. Sollahudin Setiyadhi kembali mendesak dan kali ini dia di bantu dengan dua anggota satuan elite Saber yang tidak sungkan mengacungkan senjatanya ke arah Bambang Tristam. Akhirnya memang, Bambang Tristam menyerah. Menganggukkan kepalanya lusuh dan balik kanan meninggalkan tiga anggota tentara yang barusan menghalangi langkahnya. Tidak disangka. Saat sudah hampir mencapai mobilnya, terasa ada seseorang yang mengejar. Ketika sudah sampai di dekatnya pria itu memegang bahunya.

                “Mbang… maaf karena situasi yang tidak terlalu baik disini. Bagaimana kabar Mammamu… aku dengar baru masuk perawatan intensif ICU.”  Dengan simpati Satya merangkul dan menanyakan keadaan keluarganya.

                “Oouhh… Satya, syukurlah kau menemuiku. Aku sudah capek mencari-cari Pappaku. Aku tidak tahu lagi kemana harus mencari tahu sekarang. Kau… mendengar sesuatu tentang Pappaku ??”  balas Bambang Tristam mengungkapkan semua kebingungan di hatinya.

Satya merangkulnya dengan hangat. Tidak jadi masuk ke dalam mobil Hyundai H-1 Elegant Slider milik keluarga Kombes polisi Bagus itu, Satya mengajaknya duduk di tepian trotoar belakang mobil Hyundai. Bambang Tristam masih tertunduk sedih mengikuti yang Satya lakukan. Satya melepaskan rangkulan tangannya dan mengambil sebungkus rokok putih Sampurna A Mild. Memungutnya sebatang untuk dirinya sendiri dan menawarkannya pada Satya. Kemudian mengambil pematik Zippo untuk menyalakannya. Keduanya merokok sejenak menikmati asap demi asap yang tersembul keluar dari mulut mereka. Mengurangi stress yang membelenggu kebebasan mereka ini.

                “Satya… tolong ceritakan padaku kalau kau tahu sedikit saja tentang Pappaku. Saat ini Mamma sedang terbaring sakit di rumah sakit Bhayangkara. Tekanan darahnya down dan aku khawatir masalah yang berat akan membuat stroke Mamma kambuh semakin parah. Aku mengerti, Pappa sering membuat masalah dengan keluargamu. Terlebih semenjak dua saudaraku hilang entah kemana pasca serangan brutal anak-anak senior Dian Harapan yang di dalangi Sonny.”  Bambang Tristam mengeluh dengan sejujur-jujurnya.

                “Jujur saja… aku secara pribadi tidak tahu banyak dimana Pappamu sekarang. Tapi semua ini bermula ketika sejumlah agen pelacak dari dinas keamanan IcB membantu Pappamu untuk mengambil Anggitho di asrama polisi Komplek Bhayangkara.”  Kata Satya menjelaskan.

                “Komplek Wisma Bhayangkara… tapi bagaimana peristiwa pengambilan yang begitu heboh, semua polisi di Resort Kepolisian  mengaku tidak tahu apa-apa ?”  Bambang Tristam langsung memprotes.

                “Aku rasa karena mereka sudah di instruksikan oleh Kepala resort Metro Ajun Kombes polisi Inoki untuk melupakan peristiwa itu. Semata-mata hanya karena mereka tidak mau terlibat jauh yang bisa menyulitkan mereka sendiri di belakang hari. Masalah ini sudah jauh melibatkan sejumlah petinggi Kodam. Bahkan seperti yang kau lihat. Ada banyak pasukan Saber di sini. Itu artinya Bosma sudah terlibat disini.”

                “Oke… Lalu dimana tepatnya Pappaku sekarang ?”

                “Untuk pertanyaan yang satu ini aku tidak bisa menjawab, Mbang… Sebaiknya menurutku pribadi. Menunggu adalah langkah yang paling baik dan bersikaplah tenang. Semakin kau bertanya-tanya dan merepotkan semua orang, justeru akan merepotkan dirimu sendiri. Tapi sejujurnya aku berani menjamin mereka tidak akan apa-apa. Hanya menunggu sebuah  proses peradilan yang di persiapkan untuk kasus luar biasa ini. Nanti ketika proses persidangan itu mulai di selenggarakan secara terbuka. Keluargamu pasti di hubungi. Kalian akan diminta untuk mencarikan pengacara untuk Kombes polisi Bagus dan kedua sepupumu. Kau mengerti posisimu sekarang ?”

                “Jadi… ada Bosma di belakang semua misteri ini ?”  Bambang Tristam mengeluh dengan tertunduk.

                “Jangan salahkan mereka. Pappamu yang sangat ambisius ingin mengambil Anggitho. Dan… kau tahu, mereka hanya berusaha melindungi apa yang sudah menjadi asset penting mereka. Tentu… Pappamu akan melakukan hal yang sama apabila orang lain hendak memperlakukan Sonny atau tuan Andhre Permana seperti itu.”

                “Yyeaa… kau benar. Maafkan aku… Makasih, Satt.”

Bambang Tristam menikmati hisapan terakhir rokok Sampurna Merah-nya. Mematikan puntungnya dan bangkit menyalami Satya. Sekarang dia mengerti mengapa semua orang berusaha menutupi apa yang terjadi pada orang tuanya. Bambang Tristam masuk ke dalam mobil Hyundai H-1 Elegant Slider dan melambaikan tangan untuk yang terakhir kepada Satya. Hyundai H-1 Elegat Slider itu membelok masuk ke arus lalu lintas satu arah. Melewati depan rumah dinas perwira yang di jaga ketat oleh dua mobil lapis baja Humvee satuan komando elite Saber-Bosma. Melihat sekilas Anggitho yang tengah berduaan di teras dengan Bripda polisi Sinta. Mereka ada disana. Bambang Tristam yang berasal dari keluarga militer merasa tahu diri. Mereka sudah di lindungi sedemikian ketat di rumah itu dan pasti semua ini buntut dari perbuatan Pappa-nya yang melibatkan orang-orang dari agen keamanan IcB. Hanya demi untuk menjemput Anggitho dari perlindungannya untuk di tukar dengan para tersangka kasus pengeroyokan Anggitho tempo hari. Dan secara pribadi dia juga berpendapat bahwa tindakan Pappa-nya sangat berlebihan. Pantas kalau itu menimbulkan respon yang berlebihan pula dari pihak tuan Profesor Dr. Agung Rasmintho.

 

Kembali ke Paviliyun rumah sakit Bhayangkara, tempat Mamma Bambang Tristam sedang di rawat. Dia mengambil seikat bunga segar yang baru di belinya dari kios pinggir jalan. Membawanya ke dalam dan menyapa ramah pada seorang perawat yang berjaga di balkon resepsionis rumah sakit. Sebelum menuju ke pintu lift yang langsung menuju ke lantai atas. Mencapai pintu apartement dimana Mamma-nya dirawat, Bambang mendapati Lutik Astri dan Safitri. Teman sekelas yang salah satunya adalah pacarnya sendiri hendak masuk membesuk. Bambang Tristam menghampiri di belakangnya dan berdehem.

                “Hei… mau masuk ?”

                “Oooukh… mas Bambang.”  Astri melonjak girang dan menghambur ke pelukan Bambang. Tidak tahan Bambang Tristam membalas pelukan itu dan memberinya sekelumit kecupan di bibirnya. Dan setelah itu Astri terus ngelendot dalam rangkulan Bambang.

                “Ayo masuk.”

Bambang membuka pintu apartement dan meminta Safitri mengikutinya ke dalam. Masuk ke dalam apartement itu mereka melewati soffa tamu dan sekaligus ruang keluarga. Dengan sebuah minibar yang dilengkapi almari piring dan kulkas. Kamar perawatan Nyonya Lucia Wulan Wibawa berada di salah satu dari dua pintu lain yang berada di sisi ruang tamu itu. Masing-masing di lengkapi dengan kamar mandi dalam dan sebuah pintu lain menuju ke balkon teras belakang. Tempat para pengantar biasa nongkrong kalau sedang membutuhkan udara segar. Lutik Astri melepaskan diri dari Bambang Tristam saat memasuki ruangan kamar perawatan. Dimana telah ada Nyonya Rachell Hartanto. Isteri Waka Kanwil Kepolisian kota Ajun Kombes polisi Teguh Hartanto dan Nyonya Rohanna Inoki. Isteri Kepala Kepolisian Resort Metro Malang yang sedang berkunjung. Dua pembantu rumah nyonya Lucia Wulan Wibawa berada di teras balkon setelah membuatkan minuman untuk tamu-tamu. Mereka harus menemani Juaritha Hastuti Wibawa dan Ririt Yuniar Wibawa yang masing-masing duduk di semester akhir sekolah Es-Em-P dan sekolah Es-De.

                “Malam Tante… Ini Astri bawakan buah segar untuk kesehatan Tante Lucia. Mamma juga nitip salam buat Tante.”  Lutik Astri menghambur ke rangkulan Nyonya Lucia Wibawa dan menerima sambutan tempel pipi kanan dan kiri.

                “Makasih… Astri. Tante senang sekali, ternyata masih banyak orang yang mau perduli sama Tante.”

                “Aach… Tante, tentu saja Astri perduli sama calon mertua Astri sendiri. Lekas sembuh ya Tante.”  Kata Astri kemudian.

Kemudian perhatian Nyonya Lucia Wulan Wibawa kembali kepada Bambang Tristam yang hanya senyum-senyum di ujung pembaringan. Melihat di perhatikan seperti itu oleh Mamma-nya, Bambang Tristam maju dan memberikan seikat bunga segar yang baru di belinya pada Nyonya Lucia Wulan Wibawa.

                “Ini bunga tanda sayang Bambang untuk Mamma. Cepat sembuh yaa… Mmaa.”

                “Gimana… Mbang. Sudah ada informasi tentang Pappamu… ?”  Nyonya Lucia Wulan Wibawa langsung menyinggung ke pokok masalah.

                “Pappa baik-baik saja Mma… percaya sama Bambang. Hanya saat sekarang ini Pappa belum ingin Mamma tahu apa yang sedang Pappa kerjakan. Mamma mengerti… lingkungan kerja dinas kepolisian.”  Sambil berkata begitu Bambang melirik kepada dua tamu Mammanya yang tertunduk dengan rasa bersalah. Pastinya mereka berdua mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. Tapi tidak bisa mengatakan dengan terus-terang kepada Nyonya Lucia Wibawa ini.

                “Kau sudah bicara sendiri dengan Pappamu… ?”

                “Hmm… yea. Pappa menghubungi Bambang melalui Handphone. Tapi belum bisa bicara langsung dengan Mamma.”

                “Yyeaa… baik kalau seperti itu. Mamma bisa mengerti.”  Kemudian Nyonya Lucia Wibawa baru menyadari kalau selain mereka berdua juga ada Safitri yang juga telah di kenal baik oleh keluarga Wibawa. “Fitri… kok diam saja di situ…?  Ayo sini mendekat.

                “Makasih Tante… lekas sembuh ya.”  Kata Safitri yang merasa tidak enak. Sebagai sesama teman sekolah Bambang dia tidak seakrab Astri dengan keluarga Kombes polisi Bagus Wibawa ini. Tapi dia adalah bintang di kelas karena menjadi salah satu gadis kesayangan Don juan Sonny Putrahimawan.

                “Juaritha dan Ririt dimana… Tante ?”

                “Ouuw… Tadi ada. Mungkin di balkon luar situ.”  Nyonya Lucia Wibawa menaikkan alisnya memandang ke pintu keluar di belakangnya. “Katanya sih mau cari udara segar dengan pembantu-pembatu Tante. Ouu… ya Ass, tu ada Cheese Choco Butter Cream dan Potato Pillow Bread di meja… kalau kalian mau.”

                “Makasih Tante… Astri mau ketemu sama adik-adik dulu.”

Dan Astri sudah melangkah menuju pintu yang ke arah Balkon diikuti Safitri. Tidak lama berselang Bambang Tristam juga menyusul. Menghormati tamu-tamu Mammanya yang sudah lebih dulu datang. Bambang Tristam menemukan Lutik Astri dan Safitri sedang berbicara dengan Juaritha dan Ririt. Mereka ngobrol denga akrab sebagai seperti keluarga. Bambang Tristam hendak bergabung dengan mereka tapi urung. Dia malah melangkah ke ujung balkon di lantai tiga rumah sakit Bhayangkara itu. Memungut sebatang rokok putih merk Gudang Garam Surya Pro Senssasional Mild seharga sepuluh ribu rupiah untuk enambelas batang. Menyelipkan diantara bibirnya dan mengeluarkan pematik Zippo. Sesaat kemudian asap mulai menyembur dari mulutnya dan Bambang Tristam menikmati rasa tembakau yang khas di langit-langit mulutnya. Sejenak Bambang Tristam menikmati rasa khas rokok putih itu pandangannya membayang kosong ke cakrawala yang gelap. Pappa… Bambang Tristam tidak bisa memahami betapa bodohnya tindakan sang Pappa yang terus mengusik seseorang padahal jelas di belakangnya ada kekuatan setinggi JendralEstianni Rahayu Rasmintho yang dalam komadonya bernaung limabelas ribu tentara. Anggota divisi kelima Angkatan Darat yang tidak suka di ganggu.

                “Mas Bambang… kau baik-baik saja, sayang ?”

                “Oouww… seperti yang kau lihat, sayang. Keadaanku sedang sangat tidak baik.”  Bambang Tristam menyambut Lutik Astri yang ngelendot dalam rangkulannya. Dan memberikan satu kecupan setelah menyemburkan asap rokok yang terakhir.

                “Oouuw… sayang. Aku turut bersimpati dengan musibah keluargamu. Andai aku bisa melakukan sesuatu untuk membantu kalian. Apapun akan ku lakukan, sayang. Kau tinggal mengatakannya.”

                “Makasih… sayang. Itu sangat membantu. Tapi untuk saat ini, kehadiranmu disini sudah sangat membantuku.”

                “Tentu… sayang. Aku akan selalu berada di dekatmu di masa-masa sulit ini.”  Lutik Astri mengeratkan pelukannya dan memberi kecupan balasan dengan hangat. Kini Bambang Tristam tidak menerawang lagi menatap cakrawala kosong yang gelap. Karena di dekatnya sudah ada Lutik Astri. Astri yang cantik dengan leher jenjangnya yang putih mulus. Gaun malamnya yang dengan bahu terbuka menampakkan sekelumit bagian atas dada wanita yang lembut menonjol. Bagaimanapun itu telah membuat Bambang Tristam meneguk air liur sendiri. Lutik Astri kembali memeluk pacarnya. Memberikan ciuman hangat hingga mereka memutuskan untuk duduk bersanding di bangku kosong di sudut balkon. Kebetulan malam itu lagi sepi. Walaupun rumah sakit itu lebih dari setengah kamarnya sudah di boxing pasien. Lutik Astri terus merebahkan kepalanya di bahu Bambang Tristam yang membalasnya dengan rangkulan di bahu. Ada setengah jam lebih. Mereka hanya duduk bersandar tanpa berkata apa-apa. Pikiran Bambang Tristam membayang kemana-mana ketika akhirnya Lutik Astri berkata.

                “Bagaimana cerita sesungguhnya sampai Mamma-mu anfhall seperti ini, sayang ?”

                “Ini semua gara-gara Pappa. Dulu Mamma terkena stroke stadium dua juga karena Pappa selingkuh dengan partner business-nya. Sekarang Pappa bikin sensasi lagi dengan mengusik keluarga besar Nyonya Panglima JendralEstianni Rahayu Rasmintho.”  Bambang Tristam menoleh pada Lutik Astri dengan tatapan jengkel. “Pappa menghilang untuk yang terakhir kalinya setelah perseteruan di Wisma Bhayangkara. Sejak Pappa tidak kembali malam itu Mamma menjadi cemas dan sakit seperti ini.”

                “Dan… dimana Pappamu sekarang ?  Apa dia sudah tahu kalau Mamma-mu sekarang ada di rumah sakit, Mas…?”  Tanya Lutik Astri masih bermanja-manja di bahu pacarnya.

                “Aaach… kalau saja aku tahu sekarang.”  Bambang Tristam menjawab dengan ragu-ragu. “Tapi aku tidak akan terlalu penasaran kalau ini sudah menyangkut kepentingan Bosma. Pappa memang terlanjur bersalah. Aku sudah tidak perduli lagi seandainya karena itu Pappa tidak kembali. Tapi… Mamma.”

Bambang Tristam menjadi luruh dalam kekecewaannya. Astri jadi tersentuh dan menegakkan badannya untuk mensejajarkan wajah mereka. Membalas rangkulan Bambang di bahunya dan membelai wajah lusuh Bambang yang terkena pantulan sinar lampu balkon. Lalu dengan lembut dia kembali mengecup bibir pacarnya.

                “Jadi Mamma-mu belum tahu semua ini, dan… masih mengharap ?”

                “Begitulah Mamma. Dia lebih rela menyakiti dirinya sendiri ketimbang membuat Pappa marah. Padahal jelas itu semua kesalahan dari Pappa. Setelah mendapat beberapa kesulitan karena skandal perselingkuhan itu. Karena pangkat dan jabatannya tidak memungkinkan lagi menutup-nutupi skandal pribadinya di hadapan teman-teman sejawatnya dan para atasannya. Dan kalau bukan karena keberuntungan. Pappa terpilih menjadi Kepala Kanwil Kepolisian kota karena tugas khususnya melindungi keluarga Andhre Permana Himawan. Tapi dengan syarat mutlak…, riwayat masa lalunya harus bersih. Tidak boleh cacat. Kenyataan itu memaksa Pappa untuk menyingkirkan skandal cintanya dengan janda muda. Tapi anehnya setelah itu… Mamma masih menerima Pappa dengan tangan terbuka.”

                “Mungkin memang itu sudah menjadi sifat Mamma-mu karena besar rasa cintanya. Dan itu lumrah dalam sebuah ikatan cinta yang tulus. Sayang-nya arti ketulusan yang di sadari Pappa-mu berbeda dengan besar pengorbanan Mamma-mu.”  Astri memberikan pandangannya.

                “Apapun itu bagi aku tetaplah menjengkelkan. Seharusnya Pappa tidak menyalah artikan kesetiaan Mamma seperti itu. Dia hanya memikirkan kesenangannya sendiri sementara dia biarkan isteri yang harusnya dia cinta menderita sendirian.”

                “Yang terpenting sekarang… bukankah mencari waktu yang tepat untuk memberitahu Mamma-mu, kemungkinan Pappa-mu tidak kembali lagi ?”  Astri bertanya sembari membelai wajah Bambang Tristam.

                “Entah apa saat sekarang ini… Mamma siap untuk itu.”

                “Kau yang harus mencari waktu yang tepat, sayang… sebelum nanti Mamma-mu terlalu jauh memikirkan kehilangan ini dan membuatnya semakin sakit.”  Astri terus mengusulkan.

                “Aku tidak tahu, Astri… tidak tahu.”

Mereka melanjutkan bincang-bincang itu sampai larut malam. Bahkan kemudian Safitri memutuskan untuk pulang lebih dulu dengan mobil Honda Allnew Jazz a/t seharga duaratus duapuluh jutaan miliknya yang telah dipakai mengantar Lutik Astri. Bahkan Astri bermaksud mengantarnya sampai ke lobby, tapi ditolak dengan baik oleh Safitri. Dia tidak ingin Astri meninggalkan pacarnya dalam keadaan seperti sekarang ini. Setelah kepergian Safitri, Bambang menutup pintu apartement kembali. Di dapatinya Nyonya Lucia Wulan Wibawa sendirian menonton acara teve yang ada di sudut ruangan itu. Tamu-tamu nyonya Lucia Wibawa sudah pulang lebih sore lagi.

                “Astri… kalau kamu capek, tidur gih… di kamar sebelah. Temani Bambang yang sejak pagi pontang-panting ngurusin Tante dan Omm-mu nggak istirahat. Lihat mukanya yang kusut dan mengantuk. Tante nggak sampai hati melihatnya.”  Nyonya Lucia Wibawa menyarankan.

                “Tante sendiri… apa masih ada keluhan-keluhan.”

                “Sekarang keadaan Tante sudah lebih enakan. Hanya… Tante belum bisa istirahat dengan jenak sebelum tahu pasti keadaan Omm Bagus. Sudah empat hari ini Omm-mu Bagus pergi dan tidak ada kabar. Tante menjadi sedih. Tante cemas… kalau, Omm-mu Bagus kenapa-kenapa di jalan.”

                “Astri yakin… Omm Bagus baik-baik saja. Hanya sekarang ini belum saatnya memberi kabar kepada Tante. Mungkin karena tugas-tugasnya yang memaksa Omm Bagus harus memutus hubungan sementara dengan keluarganya. Bukankah… tidak sekali ini saja Omm Bagus menjalankan tugas rahasia. ?”  keyakinan Lutik Astri memberikan dukungan.

Nyonya Lucia Wulan Wibawa memperhatikan calon menantunya sejenak dan melihat sudah tidak ada Bambang di ruangan itu. Kemudian dia meraih tangan lembut Astri. Memberi isyarat pada Astri untuk mendekatkan wajahnya untuk berbisik.

                “Tante mendapat bisikan… kabarnya Omm Bagus di tangkap oleh dinas keamanan Bosma Cabang Jawa bagian Timur saat menjalankan tugas pengusutan kasusnya. Apa itu benar ?”

                “Darimana Tante mendengar kabar seperti itu.”  Astri pura-pura terkejut.

                “Pokoknya Tante pernah mendengar berita itu sebelum Tante Anfhall dan stroke Tante kambuh. Berita itu sangat mengejutkan dan Tante sama sekali tidak percaya. Tante sangat mencintai Omm Bagus, Astri. Dan… Tante tidak pernah lupa berdo’a setiap melakukan sholat malam agar Omm Bagus selalu di lindungi oleh Hyang Maha Kuasa setiap menunaikan tugas-tugas negara. Tante akan sulit menerima kalau ternyata justeru… akhirnya Omm Bagus di khianati institusinya sendiri karena sebuah kejahatan yang sama sekali tidak dia lakukan.”

                “Tante tenang saja. Pasti Omm Bagus tidak apa-apa. Percaya sama Astri… Tante.”

Lutik Astri meninggalkan meninggalkan kamar perawatan Nyonya Lucia Wulan Wibawa dengan perasaan penuh simpati. Nyonya Lucia Wibawa memang tidak siap untuk menerima kabar buruk. Kesehatannya terbilang sangat rapuh dan hanya sanggup menerima kabar yang baik-baik saja. Jadi sebaiknya Bambang Tristam memang tidak usah menceritakan keadaan yang sesungguhnya. Lutik Astri, gadis metropolis gaul dengan setelan gaun sleeveless draperi dengan aksen batu dari Velvet d’Olive yang di padukan denga rock mini denim beraksen swarovski merk Phillip Plein dan charm bracellet. Dengan sepatu high stepper aksen Stud dari J.Lo d’Linea, akhirnya meninggalkan nyonya Lucia Wulan Wibawa yang sedang mencoba untuk tidur. Menemukan kekasihnya yang merana sendirian di atas ranjang bilik pengantar yang hanya berukuran singlebed. Menutup pintu bilik itu kemudian dari dalam, lalu Lutik Astri menghampiri kekasihnya di sudut ranjang. Bambang Tristam tenggelam dalam permenungannya sendiri, sampai-sampai tidak menyadari kehadiran kekasihnya sendiri di kamar itu. Hingga kemudian, terdengar sapaan lembut gadis itu membisikkan namanya dengan merdu.

                “Bambang… nggak ngantuk, sayang ?”

Bambang Tristam tidak punya pilihan lain lagi untuk tidak mengabaikan suara lembut itu, yang sesaat sempat membuat keringat dingin keluar dari pori-pori kulitnya. Padahal jelas ruangan bilik pengantar itu ber-AC.

                “Oouuh… Astri…”  Dan, Lutik Astri pun menyambut senyum kekasihnya yang dipaksakan itu dengan pelukan yang mengharu. Lutik Astri memeluk Bambang Tristam dengan perasaan haru yang berusaha dia kendalikan. Astri mencium pemuda yang sangat dia cintai itu sebagai pelepas kerinduannya dan tanda simpati yang teramat dalam atas musibah yang keluarganya alami. Demikian juga ciuman Bambang Tristam yang mengimbangi permainan kekasihnya. Beberapa saat lamanya Bambang Tristam tidak bisa berkata-kata. Selain dari memandang penuh takjub kecantikan paras ayu Astri. Menikmati kecantikan yang menjadi satu-satunya milik dia untuk menggantikan kesedihan mendalam yang dia derita. Kemudian mencium kekasihnya lagi dengan sisa-sisa kerinduan yang belum tuntas. Bambang menarik badannya dan bersandar di ujung tempat tidur yang menempel pada dinding. Dalam dekapannya Lutik Astri kontan mengikutinya dan dengan seenaknya duduk di atas paha lelaki. Mereka hanya berdua saja di kamar pribadi ini dan semua yang menghuni ruang perawatan penthouse itu maklum dengan hubungan pacaran mereka.

                “Mengapa aku harus mengalami goncangan yang seberat ini, Astri… sayang.” 

Sinar lampu kamar yang menyala terang itu menerawang wajah Lutik Astri yang tersenyum manis, tersungging di sudut bibir merah Astri. Gadis berhidung mancung layaknya fotomodel Titi Kamal itu berbisik lembut dalam pelukan Bambang Tristam.

                “Aku tahu… sayang, tapi yakinlah… aku disini ada hanya untuk membuatmua tenang dan nyaman. Walau mungkin tidak akan merubah apapun yang sedang keluargamu derita.”

                “Makasih… sayang, bagiku… ini sudah lebih dari cukup. Kehadiranmu seakan memberi angin segar dan membuatku semangat lagi untuk berfikir. Memang kau benar, tidak akan ada yang sanggup merubah semua takdir ini. Pappa sudah bertindak terlalu jauh dengan mengusik orang-orang tidak tersentuh seperti keluarga nyonya Pangko Daerah Militer Jawa V Mayjen infanteri Estianni Rahayu Rasmintho itu.”  Kata Bambang Tristam mengungkapkan kegelisahannya dengan berterus terang. Sembari mempermainkan belahan terindah bagian dari tubuh wanita yang sangat bersahaja ini. Bagian yang membusung begitu padat dan kenyal, tersembul dari atas gaun sleeveless draperi dengan aksen batu dari Velvet d’Olive. Beberapa waktu mereka tenggelam dalam keheningan. Bambang Tristam berusaha keras terlihat sedang senyum bahagia dalam dekapan kekasihnya. Lalu memberikan sebuah ciuman mesra di bibir Lutik Astri yang mungil namun begitu indah dan menawan.

 

Lutik Astri balas tertawa kecil dan, jari-jemarinya yang mungil itu menyentil ujung hidupng Bambang.  Aaacchh…! Dan dengan gaya bercinta seorang wanita panggilan kelas tinggi Astri memainkan goyangan pinggulnya di atas paha kekasih. Merengkuh wajah kekasih dengan kedua tangannya untuk kembali di cium.

                “Bagaimanapun… yang di lakukan Pappamu itu sudah terlanjur terjadi, sayang… kita tidak bisa mengubahnya. Tinggal dirimu sendiri untuk kuat menghadapi semua ini. Masih ada beban berat di depan daripada hanya menyesali yang sudah terjadi. Nyonya Lucia Wulan, Mammamu… Bambang. Beliau sangat membutuhkan bantuan dan dukunganmu untuk bisa melalui semua ini.”

                “Aku memang tidak boleh cengeng, Astri…”

Lutik Astri memberi kecupan singkat di bibir manis Bambang Tristam, lalu dia berkata. “Kalau begitu buktikan sekarang bahwa kau lelaki yang kuat. Aku akan mendukungmu dengan sepenuh hati. Kita akan bisa melalui semua ujian ini. Pasti.”

                “Iya… sayang.”

Aaacchh…!  Persetan dengan nasib Kombes polisi Bagus. Pappanya sendiri itu. Yang terpenting kini Bambang Tristam sudah mendapatkan kembali kenikmatan yang membangkitkan hasrat berahi dari sang kekasih. Sekarang kerinduannya telah terlampiaskan di sebuah bilik sempit dalam ruang perawatan penthouse Rumah Sakit Bhayangkara ini. Akhirnya sebuah samodera gelombang asmara yang di bakar api berahi selesai sudah mereka arungi berdua. Namun berarti itu akhir dari suatu pelayaran. Malam belum terlalu larut, masih banyak waktu untuk berlabuh dan berlayar lagi. Lutik Astri masih berbaring di ranjang empuk singlebed berbahan busa yang bagai gelombang lautan elastisitasnya. Sekujur tubuhnya masih bersimbah peluh. Sama dengan Bambang Tristam yang terbaring lunglai di sisinya. Selembar selimut bulu membungkus tubuh mereka berdua yang mash penuh dengan gairah itu. Bambang Tristam merengkuh Lutik Astri, mengusap rambutnya sambil menatap lekat-lekat. Lelaki tampan itu juga bersimbah dengan peluh kemesraan. Bisikan Lutik Astri kemudian terdengar begitu jelas, seraya membangkitkan gairah Bambang Tristam kembali untuk mencium dan mendekapnya kuat-kuat.

                “Berjanjilah padaku… sayang, kita akan kuat menghadapi semua ujian ini bersama-sama. Bagaimanapun… derita keluargamu adalah penderitaanku juga. Aku membutuhkan seorang Bambang Tristam yang kuat dan tegas untuk menjadi pria yang aku cintai.”

Bambang Tristam menyunggingkan senyum yang mempesona. Mengerti kemana tujuan perkataan Lutik Astri ini. “Tentu… Astri, sayang. Demi kau aku akan berusaha untuk kuat menghadapi semua ini. Mohon jangan tinggalkan aku sekerdipan mata sekalipun. Hanya dengan bersamamu aku merasa kuat.”

                “Makasih… sayang.”

Gadis cantik bermata kebiru-biruan dengan bibir mungil yang indah itu tersenyum manis. Membangkitkan debar-debar aneh di dada. Bambang Tristam menciumnya. Bambang menggulingkan tubuhnya ke samping, dan kini menelentang dengan pandangan mata yang lurus menatap lurus pada langit-langit kamar. Di gantikan Lutik Astri yang menggeliat. Memiringkan badannya sehingga dapat bermain dengan bulu-bulu halus yang menghampar menumbuhi dada atletis Bambang Tristam. Suara yang begitu pelan, bagai seseorang yang tengah menekuni bisikan-bisikan halus yang memenuhi hatinya.

                “Hhmmmhh… kita akan bisa melakukan ini setiap saat manakala telah menikah nanti, sayang. Kita akan menempati sebuah rumah estate yang mungil, dengan suara tawa bayi mungil yang lucu. Pasti bahagia sekali, ya… ?”

                “Tentu, Astri… sayang.”  Tangan Bambang Tristam mengusap pipi cantik Lutik Astri. Dia tahu hati kekasihnya begitu di belai perasaan bahagia, dan Bambang tidak mau mengganggunya dengan kesedihan. “Masa itu akan datang untuk kebahagiaan kita berdua yang abadi. Setelah kita sama-sama lulus sekolah dan mendapatkan kesempatan bekerja yang mapan. Kita akan punya cukup modal untuk menikah dan membangun sebuah rumah mungil di estate. Segera, sayang… segera.”

 

Sebagai respon pemerintah terhadap fakta-fakta publik yang ramai di ulas dalam perbincangan Media. Mabes Kepolisian Negara telah meluncurkan operasi serse Econcyber. Kejahatan ekonomi dan kejahatan dunia cyber. Langsung dibawah Kasrena Kepala Kepolisian Negara Inpektur Jendral polisi Nawawi Tri Harjanto. Team dari Markas Besar itu berjumlah limabelas orang. Sembilan bintara bareskrim, empat perwira menengah dan dua orang perwira tinggi. Yaitu Irjen polisi Nawawi dan Waka Bareskrim Irjen polisi Soegondho Arghanatta yang mengemban perintah langsung dari Tuanku Baginda President Albertinus Senno Suhastommo. Menggunakan sebuah pesawat polisi jenis Cassa N-235 yang di awaki pilot-pilot Polairud. Di jemput secara rahasia oleh rombongan Kepala Polda Irjen polisi Sukardjo Sudjatmoko langsung di hanggar Tarmak Denharsabang Lanud Angkatan Udara Abdulrachman Saleh. Atas permintaan Irjen polisi Sukardjo Sudjatmoko pula, Kepala Resort Kepolisian Metro Malang, Ajun Kombes polisi Inoki Wasis Jatmiko sudah mempersiapkan satu satuan setingkat kompi Pamapta Resort Malang. Bergabung dengan sekitar duapuluh personel Polda yang mengawal perjalanan Irjen polisi Sukardjo Sudjatmoko dan penumpang Pesawat Cassa N-235 yang datang dari Jakarta.

 

Briefing singkat di adakan di hanggar Tarmak Denharsabang yang di pinjam dari skuadron Saber Udara. Irjen polisi Nawawi diperkenalkan kepada Ajun Kombes polisi Inoki Wasis Jatmiko sebagai komandan lapangan wilayah hukum yang akan di adakan penangkapan. Mendapat kesempatan bekerjasama dengan orang-orang dari Pusat. Tentu sesuatu hal yang sangat membanggakan bagi Ajun Kombes polisi Inoki. Yang selama ini kalah jauh pamornya dengan Komandan Kanwil Kepolisian kota Kombes polisi Bagus Wibawa. Padahal keduanya boleh di bilang satu almamater Akpolisi

                “Senang bisa membantu operasi yang sedang di jalankan oleh Pusat, Jendral Nawawi.”  Kata Ajun Kombes polisi Inoki Wasis Jatmiko menyalami dengan semangat. “Ketika Jendral Sukardjo menelephone, saya hampir tidak percaya mendapat kehormatan seperti ini. Terlibat dalam operasi rahasia oleh Pusat. Wah… ini sangat luar biasa. Jadi… apa tepatnya peran saya disini.”

                “Pertama…”  kata Irjen polisi Nawawi memulai pemaparan tugasnya. “Kita disini akan terlebih dulu meluncurkan operasi pemantauan. Kita disini mempunyai enam sasaran yang harus di tangani secara akurat. Tuanku Baginda President Albertinus Senno Suhastommo tidak ingin di permalukan kali ini. Harus ada tersangka yang bisa di ekspose ke tengah masyarakat luas untuk meredam kemarahan rakyat terhadap kasus perampokan asset negara oleh HSW Limited. Apakah ajun Komisaris besar Inoki sudah menerima pesan saya untuk terus mengikuti rutinitas kegiatan enam mantan dewan direksi HSW Limited yang juga anggota dewan komisaris HSW itu ?”

                “Oouuww… ya. Tentu saya sudah memerintahkan anggota Satreskrim Resort saya untuk melakukan pengawasan ketat beberapa hari ini. Kebetulan rumah dinas mereka saling berdekatan di luar kantor administrasi Himawanputra Steel Work Limited. Dan mereka belum tahu kalau tuan Andhre Permana Himawan dan keluarganya telah di ungsikan keluar Malang saat ini.”

Irjen polisi Nawawi Tri Harjanto mengangguk-angguk dengan perasaan senang. Tindakan ajun kombes polisi Inoki Wasis Jatmiko telah meringankan tugasnya. “Bagus… jadi sekarang kita bisa melanjutkan ke tahap dua. Yaitu mengamankan para tersangka dengan penjemputan yang cepat, terkoordinasi, dan jangan sampai ada kesalahan. Mereka adalah orang-orang tua yang terhormat. Jadi saya kira tidak akan ada perlawanan yang berarti.”

                “Yyaa… Jendral Nawawi. Saya rasa juga begitu.”  Pendapat dari Irjen polisi Sukardjo Sudjatmoko selaku petinggi Polda yang mendukung pandangan dari Kasrena Kepala Kepolisian Negara ini. “Jadi apa kita bisa bergerak sekarang… supaya kasus ini cepat kelar dan kita bisa kembali ke tugas masing-masing.”

Setiap akhir pekan, di kawasan kantor administratif Himawanputra Steel Works Limited yang megah di Malang Utara. Para senior direksi sering mengadakan acara kumpul bersama. Mereka biasa mengadakan acara wisata kebun dengan pesta-pesta barbeque, minum-minum sembari menikmati suasana taman di club perusahaan. Tapi hari ini para senior direksi itu tidak seperti biasa. Mereka berada di club sengaja demi alasan keamanan yang di atur oleh bagian security perusahaan. Minggu ini rencananya ada sekitar limaribu mantan karyawan HSW Limited yang akan berunjuk rasa menuntut dibayarnya uang pesangon mereka. Perusahaan ini sudah resmi berhenti beroperasi. Malah kepemilikan asset perusahaan juga sudah berpindah ke beberapa Bank multinasional yang melakukan penyitaan asset sebagai penjaminan hutang. Para senior direksi masih tetap tinggal dan seharusnya juga keluarga Andhre Permana Himawan, hanya sebagai bentuk tanggung jawab moral mereka untuk menyelesaikan beberapa urusan. Bahwa dengan kebangkrutan yang tiba-tiba ini mereka denga mengatas namakan kehormatan tidak akan melarikan diri.

 

Orang-orang tua itu mulai gelisah ketika sampai sesiang ini ternyata justeru tuan Andhre Permana Himawan sendiri tidak tampak batang hidungnya. Dan mereka sama sekali tidak tahu soal drama pelarian tadi malam. Saat ini halaman depan kantor administratif HSW Limited sudah di barikade oleh sekitar duaratus anggota polisi. Gabungan dari Resort kepolisian Metro dan Kanwil Kepolisian kota di bawah komando Ajun Kombes polisi Teguh Hartanto, Waka Kanwil Kepolisian kota Metro Malang. Mereka sedang bersiap-siap menghadang aksi unjuk rasa ribuan mantan karyawan HSW Limited yang sedang termobilisasi di depan kantor Parlemen Kotamadya Malang. Tidak ada yang bisa dibagi untuk mereka. Karena investor-investor besar yang menggunakan tangan-tangan birokrat kelas atas telah terlebih dulu menguasai asset-asset perusahaan melalui Bank-Bank yang mereka percaya. Sebagian dari orang-orang terhormat yang terjebak dalam club taman wisata di dalam komplek perusahaan itu adalah teman-teman dekat Don juan Sonny yang disebut The Big Five. Dan mereka semua masih sangat percaya Don juan Sonny akan muncul menyelamatkan muka mereka.

 

Tuan Dr. Mamman Supratman MEc, MBA, Ph.D, yang adalah wakil ketua dewan komisaris tampak paling sibuk menenangkan teman-teman kantornya yang panik, dalam rapat negosiasi. Dia di anggap orang paling senior di organisasi dan yang kata-katanya di dengar setelah kekuasaan mutlak tuan Andhre Permana Himawan. Tuan Dr. Mamman Supratman sebagai ketua senior, memang bertindak menjadi pimpinan rapat. Bersama dengan kepala Internal Security HSW Limited Kompol purnawirawan polisi Wahyu Saronto, S.Ad, dan Waka Kanwil Kepolisian kota Ajun Kombes polisi Teguh Hartanto mewakili Kombes polisi Bagus Wibawa yang saat sekarang di bebas tugaskan. Dalam rapat negosiasi yang sengit. Para anggota senior dewan direksi HSW Limited mengajukan protes-protes yang pedas berkaitan dengan keputusan perusahaan menjaminkan semua asset untuk penyitaan Bank. Umumnya para orang tua ini mengeluh atas pelayanan tidak seperti biasanya yang mereka terima dari bagian pelayanan teknis perusahaan. Mereka menuntut di hadirkannya tuan Andhre Permana Himawan sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas kebangkrutan ini. Dan kenyataannya hal itu tidak sanggup di wujudkan. Kediaman resmi keluarga Himawan yang paling besar diantara komplek perumahan pejabat senior perusahaan telah kosong.

 

Hanya ada seorang tukang kebun yang tidak tahu-menahu persoalan mereka, dan kemana keluarga Himawan itu telah pergi. Kemudian datang lagi pasukan bantuan yang menggabung ke barikade polisi di depan perusahaan. Bersama bantuan konvoi besar itu ikut pula Kepala Polda Irjen polisi Sukardjo Sudjatmoko yang membawa rombongan jendral-jendral dari Pusat. Sedang pasukan bergabung di luar, Irjen polisi Sukardjo dengan rombongan jendral-jendral polisinya dikawal masuk dengan motor-motor patroli besar CBR-1000 dan mobil patroli Suzuki New Baleno Euro-3 dengan Strobo sirent-light sebagai pembuka jalan.

                “Gentleman… atas nama hukum dan keadilan, kalian semua yang berada di ruangan ini kami tahan dengan status tersangka. Kami membawa surat perintah penahanan untuk kalian dan selama dalam proses penyelidikan nanti kalian akan di dampingi oleh para pengacara yang di tunjuk perusahaan. Penolakan atas penahanan ini hanya akan menimbulkan reaksi tindakan tegas aparat yang mungkin akan melukai diri kalian sendiri… Mohon tenang, Gentleman. Kami akan mempersiapkan buss evakuasi untuk kalian.”   Kasrena Kepala Kepolisian Negara Inpektur Jendral polisi Nawawi Tri Harjanto kemudian menyatakan.

                “Apa-apaan ini… apakah sekarang kami menjadi pihak yang akan di korbankan.”  kepala Internal Security HSW Limited Kompol purnawirawan polisi Wahyu Saronto, S.Ad, kontan bangkit memprotes pernyataan dari jendral bintang dua polisi itu. Yang menurutnya sama sekali tidak berwenang melakukan tindakan ini. Dan kemudian pandangannya tertuju pada Waka Kanwil Kepolisian kota Ajun Kombes polisi Teguh Hartanto dengan tatap mata menuduh. “Apa ini bentuk dari pengkhianatan institusi anda Komisaris besar.”

                “Jangan salah paham, Wahyu… aku sama sekali tidak terlibat dengan situasi ini. Aku tidak di beritahu apa-apa sebelumnya. Kalau saja mereka bisa menjelaskan kepadaku sebelumnya. Apa maksud semua ini.”  Kata Ajun Kombes polisi Teguh Hartanto menyatakan pembelaannya.

                “Jika tahu akan begini… sudah lama kami tinggalkan business neraka ini.”  Tuan Dr. Mamman Supratman ikut menghujat.

Tapi semua sudah terlanjur. Mereka sudah tidak bisa berkutik karena gedung club taman wisata perusahaan itu sudah di kepung. Lagi pula usia mereka yang sudah uzur tidak memungkinkan untuk melakukan perlawanan. Transbuss pariwisata yang disediakan untuk mengangkut mereka di pinjam dari perusahaan HSW Limited sendiri. Sekitar tigapuluh orang penumpang. Terdiri dari enam anggota senior dewan direksi HSW Limited beserta isteri, dan masing-masing tiga anak-anak mereka yang ikut berkumpul di club taman wisata perusahaan ini. Di kawal ketat oleh limabelas bintara Bareskrim Kepolisian Negara. Rombongan konvoi petinggi Kepolisian Negara itu kemudian di dahului oleh motor besar pengawal CBR-1000 dan Suzuki New Baleno Euro-3 dengan Strobo sirent-light menjadi pembuka jalan. Di ikuti sebuah kendaraan taktis Pansher lapis baja Barracudha yang di kemudikan oleh anggota Garinmob Polda. Garnesun Infanteri Mobil. Satbrimobda Polda Jawa bagian Timur. Diikuti Transbuss pariwisata yang membawa para tersangka dan selanjutnya para petinggi Kepolisian Negara. Bahkan Ajun Kombes polisi Teguh Hartanto yang secara garis politik berpihak pada Kombes polisi Bagus menjadi tidak berkutik sama sekali untuk melindungi mereka. Pangkat dan jabatannya sendiri jauh dibawah mereka yang datang dengan perintah langsung dari Hyang Mulia Tuanku Baginda President Albertinus Senno Suhastommo.

 

Jalan utama dari kawasan toll Sediyatmo menuju Bungallow Kediaman resmi Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke di bukit Penjaringan penuh dengan kendaraan-kendaraan Niaga. Mobil-mobil para pekerja kantor yang harus keluar kota untuk urusan business-nya. Dan semakin dekat ke kota semakin padat. Tapi raungan sirine motor-motor besar Honda Goldwing-1000 anggota Puspom-Saber dan mobil pengawalnya menyibak kepadatan jalan lancar. Limousinne allnew Volvo S-80 mengikuti konvoi memacu dalam kecepatan tinggi meninggalkan Pangkalan militer rahasia Bosma. Bergerak teratur dalam kecepatan tinggi ini merupakan prosedur keamanan baku untuk pengawalan pejabat militer yang penting seperti Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke. Delapanpuluh orang petugas yang mengawal perjalanan Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke. Duapuluh  empat petugas Puspom Saber unit pengawal bermotor, duapuluh empat pengawal bersenjata unit anti serangan dengan tiga mobil Ford Escape bak terbuka yang dilengkapi dengan kabin kanvas dan tempat duduk belakang.

 

Dan tigapuluh dua agen pengawal pribadi berpakaian sipil menggunakan dua unit mobil VW Transporter 1.896cc. Tiga unit mobil Nissan Terrano Kingsroad dengan Strobo blue sirent-light yang menyala. Dan satu mobil unit Senhub Toyota Hillux Minor Change. Cuma dua kilometer lagi. Bukit Penjaringan dengan pagar beton yang mengelilingi area Bungallow Kediaman resmi Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke. Menyerupai tembok besar Chinna yang melata empat sisi membelah bagian bukit dengan lembah di sisi jalan toll Sediyatmo. Hampir seratus acre luasnya. Di potong dengan pilar-pilar beton yang bagian atasnya menjadi dudukan sistem anti rudal sepasang senjata enam laras kaliber 20mm dengan sistem Gatling M-61 Vulcan. Di tuntun dengan radar deteksi serangan AN/APQ-180. Senjata ampuh ini mampu menembak jatuh rudal anti tank Eryx dan Brimstone yang di tembakkan dari luar pagar.

                “Sigma-satu pada support airtwo… Sigma-satu pada support airtwo… kalian mendengarku, ganti.”  Pimpinan satuan kawal Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke yang menumpang Nissan Terrano Kingsroad berbicara dengan komunikasi radionya. Salah satu unit pengawal udara yang ikut menjaga kenyamanan perjalanan mereka adalah dua helikopter UH-60 Blackhawk yang berputar-putar secara bergantian di udara. Lengkap dengan enambelas anggota pasukan Saber bersenjata lengkap yang mengikatkan tubuh mereka dengan sabuk pengaman di pintu sliding helikopter.

                “Airtwo pada Sigma-satu… suara anda kami dengar dengan jelas. Kondisi lalu lintas malam ini aman. Ganti.”  Suara balasan dari komunikasi radio di seberang sana.

                “Sigma-satu pada support airtwo… laporan anda bisa kami terima dengan jelas. Kondisi jalan malam ini aman.”

                “Kita tidak akan mendapat kesulitan, kapten ?”  pengemudi mobil pengawal Nissan Terrano Grandsroad itu bertanya.

                “Kelihatannya begitu. Laporan dari udara juga tidak menunjukkan adanya ancaman yang berarti. Mereka bilang kondisi lalu lintas akan aman-aman saja.”

                “Kalau toh akan ada serangan, pasti patroli udara itu sudah memergoki mereka.”

                “Ada kemungkinan serangan dari pesawat tempur lawan ?”  pengemudi Nissan Terrano Grandsroad itu menanyakan kemungkinan terburuk.

                “Jangan paranoid kamu… Angkatan Udara tidak akan mungkin berani menerbangkan satu pesawat saja dari pangkalan mereka. Karena jelas akan di tembak jatuh oleh skuadron pertahanan udara Saber. Di pangkalan mereka sendiri. Lebih dari itu ada lima chek point stasiun radar pelacak serangan udara yang di hubungkan dengan sistem rudal terpadu. Rudal-rudal AIM-7 Sparrow, dan  AN/ALQ-99E Tactical Jamming Package. Peluncur rudal-rudal AIM-132 Asraam/Advanced Short Range to Air Missile  buatan Inggris, BAe-Sky Flash yang setara dengan AIM-7 Sparrow dan Stringer. Peluncur rudal-rudal Seacat, Rapier, Stringer atau senjata mesin ganda kaliber 20mm jenis M-61 Vulcan dengan sistem Gatling. Yang memiliki sistem operasional hidrolis dan ditembakkan secara elektris. Dengan daya serang hingga 6.600 putaran peluru permenit.”

                “Yyeaa… saya kira anda benar.”

Tahu-tahu dari kegelapan angkasa mereka di dekati oleh sebuah pesawat Learjet Phenom 100 milik seorang Pangeran dari Lebanon. Pesawat baru mengudara dari Bandara International Soetta-Cengkareng dengan registrasi yang resmi. Di laporkan keberadaannya pada otoritas penerbangan sipil dengan tujuan selanjutnya ke Brunei Darrussallam. Sebuah rudal antitank Brimstone diluncurkan dan langsung menghantam Panther Smart Hi-Grade putih Puspomdam di barisan konvoi paling depan. Bunga api mengembang di udara dan mobil Panther pengawal itu bagai di hujamkan ke udara. Gemuruh ledakan sampai memekakkan telinga. Situasi panik dan menjadi kacau. Barisan mobil Nissan Terrano Kingsroad pengawal di depan banting stir berusaha menghindari ledakan yang hebat. Di ikuti mobil-mobil lain dan juga Limousinne allnew Volvo S-80 Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke.

                “Sigma-satu… may day… may day… kami mendapat serangan… ulangi… kami mendapa serangan…”

                “Apa kita bisa mencapai kawasan bukit Penjaringan sebelum serangan itu kembali, kapten ?”

                “Pacu saja mobilnya. Kalau bisa mencapai Penjaringan, kita akan terlindungi oleh sistem pertahanan anti rudal Pangkalan Saber disana. Ini satu-satunya peluang kita.”  Pendapat kapten pimpinan satuan pengawal itu berusaha untuk tidak panik. Semua motor besar pengawal Honda Goldwing-1000 kini mundur mengapit posisi Limousinne lapis baja Volvo allnew S-80 yang ditumpangi keluarga Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke dari perjalanan balik ke Bandung. Sebenarnya untuk perjalanan jauh seperti ini akan lebih aman kalau mereka menggunakan konvoi pengawalan skuadron helikopter. Tetapi perjalanan udara sangat mudah di hantam dengan roket anti tank milik satuan penyabot elite Rimbasti maupun pasukan Linud KomeRad yang pro Istana. Rombongan mobil-mobil yang tersisa berusaha memacu kendaraan sekencang-kencangnya sambil melindungi posisi Limousinne. Berhenti hanya akan menjadikan diri mereka sasaran empuk serangan rudal berikutnya.

                “Darling… kita akan mati disini, darling…?”  nyonya Mademoiselle BRAj. Farramurthi Isnna ketakutan memeluk rapat bahu suaminya dan Lubertha Ayu di tengah-tengah.

                “Kita harus tenang… sayang. Satuan pengawal itu sudah terlatih menghadapi situasi-situasi darurat seperti ini. Mereka tahu apa yang sebaiknya harus dilakukan. Kita juga punya unit perlindungan udara yang pasti sedang menuju kemari begitu serangan udara ini di beritahukan.”

                “Berharap saja memang begitu, darling… aku tidak ingin menjadi daging panggang di mobil ini.”

                “Pappa… Ayu takut, Ppaa… Ayu takut…”  sekarang giliran Lubertha Ayu yang ketakutan. Jandral besar Bosma Ingenieur Youkke berusaha menenangkan puterinya dengan memeluk mereka berdua sekaligus. Agak sulit mereka bergerak karena ketiganya masih terikat dengan sabuk pengaman jock mobil itu. Di hadapan mereka ada dua ajudan pribadi Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke yang tidak kalah paniknya. Tapi mereka hanya diam tanpa berani mengeluh. Ada kapten infanteri Marria Lukito dan kapten warra Qorry Sandhiorriva.

 

Setelah menghujamkan satu serangan telak pesawat business Phenom 100 itu melesat pergi. Bukan untuk melarikan diri. Melainkan membuat satu putaran lagi untuk melancarkan serangan kedua. Rombongan Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke terus melesat meninggalkan lokasi ledakan. Formasi berlian mobil-mobil pengawal itu melindungi posisi Limousinne allnew Volvo S-80 Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke. Mereka terus melaju meskipun serangan belum berakhir. Berhenti hanya akan menjadikan mereka sasaran empuk serangan pesawat tak di kenal itu. Lagipula Limousinne allnew Volvo S-80 di lengkapi dengan body lapis baja dan kaca anti peluru. Di lengkapi empat roda bertehnologi ran flat. Jadi meski ban pecah mobil ini masih sanggup dipacu hingga jarak 80 kilometer. Tujuan mereka tidak sampai sejauh itu. Rombongan mobil-mobil terus berpacu sekencang-kencangnya dalam formasi ketat. Ini adalah prosedur standar dimana mereka biasa di latih. Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke tahu benar, para pengawalnya ini akan melakukan segala hal yang masih memungkinkan untuk menyelamatkannya.

 

Dan memang untuk itulah mereka selama ini di latih dan di bayar. Brigade kapal selam elite Saber Laut adalah salah satu resimen terbaik dalam institusi Departemen Pertahanan Indonesia yang mendapat fasilitas-fasilitas lebih hanya untuk menjaga keamanan dan kenyamanan pribadi Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke. Termasuk pendidikan bagi unit-unit khusus satuan kawal pribadi sang Jendral. Jalanan besar yang melata di tengah hamparan persawahan dan hutan Mangrove itu cukup ramai lancar. Terutama oleh kebanyakan taksi-taksi bandara dan mobil pribadi yang baru menjemput tamu-tamu dari luar kota. Ledakan pertama yang menghancurkan salah satu mobil pengawal Isuzu Pather Smart Hi-Grade putih Puspomdam dengan Strobo blue siren-light, telah mengacaukan jalanan di belakang mereka. Tapi kendaraan-kendaraan di depan mereka masih merambat dengan rapat. Walau tetap berjalan dengan kecepatan yang cukup tinggi. Ini cukup memberi perlindungan bagi rombongan konvoi pengawalan Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke yang meluncur cepat di antara kendaraan-kendaraan truck dan Transbuss yang lebih besar. Udara malam yang dingin tidak mengurangi rasa gerah para pengawal yang sedang dilanda panik untuk menyelamatkan keluarga Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke sekaligus diri mereka sendiri.

 

Jalanan itu tidak selamanya mulus. Ada kalanya jalanan itu naik dan menurun. Bahkan juga menikung dengan tajam. Tapi karena merupakan rangkaian jalan toll yang dibangun di atas rangka jembatan beton raksasa, belokan-belokan itu menjadi sama sekali tidak terasa. Bahkan ledakan-ledakan hebat yang menggetarkan bumi dengan bunga-bunga api yang membubung tinggi menerbangkan mobil Isuzu Panther pengawal malam itu sama sekali tidak menggoyahkan rangka beton yang menopang jalan toll itu. Dua helikopter patroli milik pasukan elite Saber Udara yang terbang dari Pangkalan militer Sediyatmo sedang melakukan terbang memutar untuk penyisiran. Berada terlalu jauh ke depan hingga melewati kawasan bukit Penjaringan. Bahkan sekalipun saat itu mereka sedang berada di atas rombongan konvoi, tidak akan mampu menahan serangan dari Learjet Phenom 100 buatan Embraer milik seorang Pangeran dari Lebanon itu. Kepanikan yang sama juga sedang terjadi di Mako resimen Brigade kapal selam elite Saber Laut. Di kawasan dermaga pantai Penjaringan yang di pimpin oleh Brigadir Jendral Laut Badril Rezza Smikke.

 

Ada Kasbrigif Kolonel Laut Amanudhin Zein yang sedang bersiaga di Traffic Managemant Centre Markas Komando bersama Danrema Kolonel Laut Rachmat Rahardjo dan Kas Infulahta Brigif Letkol Laut Hasyim Hussein. Enambelas petugas operator OTC atau Ocean Traffic Controll sedang sibuk menghadapi arus informasi data digital yang super canggih. Di hubungkan dengan enam unit layar raksasa di hadapan mereka yang bisa mengontrol berbagai aktivitas di laut, darat, maupun udara di sekitar bukit Penjaringan. Dari OTC ini semua operasi kapal selam di seluruh perairan nusantara di kendalikan. Utamanya gerakan-gerakan kapal di perairan Armada Laut wilayah Barat. Danrema Kolonel Laut Rachmat sedang mengawasi piranti radar udara yang memantau pergerakan seluruh benda-benda yang ada di angkasa. Dan kenyataannya mereka mendapati bahwa pesawat penyerang asing yang sedang berputar untuk serangan kedua itu tidak nampak di layar.

                “Tidak bisakah kita menghantam pesawat sialan itu dengan rudal AIM-132 Asraam/Advanced Short Range to Air Missile yang buatan Inggris itu, atau BAe Sky Flash dari sini…?”

                “Pilot pesawat itu cukup tahu untuk terbang sangat rendah menghindari radar OTC, pak. Kalau posisi rombongan konvoi Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke bisa mencapai gerbang masuk Bungallow Kediaman resmi beliau di kaki bukit, kita bisa menghantamnya dengan Sky Flash yang khusus diarahkan oleh radar deteksi serangan AN/APQ-180 dan bisa menjangkau serangan jarak dekat di darat.”  Petugas dari Ocean Traffic Controll itu menanggapi pertanyaan atasannya.

                “Antara pangkalan udara militer Sediyatmo dan Bungallow Kediaman resmi di bukit Penjaringan ini kita memang hanya bisa mengandalkan perlindungan dari satuan kawal pribadinya sendiri. Kita benar-benar tidak berdaya disini.”  Kata Kas infulahta Brigif Letkol Laut Hasyim Hussein yang secara administratif membawahi OTC ini.

                “Dalam kondisi normal kita bisa meminta bantuan pesawat-pesawat patroli dari Angkatan Udara untuk mengejar penyerang gelap seperti ini. Tapi sekarang, kita justeru sedang berseteru dengan Angkatan Udara gara-gara kampanye politik Tuanku Baginda President Albertinus Senno Suhastommo yang hendak mengambil tentara untuk menindas teriakan lapar rakyatnya sendiri.”  Akhirnya Danrema kolonel laut Rachmat mengeluh pada dirinya sendiri.

                “Katakan pada satuan penyerang mobil lapis baja Humvee yang tengah piket. Aku ingin mereka siap meluncur ke tengah jalan toll begitu rombongan konvoi berhasil mendekat. Kita akan memberikan bantuan perlindungan sebisanya sebelum pesawat asing itu tertangkap radar deteksi serangan darat Sky Flash.”  Kemudian datang perintah dari Kasbrigif Kolonel Laut Ammanudhin Zein.

                “Baik… kolonel.”  Danrema kolonel Laut Rachmat menanggapi perintah atasannya. Yang kemudian menggunakan komunikasi radio HT yang menjangkau hampir seluruh kawasan bukit Penjaringan dan markas Sektro Brimob di seberang jalan toll. “Pengaman 81 disini Rabbite… Pengaman 81 disini Rabbite… ganti.”

Terdengar suara mendesis dari komunikasi radio HT yang digunakan oleh komandan resimen Markas komando kapal selam Saber Laut itu sejenak. Hingga kemudian muncul suara-suara jawaban yang makin di perjelas di seberang sana.

                “Disini Pengaman 81 menerima panggilan… Rabbite. Ganti.”

                “Pengaman 81 bisa diterima cukup jelas… disini Rabbite. D”Crow akan datang dua mill dari barat. Nampaknya badai sedang berarak dari timur dengan cepat. Apa bisa di terima… Pengaman 81. Ganti.”

                “Disini Pengaman 81 menerima informasi cukup jelas. Jaring pengaman akan siap ditebarkan. Apa sudah ada konsolidasi dengan Cadangan 82. Ganti.”  Suara mendesis di seberang sana memberikan jawabannya.

                “Disini Rabbite belum mengontak Cadangan 82. Apa Pengaman 81 sudah ada hubungan. Ganti.”

                “Oke Rabbite… Cadangan 82 baru saja melakukan kontak konsolidasi dengan Pengaman 81. Kami siap bekerja sama segera. Ganti.”

                “Diterima… Pengaman 81. Disini Rabbite memberi lampu hijau. Rabbite out. Ganti.”

Persiapan-persiapan tempur sedang di lakukan baik di balik gerbang tinggi Bungallow Kediaman resmi Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke bukit Penjaringan maupun markas Kosektro Brimob yang menyediakan jasa pelayanan patroli pengawalan untuk keluarga Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke itu. Meliputi unit-unit pengawalan mobil yang menggunakan motor besar Honda Goldwing-1000 hingga mobil Isuzu Panther Smart Hi-Grade putih polantas dengan Strobo sirent light. Dan bisa dengan cepat di alih fungsikan menjadi satuan Counter Strike.

                “Pppaaa…!!!  Pappaaa… Ayu takuuuttttt…!!!” jerit gadis kecil kesayangan Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke itu dalam pelukan Ayahnya. Limousinne allnew Volvo S80 sepanjang hampir sepuluh meter itu masih melaju kencang dibawah pengawalan mobil-mobil pengiring. Menembus kepadatan lalu lintas yang berjalan cukup rapat.

                “Tenang… sayang. Tenang… Pappa disini. Sebentar lagi kita masuk bunker dan aman.”

Yang dimaksud dengan bunker perlindungan adalah area parkir bawah tanah tepat di ujung gerbang masuk Bungallow Kediaman resmi Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke. Gerbang benteng  yang terdiri dari bangunan dua lantai dengan fasilitas lorong pemeriksaan imigrasi dan x-ray scanner. Gerbang penutupnya di lindungi dengan pintu baja setebal limapuluh centimeter yang sanggup menahan terjangan roket. Rombongan penyelamatan itu melewati sebuah truck kontainer yang melaju seenaknya di tengah. Begitu rombongan escape melampauinya, mendadak truck kontainer itu meledak sendiri. Menghempaskan dua mobil pengawal sekaligus ke udara. Sebuah Nissan Terrano Kingsroad dan sebuah Volkswagon Transporter yang penuh pasukan. Kembali situasi dalam kepanikan luar biasa dan kacau. Supir Limousinne banting kemudi ke samping demi menghindari ledakan tidak terduga itu. Kejadian tepat di sisi jalan masuk yang memisahkan jalur toll Sediyatmo dengan arah komplek pangkalan kapal selam komando Saber laut Bosma.

 

Kini posisi Limousinne allnew S-80 menjadi terjebak. Tidak mungkin melaju terus karena jalan masuk ke Bungallow Kediaman resmi Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke terlewati. Berhenti hanya akan membiarkan diri di serang habis oleh pesawat Learjet Phenom 100 yang sudah mulai tampak di kegelapan. Konvoi mobil pengawal sudah kacau balau. Setengahnya hancur kena bom dan yang tersisa nampak berantakan di sana-sini setelah dua ledakan hebat yang mengguncang mereka. Supir Limousinne anggota pengawal Saber Bosma yang berpengalaman itu memutuskan terus melaju. Berharap bisa mencapai belokan putar balik sekitar dua kilometer di depan. Di ikuti sisa mobil pengawal yang masih bertahan melindungi Limousinne allnew Volvo S-80 itu. Tanda bahaya di bunyikan di asrama pengawal Bungallow Kediaman resmi Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke bukit Penjaringan. Operator pertahanan udara mengaktifkan pod peluncur rudal Sky Flash dari stasiun radar komplek Bungallow Kediaman resmi Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke.

 

Sistem radar Sky Flash telah mengunci target pesawat Learjet Phenom 100 yang terbang rendah di ketinggian 200 kaki menghindari pantauan radar dan, dengan kecepatan 550 knots. Tapi sisten radar Sky Flash di rancang untuk menghadapi serangan jarak dekat. Mobil yang meluncur di jalanan saja bisa terdeteksi. Brimstone kedua di luncurkan dengan sasaran penting. Kalau bisa Limousinne allnew Volvo S-80 itu sendiri. Begitu rudal di luncurkan, Phenom 100 langsung jatuh di hantam rudal Sky Flash. Hanya selisih satu meter dari Limousine allnew Volvo S-80 Brimstone meledak dahsyat. Menghantam Nissan Terrano Kingsroad pengawal yang berpacu di belakangnya. Bunga api membubung tinggi menghujamkan Terrano Kingsroad ke udara. Sekali lagi ledakan yang memekakkan telinga. Sempat membuat Limousinne oleng beberapa saat. Dan di rem mendadak. Para pengawal yang masih bertahan berhambur keluar. Menarik senjata mereka dalam waspada.

                “Tanggo-satu di tembak jatuh… ulangi… Tanggo-satu ditembak jatuh… misi berhasil…”  penembak missil di darat telah mengkonfirmasikan keberhasilannya melalui komunikasi radio OTC.

Suasana di Ocean Traffic Controll menjadi ribut. Kebanyakan mereka mengucapkan syukur bahagia karena sekarang pimpinan tertinggi mereka selamat. Danrema Brigif Kolonel Laut Rachmat Rahardjo dan Kas Infulahta Brigif Letkol Laut Hasyim Hussein saling berjabat tangan pertanda keberhasilan. Kasbrigif Kolonel Laut Ammanudhin Zein berpaling kepada Danrema Kolonel Laut Rachmat sambil berkata.

                “Rachmat… sekarang saatnya pasukan penyelamat menjemput Hyang Mulia Jendral. Perintahkan penyisiran menyeluruh atas wilayah Penjaringan dan koordinasi dengan perlindungan udara.”

                “Baik, kolonel.”  Jawab Kolonel Laut Rachmat Rahardjo kepada atasannya dan segera mengangkat komunikasi radio HT di mejanya untuk berbicara dengan koordinator pasukan di lapangan. “Pengaman 81 disini Rabbite… pengaman 81 disini Rabbite… ganti.”

                “Disini Pengaman 81 menerima panggilan… ganti.”

                “Pengaman 81 disini Rabbite… Jalan telah di bersihkan. Kalian diperintahkan bergerak mengamankan D”Crow. Lakukan koordinasi dengan Cadangan 82 dan patroli udara. Ganti.”

                “Disini pengaman 81… kami langsung bergerak. Ganti.”

Di kejauhan tampak Phenom 100 Learjet yang meledak dan rontok di jalanan setelah di hantam rudal Sky Flash. Kompi satuan lapis baja Brimob Kosektro Penjaringan yang kantornya tepat di seberang gerbang benteng bukit Penjaringan merangsek maju ke arah Limousinne terparkir di tengah jalan. Dengan senjata Steyr F-88 terkokang mereka mengamankan sekitar lokasi Limousinne. Detasemen pengawal Saber di Gerbang benteng Bungallow Kediaman resmi Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke mengirimkan belasan mobil lapis baja Humvee dengan penembak senjata mesin M-60 diatas turret-nya yang berjaga siap tembak. Danko Denpatwal Saber Laut yang sedang bertugas, Mayor laut RB. Sugiantorro turun dari Humvee dan mengetuk jendela pintu belakang Limousinne. Tepatnya di sisi Hyang Mulia Jendral besar Bosma  Ingenieur Youkke dengan santai. Di ikuti oleh Kasdenma Mayor laut Gorro Susamto dalam situasi seluruh pasukan Saber yang ikut membentuk pagar betis melindungi Limousinne. Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke menurunkan kaca jendela-nya menanggapi sapaan Danko Denpatwal Saber Mayor laut Sugiantorro.

                “Sekarang anda baik-baik saja, Hyang Mulia Jendral. Bahaya sudah lewat.”  Kata Danko Denpatwal Saber Mayor laut Sugiantorro.

                “Makasih… Torro. Otak penyerangan ini akan menanggung pembalasan yang sangat berat. Sangat berat.”  Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke mengguman dalam nuansa kemarahan yang amat sangat. “Mereka tidak saja mencoba membunuhku. Tapi juga ingin menghabisi Isteri dan anakku.”

                “Anda akan kami kawal masuk, Hyang Mulia Jendral.”

Konvoi lapis baja Humvee merambat maju ke persimpangan toll menuju arah Kosektro Brimob Penjaringan. Di belakang komplek pengawal Brimob itu terdapat jalan melingkar melalui terowongan dibawah jalan toll menuju ke area komplek Bungallow Kediaman resmi Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke di seberang. Kecuali mereka, malam itu juga datang belasan unit Helikopter bantuan. Sejumlah UH-60 Blackhawk dan dua unit serang AH-64 Apache dari pangkalan militer Sediyatmo. Mereka berputar-putar di udara. Menyisir hamparan ladang hijau di sekitar kawasan Penjaringan yang kosong. Kalau-kalau masih ada komplotan penyabot elite musuh yang bersembunyi menunggu kesempatan menyerang dengan rudal Eryx atau RPG. Penyisiran masih dibantu oleh satu detasemen satuan elite Saber Laut Bosma yang berangkat bersama-sama dengan tim penyelamat. Armada mobil lapis baja Humvee yang di dukung oleh kendaraan lapis baja APC Bradley bergerak menyebar ke ratusan hektare ladang kosong bekas areal persawahan yang baru saja di panen masyarakat. Menembus sejumlah jalanan aspal yang membelah areal persawahan itu menjadi beberapa block menuju ke arah perkampungan di pinggir perkotaan sana.

 

Lampu-lampu pembuta yang dipasang diatas Humvee dan Pansher Bradley menyorot kesana kemari sambil  terus melakukan patroli. Sementara dari udara berseliweran helikopter-helikopter penyerang Blackhawk yang di dukung oleh radar deteksi pergerakan di darat oleh AH-64 Apache. Mereka semua dalam keadaan siap tembak. Ibaratnya hanya seekor tikus saja yang berlari di kegelapan itu ratusan moncong senjata akan menyalak. Tidak ada apa-apa. Mereka tidak menemukan penangkap burung yang berlindung dibawah terpal kanvas menunggu mangsanya. Atau pencari kodok yang menyisir selokan-selokan kering sepanjang areal persawahan itu. Mereka seperti sudah mencium adanya keributan dahsyat malam ini. Tetapi kemudian sebuah UH-60 di dekat perkampungan mengeluarkan suara tembakan beruntun ke arah kegelapan. Dalam sekejap saja sudah ada tujuh helikopter lain datang membantu. Armada Pansher APC Bradley nampak sedang berpacu dengan lampu-lampu pembuta di kejauhan. Enam titik pelarian yang melibatkan unit-unit pematau kecil itu segera terlibat dalam baku tembak sengit.

 

Mereka sedang berusaha keras menyelamatkan diri dengan setengah anggota mereka yang terluka parah. Tetapi sangat sulit bergerak dengan tembakan gencar senjata mesin M-60 yang di hujamkan dari penembak Helikopter dan senjata-senjata serbu Steyr yang ikut memberondong mereka dari udara. AH-64 Apache segera ikut campur dan senjata meriam tunggal kaliber 20mm jenis M-61 Vulcan yang menggunakan sistem Gatling. Memiliki sistem operasional hidrolis dan ditembakkan secara elektris. Dengan daya serang hingga 6.600 putaran peluru per-menit. Di sokong dengan sistem radar AN/APQ-180 yang efektif mendukung misi serangan terhadap sasaran di darat. Walau semakin banyak teman-teman mereka yang bergelimpangan mandi darah, sebagian kecil pasukan itu masih berusaha bergerak mencapai perkampungan. Kalau mereka bisa mencapai perkampungan, maka kemungkinan mereka akan selamat sangat besar. Helikopter-helikopter sialan itu akan sulit memantau mereka di tengah-tengah kepanikan warga sipil. Kemudian rentetan tembakan itu mengenai Letkol infanteri Djoko Sardhonno.

 

Komandan Operasi khusus Rimbasti yang mendapat kehormatan memimpin aksi rahasia membunuh pemimpin tertinggi Organisasi Perwira Merdeka, FeGoz. Yang di anggap membuat tentara menjadi tidak tunduk lagi pada politik kekuasaan Tuanku Baginda President Albertinus Senno Suhastommo. Tiga anggota pasukan elite Rimbasti yang bersamanya tersentak dan mengejar tubuh Letkol infanteri Djoko Sardhonno yang mulai jatuh ke tanah persawahan.

                “Pak… anda harus selamat. Kami akan membawa anda keluar dari sini. Hubungi markas… minta bantuan !”

                “Ja… jang… an. Ki… kittt… tta sendiri… an di… sii… nniii…”  Letkol infanteri Djoko Sardhonno berusaha menyatakan dengan terus terang. Ucapan itu membuat ketiga anak buahnya terkejut. Operasi mereka tidak di akui keberadaannya oleh Markas Komando Rimbasti di perbukitan Gunung Puteri/Cibodas.

                “Kalau begitu sebisanya kita mencapai perkampungan itu. Mungkin kita bisa mendapatkan transportasi darurat untuk menyelamatkan anda… Pak.”

                “Tapi tembakan gencar helikopter-helikopter itu tidak pernah berhenti. Kita tidak bisa menghindar lagi.”  Kata seorang anggota Rimbasti yang salah satu kakinya sudah hancur tertembus peluru. Tapi masih berusaha untuk tegar dan menolong atasannya yang sekarat.

Mereka berusaha merayap. Menyeret tubuh Letkol infanteri Djoko Sardhonno yang bersimbah darah itu ke pematang sawah. Mereka berempat terus merayap dengan arah yang sejajar menuju ke perkampunga. Sekitar duaratus meter lagi. Lampu-lampu bulat yang menerangi bagian belakang rumah-rumah penduduk itu sudah mulai nampak. Dua anggota Rimbasti masih mencengkeram bahu Letkol infanteri Djoko Sardhonno yang hampir meninggal dan menyeretnya maju. Helikopter di belakang terus saja berputar-putar mengarahkan lampu pembuta dan membantai setiap orang yang masih bernyawa dibawah sana. Dan tiba-tiba persawahan yang kacau itu menjadi bertambah hingar-bingar. Penyelamatan diam-diam Letkol infanteri Djoko Sardhonno yang semula luput dari perhatian helikopter-helikopter itu di pergoki dari kejauhan oleh radar pendeteksi serangan AN/APQ-180 Apache. Yang segera menembakkan beberapa senjata roket kaliber 7.5 inchi ke sasaran. Ledakan-ledakan itu menghujam deras menimbulkan bunyi yang memekakkan telinga. Di susul dengan jeritan-jeritan yang mengiringi terlemparnya dua tubuh manusia ke atas mengikuti bunga-bunga api yang menerbangkan mereka.

 

Tinggal Letkol infanteri Djoko Sardhonno kini yang sedang meregang nyawa dan seorang anggota Rimbasti yang hancur kakinya. Pecahan-pecahan bom berhamburan di ikuti gumpalan tanah liat dan membaur dengan serpihan-serpihan tubuh manusia yang entah milik siapa lagi. Ledakan hebat itu segera di susul oleh suara rentatan tembakan senjata mesin yang hingar-bingar dari berbagai arah. Sorot lampu-lampu pembuta yang menerangi seluruh kawasan pertempuran yang tadinya sempat luput dari pemantauan.

                “Kita akan mati disini, pak…!  Mati disini…”

Anggota Rimbasti yang hancur kakinya itu tidak bisa kemana-mana lagi. Disampingnya hanya ada Letkol infanteri Djoko Sardhonno yang ternyata juga sudah tidak bernyawa. Itu karena sudah tidak kuat menahan penderitaan yang teramat sangat. Sembilan luka akibat berondongan senjata mesin M-60 telah memompa keluar hampir seluruh kandungan darahnya dalam tubuh. Tembakan gencar terdengar seperti bersahut-sahutan dari arah atas dan belakang. Sementara lampu-lampu pembuta masih terus menerangi kawasan pelarian itu. Di tangan anggota Rimbasti yang sebagian tubuhnya hancur itu masih menggenggam senjata serbu SS-1. Tiba-tiba anggota Rimbasti satu-satunya yang masih selamat itu duduk mengangkat badannya. Berteriak dengan marahnya kepada pasukan yang terus memburunya seperti binatang. Di belakang dia melihat barisan Pansher APC Bradley yang semakin mendekat. Di atas ada belasan Helikopter UH-60 Blackhawk yang menyiramkan tembakan M-60 dengan gencar. Dan sekarang, tiba-tiba seratus meter di depan mereka sana. Menembus sela-sela pekarangan sempit rumah-rumah penduduk muncul belasan mobil lapis baja Humvee yang langsung di bawah komado Wadanko Denpatwal Saber Kapten laut Muhammad Anwari.

                “Kalian semua… anjing-anjing penurut sialan Jendral Youkke…!!!  Matilah kalian semua… hhaaaa…”

Seketika terdengar senjata otomatis SS-1 di tangan anggota Rimbasti. Di susul dengan padamnya beberapa lampu pembuta dari helikopter dan sejumlah kendaraan Pansher lapis baja APC Bradley. Namun itu tidak menyurutkan gencarnya tembakan otomatis yang mendera dirinya. Dan tiba-tiba tubuh anggota Rimbasti itu terpental bersimbah darah. Anggota Rimbasti itu menjerit sambil membekap luka menganga di perut dan dadanya. Sementara di kejauhan terdengar perintah penghentian tembakan dari Wadanko Denpatwal Saber Kapten Laut Muhammad Anwari. Orang-orang dengan senjata siap tembak terdengar berlari-lari mendekat. Beberapa bayangan hitam telah menghambur ke arah tubuh anggota Rimbasti yang terjerembab mandi darah. Situasi tegang di lokasi pengejaran itu rupanya telah juga di monitor oleh kamera pemantau situasi yang dipasang pada AH-64 Apache. Yang di tuntun oleh perangkat infra-red Vinten 4000 dan Horizon to Horizon Infra-red Linescan, Side Looing Airborne Radar atau SLAR. Frekwensi siaran kamera monitor itu bisa di pantau langsung dari Ocean Traffic Controll di pangkalan kapal selam unit rahasia Saber Laut Bosma.

 

Bangunan OTC yang merupakan bangunan dua lantai di dasar tebing itu bisa berhubungan langsung dengan Bungallow Kediaman resmi Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke yang berada di puncak tebing sana. Sebuah lift kapsul yang di tembakkan dengan kecepatan tinggi dari atas bisa mengantar sedikitnya duapuluh orang dalam sekali perjalanan. Pada ketinggian sekitar enamratus meter dari bibir pantai. Kini sudah ada Komandan Mako resimen Brigade kapal selam elite Saber Laut. Brigadir Jendral Laut Badril Rezza Smikke bersama dengan Danko Denpatwal Saber Mayor laut Sugiantorro. Dan terutama adalah Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke. Mereka semua para petinggi di Ocean Traffic Controll armada laut ini tegang mengawasi pengejaran yang di lakukan skuadron udara Blackhawks dan AH-64 Apache itu.

                “Aku yakin kalian sudah merekam semua kejadian yang hampir merenggut nyawa keluargaku ini. Kamera helikopter merekam hampir semua kejadian penyerangan itu. Kamera-kamera pemantau lalu lintas di sepanjang jalan toll Sediyatmo juga. Bahkan kamera keamanan di sekitar gerbang pertahanan bukit Penjaringan ini. Kalian bisa merangkai potongan-potongan kamera keamanan itu dan menjadikannya sebagai sebuah episode yang spektakuler.”  Kata-kata Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke dengan perasaan penuh kejengkelan yang meledak-ledak.

                “Yyeaa… anda pasti akan mendapatkan seluruh rekaman itu segera… Hyang Mulia Jendral.”  Jawaban dari dan Kas Infulahta Brigif Letkol Laut Hasyim Hussein dengan tidak mengerti.

                “Besok pagi kejadian ini akan segera menjadi berita heboh. Aku ingin kau serahkan duplikat rekaman-rekaman itu kepada wartawan dan biarkan mereka menyiarkan aksi penyerangan itu sekaligus tindakan balasan yang menghabisi seluruh penyusup Rimbasti sampai tidak satupun tersisa.”  Guman Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke terus memandangi akhir dari aksi pembantaian terhadap anggota Rimbasti di tengah persawahan itu. Raut wajah Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke masih merah karena marahnya telah di usik tidak saja dirinya, tapi bahkan isteri dan anak kesayangan yang tidak ada sangkut pautnya dengan arah politik yang dia ambil.

                “Anda menginginkan seluruh dunia tahu… apa yang telah di perbuat teroris-teroris Rimbasti itu terhadap anda, Hyang Mulia Jendral  ?”  Brigadir Jendral Laut Badril Rezza Smikke menerka.

                “Aku mau Tuanku Baginda President Suhastommo tahu… mereka sudah melibatkan anak dan isteriku sebagai sasaran tembak. Jadi seluruh keluarga mereka pun bisa tertimpa hal yang sama. Kalau aku mau membalas mereka sekarang.”

Tidak ada yang bisa menentang keinginan Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke. Kemarahannya yang teramat sangat telah memicu hasratnya untuk menunjukkan kepada dunia bagaimana sesungguhnya rejim kekuasaan otoriter Tuanku Baginda President Senno Suhastommo dalam mencapai tujuan-tujuan jahatnya. Mereka telah berani menyerang seorang Hyang Mulia Jendral besar setinggi dirinya dengan cara main belakang. Jadi apa yang tidak mungkin dilakukan seorang Tuanku Baginda President Suhastommo untuk membungkam rakyatnya sendiri yang kelaparan dan menuntut minta makan. Setelah berkata seperti itu Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke kembali ke pintu lift. Di ikuti oleh Brigjen Laut Badril Rezza  Smikke, Kasbrigif Kolonel Laut Ammanudhin Zein, Danrema Brigif Kolonel Laut Rachmat Rahardjo, Kasrema Mayor laut Gorro Susamto, dan Danko Denpatwal Mayor Laut Sugiantorro. Beliau Mademoiselle BRAj. Farramurthi Isnna Ingenieur sedang menemani tidur puterinya Lubertha Ayu yang masih shock ketakutan. Dengan tiga orang pengawal berpakaian sipil dari direktorat tujuh Bosma yang berjaga di luar pintu kamarnya.

 

Belasan anggota Saber bersenjata lengkap masih berjaga di pekarangan luar kamar itu. Yang berada di lantai dua. Sementara sejumlah agen keamanan lain dari direktorat tujuh menunggu Hyang Mulia Jendral besar Ingenieur Youkke yang akan keluar dari pintu lift di sudut belakang Bungallow Kediaman resmi sang jendral di puncak bukit Penjaringan itu. Pimpinan unit pengawal dari satuan berpakaian sipil itu ikut di belakang Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke. Dan selalu berhubungan dengan anggota pasukannya yang berada di atas dengan komunikasi radio dengan earphone.

                “Apa isteriku sudah tidur ?”  Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke bertanya kepada pimpinan satuan pengawal berpakaian sipil yang siaga di belakangnya.

                “Masih berusaha menidurkan nona Lubertha Ayu… Hyang Mulia Jendral. Orang kami sedang menjaganya.”

                “Baguslah. Serangan ini berimplikasi sangat berat untuk anakku yang baru berumur delapan tahun. Jahanam Rimbasti itu benar-benar keterlaluan. Menyerang aku sendiri di lokasi yang tidak bisa di jangkau oleh pasukanku. Untung saja… pada saat yang tepat kami bisa mencapai Penjaringan.”  Kata Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke kepada semua orang.

                “Ini… saya fikir karena terlalu lama kita membiarkan rejim otoriter Tuanku Baginda President Suhastommo bertindak sekehendak hatinya. Merasa anda tidak akan melakukan apa-apa untuk menghentikan kegilaan mereka.”  Brigjen Laut Badrill Rezza Smikke menuturkan.

                “Bukan aku menutup mata atas semua kejahatan politik Hastommo dengan menggunakan tangan-tangan kotor Rimbasti dan Polisi. Tapi aku masih berusaha menahan diri untuk tidak ikut campur urusan-urusan dalam negeri. Belum tentu rakyat menghendaki rejim kekuasaan Tuanku Baginda President Suhastommo itu jatuh meskipun telah demikian banyak rakyat menderita. Karena keputusan-keputusannya masih mendapat legitimasi dari Parlemen. Yang sebagian besar suaranya masih di akui oleh rakyat.”

                “Yyaa… Hyang Mulia Jendral. Parlemen yang di kuasai oleh partai Sabit Merah. Yang tidak lain adalah antek-antek korupsi Tuanku Baginda President Senno Suhastommo sendiri. Mereka sama sekali tidak mewakili suara rakyat lagi.”  Danrema kolonel Laut Rachmat Rahardjo mencibir pandangan itu.

                “Mungkin kalian benar. Buntut dari serangan tidak terduga ini telah benar-benar mengubah sudut pandangku terhadap rejim kekuasaan Tuanku Baginda President Suhastommo.  Aaach… padahal dia dulu wakil komando aku yang sangat ku percaya.”

Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke menggeleng. Pintu lift super itu sudah membuka dan tujuh pria berpakaian sipil yang memperlihatkan sarung pistol dibalik lipatan jasnya berbalik dan mengawal Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke keluar. Mereka berjalan rapat di sepanjang koridor bagian dalam Bungallow Kediaman resmi Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke itu. Bangunan tiga setengah lantai yang memiliki lebih dari tujuratus ruangan. Masing-masing ruangan itu luasnya sama dengan bangunan rumah tinggal dengan tiga kamar didalamnya. Sekitar seratus pengawal tinggal setiap harinya di kawasan ini. Dan empatpuluh orang lainnya bekerja sebagai staf pribadi, layanan kamar, dan restourant. Bangunan ini memiliki satu fasilitas dapur utama. Tiga kedai minum yang tersebar di dalam maupun kolam renang, dan fasilitas bermain anak di lereng bukit yang menyerupai kemewahan taman impian jaya ancol. Semua dibangun dengan biaya milyaran rupiah untuk kesenangan dan kenyamanan pribadi anak-anak kandung Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke. Kalau satu detasemen patwal sedang bertugas.

 

Biasanya kompi pertama menjalankan misi pengamanan sekitar area Kediaman bukit Penjaringan. Kompi kedua melakukan tugas pengawalan pribadi ketika keluarga Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke pergi keluar. Kompi ketiga dan keempat bersiaga di pos Detasement Markas. Kompi kelima atau terakhir kalau itu memang ada boleh libur. Malam ini tidak hanya detasement patwal yang keluar. Tapi bahkan detasement dari resimen Markas yang bertugas di pangkalan kapal selam pantai Penjaringan ikut melakukan pengejaran terhadap serangan penyusup Rimbasti. Hanya satu detasemen dengan kekuatan sepuluh kapal selam yang sedang bertugas layar ke seberang lautan. Dua detasemen yang lain stand-by di pangkalan. Malam itu menjadi malam paling buruk bagi keamanan bukit Penjaringan. Hal yang paling tidak di inginkan oleh semua orang yang sedang bertugas jaga di sana. Hanya dalam semalam mereka sudah menghamburkan lebih dari limaratus ribu tembakan dan membunuh sekitar tigapuluh orang musuh. Termasuk juga pilot pesawat Learjet Phenom 100 yang dicuri dari Pangeran Lebanon. Atau memang Pangeran itu yang sengaja menyewakannya pada teroris dengan biaya sangat mahal.

 

Berita penyerangan malam itu dengan cepat menyebar. Kabar mengejutkan itu membuat Kasintel Kodam Ibukota Brigjen teritorial Rachmia Erlly -Meir melompat dari tidur malamnya dan berpacu dengan Chevrolet Captiva 2.0 CVDI diesel a/t My09 warna hijau lumut dengan antena radio komunikasi SSB yang hampir tujuh meter panjangnya. Di tekuk sampai ke gardan depan. Di tambah dua unit motor besar pengawal Goldwing-1000 ditpropam Kodam Ibukota. Dia baru mengakui sendiri kebenaran berita itu setelah melihat pengamanan yang luar biasa di pintu toll Sediyatmo Jakarta Utara. Bahkan sebelum mereka memasuki kawasan Tambora. Detasemen-detasemen reguler Resort militer Jakarta Barat keluar semua dari markas dengan seluruh perlengkapan tempurnya. Detasemen Patwal Saber Laut memberlakukan aturan hanya yang berkepentingan saja boleh lewat. Jalur keluar dan masuk Jakarta dari arah Bandara di alihkan melalui akses alternatif Jakarta barat. Toll Sediyatmo di penuhi pasukan dengan Kendaraan lapis baja Pansher APC Bradley dan mobil lapis baja Humvee yang selalu mengarahkan senjata mesin M-60 dan M-2 kaliber 0.5mm kepada setiap orang asing dengan pandangan curiga. Tapi mobil dinas chevrollet Captiva hijau lumu milik Kasintel Kodam Brigjen teritorial Rachmia Erlly-Meir ini di bolehkan lewat dengan tanpa hambatan.

 

Wadanko Denpatwal Saber Kapten laut Muhammad Anwari. Telah menghubungi markas dengan komunikasi radio SSB-nya yang mengkonfirmasikan kedatangan Brigjen teritorial Rachmia Erlly-Meir. Masih terlihat jelas suasana tegang dari ribuan pasukan komando yang di sebar pasca kejadian mengejutkan itu. Reruntuhan pesawat Learjet Phenom-100 yang jatuh di tembak rudal BAe-Sky Flash nampak teronggok di jalanan. Memakan hampir separuh badan jalan yang menuju ke arah Jakarta. Begitupun dengan puing-puing truck kontainer enambelas roda yang penuh bahan peledak dan nyaris merenggut keselamatan Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke sendiri. Sudah lewat tengah malam dan lampu-lampu Bungallow Kediaman resmi Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke yang terpencil di atas bukit sana masih menyala terang-benderang. Semua pasukan pengawal nampaknya akan begadang malam ini. Tidak ada seorangpun yang bisa tidur setelah apa yang menimpa pemimpin spiritual mereka dalam FeGoz. Ada Kasal Laksamana laut Hermanto Alli Bachtiar dan Kasad JendralFakhruddin Harry Wahyudhi. Ada Danjen  divisi lapis baja Brimob Jendral polisi Albert Rimmus Reway Hapossan Situmorang. Lalu MenHub Komjen polisi Yuddi Sudhiyat Winarko, dan Jaksa Agung Komjen polisi Firdha Rahayu Wilujeng.

 

Dari pihak Bosma sendiri hampir semua pimpinan direktorat telah ada disana. First deputy direktur jendral Letnan Jendral Bosma Bachrustamman Sastrodarsonno Bernaardhust, Second deputy direktur jendral Letnan Jendral Bosma Reethry Retno Indhrastarry Poerwaningsih. Pimpinan direktorat satu CMC Letjen Bosma Mustofha Mardjudhi Adhinagorro, pimpinan direktorat dua Contra Inteligent Letjen Bosma Koesmadhi Irawan, pimpinan direktorat tiga Saint & Development Technology Laboratories Prof. Dr. Marria Ayu Sullasmi Piennas Mt.D, MTc. Pimpinan direktorat empat Black Party Letjen Bosma Wirryo Adyottha Wardhanniy, pimpinan direktorat lima Sentral Komunikasi dan Perhubungan Militer Letjen Bosma Herllin Rusmawatti Widhyarsih, pimpinan direktorat enam Inteligent Letjen Bosma Brotto Sudharnotto Dharmokesumma, pimpinan direktorat tujuh Letjen Bosma Marritho Nursyamsyu Gunawan Kusdhihardhjo, pimpinan direktorat delapan Trade Stabillizer Coverry Letjen Bosma Sedhio Noeryanto Muldhiyar Sismihardhjo, dan pimpinan direktorat sembilan Saber Letjen Bosma Soedharto Gummarang. Wakil-wakil pimpinan direktorat dan kepala-kepala direktorat operasi yang rata-rata menyandang satu dan dua bintang di pundak.

 

Seluruh anggota divisi markas Bosma yang berpangkalan di Sediyatmo sudah keluar semua mengamankan area sepanjang jalur toll. Brigade Laut Saber yang pangkalannya di pantai Penjaringan dan berkaitan langsung dengan keamanan pribadi Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke juga. Sebenarnya jelas arah politik Pangko Daerah Militer Jawa II Ibukota Mayjen infanteri Herdammon Budiartho yang menyokong sepenuhnya kekuasaan Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke. Tapi selaku cabang langsung dari Bosma, Kasintel Brigjen teritorial Rachmia Erlly-Meir yang juga ketua bergilir OcC, atau Officer Comission Club. Dewan Perwira-nya Indonesia yang mengendalikan Organisasi Perwira Merdeka. FeGoz. Jauh lebih berkompeten melibatkan diri lebih awal atas keputusan-keputusan politik di lapangan menyangkut situasi yang menimpa Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke. Chevrolet Captiva 2.0 CVDI diesel a/t My09 warna hijau lumut dengan antena radio komunikasi SSB yang hampir tujuh meter panjangnya. Di tekuk sampai ke gardan depan itu. Dan dua unit motor besar pengawal Goldwing-1000 ditpropam Kodam Ibukota terus masuk ke gerbang pertahanan bukit Penjaringan. Lorong besar dibawah bangunan dua lantai protokol keamanan Saber-Bosma.

 

Terus mendaki ke arah lobby sayap kiri belakang Bungallow Kediaman resmi Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke yang sedang ramai sekali. Di sana telah banyak terlihat anggota Denpatwal Saber Laut yang membawa anjing-anjing pemburu. Satuan anti Bomb dan Counter Strike yang bersenjata lengkap. Mobil-mobil Humvee dengan penembak M-60 yang bersiaga mengarahkan lampu-lampu pembuta ke arah lembah. Helikopter-helikopter terus berseliweran tiada henti di udara. Menyisir bagian utara Ibukota yang merupakan basis kekuasaan Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke. Mobil Chevrolet Captiva 2.0 CVDI diesel Brigjen teritorial Rachmia Erlly -Meir di arahkan anggota pengawal Saber untuk parkir di tempatnya dan Brigjen teritorial Derry di antarkan sendirian oleh seorang pengawal Saber yang bersenjata lengkap ke Lobby. Di perkenalkan kepada agen keamanan direktorat tujuh berpakaian sipil yang menangani security internal. Sebelum kemudian di antarkan ke situation room Bungallow Kediaman resmi Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke dimana semua orang sedang berkumpul. Orang pertama yang Brigjen teritorial Derry temui adalah Kasbrigif Saber Kolonel Laut Ammanudhin Zein, Danrema Brigif Kolonel Laut Rachmat Rahardjo, dan Kasrema Mayor laut Gorro Susamto. Mereka saling bersalaman sebagai kawan lama yang akrab.

 

Brigjen teritorial Rachmia Erlly-Meir tahu suasana berduka yang sangat kental melingkupi pertemuan itu. Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke berada bagian ujung meja bundar tiga tingkat itu dalam kedukaan yang mendalam. Di bagian belakangnya nampak dua operator Managemant Traffic Control wanita dengan piranti super computer yang di hubungkan dengan tiga layar digital raksasa. Disana Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke bisa menampilkan informasi dan pergerakan pasukan yang mana saja di wilayah Indonesia ini. Bahkan dengan bantuan satelite dia bisa memantau bagian prajurit TNI yang mana saja malam ini yang sedang kelayapan di komplek pelacuran. Kolonel Laut Ammanudhin Zein menyambut dengan berbisik.

                “Kita benar-benar akan begadang malam ini… usaha pembunuhan ini telah membangkitkan sentimentil Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke yang membuatnya antipati pada rejim kekuasaan Tuanku Baginda President Suhastommo.”

                “Nampaknya pihak Istana benar-benar ingin menghancurkan Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke ini. Mereka telah  mengultimatum pemecatan Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke dalam satu pekan ini. Malam ini mereka malah berusaha membantainya hidup-hidup. Aku tidak mengerti keinginan sesungguhnya Tuanku Baginda President Suhastommo ini.”  Ungkapan Brigjen teritorial Rachmia Erlly-Meir dengan sedih.

                “Mungkin ini sangat berlebihan. Tapi lebih baik kalau kita berjaga-jaga… anda sudah memerintahkan kondisi kesiapan tempur garis pertama pada seluruh garnesun Ibukota, Jendral…?”  tanya Kasbrigif Saber kolonel laut Ammanudhin Zein.

                “Jangan khawatir. Limabelas ribu tentara reguler Ibukota siap berperang untuk membela kehormatan Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke. Sebelum kemari tadi aku kumpulkan para pimpinan dari Danpi keatas. Mereka aku briefing ketat mengenai situasi gawat ini dan kemungkinan pecah perang dengan masuknya unsur-unsur pemukul dari Linud KomeRad dan pasukan Rimbasti ke Ibukota. Aku perintahkan semua pasukan apel malam ini dan memberlakukan konsinyir berat.”

                “Kita semua juga sedang melakukan hal yang sama disini. Semuanya bergantung respon pemerintah besok pagi. Kalau mereka tidak mau menyadari kondisi Ibukota yang mau pecah perang ini, mungkin kita harus mengerahkan semua Pansher dan kavaleri berat untuk mengakhiri kebuntuan politik ini.”  Danrema Brigif Kolonel Laut Rachmat Rahardjo menyatakan.

                “Bagaimana dengan korban Rimbasti. Aku dengar ada pasukan mereka yang terlibat dalam serangan malam ini ?”

                “Mereka habis semua. Pasukan saya sedang mengumpulkan jasad mereka untuk di identifikasi.”  Kasrema Mayor laut Gorro Susamto menjawab.

                “Menurutku ini tindakan bunuh diri yang paling nekad. Mereka hanya akan mempertegas sikap pengkhianatan rejim kekuasaan Tuanku Baginda President Suhastommo pada Merah Putih. Semua ini hanya demi kenyamanan investor-investor tambang yang di lindungi Rimbasti. Sudah tahu proyek-proyek mereka menyengsarakan rakyat banyak. Masih juga di bela. Malah mau menguasai seluruh tentara untuk melanjutkan penindasan keji mereka.”  Danrema Brigif Kolonel Laut Rachmat Rahardjo mengeluh.

                “Kalau saja Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke mau sedikit tegas pada penyimpangan kekuasaan Tuanku Baginda President Suhastommo.”  Kasbrigif Kolonel Laut Ammanudhin Zein membayangkan.

                “Aku kira keberadaan kita semua disini hanya sikap tegas itulah yang paling ditunggu-tunggu. Seluruh resimen sudah siap bergerak begitu mendapat komando. Rimbasti tidak banyak berkutik jika seluruh unsur penyokong kekuasaan Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke sudah bergerak. Linud KomeRad, sesungguhnya lebih dari setengah perwira lapangannya sudah kita kuasai.  Mereka siap berhadapan dengan induk pasukannya sendiri kalau KomeRad secara institusi ikut campur.”  Brigjen teritorial Rachmia Erlly-Meir menjelaskan.

Tidak disadari ternyata kehadiran Brigjen teritorial Rachmia Erlly mendapat perhatian khusus dari Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke. Yang berbisik kepada salah seorang pengawalnya dan memutuskan untuk meninggalkan ruangan itu sejenak. Pengawal itu mendekati Brigjen teritorial Rachmia Erlly bersamaan dengan rombongan pengawal Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke keluar. Dan segera berbisik.

                “Bu Mia… Hyang Mulia Jendral ingin bertemu anda di ruang kerja lantai atas. Mari ikut saya.”  Pengawal dari direktorat tujuh Bosma itu memberi isyarat untuk di ikuti dan meninggalkan keramaian tanpa ribut-ribut. Mereka keluar dari pintu yang berbeda sehingga akan sedikit memutar ke lantai atas. Ruang kerja itu terhampar luas seperti kantor Oval keTuanku Baginda Presidenan Amerika. Meja besar dengan latar belakang dinding kaca anti pecah yang nampak jernih pemandangan dari dalam tapi selalu nampak gelap di lihat dari luar. Seperangkat soffa untuk menyambut tamu-tamu dan minibar dalam kereta minum berbentuk perahu yang di penuhi beraneka rasa Wines dan Brandys.

                “Silahkan Mia… duduk di sini.”  Mempersilahkan Hyang Mulia Jendral besar Ingenieur Youkke yang terlebih dulu duduk di belakang meja kerjanya. Di kursi ergonomic yang bisa berputar dengan nyaman. Beberapa pengawal pribadi nampak berdiri di sekitar ruangan itu dan dibelakang Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke sendiri. “Pasti perjalananmu malam ini kurang nyaman. Tapi aku sangat menghargai kedatanganmu disini.”

                “Trima kasih, Hyang Mulia Jendral. Suatu kehormatan bisa bertemu langsung dengan anda disini.”

                “Situasi berkembag dengan sangat cepat Mia… Aku ingin kau tahu betapa… serangan yang barusan terjadi merupakan pukulan yang sangat berat… khususnya bagi keluargaku. Mereka tidak biasa di tempatkan dalam situasi seperti ini.”  Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke berkata.

 

                “Akan sangat menyenangkan seandainya ada yang bisa saya lakukan untuk meringankan beban Hyang Mulia Jendral malam ini. Dan sebagai partisan dengan loyalitas penuh, saya… merasa sangat bersimpati.”  Brigjen teritorial Rachmia Erlly-Meir menyatakan dukungannya.

                “Itu sangat berarti bagi kami, Mia… bagaimana dengan kesiapan pasukanmu ?”

                “Ooouw… seluruh resimen Ibukota telah saya perintahkan konsinyir berat malam ini. Dan mereka semua mutlak menyokong kekuasaan Hyang Mulia Jendral. Jika revolusi ini pecah… mereka jamin ibukota sepenuhnya dalam kendali Hyang Mulia Jendral.”  Brigjen teritorial Rachmia Erlly kembali menanggapi.

                “Yyaa… aku sangat ingin mendengar laporan seperti itu. Sementara ini kita tunggu reaksi pihak Istana. Sampai seberapa nekad mereka mengacak-acak keamanan Ibukota. Kau sudah tahu… apa yang harus dilakukan kalau sampai Linud KomeRad dan pasukan Rimbasti menyerbu masuk.”

Tampak wajah Kasintel Kodam Ibukota ini sedikit memucat. Dia memahami benar sebagai petinggi militer yang menguasai unsur-unsur pertahanan Ibukota, konsekwensi jika Tuanku Baginda President Suhastommo berani memasukkan satuan-satuan pemukul Rimbasti dan Linud KomeRad. Akan ada konfrontasi langsung yang tidak lagi bisa di kendalikan di front-front pertahanan yang di kuasai resimen-resimen reguler Ibukota. Limabelas ribu tentara bukan jumlah yang sedikit untuk dihadapi oleh sekitar tigapuluh ribu anggota Linud dan penyabot-penyabot elite Rimbasti itu. Kompi-kompi kavaleri serbu telah di sebarkan ke berbagai titik pertahanan garnesun yang meliputi sejumlah Pansher Cadillac gage V-150 bermeriam dan APC Bradley dengan peluncur roket. Mereka masih membicarakan kondisi kesiapan tempur unit-unit pasukan reguler Ibukota yang menjadi salah satu pilar penting Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke bila revolusi pecah nanti. Di dalam pembicaraan itu. Brigjen teritorial Rachmia Erlly bisa melihat perubahan dalam diri Hyang Mulia Jendral besar Bosma ini. Dia masih berumur limapuluh tahunan dan biasanya sangat tegar dalam setiap penampilannya.

 

Tapi usaha pembunuhan malam ini mengubah semuanya. Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke terlihat sangat rapuh. Sikap tegas dan berwibawa seperti dalam potret hari Ham nasional bulan Mei lalu, yang membuatnya nampak seperti Pahlawan Perang dalam film-film Hollywood, kini telah sirna. Di sekitar kelopak matanya nampak tanda-tanda kecapekkan yang luar biasa dan stress. Tiga kilometer di sebuah kawasan pantai yang luas di komplek pertahanan pangkalan induk kapal selam Saber Laut Bosma. Di kelilingi pagar kawat baja setinggi tiga meter yang di aliri listrik di jantung hutan Botani yang sejuk. Terletak Rumah Sakit Angkatan Laut Saber Bosma yang super-eksklusif. Rumah sakit ini merupakan modernisasi dan perluasan Klinik Angkatan Laut Saber Penjaringan yang lama. Bangunan menyerupai kondominium lima lantai berbentuk tiga bambu runcing. Sekilas lebih mirip supermall yang mewah daripada rumah sakit. Dengan asrama-asrama kesehatan untuk para veteran tua yang sudah tidak punya siapa-siapa lagi dalam sisa-sisa hidup tuanya. Salah satu fasilitas medis-nya adalah ruangan khusus praktek operasi super modern yang paling canggih di dunia.

 

Hanya untuk kepentingan pribadi Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke. Enam dokter spesialis top stand-by penuh duapuluh empat jam di rumah sakit itu dan mereka inilah yang setiap minggu menyelenggarakan perawatan rutin terhadap kesehatan Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke. Tapi kesiapan itu sama sekali bukan di maksudkan untuk kejadian mengejutkan malam ini. Sebuah Metrobuss NHR-55 Elf-2 Ambulance sedang di parkir di luar Bungallow Kediaman resmi Jendral besar Bosma itu. Mereka di datangkan khusus dari rumah sakit super mewah itu untuk memberikan bioteraphi bagi keluarga Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke yang baru mengalami guncangan. Tapi hanya Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke saja yang masih terjaga. Dan nampak sibuk menjamu tamu-tamu yang tidak terduga ini. Isteri dan puteri kesayangannya sudah tidur lebih awal karena kecapekan yang luar biasa. Toh dalam situasi yang demikian sulit, otak Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke masih brilliant. Di balik tatap mata yang sayu dan dingin itu, masih terpendam pemikiran-pemikiran hebat.

                “Mulai malam ini… aku akan menugaskanmu mengkonsolidasikan resimen-resimen Ibukota menit demi menit. Setiap perkembangan yang sekecil apapun, segera sampaikan laporannya kepadaku… pribadi.”

Itu bukan suatu pertanyaan yang harus di jawab. Tetapi Brigjen teritorial Rachmia Erlly yang mendengarkan instruksinya dengan khidmat menganggukkan kepala pertanda setuju.

                “Jadi… mulai saat ini kau akan melihat bahwa aku akan menangani issue utama kemungkinan pecah revolusi di Ibukota dengan sangat serius. Kamu akan terus-menerus mengabari aku tentang pergerakan unsur-unsur pemukul Linud KomeRad dan pasukan Rimbasti kalau mereka berani mendekati Ibukota. Aku menganggap kampanye politik Tuanku Baginda President Albertinus Senno Suhastommo yang di kumandangkan untuk mengembalikan kekuasaan tentara secara absolute di tangan Tuanku Baginda President. Bila itu dimaksudkan untuk menindas penderitaan rakyat yang kelaparan. Adalah tindakan pengkhianatan terhadap amanat Merah Putih dan Undang-Undang Dasar Negara. Dan mulai malam ini aku maklumatkan untuk melawan rejim otoriter Tuanku Baginda Presiden Suhastommo demi menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran total.”

                “Kamu tidak akan membicarakan keputusanku ini dengan siapapun. Tidak ada dokumen-dokumen, kalau itu harus ada, antara kita berdua yang boleh keluar dari ruangan ini. Catatan-catatan akan segera di musnahkan. Sikap politikku tidak akan banyak berubah di hadapan jendral-jendral petinggi Bosma sendiri. Dan tidak akan ada yang menduga setiap langkah dan tindakanmu mendapatkan dukungan politik secara penuh dariku. Orang-orang hanya melihat yang kau lakukan itu adalah inisiatif kamu pribadi sebagai pemegang kekuasaan mutlak atas keamanan Ibukota. Tapi bagaimana kau adalah Kasintel Kodam. Yang notaben adalah wakil resmi Bosma di tingkat Kodam. Jadi siapapun yang tidak senang dengan langkah dan tindakanmu akan berfikir seribu kali karena kau mewakili kekuasaanku di tingkat daerah. Mengerti.”

Jelas bagi Brigjen teritorial Rachmia Erlly-Meir sekarang bahwa sang pemimpin kabinet bayangan yang bercokol dalam kekuasaan tanpa batas dinas inteligent ini, sedang merencanakan sesuatu yang amat rahasia sifatnya. Dan menganggapnya sebagai hal yang sangat serius. Seharusnya Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke bisa saja menjalankan rencana-rencana pribadinya yang cemerlang ini melalui saluran-saluran resmi Bosma. Menyelenggarakan pertemuan-pertemuan dengan para pimpinan direktorat yang mempunyai loyalitas mutlak hanya pada dirinya sendiri. Menjadikan rencana itu sebagai sebuah kebijakan resmi Bosma yang akan di ikuti seluruh garis komando di bawahnya. Dan jelas akan di dukung penuh oleh Organisasi Perwira Merdeka, FeGoz. Tapi walaupun secara logika jelas dia akan menang dan melenggang ke Istana dengan tanpa perlawanan berarti. Tapi citra tidak sedap sebagai Jendral yang mendapatkan kekuasaan melalui kudetha tetap akan melekat dalam dirinya. Itu yang nampaknya ingin di hindari Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke. Sampai-sampai dia tidak berbuat apa-apa hingga batas akhir Pemerintah mengultimatum pemecatan dia sekalipun

                “Ada hal lain yang ingin kau tanyakan ?”

Brigjen teritorial Rachmia Erlly termenung sejenak memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan dia hadapi selama menjadi pion perlawanan Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke.

                “Kalau… Hyang Mulia Jendral menghendaki… eee… err… tindakan kamulfase sebagai inisiatif pribadi dari saya selaku Kasintel dan kepala cabang Bosma Wilayah Ibukota. Bagaimana nanti saya harus melaporkan setiap perkembangan yang terjadi kepada Hyang Mulia Jendral. Apakah saya harus mengajukan salah seorang kurir terbaik saja kepada Hyang Mulia… Atau… mungkin… eee … err… kita membentuk saja suatu jaringan yang sifatnya sangat pribadi.”

                “Hmm… kau benar. Coba kulihat apakah masih ada suatu jaringan pasif yang saat ini beroperasi di wilayah sekitar Ibukota ini…”  sebagai jawabannya, Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke menekan salah satu tombol interphone di mejanya. Berbicara sebentar dengan kepala cabang dari direktorat empat Black Party yang banyak menyimpan legenda-legenda jaringan dimana agen-agen lapangannya yang menyusup jauh ke dalam organisasi-organisasi terlarang bisa menyampaikan informasi rahasia ke kantor pusatnya tanpa takut ketahuan. Kepala cabang dari salah satu departemen di direktorat empat itu mendengarkan permintaan Hyang Mulia Jendral besar yang mengendalikan seluruh institusi Bosma itu dengan seksama. Memperhatikan kriteria-kriteria yang di kehendaki dan mulai memeriksa ke dalam file-file komputernya. Beberapa menit kemudian mesin faxcimille di ruang kerja pribadi Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke menyala. Dan mengetikkan selembar dokumen yang berkaitan dengan informasi yang di inginkan. Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke mempelajari lembaran dokumen itu. Yang di kirimkan melalui jaringan digital anti lacak dan sangat aman. Dan menyobek lembaran kecil dibawahnya untuk di berikan kepada Brigjen teritorial Rachmia Erlly.

                “Restorant cepat saji ala Jepang… Sushi… Kelapa Gading Square ?”  Brigjen teritorial Rachmia Erlly membaca potongan dokumen itu dengan mengernyit.

                “Yyaa… pemilik Restorant Wasabi Sushi itu kebetulan adalah orang kita. Setidaknya menurut orang direktorat empat yang membangun jaringan internal ini. Kebetulan juga… puteriku sering pesan masakan Jepang ke rumah kalau sedang bosan dengan hidangan yang biasa di sajikan koki pribadi kami. Tidak ada salahnya kalau nanti… puteriku mencoba pesan makanan cepat saji ala Jepang di Restorant Wasabi Sushi yang di Kelapa Gading Square itu.”  Kata Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke lirih. Mereka berdua sudah sepakat. Tidak ada point-point lagi yang harus di bicarakan. Dengan anggukan Hyang Mulia Jendral besar Bosma itu, Brigjen teritorial Rachmia Erlly-Meir bangkit dengan sikap hormat dan mohon diri. Ada tugas kecil yang harus dia kerjakan berkaitan dengan jaringan informasi yang telah di sepakati. Dan dengan selembar catatan kecil bertuliskan sebarisan nomor-nomor acak dia akan mengunjungi pemilik Restorant cepat saji Wasabi Sushi di Kelapa Gading Square esok pagi dan memperkenalkan diri.

 

Supirnya sudah memutar arah mobil dinas Chevrolet Captiva 2.0 CVDI diesel a/t My09 warna hijau lumut dengan antena radio komunikasi SSB yang hampir tujuh meter panjangnya. Dan begitu juga dua pengendara motor besar pengawal Honda Goldwing-1000 Ditpropam Kodam Ibukota. Seorang agen keamanan berpakaian sipil dari direktorat tujuh mengantar Brigjen teritorial Rachmia Erlly sampai ke mobilnya dan membukakan pintu mobil. Brigjen teritorial Rachmia Erlly-Meir mengangguk tanda Makasih ketika agen keamanan berpakaian sipil itu menutup pintunya kembali dan berbicara kepada supirnya.

                “Kita langsung balik kerumah, dik kopral.”

                “Baik nyonya Jendral.”  Supir pribadi berseragam harian Angkatan darat itu berbicara kepada kedua pengendara motor besar pengawal di depan sejenak. Lalu bergerak perlahan mengikuti kedua motor besar Honda Goldwing-1000 yang bertugas membuka jalan. Di kediaman resminya yang berada tepat di sebelah rumah dinas Panglima Kodam Mayjen infanteri Herdammon Budiartho yang asri. Lengkap dengan pos penjagaan pribadi untuk dirinya sendiri.

 

Brigjen

 teritorial Rachmia Erlly-Meir melepas seragamnya dan menyandarkan sejenak badannya yang penat tanpa sempat berganti dengan baju tidur. Erryck Van Meir. Laki-laki keturunan Eropa yang menjadi Master Cheff di restorant utama JW Marriot International Hotel dengan bayaran duaratus juta sebulan. Dia adalah suami Brigjen teritorial Rachmia Erlly yang di nikahinya pada usia tigapuluh lima tahun. Sekarang usia perkawinan mereka sudah genap sepuluh tahun. Dan mereka di karuniai dua puteri yang sama-sama berwajah oriental tapi berambut pirang seperti Ayahnya. Cheff Erryck Van Meir sangat mencintai Isterinya itu, dan sebagaimana kebanyakan kaum expatriat mereka tidak terlalu perduli dengan pekerjaan Isteri yang sering pergi-pergi. Cheff Erryck Van Meir sangat toleran dengan pekerjaan Isterinya.

 

Pagi ini sudah hampir subuh. Brigjen teritorial Rachmia Erlly bermaksud tidur di kamar tamu karena tidak mau mengganggu tidur suaminya yang sedang nyenyak. Tapi yang dia dengar dari kamar gelap itu justeru suara red-wines yang dituang ke dalam dua gelas crystall dan menimbulkan suara gemericik. Brigjen teritorial Rachmia Erlly berbalik dengan terkejut dan berusaha menjangkau panel lampu di sisi pintu. Tadi dia hanya memperhatikan gundukan selimut di atas ranjang yang gelap. Sama sekali tidak melihat pada kursi sudut yang juga gelap di sisi pintu. Kini dibawah sinar lampu yang terang benderang, Brigjen teritorial Rachmia Erlly bisa melihat suaminya duduk di kursi sudut kamar itu dengan senyum.

                “O’ooh my sweety dear Erryck… kau sungguh mengejutkan aku.”  Brigjen teritorial Rachmia Erlly berseru menghadapi suaminya itu.

Ucapan itu mengundang senyum suaminya yang lantas bangkit menghampiri Brigjen teritorial Rachmia Erlly dalam balutan kaos dalam singlet dan celana pendek. Menyodorkan segelas red-wines dalam suasana dingin udara AC rumah dinas mereka. Mereka mengangkat gelas, membuatnya saling bersentuhan dan, “Thiiiiinngggg…”

                “Aku tahu setelah kejadian malam ini yang sangat berat… kau membutuhkan sedikit relaksasi.”  Cheff Erryck Van Meir meneguk red-wines bersama-sama Isterinya.

                “Maaf dear Erryck… aku tidak ingin mengganggu tidurmu tadi.”

                “Mengganggu. Aku sudah tidak tidur lagi semenjak kau keluar dari rumah ini jam sepuluh malam tadi. Di sini aku juga merasa cemas dengan apa yang menimpa bangsa ini setelah sekelompok radikal gila berusaha membunuh Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke.”

                “Yyaa… setelah ini, akan ada banyak sekali pekerjaan yang harus aku lakukan, dear.”

Cheff Erryck Van Meir tersenyum dan mengecup bibir mungil Isterinya. Dan di bimbing dalam rangkulannya mereka bersama-sama duduk di tepi ranjang.

                “Percaya… darling. Aku akan selalu mendukungmu dalam situasi apapun. Sudah jam empat pagi. Rasanya percuma juga kita melewatkan tidur malam ini kalau tiga jam lagi. Masing-masing kita sudah harus bekerja lagi.”

                “Hmm… artinya, kita punya waktu tiga jam untuk bersenang-senang.”

                “Sungguh… darling ?”  susul Cheff Erryck Van Meir semakin merangkul Isterinya.

Brigjen teritorial Rachmia Erlly menjauhkan tubuh suami darinya. Di antara lampu-lampu kamar yang terang dan hawa sejuk AC itu Brigjen teritorial Rachmia Erlly menatap wajah Cheff Erryck. Laki-laki yang selama sepuluh tahun ini telah menemani hidupnya dengan setia. Meskipun bagi Cheff Erryck dirinya bukan wanita yang pertama. Cheff Erryck pernah menikah dengan wanita Belgia sebelum bekerja di Indonesia. Mereka berpisah secara baik-baik karena kondisi keuangan rumah tangga mereka yang sangat buruk. Waktu itu Bekerja sebagai Cheff di kedai makan sederhana pinggiran pantai Brussells tidak memberikan penghasilan yang cukup baik bagi keluarganya. Sebaliknya, Nyonya Clarra Meir yang sudah sarjana dan bekerja sebagai asisten Marketing Manager sebuah biro Iklan ternama di kota Brussells semakin menanjak pamornya. Kemudian Nyonya Clarra terlibat affair dengan teman kerjanya dan menuntut cerai pada suaminya yang miskin. Tragedi keluarga itu benar-benar membuat Cheff Erryck hancur. Sejak itu Erryck seperti menganggap seluruh dunianya telah runtuh. Tidak ada lagi yang membuatnya bersemangat untuk bertahan hidup.

 

Kemudian kedai makan satu-satunya yang menjadi gantungan hidup tergusur untuk perluasan taman wisata pantai. Erryck benar-benar kehilangan segalanya. Rumah mungil satu-satunya milik mereka di kota sudah terjual untuk mengganti biaya tanggungan mantan Isteri. Dua tahun Erryck Van Meir hidup dari tunjangan kemiskinan Negara. Yang dia habiskan untuk membeli bear dan mabuk. Tidur di panti sosial yang lebih menyerupai sebuah asrama tentara. Kemudian seorang bekas langganan tetap kedai makannya menyelamatkan dia. Membersihkan badannya, memberi pakaian layak dan mempekerjakan sebagai asisten Cheff pada jaringan hotel JW Marriot Belgia. Karena mempunyai masakan yang khas, karier Erryck cepat menanjak. Cheff Erryck menjadi sangat terkenal di kalangan juru masak Marriot. Hingga sempat menduduki jabatan asisten Cheff Trainer Director di kantor pusat Administratur Marriot New York. Kemudian Erryck pindah ke Indonesia sebagai Cheff kepala di JW Marriot Jakarta setelah tragedi Bomb disana. Keahliannya sangat di butuhkan untuk mengangkat kembali popularitas JW Marriot Indonesia yang terpuruk karena alasan keamanan.

 

Di sini Cheff Erryck Van Meir yang sudah punya nama besar bertemu dengan perwira militer wanita yang sedang menanjak kariernya. Saat itu Kapten teritorial Rachmia Erlly adalah Aster Kasintel Kodam Pattimura Makasar yang sedang mengantar pimpinannya untuk bertemu kolega di Jakarta. Pertemuan mereka yang sangat berkesan itu telah memunculkan benih-benih cinta yang tidak terduga. Setelah itu Kapten teritorial Rachmia Erlly suka meluangkan waktu bertemu pacar asingnya setiap mengikuti kunjungan pimpinannya ke Jakarta. Cheff Erryck juga beberapa kali melewatkan masa cutinya ke Makasar. Setahun setelah hubungan itu berjalan mereka berdua memutuskan untuk menikah. Sebagai kado perkawinannya, Rachmia Erlly-Meir naik pangkat menjadi Mayor dan pindah tugas ke Kodam Silliwangi Bandung. Dua tahun kemudian puteri pertama mereka lahir. Mereka membeli rumah kecil luar Bandung dan sesekali mereka tinggal di rumah dinas Cheff Erryck yang mewah di komplek JW Marriot Jakarta.

 

Saat kelahiran puteri kedua mereka Rachmia Erlly-Meir sudah menjadi Kolonel dan pindah tugas ke Kodam Ibukota. Menjadi Wakil Kasintel Kodam sebenarnya Rachmia Erlly-Meir berhak atas sebuah rumah dinas yang asri di lingkungan Kodam. Tapi kala itu dia lebih memilih tinggal bersama suaminya di komplek Hotel Internasional JW Marriot. Menjadi Wakil Kasintel Kodam Ibukota juga membuatnya semakin berhubungan secara pribadi dengan beliau Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke. Saat itu Rachmia Erlly-Meir sering mendapat tugas-tugas penting langsung dari Hyang Mulia Jendral besar Bosma. Dan kepiawaiannya dalam melakukan konsolidasi antar institusi keamanan di wilayah Ibukota telah melahirkan decak kagum atasannya di Kodam Ibukota. Setelah penjabat Kasintel sebelumnya berhenti karena masa pensiun, Rachmia Erlly menjadi calon kuat untuk mengisi jabatan yang kosong itu. Dan pengangkatannya di setujui oleh Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke. Rachmia Erlly menjadi Brigjen teritorial dan menempati rumah dinas mewahnya yang sekarang.

                “My dear Erryck… aku sangat mencintaimu…”  desah Brigjen teritorial Rachmia Erlly.

                “Aku juga begitu, darling…”  bisik pria berdarah Eropa ini lembut, kemudian mendekatkan wajahnya, dan di pagutnya penuh gairah bibir mungil Rachmia Erlly.

Brigjen teritorial Rachmia memeluk tubuh Cheff Erryck dengan erat. Seakan sudah tidak ingin melepasnya lagi. Dan Cheff Erryck Van Meir sendiri semakin merapatkan bibirnya ke bibir Brigjen teritorial Rachmia Erlly. Keduanya pun kian menyatu ke dalam kemesraan. Rasanya… hanya dengan Brigjen teritorial Rachmia dia dapatkan kehangatan yang seindah itu. Dan dengan kenangan buruk mantan isteri pertamanya yang selalu mencela karena kekurang mapanan mereka dimasa muda.

                “Aku bahagia menjadi isterimu… dan Mamma dari anak-anak kita, mydear. Aku berharap semoga cinta dan kebahagiaan kita ini terus abadi sampai maut memisahkan kita.” 

                “Seandainya kau tahu darling… perasaanku juga sama sepertimu. Aku selalu berharap cinta dan kebahagiaan ini tidak cepat berakhir. Makasih karena kau telah memberiku cinta dan puteri-puteri kita yang lucu.”  Bisik Cheff Erryck dengan tarikan nafasnya yang memburu.

                “Makasih juga untukmu, dear.”  Senyum Brigjen teritorial Rachmia Erlly renyah. Semakin dia merapatkan tubuhnya kepada Cheff Erryck Van Meir.

Setelah perbincangan yang mesra itu keduanya ambruk ke atas ranjang untuk melampiaskan hasran berahi yang sudah bergejolak. Brigjen teritorial Rachmia di usia yang sudah demikian senja tidak pernah kehilangan gairah bercintanya untuk suami yang sangat dia sayangi. Brigjen teritorial Rachmia begitu bahagia menyambut suaminya untuk merenda nafsu berahi malam ini.

 

Esok paginya mobil dinas dinas Chevrolet Captiva 2.0 CVDI diesel a/t My09 warna hijau lumut dengan antena radio komunikasi SSB yang hampir tujuh meter panjangnya. Dan begitu juga dua pengendara motor besar pengawal Honda Goldwing-1000 Ditpropam Kodam Ibukota sudah dipanaskan. Anak-anak akan berangkat sekolah dengan Metrobuss milik Kodam seperti biasa. Suaminya akan berangkat sekitar satu jam lagi dengan mobil pribadinya, sebuah Mercedes-Benz S-350L hitam dengan kapasitas mesin hampir 4000cc seharga dua milyard. Sepadan dengan jabatannya yang sangat tinggi di JW Marriot dengan gaji hampir duaratus juta sebulan. Brigjen teritorial Rachmia Erlly-Meir sengaja berangkat lebih pagi bekerja. Ada beberapa tugas pribadi yang harus dia selesaikan sebelum masuk kantor siang nanti. Suaminya tercinta telah memasakkan sarapan pagi untuk dirinya dan anak-anak. Biasanya memang ada pembantu. Tapi pagi ini atas inisiatif suaminya sendiri memasak untuk mereka semua sebelum jam masuk kantor. Cheff Erryck melepas Isterinya tercinta di teras rumah. Dan Brigjen teritorial Rachmia Erlly-Meir menyorongkan pipinya untuk di cium.

                “Hati-hati… darling.”

                “Kamu juga… mysweetydear Erryck.”

Brigjen teritorial Rachmia Erlly masuk ke mobil dinas yang telah di bukakan pintu belakang oleh supir dinasnya dan sesaat kemudian Chevrollet Captiva meluncur meninggalkan kediaman resmi Kasintel Kodam. Di dahului dengan dua motor besar Honda Goldwing-1000 putih pengawal dari Ditpropam Kodam Ibukota sebagai pembuka jalan. Pagi itu mobil dinas Chevrollet Captiva tidak menuju kemana-mana. Hanya berkeliling menyusuri jalanan Ibukota yang lengang. Aksi unjuk rasa jutaan warga Ibukota dan mahasiswa yang melakukan aktivitas santai memblokir jalanan telah melumpuhkan perekonomian Jakarta. Terutama Jakarta pusat yang menjadi kantor-kantor utama departemen di Kementerian. Perkantoran di sekitar wilayah Gambir, Senin, dan Menteng tutup semua karena hilangnya akses masuk ke tempat kerja mereka. Kepolisian Polda Ibukota hanya mempunyai enamribu personel di seluruh wilayah Jakarta raya. Delapanratus personelnya berada dalam wilayah operasi Danres Kepolisian Jakarta Pusat. Tidak mencukupi untuk membersihkan lautan demonstran yang sudah mencapai hampir lima juta jiwa.

 

Yang tidak melakukan apa-apa, tapi memacetkan seluruh jalanan ketiga wilayah penting yang merupakan akses ke Istana Tuanku Baginda President. Mereka membutuhkan lebih dari campur tangan polisi untuk membubarkan pengunjuk rasa. Tapi Tuanku Baginda President Senno Suhastommo sendiri sulit memindahkan pasukan bantuan dari Linud KomeRad dan satuan elite Rimbasti yang kini terkonsentrasi di perbukitan Gunung Puteri-Cibodas. Karena khawatir menimbulkan konfrontasi yang serius dengan resimen-resimen reguler Ibukota yang mendukung kekuasaan mutlak Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke. IcB telah gagal merencanakan masuknya Pam Swakarsa brigade maut SouMed yang akan di konsentrasikan di komplek gedung Parlemen-Senayan. Karena pimpinannya tersandung kasus penculikan dan rencana pembunuhan yang dilakuka anak buahnya di Malang-Jawa bagian Timur. Sekarang para petinggi IcB sedang dalam proses investigasi politik yang di lakukan Kementerian Pertahanan. Untungnya pemeriksaan Internal itu dibawah pengawasan langsung Dr. Oktaprius Surya Prayoga Js.D, SH. Wakil Menteri Pertahanan yang sangat dipercaya oleh Tuanku Baginda President Senno Suhastommo.

 

Ironis. Bahwa sekarang dia harus mengadili orang-orang yang di anggap melakukan kesalahan fatal justeru karena menjalankan permintaan pribadinya sendiri. Tapi siapa yang perduli. Tuanku Baginda President Suhastommo toh, tidak tahu dia yang merencanakan semuanya. Yang lebih penting dari semua itu, dia di anggap tidak terlibat. Persetan orang lain membusuk di penjara karena perbuatannya. Mobil dinas Chevrollet Captiva Brigjen teritorial Rachmia Erlly-Meir berhenti di beberapa garnesun resimen Ibukota yang jauh dari aksi mogok dan blokir jalan para demonstran. Berbicara dengan para perwira Inteligent bawahannya dan memeriksa kesiapan tempur pasukan yang akan memperjuangkan pos pertahanan mereka masing-masing bila unsur-unsur pemukul Linud KomeRad sampai bergerak masuk Ibukota. Kebanyakan dari mereka ikut dalam organisasi FeGoz yang Brigjen teritorial Rachmia menjadi pimpinannya. Jadi antara mereka pribadi tidak ada halangan untuk berdiskusi dengan akrab. Puas dengan kesiapan tempur pasukan-pasukan dalam garnesun Ibukota mobil dinas Chevrollet Captiva Brigjen teritorial Rachmia Erlly-Meir mampir ke Restorant cepat saji Wasabi Sushi di Kelapa Gading Square.

 

Meninggalkan para pengawalnya di lobby pusat pembelanjaan yang mewah itu dia melangkah diantara ratusan pengunjung Mall yang melewatkan kejenuhan suasana tegang Ibukota dengan berbelanja. Tidak mengambil salah satu deretan meja saji di Restorant Wasabi Sushi itu Brigjen teritorial Rachmia Erlly memilih duduk di kursi balkon yang dekat dengan para koki Restorant Wasabi Sushi melakukan aksinya. Brigjen teritorial Rachmia memungut salah satu daftar menu. Menyelipkan sobekan kertas yang dia peroleh langsung dari Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke.

                “Saya ingin pesanan khusus. Tolong sampaikan ini pada Cheff.”  Kata Brigjen teritorial Rachmia kepada pelayan yang siap melayani di hadapannya.

Pelayan itu memandang Brigjen teritorial Rachmia dengan aneh. Melihat ke daftar menu dan membuka isinya. Catatan kecil yang terselip di buku menu itu dengan segera di antarkan ke Cheff Lenna Aprillia Sukmawati. Koki utama sekaligus pemilik Restorant Wasabi Sushi ini. Cheff Lenna Aprillia keluar tidak lama kemudian. Di ikuti oleh pelayan yang tadi membawakan buku menu untuknya. Di tunjukkan tamu yang telah minta bertemu dengannya. Cheff Lenna Aprillia menghampiri Brigjen teritorial Rachmia Erlly-Meir dengan ramah.

                “Jendral. Senang bisa mengenal anda… tampaknya kita akan banyak bekerja sama di sini.”  Cheff Lenna Aprillia mengulurkan tangannya yang segera di sambut oleh Brigjen teritorial Rachmia Erlly.

                “Yyaa… dan, apa ada tempat yang lebih pribadi untuk kita mengobrol.”

                “Tentu…”  Cheff Lenna Aprillia menyambut permintaan Brigjen teritorial Rachmia dengan riang. “Kita bisa mengobrol dengan lebih santai di ruang kerja saya. Mari…”

Brigjen teritorial Rachmia Erlly meraih topi pet hijau dengan satu bintang di tengah itu di meja, dan mengikuti cheff Lenna Aprillia yang berjalan di sisi lain meja balkon. Di bukakan sebuah potongan kecil meja balkon itu yang ternyata berperan sebagai pintu masuk. Terus masuk ke tempat dapur yang disana tengah di masak beraneka masakan Jepang. Mulai dari Chawan Mushi yang terdiri dari racikan ikan tambak, udang, ayam, saus ikan, kacang ginko, jamur shiitake dan rebung. Teh hijau Jepang yang mereka sebut ocha, Sakhi, dan arak beras. Juga Green Tea Milk Shake. Kantor pribadi Cheff Lenna Aprillia berada di sebelah ruangan dapur itu. Ruangan besar ukuran empat kali lima meter dengan toilet pribadi yang di lengkapi shower. Ber-AC dan di lengkapi teve LG Plasma 42PT250 berukuran 42 inch dengan Dynamic Contrast Ratio 1.000.000:1 dan Panel Resolution 1024×768(HD Resolution). Home Theater HB-806 TM denga 3D BlueRay Disc Playback, 850W Power, dan External HDD Playback. Seperangkat soffa tamu dan meja kerja besar dengan kursi Ergonomic yang nyaman di belakangnya. Cheff Lenna Aprillia mempersilahkan Brigjen teritorial Rachmia Erlly di depan meja kerjanya dan kemudian dia nikmati duduk nyaman di kursi Ergonomic.

                “Baiklah.”  Kata Cheff Lenna Aprillia, “Apa tepatnya yang bisa saya kerjakan untuk tugas baru kita ini… Karena sekarang saya, dan seluruh staf saya di restourant ini akan bekerja untuk kepentingan anda. Jendral Rachmia.”

                “Hmm… yeaa, saya membutuhkan kalian bila ingin menyampaikan informasi penting untuk Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke. Atau mungkin saluran untuk Hyang Mulia Jendral besar Bosma, menyampaikan instruksi-instruksi yang penting pada saya.”  Kata Brigjen teritorial Rachmia Erlly.

                “Saya tahu tugas saya. Anda bisa meninggalkan informasi yang harus di sampaikan ke salah satu meja saji kami di dalam buku menu. Nanti pelayan kami akan mengambil buku menu itu dan memberikan menu hidangan yang biasa untuk anda santap. Jendral Rachmia akan membayar makanan seperti biasa dan selanjutnya bisa meninggalkan restaurant ini. Kebetulan salah seorang dari petugas Pengawal Saber Laut bukit Penjaringan di daerah Muara Kapuk, adalah langganan tetap Maki sushi kami. Terkadang kami menyelipkan dalam antaran itu beberapa lembar informasi untuk kantor pusat. Atau kepada Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke sendiri.”

                “Itu bagus. Dan bagaimana nanti kami akan menerima instruksi pribadi dari Hyang Mulia Jendral besar Bosma, kalau memang itu benar-benar di perlukan ?”  Brigjen teritorial Rachmia Erlly menanyakan untuk sekedar ingin tahu.

                Oouww… itu mudah. Nanti anda juga harus berlangganan Wasabi Sushi untuk selingan makan malam. Kami memiliki armada sepeda motor untuk melayani pesanan ke rumah-rumah. Anda harus menikmati sensasi menyantap masakan Jepang.”  Kata Cheff Lenna Aprillia.

 

Pagi yang sama di hamparan lembah perbukitan Gunung Putri-Cibodas. Hari itu ada sekitar enampuluh ribu orang beraktivitas di tengah hutan Gunung Putri. Sekitar seribu limaratus tenda komando yang masing-masing menampung empatpuluh orang. Anggota pasukan dari Linud KomeRad Angkatan Darat, pasukan elite Rimbasti, dan hampir tigapuluh ribu anggota Pam Swakarsa brigade maut SouMed yang di biayai dinas keamanan IcB.

Tenda pimpinan yang paling besar di tinggali oleh JendralDewa Made Geigeer Sudhiarta yang memegang unit pemukul dengan di lengkapi  Pansher Renault/Saviyem VAB, dan Cadhillac Gage V-150. Personel diangkut dengan truck mitsubishi Coltdiesell HD-150Ps kapasitas satu pasukan berikut kebutuhan logistik untuk kesiapan tempur garis pertama. Armada Hilux Minor Change 200 LS Standar Spec untuk pleton pengintai. Dan para komandannya membawa jeep Korean Mambo dengan antena komunikasi sepanjang empat meter di belakang. Seluruh total kekuatan yang mereka punyai saat ini sekitar tigaratus unit Pansher Renault/Saviyem VAB, dan Cadillac Gage V-150 meriam. Tigaratus Hilux Minor Change 200 LS, tigaratus jeep Korean Mambo, dan sembilan ratus truck mitsubishi Coltdiesell HD-150Ps untuk angkut pasukan dan perbekalan. Lalu ada tenda pimpinan yang di tinggali Rimbasti JendralBambang Wisesha di dukung oleh armada 200 unit Renault/Saviyem VAB yang di persenjatai varian Browning M-2Hb kaliber 12.7mm full otomatis dan 50 unit Cadhillac Gage V-150. Sejumlah 25 unit mobil toyota Hilux Minor Change 200 LS Standar Spec dan untuk para komandannya, 25 unit jeep Korean Mambo.

 

Dan satu tenda pimpinan terakhir untuk di tempati jajaran teras  Amir Markaziah SouMed. Yang di angkat langsung oleh Amir darurat Markaziah SriBaa Syeich Baitullah Mehsud di Kashmier. Mulai dari Wakil Panglima SouMed Hasan Karmaaniy al-Ammaarah, Panglima SouMed Hafash Makhaariq al-Akaasyah, Wakil Amir urusan politik Muhammad bin Sahlaall, Wakil Amir urusan logistik Ibnu Alawaan, Wakil Amir urusan pembinaan Muhammad al-Muhaajir, Wakil Amir bagian Operasi Umum Ibrahim al-Baqhraa, Wakil Amir bagian Operasi Khusus Wahhaad bin Abdul Akaasyah, dan Amir Markaziah SouMed Syeich Achmmad bin Muhammad al-Ghaalin. Dinas Logistik pasukan Linud KomeRad harus mengeluarkan biaya belanja langsung tigaribu limaratus ton untuk beras. Itu artinya tiga setengah milyard hanya untuk beras. Atau sekitar tujuh milyard untuk kebutuhan makan yang layak untuk satu bulan. Untuk sekitar duaribu kendaraan miliknya mereka membutuhkan seratus duapuluh enamribu galon minyak. Atau sekitar duabelas setengah milyard untuk kebutuhan bahan bakar kendaraan untuk satu bulan.

 

Total kebutuhan untuk operasional mereka yang tidak pasti ini termasuk uang saku prajurit yang sekitar tujupuluh dua milyard menjadi hampir seratus milyard rupiah perbulan. Kalau rencana operasi mereka semakin tidak pasti, artinya itu akan menggerogoti cadangan anggaran Pertahanan seratus milyard perbulan. Setiap peserta yang di akomodasi di perbukitan Gunung Puteri, baik tentara atau bukan memperoleh uang saku tigaratus ribu setiap akhir pekan selama mereka tidak meninggalkan asrama. Kebanyakan tentara mempergunakan uang saku yang mereka terima untuk pacaran dengan pelacur-pelacur belia di kawasan Baros-Sukabumi, atau Parung-Bogor. Karena mereka menguasai kendaraan. Pejuang-pejuang Santri dari brigade maut SouMed yang mengabdikan hidup dan mati untuk Amir Markaziah Syeich Achmmad bin Muhammad al-Ghaalin suka menghabiskan akhir pekan mereka dengan membeli Kambing atau Sapi-sapi penduduk secara patungan untuk pesta daging panggang sambil bergembira mengelilingi api unggun. Sebagian uang juga mereka simpan untuk membantu kebutuhan keluarga di rumah.

 

Adalah Wakil Amir urusan politik Muhammad bin Sahlaall yang saat itu sedang cemas membicarakan kondisi pemerintahan dalam negeri Kabinet Tuanku Baginda President Senno Suhastommo. Setelah di tangkapnya sejumlah petinggi elite dinas keamanan IcB oleh suatu komite penyelidik kehakiman yang di ketuai Wakil Menteri Pertahanan Dr. Oktaprius Surya Prayoga Js.D, SH. Di antara yang terlibat dalam percakapan santai di pinggir hutan itu ada Wakil Komandan Densus Rimbasti Mayor infanteri Richard Tammon Singkara, ketua Mantiqi wilayah kerja III brigade maut SouMed Kalimantan dan Sulawesi Nashronn al-Ammraa, dan dua orang masing-masing ketua Wakalah dari Mantiqi wilayah kerja II brigade maut SouMed Sumatra dan Jawa Ibnu Jahrroo dan Isyaam Nursyie. Wadan densus Rimbasti Mayor infanteri Richard nampak gagah dengan senjata serbu SS-1 di tangan. Sementara Muhammad dan Nashronn cukup puas dengan pistol FN yang tersarungkan di pinggang. Kedua ketua Wakalah yang pangkatnya lebih rendah harus puas menerima senjatanya apabila memang di perlukan nanti, pada saat menjalankan operasi.

                “Dengan penangkapan para jendral-jendral terbaik dinas keamana IcB ini oleh kekuasaan Tuanku Baginda President Suhastommo sendiri… Saya khawatir. Kita akan kehilangan moment penting membereskan mahasiswa-mahasiswa pengkhianat kebangsaan dan keimanan yang berani mengusik kebijakan pemimpin negara yang sah. Negara ini perlu kebijakan yang tegas untuk memusnahkan kafir-kafir ingusan yang telah mempertanyakan integritas seorang Imam besar sekelas Tuanku Baginda President Suhastommo kalau tidak ingin republik ini bubar. Hanya Indonesia… negara Islam terbesar di benua timur ini yang masih punya ketegasan memperjuangkan Pemenangan bangsa Islam bagi dunia. Tidak mau seperti Malaysia… Pakistan… dan Brunei yang memilih menjadi antek-antek politik Amerika dan bangsa koloni Eropa yang selalu ingin menghancurkan kekuatan Islam.”  Kata-kata Muhammad bin Sahlaall dengan serius.

                “Kita semua mempertanyakan hal yang sama di sini, ketua.”  Isyaam Nursyie berpandangan yang sama dengan wakil Amir urusan Politik SouMed itu. “Kalau saja tidak karena menghormati kebijaksanaan dari pemerintah sudah ingin rasanya tangan ini menyambar golok dan mengamuk di tengah-tengah Massa demonstran yang sampai sekarang masih mengacak-acak jalanan Ibukota dengan semaunya. Akan saya bunuh sebanyak mungkin orang yang dengan seenaknya tidur di jalanan dan melumpuhkan aktivitas ekonomi dan roda pemerintahan pusat. Tidak ada tempat bagi seorang pembangkang yang merecoki kegiatan ekonomi di negeri ini. Orang mencari makan demi keluarga itu Ibadah. Dosa besar bagi mereka yang menghalangi orang lain untuk beribadah kepada Allah. Orang boleh tidak puas dengan cara-cara Tuanku Baginda President Suhastommo memerintah. Karena tidak mungkin Allah itu membagi kemakmuran yang sama rata bagi semua orang. Tapi menyalahkan kemiskinan yang mereka alami kepada Tuanku Baginda President Suhastommo adalah perbuatan konyol. Karena bukan Tuanku Baginda President Suhastommo yang menentukan kaya miskin seseorang. Melainkan nasib dan takdir yang telah di gariskan oleh Allah. Mereka juga bukan pemilik dari tanah Ibu pertiwi ini. Jadi kalau negara demi untuk kemakmuran bersama menginginkan tanah mereka, itu harus di syukuri sebagai takdir Allah. Bukan malah melawan aparat sampai harus berakhir dengan letupan senjata. Tentara juga tidak mengambil tanah itu untuk diri mereka sendiri. Semata-mata… kan hanya menjalankan tugas negara. Mereka jangan di salahkan.”

Wakil Komandan Densus Rimbasti Mayor infanteri Richard Tammon Singkara yang merasa tindakan brutalnya selama ini di bela oleh orang lain menjadi bangga. Tersenyum kepada ketua Wakalah brigade maut SouMed yang sama-sama siap mati membela kehormatan President Suhastommo.

                “Dhik Isyaam ini benar… kami juga tidak mau membunuh rakyat sendiri sehingga kami di juluki tentara penjagal rakyat. Kalau saja… mereka dengan sukarela pindah dari tanah kelahiran mereka. Kita harus bersyukur ada bangsa lain yang dengan modal besar dan tehnologinya mau membangun eksplorasi tambang di negeri kita. Karena kenyataannya bangsa kita tidak punya modal dan kemampuan untuk mengolah hasil bumi kita sendiri. Toh kekayaan yang di keruk itu sebagian kecil masih akan kembali pada negara melalui pajak dan royalti perusahaan. Harusnya kita ikut bangga. Sebagian dari saudara-saudara kita sendiri yang beruntung ikut menikmati royalti perusahaan tambang asing dan menjadi kaya raya sehingga bisa menyombongkan pada dunia bahwa bangsa kita ini ada dan juga kaya-raya. Walau itu hanya segelintir saja. Toh orang-orang miskin yang tergusur masih bisa bekerja lagi dan membeli rumah lagi di tempat yang lain.”

                “Yyaa… karena hakekatnya kemiskinan itu takdir. Belum tentu kalau mereka yang mendapat keberuntungan menjadi kaya-raya dengan royalti perusahaan tambang asing yang mereka terima itu, akan bisa kuat seperti beberapa nama besar pengusaha yang berada di sekitar Tuan Baginda President Suhastommo dan ikut membesarkan Partai Sabit Merah.”  kata Muhammad bin Sahlaall mendukung.

                “Kami misalnya… walau termasuk kaum yang miskin, dengan mendukung setiap kebijakan negara tetap bisa mendapat penghidupan yang layak dan sambil terus berjuang membesarkan nama Islam. Memberangus setiap kafir yang mencela kekuasaan Tuanku Baginda President Suhastommo. Indonesia ini negara dengan kekayaan devisa hanya sekitar seratus tujupuluh milyar dollar untuk lebih dari duaratus limapuluh juta penduduknya. Tidak mungkin kekayaan itu dibagi rata kepada semua orang. Allah saja memberikan kemakmuran tidak kepada semua orang. Kalau mereka tidak puas, mengapa tidak menyalahkan Allah sekalian biar kita cap murtad dan untuk halal dibunuh.”  Ibnu Jahrroo menyatakan.

                “Mengapa kita tidak langsung saja masuk Ibukota da menghabisi pengkhianat-pengkhianat kebangsaan itu ?”  Nashronn al-Ammraa berkata dengan nada jengkel.

                “Persoalan tidak segambang yang kita bayangkan.”  Wakil Komandan Densus Rimbasti Mayor infanteri Richard Tammon Singkara yang paling memahami masalah yang sedang di hadapi pengambil kebijakan di atas menjabarkan. “Dalam wilayah Ibukota sendiri masih ada resimen-resimen tetap Kodam Ibukota yang secara garis komando berkiblat pada kekuasaan mutlak Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke atas Angkatan Bersenjata. Kondisi ini menyulitkan Tuanku Baginda Presiden Suhastommo dalam mengambil keputusan. Kita semua disini sepakat. Mahasiswa-mahasiswa dan warga masyarakat pengkhianat kebangsaan yang masih ingusan itu harus di musnahkan. Mereka tidak pantas hidup di negeri yang serius memperjuangkan kemakmuran dan Islam. Mereka yang berkhianat kepada Imam bangsanya sendiri adalah orang yang di laknat oleh Allah. Itu pasti. Dan mereka halal untuk dibasmi. Mereka tidak menghargai perjuangan Islam dan mereka musuh utama Islam demi mempertahankan kekuasaan yang sah Tuanku Baginda Presiden Suhastommo. Permasalahannya adalah resimen-resimen tetap Ibukota. Kembali karena masalah keamanan yang serius. Mereka adalah pasukan-pasukan terlatih yang di persenjatai dengan lengkap. Yang secara terbuka mendukung gerakan unjuk rasa blokir jalan para mahasiswa dan warga masyarakat ibukota itu. Kalau kita nekad menyerang dan ternyata kalah kuat, tidakkah ini justeru akan menjadi titik balik kejatuhan rejim kekuasaan Tuanku Baginda President Suhastommo sendiri.”

                “Kita ini mendapat mandat langsung dari kewenangan tertinggi Tuanku Baginda President Suhastommo. Mengapa harus takut dengan mereka. Melawan kita bisa berarti Makar terhadap kekuasaan pemimpin negara yang sah.”  Ibnu Jahrroo menyatakan pendapat.

Wakil Komandan Densus Rimbasti Mayor infanteri Richard Tammon Singkara tersenyum mendengar kepolosan mereka dalam memahami pergaulan dalam insitusi pemerintahan tertinggi.

                “Di republik kita ini Tuanku Baginda President Senno Suhastommo bukanlah seorang Raja. Tidak ada kekuasaan mutlak yang bisa di bangun seorang pemimpin negara di republik ini. Resminya saja sudah ada dua lembaga kekuasaan tertinggi di republik ini. Tuanku Baginda President Suhastommo di satu fihak. Dan Parlemen di fihak yang lain. Untungnya di bawah pengaruh besar pemimpin spiritual kita, Tengku Mu’adh Abdillah Zaenni yang mayoritas di Parlemen bisa mempersatukan suara bulat Parlemen untuk mendukung kekuasaan tunggal Tuanku Baginda President Suhastommo. Tapi sayang, selain dari dua kekuasaan mutlak secara konstitusi itu masih ada unsur kekuatan lain. Yaitu Kejaksaan Agung yang sangat rajin menyisir celah-celah penyelewengan anggaran Pemerintah dan banyak menyulitkan kabinet Tuanku Baginda President Suhastommo dan Angkatan Bersenjata yang secara politik tunduk pada pamor kekuasaan Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke. Repotnya para anggota kejaksaan yang mengambil sikap Independent terhadap Pemerintahan dalam negeri ini tidak mempan di suap. Sementara Tuanku Baginda President Suhastommo harus memberi makan banyak mulut yang selama ini menyokong kekuasaannya dengan anggaran proyek-proyek negara yang sudah tidak gencar lagi.”  

“Penyelewengan dana itu menjadi begitu mudah ketahuan oleh auditor-auditor kejaksaan yang terlalu piawai. Kehakiman yang di tingkat pusat mudah bekerja sama dengan Tuanku Baginda President untuk mementahkan bukti-bukti yang diambil dari fakta sebenarnya. Semakin sulit membatalkan persidangan karena liputan luas media masa yang tiada henti mencecar kebobrokan hakim-hakim korupt di republik ini. Menjadi lucu kalau fakta persidangan yang di ungkap sedemikian gamblang oleh Jaksa penuntut, tiba-tiba hakim memutuskan terdakwa tidak bersalah. Sementara polisi dengan mudahnya memenjarakan pribumi-pribumi yang mati-matian melindungi rumahnya dari gusuran para investor asing yang serakah atas tuduhan pencurian sebatang ranting kering dari hutan untuk kayu bakar menanak nasi. Sebutir biji salak yang ditemukan anak-anak mereka di hutan untuk bermain dakonan, atau setangkai buah randu kering yang tercecer di tanah untuk sekedar mengisi bantal cucunya yang kedinginan.”

                “Tapi orang-orang miskin itu bukankah memang harus di gusur karena menghambat pembangunan. Mereka hanya numpang di negeri ini. Mereka pantas di perlakukan semena-mena karena tidak punya rasa kebangsaan dan jiwa pengorbanan yang tinggi terhadap negara. Lha wong… di negeri ini mereka bayar pajak. Berarti mereka kan menyewa tanah di republik ini. Harus rela dong. Sudah untung di beri hidup. Harus berusaha sendiri kalau mau kaya.”  Ibnu Jahrroo menyatakan lagi.

                “Pandangan kamu sungguh bijak, Jahrroo… coba bayangkan kalau rumahmu yang tiba-tiba harus di usir oleh pasukan Rimbasti demi keinginan investor-investor asing itu dan membuang keluarga dan Bapak-Ibumu ke jalanan tanpa pesangon sedikitpun.”  ketua Mantiqi wilayah kerja III brigade maut SouMed Kalimantan dan Sulawesi Nashronn al-Ammraa tiba-tiba membandingkan dengan bercanda.

                “Wwaahh… ya tidak mungkin itu. Wong kita ini memperjuangkan Islam dan hidup-mati kami membela kepentingan Tuanku Baginda President Suhastommo. Mana mungkin Bapak kita sendiri, yang kita puja dan perjuangkan sampai hati menikam anaknya dari belakang. Murtad sekali itu.”

                “Tapi kalau seandainya itu memang terjadi pada keluargamu ?”  Nashroon al-Ammraa masih menggoda teman yang masih lebih muda darinya.

                “Kalau sampai itu terjadi yaa… aku tidak percaya lagi dengan perjuangan SouMed. Aku keluar dari SouMed dan aku bunuh President berhati Jahiliyah itu dengan tanganku sendiri.”  Tuntutan Ibnu Jahrroo dengan sungguh-sungguh.

                “Huusstt… sudah-sudah. Hentikan perdebatan ini. Kalau nanti kedengaran anggota Ditpropam Rimbasti kamu bisa di seret ke penjara dan di tuduh yang macam-macam. Nanti aku juga yang repot.”  Wakil Amir urusan politik Muhammad bin Sahlaall menghentikan mereka.

Tercenung Wakil Komandan Densus Rimbasti Mayor infanteri Richard Tammon Singkara melihat sikap ketua Wakalah brigade maut SouMed ini. Seandainya suatu saat nanti kejahatan-kejahatan investor asing menggusur di sana-sini untuk keserakahan business mereka semata dan royalti bagi segelintir orang yang sudah demikian kaya di sekitar kekuasaan Tuanku Baginda President Suhastommo, tiba-tiba juga menimpa keluarganya sendiri. Apakah dia juga akan sesemangat ini membela perintah-perintah sang pemimpin besar, Tuanku Baginda President Suhastommo. Untuk menggusur dan membunuhi rakyat-rakyat pribumi yang terlalu banyak tuntutan. Untungnya kebanyakan anggota brigade maut SouMed di akomodasi untuk menguasai lahan parkir dan keamanan pasar-pasar tradisional di perkotaan yang menghasilkan banyak uang. Sekaligus menjadi satgas pemukul ormas-ormas plat merah untuk alat propaganda-propaganda Pemerintah. Mereka tidak perlu susah-susah cari kerja untuk mendapat uang karena kegiatan mereka legal dalam perlindungan oknum-oknum tentara.

 

 

Sang Penjaga (The Keeper-2)

Bertualang Wisata Di Dunia Sastra Banghar Di Bawah Bendera Revolusi Indonesia

 

 

 

 

Chapster II (dua)

 

 

 

 

By : Banghar

Jakarta, Black September 14th

 

Adalah Kepala IcB Pusat. Jendral Icb. Mannaf Trighanna Thallib. Setelah melihat kondisi yang semakin runyam di lapangan. Karena telah hilangnya kepercayaan rakyat atas kesanggupan Pemerintah mengelola negara dengan baik. Yang semakin di perparah dengan hancurnya nilai tukar rupiah terhadap uang dolar. Matinya industri lokal karena keberpihakan Negara pada modal-modal besar yang memberi suap. Tingginya cadangan devisa semu yang menyebabkan bencana sosial. Karena kekayaan negara hanya mengandalkan Tambang minyak dan Gas Alam Axios Ltd. Mexico yang di pertahankan oleh detasemen-B Rimbasti di Sumatra. Tambang Emas ProLand Ltd. Canada yang dipertahankan oleh detasemen-C Rimbasti di Papua. Tambang Batubara dan Intan Imex Ltd. Brazil yang di pertahankan oleh detasemen-D Rimbasti di Kalimantan. Tambang Pasir Besi dan Aspal Cair Sobral Ltd. Malaysia yang di pertahankan oleh detasemen-E Rimbasti di Sulawesi.

 

Yang digunakan sebesar-besarnya keuntungan untuk negara asal perusahaan pengelola, dan sedikit royalti bagi pejabat-pejabat gemuk di puncak kekuasaan. Lebih sedikit lagi untuk pajak yang dipakai untuk menutup dana APBN. Sedangkan rakyat dibiarkan menderita kelaparan. Dengan lahan-lahan sawah da ladang jagung yang rusak karena limbah tambang tidak terkontrol. Banyaknya tenaga kerja buruh di Luar Negeri sedikit menyelamatkan perekonomian rakyat. Tapi makin banyaknya Buruh migran yang bermasalah di luar negeri dan terpaksa di pulangkan ramai-ramai, mulai menggoyahkan Pemerintahan. Rakyat yang tak lagi mampu membeli beras mulai teriak. Sedang pekerjaan sangat langka. Banyak Industri yang mati karena tingginya produk Import yang seharusnya bisa dibuat sendiri dan menciptakan lapangan kerja lokal.

 

Buntutnya, mahasiswa menginspirasi gerakan rakyat turun ke jalan. Menggugat ekonomi pemerintah yang mengobral sumber daya alam negara untuk penguasa Asing. Dan menikmati hasilnya untuk diri mereka sendiri. Rakyat menganggur di biarkan. Rakyat tidak sanggup lagi makan tidak di perdulikan. Resimen Istimewa Brajamusti. Rimbasti. Tentara elite kementerian Pertahanan yang langsung di bawah kendali IcB. Dinas Rahasia kepanjangan tangan Tuanku Baginda Presiden di nilai terlalu membela investor asing yang menggaji mereka. Menggusur tanah Rakyat untuk area pertambangan seenaknya dengan alasan kepentingan negara. Rimbasti memang tentara elite yang dibina khusus oleh MenPangab dan KasAD. Tapi peralatannya di tingkatkan dan dibiayai oleh Perusahaan-perusahaan tempat mereka bernaung. Detasemen mereka di lengkapi dengan armada Kavaleri Strike terbaru. Senjata serbu kelas Macmillan M-88 Sniper kaliber 0.50mm dan mereka menikmati bonus gaji yang berlipat-lipat dari perusahaan.

 

Gerakan turun ke jalan Mahasiswa ini semakin lama mendapat simpati warga kelas menengah ke bawah yang semakin sulit menjalani pekerjaan mereka di Republik ini. Dalam seminggu telah ada setengah juta warga masyarakat memblokir jalanan sekitar Senayan dan Monas. Satu bulan kemudian sekitar enam juta warga masyarakat dan mahasiswa menutup total seluruh jalanan di Jakarta Pusat dengan menggelar acara tiduran outdoor. Danres Kepolisian  Jakarta pusat hanya memiliki empat kompi personel. Enamribu orang kalau bisa memobilisir kekuatan satu Polda Metro. Mereka tidak ingin berdialog dengan Pemerintah, atau mengajukan penawaran apapun. Mereka hanya mau Negara mengusir Investor-Investor Asing itu dari tanah Indonesia dan mengembalikan hak kelola tambang kepada rakyat.

 

Di antara aset-aset penggalangan IcB. Investigated Coruption Beurau. Yaitu mengendalikan kelompok separatis yang agamis dan terlarang. Yang kehadirannya selalu membuat resah masyarakat. Kelompok SriBaa. Atau Sparatis Islam al-Baajiy. Berita yang berkembang menyatakan jama’ah SriBaa memiliki lebih dari empatpuluh ribu pengikut rahasia. Satu inang tapi berbeda Imam dengan al-Qaidha wilayah Asia. Pemimpin besarnya adalah Amir darurat Markaziah Syeich Baitullah Mehsud. Berkedudukan di negara bagian Khasmier, yang sedang berperang melawan tentara Indhia. Mereka melatih diri dan membuka front pertempuran dahsat di hutan-hutan perbatasan Thailand. Di daerah tropis yang memanas Filiphine selatan. Hingga kampung-kampung kumuh di belantara kemiskinan Cambodhia. Sumber keuangan mereka kuat sekali. Dengan menguasai keamanan Pasar tradisional. Mulai dari lahan parkir, jasa keamanan bagi para pedagang dan, retribusi angkutan barang. Dengan pungutan-pungutan atau lebih tepatnya pemerasan dipusat-pusat perdagangan wilayah yang mereka kuasai. Usaha itu beromset milyaran di setiap negara sengketa.

 

Sebagian dari kelompok itu, secara tidak resmi juga menjalankan aksi penodongan, perampokan, dan pembajakan-pembajakan transportasi niaga milik apa yang mereka sebut para Kafir. Yaitu kaum yang dimata mereka tidak seagama. Atau bahkan warga muslim sendiri yang dianggap tidak sejalan dengan garis perjuangan mereka. Mereka mengincar nasabah Bank. Toko-toko perhiasan yang minim tindakan dari aparat keamanan. Sifat operasi mereka selalu terlatih. Mengenakan tutup wajah ala ninja. Dan membekal pistol standar Springfield 38mm ACP. Atau terkadang untuk daerah pinggiran yang rawan membawa senapan AKKA-47. Di Indonesia sendiri, banyak simpatisan kelompok SriBaa yang masuk dan di latih di kawasan konflik Asia. Dan kemudian kembali ke Indonesia untuk merekrut anggota baru. Beberapa Pesantren garis keras malah mensponsori para santri yang ingin berjihad menegakkan kemenangan Islam di Asia Raya. Selanjutnya mereka menjadi jalan masuk bagi para Yunior-nya untuk mendapat pelatihan yang sama di luar negeri. Selain dari eksploitasi keamanan dagang itu. Mereka juga menikmati kucuran dana bantuan jutaan dolar ketika negara-negara Timur Tengah kebanjiran untung dari marjin penjualan minyak. Pasca runtuhnya kekuasaan Mu’ammar Kadhafi di Libya. Dengan dukungan modal senjata yang tidak terbatas.

 

Dan bantuan yang terus-menerus para mujahid dari berbagai kawasan termasuk Indonesia. Separatis Islam telah membuat repot banyak anggota SEATO sehingga hubungan dengan ASEAN menjadi renggang. Malaysia dengan National Act. Memenjarakan banyak alumni pejuang SriBaa sehingga sejumlah besar anggotanya lari ke Indonesia. Celakanya, SriBaa Indonesia justru berkembang subur dengan nama baru SouMed, Solidaritas Islam untuk Pemenangan Dunia. Delapan ribu anggota brigade maut SouMed dibawah komando Mantiqi-I beroperasi di tiga wilayah konflik negara-negara SEATO yang di dukung Chinna dan Amerika. Delapanribu anggota brigade maut SouMed dibawah komando Mantiqi-II bertugas menjalankan aktivitas propaganda dan kemasyarakatan. Melakukan perekrutan, penggalangan dan pelatihan dasar bagi para kader wilayah Sumatra dan Jawa. Demikian juga dengan delapanribu anggota brigade maut SouMed dibawah komando Mantiqi-III wilayah kerja Kalimantan dan Sulawesi. Delapanribu anggota brigade maut SouMed dibawah komando Mantiqi-IV juga melakukan pengkaderan di wilayah kerja Bali dan Papua.

 

Sedangkan satu lagi SouMed dibawah komando Mantiqi-V yang sudah ahli di selundupkan sebagai pekerja Migran ke daratan Australia, New Zelland, dan Hawai. Target utama mereka untuk jangka panjang adalah mempersiapkan logistik untuk perang Akbar ke pantai barat California. Dimana sejumlah suku imigran berbagai bangsa bisa hidup makmur disana. Dengan bekal kemampuan yang dimiliki, mereka umumnya adalah para Sleeper. Punya kemampuan hebat untuk melacak dan membunuh pemimpin politik dan militer negara tempat mereka di susupkan. Melacak fasilitas sumber energi dan nuklir untuk di laporkan kepada team Penghancur teknis. Mereka berkemampuan melumpuhkan sistem komando, para staf, dan jalur komunikasi musuh. Melumpuhkan sumber daya alam yang meliputi gas alam, minyak bumi, dan pembangkit listrik. Tapi tetap, sebagai agen Sleeper mereka hanya beraksi jika di aktifkan oleh komando tertinggi SriBaa. Imam utama mereka. Mereka tidak terlibat protes-protes membela Islam. Bahkan melanggar aturan lalu lintas saja mereka dilarang.

 

Pelanggaran yang seringan apapun akan membuat foto dan identitas mereka terdaftar di pusat administrasi kejahatan Nasional. Kalau suatu organisasi kemudian terendus pihak keamanan Filiphinne misalnya, arsip anggota organisasi SriBaa wilayah itu akan di copy dan diedarkan ke jaringan informasi keamanan Internasional. Australia kemudian akan melaporkan bahwa foto atas nama Imron seperti yang di umumkan pemerintah Filiphinne kini tercatat tinggal di salah satu negara bagian Australia, dan mungkin perlu untuk dilakukan pengawasan serius. Karena itu SriBaa memberlakukan aturan ketat untuk anggota di luar negeri. Bagi yang melanggar hukumannya jelas. Yaitu… Mati ! Jama’ah SouMed menggalang pemuda-pemuda pengangguran. Di doktrin arah perjuangan mereka menurut faham SouMed di sejumlah besar wilayah Mantiqi-II, Mantiqi-III, dan Mantiqi-IV. Dasar-dasar kemiliteran mereka peroleh dari diklat Milsuk, dan hak konstitusi bela negara yang di jamin Undang-Undang. Dengan sokongan IcB yang sangat kuat mereka bisa menggunakan fasilitas-fasilitas penting komando Rimbasti detasemen Aceh, Palangkaraya, Ujung Pandang, dan Timika. Serta detasemen Rimbasti wilayah khusus Ibukota dibawah komando JendralBambang Wissesha. Sedang mereka terus dilatih oleh tentara. Para kader juga di karyakan untuk juru parkir dan preman pasar. Sebagai bukti pekerjaan yang dulu mereka janjikan. Dana yang terkumpul di gunakan untuk mendanai perang di front-front merah perjuangan SriBaa.

 

Sebagian penghasilan itu juga disetor untuk upeti para oknum petinggi tentara. Agar hubungan baik mereka dengan pihak penguasa tetap terjaga. Dan ada timbal-balik yang kongkrit sehingga lahan parkir mereka tetap terlindungi. Tidak digusur, atau di biarkan terenggut kelompok preman yang lain. Bagian dari balas jasa pula, SouMed selalu aktif dalam gerakan-gerakan yang membela kepentingan Pemerintah. Berada di garda depan, menggusur warga-warga miskin Ibu kota yang tanahnya terdampak proyek pembangunan fasilitas jalan toll, kawasan hijau perkotaan, atau bahkan pembangunan pabrik-pabrik milik Pengusaha keturunan yang dekat dengan penguasa. Begitulah tradisi mereka bergulir.

 

Minoritas yang berkiblat Islam dalam perjuangannya menjadi pemimpin di tengah tiga milyar penganut adat Budha. Satu milyar penganut adat Hindhu. Dan sembilanratus juta kaum Kristiani. Dunia memandang mereka sebagai sekumpulan kriminal dungu yang menjadikan kuil hindhu, vihara budha, dan gereja kristiani sasaran bom dan sabotase. Namun mereka punya impian hebat untuk menjadikan seluruh penduduk dunia ini tunduk pada kekaisaran Islam. Tapi Islam belum akan berkuasa sampai pengaruh neo liberalisme Amerika dan sekutu-sekutu Eropa mereka lenyap dari muka bumi.

 

Karena cita-cita itu lahirlah Mantiqi-V. Mereka yang terbaik dari qirdas dan wakalah di Mantiqi-mantiqi sebelumnya di infiltrasikan ke Mantiqi-V. Delapanribu anggota brigade maut SouMed yang ahli dan membaur. Bisa menghancurkan negara lawan jauh lebih hebat. Ketimbang sejuta laskar Mujahidin yang berperang seadanya menghadapi gelombang roket dan bom di medan terbuka. Mereka telah melihat kekalahan telak tentara Islam di Irak dan Afganisthan. Itu menjelaskan mengapa sepak terjang dan teror Mantiqi menjadi lebih di takuti. Menusuk langsung ke urat nadi lawan yang paling lemah. Yaitu rakyat sipil di negeri mereka sendiri. Amerika sudah merasakan pahitnya melihat ribuan nyawa tak berdosa dikubur hidup-hidup bersama runtuhnya gedung megah World Trade Centre di Nine-Eleven. Australia juga sempat merasakan getir ratusan nyawa rakyatnya dibantai dengan bom mobil di Sari Café, Legian-Bali.

 

Yang mereka sebut Haji-Haji kafir habis-habisan di kuras showroom emasnya di Cirebon, Bandung, Purwakarta, Jogja, hingga Banyuwangi. Ustad-Ustad bermuka dua, yang mereka anggap memeras rakyat dengan sekolah-sekolah mahal berkedok Pesantren. Di rampok hartanya habis-habisan tepat di depan kasir Bank yang mencari untung dengan makan uang riba’. Begitu efisian kerja brigade maut SouMed dan semangat separatis mereka. Membuat IcB tergoda untuk bisa mengontrol mereka. Antaranya dengan merestui perwira-perwira Rimbasti di daerah menjadi Backing mereka di lahan-lahan parkir daerah basah. Dengan mengontrol aktivitas brigade maut SouMed, IcB punya akses kuat untuk menggerakkan pengikut SouMed yang di galang oleh batalyon-batalyon Rimbasti di daerah untuk kepentingannya sendiri.

 

Belum lagi keluarga dan sanak famili mereka yang lebih dari tigaratus ribu jiwa, di mobilisir untuk memperkuat perkumpulan dakwah dibawah panji-panji Partai Sabit Merah. Limabelas ribu anggota brigade maut SouMed pernah di rekrut dalam Pam Swakarsa untuk melindungi kebijakan tidak populer Pemerintah demi Investor-Investor minyak yang menyengsarakan rakyat. Tapi SouMed juga pernah terjerat kasus hukum lantaran bentrok berdarah dengan solidaritas kerukunan antar agama di silang Monas. Pimpinan-pimpinan wakalah SouMed di tangkapi detasemen anti teror sampai ada yang di tembak mati gara-gara bom mobil yang menghebohkan di Bali. Jendral Icb. Mannaf Trighanna Thallib yang kemudian mengusulkan kembali peran Pam Swakarsa SouMed ini, untuk menghantam aksi demonstran yang sudah di anggap kebablasan. Jika Pam Swakarsa SouMed yang menghantam demonstran, aparat polisi tidak bisa di salahkan atas pelanggaran HAM. Yang menjadi makanan empuk masyarakat dunia untuk menyerang habis-habisan Indonesia.

 

Layaknya Milisi Rwanda yang membantai suku lawannya Kiyaar. Tanpa kesalahan pada Jendral Angkatan Darat Francois Knommo’ yang mendalangi aksi pembersihan etnik itu. Malah kemudian PBB merangkulnya untuk ikut mendukung perdamaian setelah musuh-musuhnya di sikat habis. Komunitas SouMed terlatih tidak hanya untuk mengintimidasi orang tapi juga bila perlu membunuh mereka sekalian demi apa yang menurut pandangan mereka, ‘Jihad’. Persoalannya apakah Tuanku Baginda Presiden Albertinus Senno Suhastommo. Pemimpin yang masuk ke Istana berkat dukungan kuat Partai Sabit Merah dan banjir iklan Pencitraannya yang luar biasa. Siap menanggung sejarah kelam Perang Saudara dimasa Pemerintahannya.

 

Principaute Stute du Willis.

 

Membentang di pantai selatan Jawa bagian timur. Menjadi kota penting keluarga multimillionair Husni saat mereka mengakuisisi sebuah benteng tua masa peninggalan Hindhia-Belanda tahun 1972. Di sulap menjadi Istana Superlatif di puncak bukit semenanjung Prigi. Bersama dengan berkembangnya waktu. Konsursium Industrialis Multimillioner al-Zayyeed Husni yang menguasai pangsa pasar perdagangan Intan dan Senjata di zona Mediterania. Terus merambah ke berbagai bidang business di seluruh dunia. Pernikahan delapan keturunan keluarga besar Husni dengan kandidat penguasa negara-negara adidaya. Meliputi Chinna, Soviyet Union, Jerman federasi, Monarki Inggris, Keemiran Kuweit, Monarki Belgia, dan negara Uni Amerika. Juga terakhir dengan rejim diktator Argentina Union. Memperkokoh supremasi perdagangan dan monopoli business keluarga Husni dalam perekonomian dunia global. Di sokong oleh kekuasaan mutlak Hyang Mulia Jendral besar Bosma Marssiello Gleizzyardhin Otmmar Abdoullay Behrdourrani Sadeghzadeh Ingenieur Youkke al-Zayyeed Husni, atas militer Indonesia.

 

Saat sidang paripurna UNO ke-14 di Swiss. Tanggal 4 Jully 1982, Stute du Willis resmi menjadi wilayah teritorium Husni. Di akui secara Internasional. Kota dalam negara Indonesia yang memiliki kedaulatan penuh. Sekelas Vatikan, Liechteinstein, dan Luxemburg. Kantor-kantor layanan publik mempekerjakan Pns, sebagai tenaga migrant yang di proses dengan paspor khusus. Mereka dicoret dari kantor Administrasi Kepegawaian negara. BAKN. Hanya kementerian Husni sendiri yang berhak atas pembayaran gaji mereka, promosi jabatan, dan mutasi pekerjaan. Negeri impian yang hanya seluas kota Bogor. Memiliki empat setengah juta penduduk. Hampir tiga setengah juta-nya bekerja untuk pelayanan publik. Aparatur daerah, kepolisian Metro, penjaga kios-kios swalayan. Karyawan hotel-hotel, para staf perkantoran, bank-bank, dan operator angkutan massal. Ada Monorel, Transbuss Willis Explorer yang berkeliling kota duapuluh empat jam tanpa bayar. Dan jasa layanan Limmousine. Satu divisi khusus kavaleri serbu Marinir. Enamribu orang menghuni Mako divsus tank tempur ampibhi di pantai timur Metro Willis. Mereka sepenuhnya berada dibawah otoritas OcC.

 

Di era rejim Pemerintahan Tuanku Baginda Presiden Albertinus Senno Suhastommo ini. Resimen Komando Kawal Khusus Istana, Kowalsus dengan duaribu anggotanya merupakan kesatuan militer yang paling tinggi derajatnya. Sering menjalankan misi-misi yang di dalangi langsung oleh Lingkaran elite Istana. Sayap kedua militer adalah Rimbasti. Resimen khusus yang di tugasi menjaga dan melancarkan Investor-Investor tambang Emas dan Perminyakan asing yang selalu bermurah hati memberikan hadiah-hadiah pada Lingkaran elite kekuasaan Tuanku Baginda Presiden Suhastommo. Sebagai timbal baliknya mereka mendapat konsesi mutlak mengendalikan dan menguasai kuli-kuli pribumi yang hampir-hampir mereka perlakukan sebagai tenaga kerja gratis. Merenggut tanah-tanah mereka seenaknya dengan menggunakan kebrutalan pasukan Rimbasti yang mereka biayai. Dua resimen Istimewa ini bisa di bilang merupakan pilar utama yang mendukung kekuasaan Tuanku Baginda Presiden Albertinus Senno Suhastommo. Sayap terakhir kekuasaan militer Tuanku Baginda Presiden Suhastomo adalah KomeRad.

 

Lima brigade pasukan elite Lintas Udara yang karena sifat khususnya, di sejajarkan menjadi tingkat divisi. KomeRad, Komando Pasukan Parrachutte AD. Mereka secara struktural terpisah dari garis komando AD. Tapi karena sejumlah besar markas resimennya tersebar di daerah. Tidak bisa menghalangi pergaulan pribadi-pribadi para perwira komando-nya dengan kalangan pengikut OcC, atau Officer Comission Club. Dewan Perwira-nya Indonesia yang mengendalikan Organisasi Perwira Merdeka. Di sisi lain struktur komando tentara. Di lingkaran Teritorial mereka telah membangun tradisi sendiri yang terdominasi para tentara muda penganut FeGoz. Freedom General Officer Organization. Organisasi Perwira Merdeka. Bersumber dari popularitas Hyang Mulia Jendral besar Bosma Behrdourrani Sadeghzadeh Ingenieur Youkke yang tanpa batas sebagai Penguasa Bayangan di Republik ini. Unsur Teritorial yang di kendalikan sepenuhnya oleh Perwira-Perwira muda FeGoz ini punya garis komando Bosma sebagai tampuk kekuasaan tertinggi. FeGoz menguasai struktur Komando Kodam dari Prajurit sampai Kolonel. Dengan pucuk pimpinannya Kas Inteldam yang mewakili kekuasaan Bosma di daerah.

 

Dan hanya oleh Panglima-Panglima Kotama yang di setujui secara pribadi oleh Hyang Mulia Jendral besar Bosma Sadeghzadeh Ingenieur Youkke al-Zayyeed Husni. Selain itu faksi Jendral Bosma Ingenieur Youkke juga menguasai kursi MenPangab, KemenHub, Kemendag, dan Jaksa Agung. Pilar utama kekuasaan Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke adalah Kodivma rahasia Saber AD yang bermarkas di sebuah Bunker duapuluh empat lantai dibawah Pangkalan militer rahasia kawasan Sediyatmo, Jakarta. Satu armada udara taktis berkekuatan empatratus tentara di pangkalan yang sama, mengoperasikan, 8 unit A/CN 235-300 GunShip buatan PT Dirgantara Indonesia, 2 unit Bizjet Phenom 100 buatan Embraer milik Kemenhan, 72 unit AH-64 Apache, 24 unit UH-60M BlackHawks, dan 16 unit Chinnock CH-46 SuperKings. Angkatan Laut menempatkan satu brigade kapal selam komando Saber AL yang berpangkalan di komplek Wisma Peristirahatan pribadi Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke di Bukit Penjaringan.

 

Pilar kedua kekuasaan Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke adalah anggota OcC. Klub Dewan Perwira dimana para brigjen teritorial yang memegang kendali Inteldam di Kotama-Kotama. Selalu memegang otoritas penuh atas Rindam-Rindam. Termasuk di dalamnya duaratus anggota penyabot elite Saber-Bosma tiap-tiap Kodam. Tongkat bergilir sebagai pemegang komando ketua OcC selalu di jabat dari kalangan ini yang secara rutin melapor kepada Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke. Tapi ada satu gugus tugas lagi yang menjaga perairan Metro Willis. Yang ini selalu menjadi pertimbangan kunci bagi pihak manapun. Untuk berfikir ulang seribu kali untuk berkeinginan mengusik kota Metro Willis yang damai. Satu armada kapal induk Angkatan Laut asing di rotasi setiap enam minggu di Willis International Harbour dari negara para Menantu Husni sendiri. Bulan ini yang sedang bergilir tugas ada Kapal Induk Soviyet Union, SS Alexander Knavs. Yang 332.8 meter panjangnya, dengan berat muatan penuh mencapai 98.556 ton. Dua reaktor nuklir dan mampu melaju hingga 32 knots. Dalam perut kapal di parkir 87 Sukhoi Su-30s, Sukhoi Su-35bm, Mig-29smt Fulcruum, hingga Mig-35 terbaru.

 

Sejumlah helikopter serbu Milanov Mi-35 Hind, Kamov Ka-27 anti kapal selam dengan senjata torpedo kecepatan tinggi APR-2E Orlan, Kamov Ka-29 angkut serbu, dan Milanov Mi-26T super transport. Di kawal oleh sekurang-kurangnya satu kapal selam nuklir, satu kapal angkut logistik, satu kapal penjelajah sekelas Ticonderoga, dan dua kapal perusak. Ada berita yang beredar di kalangan terbatas. Soal obrolan Direktur V Penggalangan IcB, Mayjen IcB Haryo Subagyo yang bekerja untuk Jendral Icb Mannaf Trighanna Thallib. Pasca sidang kabinet terakhir di Istana Negara. Saat ini status Ibukota tengah dalam siaga satu. Aksi duduk-duduk massal unjuk rasa mahasiswa dan warga Ibukota praktis melumpuhkan aktivitas sehari-hari Jakarta. Konon kabarnya aksi duduk massal ini telah menyebar ke seluruh Ibukota yang melibatkan lebih dari sembilan juta orang. Semua batalyon tempur di perintahkan untuk kesiagaan tempur garis pertama. Kondisi siaga perang dengan mempersiapkan cadangan peralatan dan amunisi sampai tiga tingkatan. Perintah ini di picu oleh persetujuan Tuanku Baginda Presiden atas usulan Jendral Icb Mannaf mempersenjatai Pam Swakarsa SouMed untuk menghantam unjuk rasa mahasiswa dan warga.

 

Dan ternyata usulan itu mendapat penolakan keras dari Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke sendiri. Membenturkan pejuang-pejuang fanatik SouMed yang tega membunuh bayi dalam kandungan sekalipun. Dengan aksi damai Mahasiswa yang menyuarakan jeritan hati nurani rakyat dengan ikhlas adalah tindakan nekad dan sangat berbahaya. Yang terjadi nanti justru operasi pembersihan etnis yang kejam tanpa perikemanusian seperti pembantaian Nazi, Boznia, dan penjagalan di Ambon. Penolakan keras Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke telah menyulut gelap mata Tuanku Baginda Presiden Albertinus Senno Suhastommo. Yang langsung mengultimatum pengunduran diri Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke. Atau akan segera di pecat dengan tidak hormat bila sampai pekan depan tidak menyatakan patuh dan tunduk pada kebijakan Tuanku Baginda Presiden. Tapi pemecatan atas diri Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke tidak semudah yang di ucapkan. OcC sepenuhnya berdiri di belakang Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke.

 

Dan mafia finansial OcC itu kuat sekali. FeGoz sebagai organisasi induk OcC mengendalikan Holding Company armada transportasi niaga. Meliputi dominasi atas seluruh pengiriman kapal Container dan kapal Tanker dalam naungan Primkopal. Dominasi atas seluruh penerbangan pesawat Cargo dan Paket udara  dalam naungan Primkopau. Dan dominasi atas seluruh pengiriman dengan truk niaga dan peti kemas dalam naungan Primkopad. Tambang-tambang minyak dan Emas boleh di kuasakan kepada Investor asing yang keuntungannya sebagian masuk ke kantong-kantong pribadi para penguasa di lingkaran dekat Tuanku Baginda Presiden Suhastommo. Tapi eksport mereka hanya boleh dengan kapal-kapal tanker milik Primkopal sendiri atau mereka tidak pernah akan di ijinkan melaut. Distribusi barang-barang eksport hanya bisa di angkut dengan truk-truk peti kemas milik Primkopad saja. Semua media transportasi niaga hingga Menteri Perhubungannya sekalian adalah milik tentara yang keuntungannya di gunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan Prajurit. Holding Company ketiga maskapai niaga itu di kelola secara profesional dengan mengimport ahli-ahli keuangan Husni Industries Trade Corporation.

 

Sehingga mereka bisa membangun armada transportasi yang sangat maju. Kapal-kapal baru yang di remajakan secara berkala, dan tidak ada korupsi. Tentara sendiri tidak boleh mengelola Holding Company. Hanya para profesional. Tapi keuntungan yang berlipat-lipat dari itu semua dibagi sama rata pada semua prajurit aktif pengikut FeGoz. Holding Company juga mendanai sejumlah tower apartement murah untuk prajurit-prajurit muda sehingga mereka tidak di pusingkan urusan tempat tinggal saat mengemban tugas negara. Holding Company mengurus asuransi pendidikan keluarga prajurit, hingga tunjangan jabatan para prajurit yang besarnya mencapai empat kali gaji pokok. Hal yang sebelum ini tidak pernah bisa di lakukan oleh negara untuk tentara yang mempertaruhkan nyawa demi merah putih. Dengan kemandirian tentara yang demikian kuat dan sumber daya finansial tidak terbatas. Militer, dalam bentuk pribadinya Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke sendiri, sanggup melakukan Kup dengan memerintahkan Kavaleri berbondong-bondong masuk Ibukota. Memutus rantai finansial FeGoz dan sekaligus meredupkan popularitas Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke di kalangan OcC.

 

Bisa di lakukan jika Tuanku Baginda President Suhastommo menyerang kota pribadi keluarga besar Husni, Metro Willis. Monarki kecil di semenanjung kota Prigi yang luasnya tidak lebih dari kota Bogor itu. Berharap bisa mengalihkan kebencian publik pada kelaparan dan kebobrokan Pemerintah yang terlalu menghamba pada Investor-investor minyak asing. Tuanku Baginda President Suhastommo mulai mencanangkan kampanye nasionalisme sepihak. Dengan slogan-slogan, ‘Ganyang Metro Willis’. Secara de fakto, Metro Willis adalah teritorium business di bawah otoritas PBB. Tapi bukan sebuah negara merdeka yang otoritas keamanan laut dan hubungan luar negeri-nya masih menjadi tanggung jawab Indonesia. Toh Tuanku Baginda President Suhastommo tetap bersikeras membenarkan tindakan invasi-nya, seperti Chinna merebut Taiwan atau Italia menguasai Vatikan. Tidak memandang hal-hal yang secara diplomatik tidak etis untuk di langgar. Yang bisa menimbulkan implikasi jauh lebih buruk bagi nasib Pemerintahannya. Terutama reaksi keras dunia Internasional kalau Metro Willis di jamah.

 

Jika Metro Willis lumpuh, Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke tidak punya apa-apa lagi untuk mengendalikan FeGoz dan OcC. Tentara akan kembali berpihak pada pribadi Tuanku Baginda President Suhastommo. Dan yang terpenting setelah itu, Tuanku Baginda President bisa menggunakan tentara sekehendak hatinya untuk meredam sikap pemberontakan rakyat dengan keras. Di bawah ancaman bedil dan bilik penjara. Nama Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenier Youkke akan habis karena keluarganya menjadi musuh bersama rakyat dan tentara. Sementara kekuasaan Tuanku Baginda President Suhastommo akan aman dari tangis kelaparan dan jerit kesengsaraan rakyatnya sendiri yang pengangguran. Tanda-tanda di mulainya kampanye ‘Ganyang Metro Willis’ sudah terlihat. Ketika duaribu Transbuss dari kantong-kantong pengikut jama’ah SouMed Mantiqi-II di kawal masuk ke wilayah karesidenan Kediri. Sekitar seratus ribu orang. Kebanyakan orang tua dan anak-anak. Mereka di mobilisir komandan-komandan wakalah SouMed. Untuk aksi demonstrasi menuntut di kembalikannya hak atas kota Prigi yang menjadi Metro Willis. Para wakalah ini mengendalikan masing-masing sepuluh qirdas yang beranggota empatpuluh andfiah.

 

Atau kader-kader brigade maut SouMed yang sedang di persiapkan untuk pembantaian di Jakarta. Iring-iringan yang lamban. Penuh di gantungi spanduk-spanduk dan poster beraneka warna. Bergerak keluar kota da memasuki jalan raya Gondang. Lalu rombongan di hentikan Kanwil Kepolisian kota di persimpangan pasar Durenan. Transbuss-transbuss menurunkan seluruh muatannya. Yang masih terkantuk-kantuk menyambut terbitnya sang fajar. Di kawasan pedesaan pinggiran kota Trenggalek. Empat kilometer jauhnya di bagian barat persimpangan itu terletak pintu gerbang Toll menuju ke kantor imigrasi kota pribadi Imperium Business Multimillioner Husni, Metro Willis. Empatpuluh komandan wakalah dari Mantiqi-II wilayah Sumatra dan Jawa yang terbesar. Nampak sibuk membujuk, dan menghimbau mereka untuk membentuk semacam barisan. Sedang duaratus polisi yang dikerahkan Resort kota Trenggalek tersebar di sepanjang jalan. Mereka cuma duduk-duduk saja di atas jock motor patwalnya dan mengawasi. Bagian kepala barisan itu akhirnya mendekati persimpangan arah pintu gerbang Toll yang menuju Metro Willis. Jalan protokol yang lebar dengan enam jalur lambat seluas duabelas meter.

 

Satu kilometer di belakangnya terlihat kantor imigrasi tiga lantai dengan enam pintu toll dibawahnya milik otoritas Metro Willis. Hanya orang-orang dengan ijin khusus yang di perbolehkan lewat. Garis merah antara kedua portal di tengah-tengah bypass merupakan akhir kewenangan dari dua institusi penegak hukum yang berbeda. Siapa yang tidak berkepentingan, sengaja melewati garis merah itu akan di tembak oleh petugas hukum yang berwenang. Di portal pintu toll wilayah Indonesia ini biasanya mempekerjakan limabelas karyawan jasa marga. Di situasi yang tidak biasa hari ini telah di tempatkan satu batalyon anti huru-hara KomeRad yang bersenjata lengkap. Sekitar empatratus tentara yang di kirim khusus dari Jakarta. Seolah-olah mereka di kondisikan sebagai pasukan huru-hara. Tapi mereka sesungguhnya di persiapkan menjadi batalyon pembuka serangan garis depan begitu Perintah Operasi invasi ke Metro Willis di keluarkan Pusat.

 

Pagi sedang cerah-cerahnya dan hangat. Para demonstran sedang dalam semangat yang tinggi. Membuktikan betapa mereka sudah tua-tua dan uzur, tidak kalah semangat dengan anak cucu mereka yang terbai’at dalam brigade maut SouMed yang kini mempersiapkan perang suci di Jakarta. Untuk bisa mencapai garis demarkazi pemisah wilayah hukum Indonesia dan Metro Willis. Saat bayang-bayang demonstran itu nampak di pintu gerbang toll wilayah Indonesia. Sekitar seratus meter lebih lebarnya. Dengan bangunan-bangunan pendukung di kedua bahu jalan. Serta taman yang memperindah lingkar luar pagar besi kokoh setinggi enam meter, dan di aliri listrik. Badan arak-arakan yang berkilo-kilo jauhnya, meneriakkan yel-yel ritual, “Teriakkan Husni, No… !  Untuk Pantai Prigi, Yessss… !” Serentak pasukan-pasukan dari batalyon lintas udara KomeRad-II Metro Jaya ini. Yang membangun kemah-kemah komando dan gudang logistiknya di jalanan belakang gerbang toll. Berhadapan langsung dengan Kantor imigrasi Metro Willis. Bangkit dan bersiaga dari ancaman anarkis demonstran. Di punggung mereka tersandang senjata laras panjang. Sedang tangan mereka tergenggam tameng rotan dan pentungan.

 

Aksi unjuk rasa spektakuler ini di rancang dan di sokong oleh elit Politbiro Sabit Merah. Demi memuaskan ambisi kekuasaan Tuanku Baginda President Senno Suhastommo. Yang pertama dan sekaligus yang terbesar. Para wartawan, reporter teve, hadir dalam jumlah besar. Cameramen berlari-larian mundur di jalanan mengabadikan dokumentasi film dari tokoh-tokoh puncak Politbiro. Mereka ada di lapisan terdepan arak-arakan. Mencakup lima ketua komisi yang mewakili kemenangan mutlak pemimpin tertinggi partai, Tengku Mu’adh Abdillah Zaenni. Yang menjadi teman dekat dalam lingkaran kekuasaan Tuanku Baginda President Suhastommo. Sebelas anggota Parlement faksi koalisi yang menyokong suara mayoritas partai Sabit Merah. Sejumlah pengurus jajaran puncak politbiro. Para tokoh terkemuka Rokhaniawan pro Pemerintah. Serikat-serikat pekerja badan-badan usaha milik pemerintah di bawah Kemendagri, dan sejumlah guru besar akademisi Perguruan Tinggi Negeri yang perduli.

 

Kapten Mnr. Purnommo Agusnugraha , sedang berdiri di lantai atas gedung imigrasi Metro Willis. Limaratus meter jauhnya di depan sana berdiri tenda-tenda komando batalyon Linud KomeRad-II. Jauh di belakangnya lagi kerumunan para demonstran tengah berdesak-desak dengan dua kompi pengamanan garis pertama batalyon Linud yang sedang bertahan. Tapi Kapten Mnr. Purnommo jelas mendengar nyanyian kompak para demosntran dengan sound-sound mobil mereka, “Teriakkan Husni No… !  Pantai Prigi Yesss… !”  Pria ini komandan Ki A/batalyon kavser-311 divsus Kopasmar Metro Williss. Batalyon pertama dari tiga brigade Kopasmar yang dengan tugas khusus mempertahankan Metro Willis. Termasuk jika perlu serangan dari pihak tentara Indonesia sendiri. Dia membawa seluruh kekuatan kompi yang terdiri atas 80 personel. Dua unit tank Shermman M-1A Abraaham, sengaja dia taruh di ketinggian sana. Di bekali self-propelled Howitzer 155mm GCT, berjarak tembak 31.5km. Tiga unit kendaraan lapis baja APC Bradley dilengkapi senjata serbu M-2 kaliber 0.5mm, lima unit Pansher Strikes, dan dua jeep komando Humvee yang dibekali senjata mesin M-60 di atas turretnya.

 

Jauh di seberang ladang-ladang kosong sana. Dua helikopter bersenjata Soviyet Union. Kamov Ka-29 angkut dan serbu membuat bunyi gaduh menuju arah tenggara. Kendaraan Strikes di parkir memblokir pintu-pintu imigrasi dan Bradley memperkuat di sisi-sisi jalan. Sedangkan Humvee yang anti peluru stand by di bagian lain gedung imigrasi. Seorang penembak jitu bersiaga dibalik turret. Memegang M-60 dengan kemampuan 550 tembakan permenit. Dengan seorang supir, Humvee di biarkan dalam kondisi tetap hidup selama duapuluh empat jam ke arah Metro Willis. Siap mengevakuasi Kapten Mnr. Purnommo bila terjadi insiden. Seorang operator radio. Kopral infanteri Tullus Mashudi selalu berada di dekat Kapten Mnr. Purnommo. Supaya Kapten Mnr. Purnommo selalu bisa berhubungan dengan unit-unit pasukannya. Terutama dengan tembakan artileri berat Howitzer dari tank M-1A Abraaham yang parkir berkilo-kilo dibelakang mereka. Pada waktu yang sama kesibukan-kesibukan luar biasa berlangsung di Metro Willis. Awalnya adalah kunjungan Isteri pemimpin besar PK Chinna. Mademoiselle GKSPPBR Aj. Prahnyndhitta Ellenoirre Ming Zhou. Berikut seratus staf diplomatik yang kini menunggui Janda mendiang pemilik Imperium Business terkaya di dunia itu.

 

Mademoiselle GKSPPBPR Aj. Kusmirrasyidha Endharwarry Hanim al-Zayyeed Husni yang sedang sakit. Melakukan medical chek up di Husni’s World Health Centre, WHC. Rumah sakit lima lantai paling canggih di dunia yang menyerupai huruf, [-H-]. Kemudian hadir pula Puteri Mahkota kerajaan Inggris. Princesse Nattasha Coirmeiyctha Laurschen Blank IV. Merupakan isteri dari Prince Wairdhemm Roys Hellminna al-Zayyeed Husni. Usai perlawatan mereka ke Tokyo dan Port Morresby-New Guinea. Mereka membawa Kapal Pesiar kerajaan Queen Antoinette III  beserta delapanratus ABK dan dua kapal perusak Inggris. Masih dari berita yang beredar. Di ketahui IcB juga punya agenda lain. Andaikata, benar terjadi Clash. Sayap militer Tuanku Baginda President Suhastommo yang masih mengandalkan Rimbasti dan sebagian kecil divisi KomeRad yang bisa di percaya tidak akan bertahan lebih dari lima jam menghadapi gelombang serangan pengikut FeGoz. Di wilayah Jakarta Raya Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke memiliki Divma gugus tugas Saber AD yang stand by di pangkalan Sediyatmo-Cengkareng.

 

Ada satu brigade laut Saber yang menjaga Peristirahatan pribadinya di bukit Penjaringan. Satu divisi khusus Kopasmar yang Kasal-nya jelas-jelas berpihak kepada Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke. Satu resimen perintis Lapis baja Brimob, dan seluruh unsur batalyon aktif Kodam yang di dominasi kuat para perwira OcC. Sayap militer Tuanku Baginda President Suhastommo saat ini bisa sedikit bernafas lega karena dukungan dari Kasau Marsekal pnb. Iskandarsyah Latief. Yang tidak lain saudara Ipar JendralBambang Wissesha sendiri. Di pusat pelatihan khusus Rimbasti. Kawasan perbukitan Gunung Puteri-Cibodas. Selain dari duapuluh empat ribu anggota Brigade Maut SouMed yang di mobilisir dengan pelatihan-pelatihan senjata tajam. Saat ini Tuanku Baginda President Suhastommo juga telah menarik seluruh batalyon Rimbasti di daerah. Sehingga kemah-kemah besar segera menjadi akomodasi seribu enamratus anggota pasukan elite Rimbasti. Kemudian di datangkan bantuan sekitar tiga divisi khusus KomeRad dari Sumatera, Makassar, dan Papua Barat. Sehingga ada tambahan sekitar duapuluh empat ribu tentara Linud untuk Ibukota.

 

Dalam kondisi terdesak bahkan brigade maut SouMed adalah veteran-veteran gerilya dari Lebanon, Afganisthan, dan Kashmier. Dengan cepat mereka bisa di persenjatai dan menjadi kekuatan pendukung yang bisa di andalkan. Di tambah dengan tiga batalyon Kowalsus dan duaribu Rimbasti, Tuanku Baginda Presiden Suhastommo menjadi punya kekuatan sekitar limapuluh ribuan tentara. Di perkuat lagi dengan enamribu empatratus anggota MenSra AU yang di datangkan dari pangkalan seluruh Indonesia. Tuanku Baginda President Suhastommo semakin percaya diri di tahta kekuasaan Istananya. Juga dia mempunyai empatratus anggota paramiliter dari IcB. Dengan sekitar tigapuluh ribu pasukan di sekitar wilayah Jakarta saja, unsur kekuatan Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke sesungguhnya adalah Kavaleri-Serbu. Jadi dengan hanya setengah kekuatan dari mobilisasi sayap militer Tuanku Baginda President Suhastommo, unsur Pemukul Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke masih lebih unggul. Hal lain yang perlu di perhatikan serius adalah implikasi kampanye, ‘Ganyang Metro Willis’.

 

Utamanya reaksi keras dunia Internasional. Dan terlebih lagi dari pemimpin-pemimpin negara raksasa yang Isteri dan Suaminya adalah putera-puteri keturunan keluarga besar Husni. Nada geram sudah pernah di ucapkan oleh Sekjen PK Chinna yang berkuasa, Highness Soen Ming Zhou. Ketua Ming Zhou berkoar siap mengorbankan empat juta tentaranya demi mempertahankan tanah Metro Willis. Setara dengan jumlah Angkatan Darat Chinna dari enam juta orang militer yang mereka miliki. Inggris juga tidak kalah cemas. Mengingat kapal Pesiar Queen Antoinette III yang membawa calon Ratu dan Pangeran Inggris merapat di Metro Willis.  Buru-buru memerintahkan duapuluhan kapal perangnya yang berpangkalan di Brunei dan Malaysia untuk berlayar ke perairan Indonesia. Dua kapal induknya yaitu HMS Lord Bisgaard dan HMS ComptenHaque membawa lebih dari seratus limapuluh GR.Mk-4A Tornado, Eurofighter Typhoon, dan Eurocopter Tiger. Di lindungi beberapa kapal Penjelajah, sejumlah kapal perusak, dan banyak fregate sebagai unsur pemburu kapal selam. Soviyet Union, memiliki sekitar limabelas ribu personel yang sedang bergilir tugas menjaga perairan Metro Willis.

 

Dengan kapal induk SS Alexander Knavs sebagai ujung tombak. Laksamana Milanko Achimovic, di pangkalan Vladivostoc memiliki lebih dari enamratus ribu pasukan. Itu cukup dekat di kerahkan ke laut Chinna Selatan untuk mencapai perairan Indonesia. Dari kepulauan Mikronesia hingga laut Okinawa-Jepang bercokol empatratus ribu tentara dari Armada-VII Navy Amerika. Pesawat-pesawat tempur mereka bisa mencapai Jakarta kurang dari duabelas jam terbang. Artinya, dengan strategi yang bagaimanapun sulit bagi Tuanku Baginda President Suhastommo memenangkan perang politiknya. Jadi Jendral Icb Mannaf harus mencari cara lain untuk menekan Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke tidak ikut campur.

 

Sementara itu di Malang, tuan Profesor Agung Rasmintho masih terus berkampanye mencari dukungan untuk proses hukum para tersangka penyerang Anggitho. Di lanjutkan dalam sebuah pesta Cocktail di kawasan Hotel mewah Surabaya. Tuan Profesor Rasmintho sedang berbincang serius dengan KasArmatim Laksda laut Johny Humbrey Kakiay. Akan perlu bertemu dengan Kajati segala nanti jika tuan Profesor Rasmintho bersikeras melanjutkan kasus ini ke sidang pengadilan. Mencari wilayah lain demi alasan netralitas dan keamanan sidang bisa di benarkan dalam acara hukum pidana. Jadi tuan Profesor Rasmintho ingin mengatur agar persidangan di gelar di Surabaya. Di sana pengaruh Pangko Daerah Militer Jawa V sangat kuat. Dan kekuatan-kekuatan politik lokal Malang akan sulit masuk.

“Sekarang, apa rencana mas Agung ?” tanya KasArmatim Laksda laut Johny Kakiay meminta ketegasan.

“Tentu. Aku mau kasus berlanjut ke pengadilan. Setelah yang mereka lakukan hampir membunuh seorang putra asuhku, nggak bisa to… mereka bebas melenggang pergi begitu saja ?” kata tuan Profesor Agung sembari mencicipi setegukan anggur Rosse dalam gelasnya. “Komandan polisi itu, Kombes polisi Bagus. Menurut laporan staf-ku sangat berambisi membebaskan para tersangka dengan berbagai cara. Untung saja, Lettu infanteri Evie berinisiatif. Di bilangnya atas perintahku tidak ada pemindahan tahanan dari Kosektro Brimob sampai ada keputusan lebih lanjut. Lalu diam-diam dia pindahkan seluruh tersangka ke Mako Brimob Polda-Jatim.”

                “Tindakan yang sangat ceroboh.”  Laksda laut Johny Kakiay memprotesnya. “Tentu… dia tidak bisa mengambil alih seenaknya kasus yang sedang di tangani institusi lain. Dan, dia tahu atas penahanan di Mako Brimob itu ?”

                “Sampai saat ini, tidak. Petugas pengawalku pasti bilang kalau pelimpahan tersangka dalam perlindungan khusus. Mereka punya kode etik untuk memastikan sama-sama tutup mulut.”

“Baiknya memang, Kajati mengambil alih dengan segera kasus ini untuk di sidangkan. Nanti pasti saya bantu Mas Profesor mensterilkan para hakimnya. Tidak usah khawatir. Semua teman kita, Waka Polda Brigjen polisi Yussuf Yuhrimaullana, Kasdam Brigjen infanteri Richard Salampessy, dan Kashanud III Marsda udara Indhra Zakha Permana. Pasti akan mendukung mas Profesor Agung.”

Tuan Profesor Rasmintho bukan tidak mampu dengan pengaruhnya sendiri menangani proses hukum tersangka penyerangan. Pengaruh pribadinya sebagai suami Pangko Daerah Militer Jawa V yang membawahkan satu divisi tentara sudah lebih dari cukup. Tidak ada penguasa lain di daerahnya yang berani menentang, atau bahkan berkomplot melawan dia. Tapi bahwa dukungan dari para kolega itu, jelas akan sangat membantu dalam persidangan.

 

Kombes polisi Bagus Wibawa turun dari taksi. Di depan kantor KemenHan kawasan Medan Merdeka-Jakarta. Setelah hampir sejam lamanya duduk tidak nyaman di pesawat. KemenHan ini adalah bangunan kokoh besar. Terdiri atas tiga bagian bujur sangkar yang saling berhubungan. Dan bangunan keempat di belakang yang tidak mencolok, disewakan secara permanent untuk Investigated Corruption Beurau, IcB. Badan Anti Korupsi nasional. Pertama kali di resmikan oleh Undang-undang sebagai Lembaga superbody kejahatan politik. IcB di comot dari badan anti korupsi di bawah payung hukum Kementerian Kehakiman. Tugas IcB di tingkatkan dari sekedar Lembaga pengawas penggunaan keuangan negara, menjadi Institusi anti korupsi yang bahkan bisa menyeret perbuatan korupsi seorang Tuanku Baginda President ke persidangan. Seiring dengan waktu berjalan, Superbody IcB justeru di manfaatkan untuk menyerang lawan-lawan politik Tuanku Baginda President di Senayan, dengan alat bukti yang dicari-cari. IcB terus berkembang dengan payung hukumnya yang setingkat Undang-undang menjadi sebuah badan rahasia sipil yang di takuti dan ikut menyokong kekuasaan politik Tuanku Baginda President Suhastommo.

 

Tapi tentu saja tidak pernah akan sebanding dengan kebesaran Bosma. Atau akan berfikir seribu kali untuk terang-terangan menghantam eksistensi Hyang Mulia Jendral besar Ingenieur Youkke. IcB dengan Jendral Icb Mannaf sebagai direkturnya nampak harus mengupayakan cara lain yang lebih elegan untuk memenangkan perang ini. Kekuasaan Tuanku Baginda President Senno Suhastommo harus di pertahankan. Itu jelas. Karena itu menyangkut hajat hidup ribuan orang penyokong kekuatan politik Tuanku Baginda President. Yang selalu menikmati royalti dengan gratis. Dari Investor-Investor tambang minyak dan permata asing yang selama ini menyengsarakan hidup rakyat. Selalu mendapat perlindungan politik maupun keamanan langsung dari detasemen-detasemen elite Rimbasti yang di biayai mahal-mahal oleh Raja-raja minyak dan permata asing. Meski dalam Undang-undang IcB dinyatakan sebagai lembaga hukum Mandiri yang tidak bisa di perintah oleh Pemerintah, Mahkamah Agung, maupun Parlement. Bahkan memiliki anggaran sendiri dari APBN untuk menggaji jaksa-jaksa penyelidik mereka. Toh fakta di lapangan, direktur IcB ini melapor kepada Sekretaris Negara Letjen teritorial Setya Bernawa. Sebagai pihak penghubung IcB dengan kekuasaan Tuanku Baginda President.

 

Tapi bukan IcB tujuan Kombes polisi Bagus kemari. Melainkan kantor Wakil MenHan di lantai tujuh gedung Segi empat itu. Kombes polisi Bagus melaporkan identitasnya ke front desk, sebagai tamu yang telah membuat janji. Di beritahu kalau pertemuannya sudah di jadwalkan ke kantor Wakil Menteri. Dr. Oktaprius Surya Prayoga Js.D, SH. Dia di persilahkan seorang prajurit pengawal menuju ke Lift utama. Berbeda dengan kebiasaan, Wakil Menteri Dr. Agus ini bukan orang militer. Dr. Oktaprius Surya Prayoga  mengawali karier dalam dunia politik. Sebagai kader Junior Task Executive Party Sabit Merah. Setelah partai besarnya sukses mengusung nama JendralAlbertinus Senno Suhastommo menjadi Tuanku Baginda Presiden. Dr. Agus di percaya untuk menjadi staf khusus Istana. JendralSuhastommo, sebelum di angkat menjadi Tuanku Baginda Presiden adalah Pimpinan Staf Angkatan Darat. Punya hubungan yang sangat baik malah, dengan Jendral Bosma Ingenieur Youkke. Tapi perjalanan politik telah merenggangkan hubungan dua sahabat ini. Malah terkesan JendralSuhastommo mengkhianati kepercayaan teman baiknya, Jendral Ingenieur Youkke.

 

Semua demi ambisi politik dan keserakahan menguasai seluruh kekayaan alam negeri ini untuk dirinya sendiri. Dia maju sebagai Capres. Di usung oleh Partai besar Sabit Merah. Tentu… dengan kesepakatan-kesepakatan politik yang harus di patuhi. Salah satu kesepakatan itu adalah menempatkan sebanyak-banyaknya kader Sabit Merah di Kementerian. Yang merupakan tambang uang bagi Partai-partai di Parlemen. Wakil Menteri Dr. Agus, yang selalu terbuka dan ramah terhadap bawahannya. Yang rata-rata masih sebaya dan bersemangat. Menyambut Kombes polisi Bagus Wibawa dengan hangat.

“Well… Komisaris. Seperti yang pernah aku katakan. Di sini kami akan membantu sepenuhnya kesulitanmu. Sebagaimana pentingnya asset milik kami yang kau lindungi. Jadi apa tepatnya bantuan dari kami yang kau harapkan ?” Wakil Menteri Dr. Agus bertanya.

“Yyaa… ini. Sebenarnya bisa dikatakan berkaitan. Tapi tidak langsung.”  Kombes polisi Bagus Wibawa mencoba untuk menerangkan dengan jelas. “Ini tentang Sonny. Putra tunggal tuan Andhre Himawan. Kemarin Sonny memerintahkan aksi pembunuhan yang gagal untuk seorang yunior sekolah yang di cemburuinya. Ternyata siswa yunior itu putra asuh seorang Pangko Daerah Militer Jawa V. Pertaruhan yang sangat mengejutkan, dan tidak saya duga sama sekali.”

                “Astaga… Dan, bagaimana nasib anak Pangdam itu ?”

                “Untungnya selamat. Sejumlah tersangka malah tertembak di amankan polisi. Sayangnya, institusi polisi yang mengamankan para tersangka itu bukan dari kesatuan saya.”  Kata Kombes polisi Bagus dengan menyesal.

“Yaa… Untung. Mengusik orang setinggi nyonya Mayje infanteri Estianni Rahayu Rasmintho bisa riskan. Dan apa, Sonny ikut tertangkap ?”

                “Saat itu Sonny tengah berlibur ke Phuket-Thailand. Jadi bersih. Masalahnya setelah kejadian itu, enambelas tersangkanya menghilang dari Kosektro Brimob-Juanda, Malang.”

                “Hilang? Apa maksudnya menghilang ?” Wakil Menteri Agus Suryaprayogha terkejut.

“Yyaa… menghilang. Kosektro Brimob tidak mengakui lagi keberadaannya. Dan para orang tua tersangka tidak menemukan keberadaan anak mereka di institusi yang manapun. Salahnya, atas permintaan Sonny… saya, telah memblokir laporan pihak Intepam yang telah mengendus rencana penyerangan. Saya… juga, instruksikan untuk melakukan hal yang sama pada Dan Restro Ajun Kombes polisi Inoki Wasis Jatmiko.”

Tidak perlu menjelaskan lagi. Wakil Menteri Dr. Agus Suryaprayogha sangat mengenal Sonny Putrahimawan sebagai salah satu asset yang perlu di lindungi dalam paket keluarga tuan Andhre Himawan. Delapan tahun lampau, ketika HSW Limited makin berkembang. Kastaf AD waktu itu merintis proyek penting untuk memenuhi kebutuhan mobilisasi lapis baja personel. Penelusuran menghasilkan salah satu cabang Industri di Pindad, punya cukup kemampuan untuk menciptakan kendaraan tempur taktis yang sekelas Barracudha, Renault/Saviem Vehicle de I’Avant Blinde. AB new generation versi enam roda. Atau sekelas jeep komando Humvee. Tapi mereka perlu mendapatkan campuran baja terbaik untuk membuatnya. Akhirnya program Industri militer milyaran dollar itu di setujui KemenHan. Himawan Steel Work Limited memenangkan tender penyedia bahan baku baja terbaik. Dan berdirilah usaha bersama HSW Ltd. dengan Pindad Perseroan milik negara.

 

Yang tidak di ketahui umum adalah transfer uang komisi jutaan dolar dari HSW Limited ke rekening pribadi Bendahara Partai Sabit Merah, di hari setelah penunjukan pemenang tender. Saat industri patungan Pindad terus berjalan. HSW Limited ikut pula menjadi besar lebih dari yang tuan Andhre Himawan pernah impikan.  Dan Wakil Menteri Dr. Agus naik dari sekedar staf khusus Istana menjadi Wakil MenHan. Dr. Suryaprayogha-lah yang memberi usulan supaya rekanan business Pindad, demi kelancaran usaha mereka sebaiknya memperoleh fasilitas pengawalan dari Negara. Bukan lantaran pentingnya proyek yang mereka kerjakan. Melainkan karena besarnya sumbangan HSW Limited untuk partainya, pantas mendapatkan penghargaan.

“Jadi… Penyerangan itu atas perintah dari Sonny. Atau, para tersangka itu yang menafsirkan sendiri kebiasaan dari kondisi yang sedang terjadi dalam pandangan Sonny ?” Wakil Menteri Dr. Agus Suryaprayogha mencoba menggali informasi lebih akurat.

“Kalau ini… benar rencana mereka sendiri tanpa melibatkan Sonny, tidak mungkin malam sebelum kejadian Sonny sendiri mau repot menghubungi saya via telephone.”  Kombes polisi Bagus menanggapi dengan perasaan gusar. “Sonny dan kelompok The Big Five memang sedang liburan keluarga di Phuket. Tapi jelas mereka punya banyak pengikut yang rela disuruh-suruh demi pengakuan kedekatannya dengan The Big Five yang merupakan Maskot sekolah Dian Harapan.”

                “Baik… Jadi mereka ini menerima Instruksi via telephone pula. Mungkin saja perintah Sonny tidak dimaksudkan seperti yang mereka lakukan hari itu. Hanya sekedar mengintimidasi, bukan malah membunuhnya.”  Wakil Menteri Dr. Agus masih berusaha mencari pembenaran atas tindakan Sonny. Putra dari keluarga hartawan yang penting nilai sumbangannya untuk mengisi pundi-pundi Partai. Agar tidak usah harus ikut melindungi orang lain yang sama sekali bukan tanggung jawabnya.

“Apapun perintahnya. Yang jelas beberapa siswa Geng yunior Persaudaraan luka parah. Dan semua tersangka penyerangan menjadi sasaran tembak aparat sebelum di hilangkan. Dalam anggota para tersangka itu ada. Satu tersangka masih terbilang keponakan Walikota Malang yang sedang menjabat. Dua tersangka bahkan anak Komandan distrik militer Metro Malang. Begini saja pak Agus.”  Kata Kombes polisi Bagus Wibawa akhirnya. Dia bisa menangkap maksud Wakil Menteri ini. Yang hendak lepas tangan atas nasib para tersangka karena tidak terkait langsung dengan Sonny. “Saya mengerti, mereka tidak ada kaitan darah dengan keluarga tuan Andhre Himawan. Tapi saya berterus-terang… empat dari tersangka itu masih keponakan saya sendiri. Coba anda bayangkan kalau dalam interogasi saya bisa berikan pengakuan mereka yang otentik soal perintah dari Sonny. Nyonya Mayjen infanteri Estianni Rahayu Rasmintho pasti akan mengejar terus, dan tidak akan melepaskan Sonny ini dari dakwaan hukum.”

                “Sebenarnya apa, yang kau minta dari kami… Komisaris ?”

                “Tentu saja… Penyelidikan.”

                “Itu tugas Polisi. Kamu sendiri punya Bidserse dan Intelpam. Kirim saja mereka dengan surat tugas resmi untuk bertanya-tanya. Mungkin ada petunjuk keberadaan anak-anak itu. Rumah Tahanan Anak misalnya.”  Wakil Menteri Dr. Agus berpendapat.

“Kalau sudah menyangkut institusi Brimob. Apalagi kekuasaan pribadi suami nyonya Mayjen infanteri Estianni Rahayu Rasmintho. Intel saya mana mempan?  Kedatangan saya di Kosektro saja tidak di hargai.”

                “Hmmm… di sini, Komisaris ada tempat tinggal ?” akhirnya Wakil Menteri memutuskan.

“Ouw… tadi saya chek-in di sebuah hotel murah di dekat-dekat sini. Maklum, semua jalanan terblokir. Pasti saya sulit kemana-mana. Untung taksi saya tahu jalan-jalan tembus.”

Wakil Menteri Dr. Agus Suryaprayogha sedang berpikir. Meminta bantuan kolega institusinya di direktorat penggalangan IcB. Mungkin Mayjen IcB Haryo Subagyo yang bertangan dingin dan jarang tersenyum mau meminjamkan salah seorang agen terbaiknya untuk dipakai mendukung penyelidikan Kombes polisi Bagus ini. Dia merencanakan untuk mengajak makan siang Jendral IcB Subagyo. Di direktorat markas besar IcB, Jendral IcB Subagyo memegang kendali atas penggalangan personel. Dia bertanggung jawab merekrut agen-agen lapangan IcB. Yang kebanyakan dari pengajuan sukarela kadet-kadet muda Bareskrim dan Jamintel Kejaksaan Agung. Kalau Wakil Menteri Dr. Agus menginginkan sebuah operasi resmi.

 

Keputusan ada di tangan Direktur II Operasi IcB. Letjen IcB Bonnar Hassibuan. Tapi harus dengan persetujuan resmi MenSetneg JendralSetya Bernawa. Pejabat penghubung kekuasaan eksekutif dengan Direktur IcB Jendral Icb Mannaf. Tapi proses itu terlalu panjang. Keluarga tuan Andhre menjadi kepentingan pribadi Partai. Begitu juga masalah-masalah yang mengelilinginya. Terlalu tinggi untuk menjadi urusan negara.

“Baiklah. Saya tahu komisaris sangat capek. Coba pulang dulu, dan istirahat. Saya akan coba memikirkan sebuah jalan keluar. Apa yang bisa di usahakan untuk Komisaris.”  Kata Wakil Menteri Dr. Agus akhirnya.

“Baik. Anda punya nomor Handphone saya, pak Waka. Saya tunggu panggilan dari anda di Hotel.”  Kombes polisi Bagus Wibawa bangkit. Mengulurkan tangan untuk bersalaman. Mereka sepakat untuk berpisah dan Kombes polisi Bagus memberikan hormat untuk yang terakhir. Kemudian dia hentakkan kaki, balik kanan dan terus pergi meninggalkan ruangan.

 

Setelah kejadian di sekolah Dian Harapan. Anggitho tidak lagi bisa bersekolah dengan bebas. Setiap pagi berangkat ke sekolah, tidak bisa tidak. Dua anggota Puspom Kodam dengan seragam harian Angkatan Darat. Sarung pistol di pinggangnya, jacket hijau kanvas yang tebal. Dan baret birunya. Selalu ikut dalam rombongan Metrobuss sekolah. Seperti selalu yang di lakukan oleh pengawal polisi Don juan Sonny Putrahimawan. Saat berjaga, seorang petugas Puspom meminjam kursi kantor di lorong depan kelas. Petugas yang lain membawa kursi kantornya di ujung lorong menuju arah tangga. Ketika tahu Anggitho di temani dua remaja Angkatan Darat yang tampan. Gadis-gadis teman polisi Bripda polisi Sinta mulai ribut ingin kenalan. Beda dengan pengawal polisi Don juan Sonny yang rata-rata sudah berumur dan punya anak isteri. Dua remaja Puspom Kodam ini terbilang darah segar di Resimen. Dan single. Bripda polisi Putri Raemawasti dan Bripda polisi Nirrina Angelinne selalu mendesak Bripda polisi Sinta untuk menghubungi Anggitho. Akhirnya. Tanpa bisa di tawar lagi. Bripda polisi Sinta yang juga dilanda gelora rasa kangen berhasil membujuk Anggitho lewat Handphone-nya. Untuk bertemu di taman dekat lapangan tennis jalan Juanda.

 

Tepatnya di belakang Kosektro Brimob. Kalau Anggitho mau, tentu saja dua remaja Puspom Kodam itu harus ikut serta. Ini jam istirahat. Mestinya mereka harus balik ke Resort untuk melapor dan pulang. Kembali untuk bertugas saat menjelang tengah hari dimana persimpangan akan sangat padat. Tapi tiga polwan cantik-cantik ini malah keluyuran di halaman rumput taman kota.

“Oooh… Angitho, Kau !  Syukurlah kau mau datang.”  Sambut Bripda polisi Sinta yang segera mengulurkan kedua tangan memeluk Anggitho. Sinta sungguh sedang berbunga-bunga. Sejak peristiwa yang membuat Anggitho nyaris terbunuh. Dan kemudian, Lettu infanteri Evie membawa pergi Anggitho tanpa menyertakan dirinya. Sinta selalu di cekam seribu kecemasan. Cemas akan kelanjutan hubungan cinta mereka selanjutnya. Cemas akan nasib dia sendiri kalau ikut di persalahkan atas terjadinya keributan itu.

“Aach… Anggitho. Kau tahu, hari-hari terakhir ini aku serasa mau mati. Tidak memperoleh kabar tentangmu. Kamu bahkan masuk sekolah tanpa sedikitpun menyapa aku.”

Anggitho tersenyum dengan hambar. Meski tidak enak di perlakukan begini di depan kedua pengawal Puspom. Toh Anggitho sudah rindu untuk dipeluk.

“Kenapa Gith… Kamu nggak sayang lagi padaku ?” lanjut Bripda polisi Sinta mengeluh dan ingin segera mendengar jawaban pengakuan dari Anggitho.

Anggitho menggeleng dengan penuh keengganan. Hatinya terasa getir memandang wajah ayu Sinta yang sedang mengharap.

“Maaf… beberapa hari ini aku sibuk dengan lingkungan yang baru.”

                “Lingkungan baru, apa maksudmu?  Apa itu juga termasuk pacar baru… ?” Bripda polisi Sinta menuntut.

Yang di tanya malah mengumbar senyum renyah. Bripda polisi Sinta menganggaap serius ucapan yang Anggitho lontarkan. Pikirnya mungkin, Anggitho sedang di persiapkan oleh orang tua angkatnya untuk pindahan ke sekolah baru. Karena setelah yang terjadi di sekolah Negeri 03 Dian Harapan, setiap orang tua pasti akan berfikir dua kali untuk tetap mempertahankan anak kesayangannya di sekolah yang sama. Apalagi untuk orang tua sekelas beliau nyonya Mayjen infanteri Estianni Rahayu Rasmintho. Yang punya banyak pesaing dalam karier militernya. Sehingga setelah ini kemungkinan Bripda polisi Sinta akan sulit ketemu lagi dengan Anggitho. Ternyata tidak.

“Yyeaa… Lingkungan baru. Setidaknya dalam pandanganku. Mau kemana, harus mendapat ijin dulu dari petugas pengawal. Mau ke toilet saja harus di periksa dulu tempatnya. Hanya jika mereka menyatakan lokasi aman, aku boleh pergi. Kelamaan nunggu bisa ngompol di celakan aku. Sangat tidak enak selalu di kawal-kawal begini.”  Kata Anggitho dengan perasaan sedih. Dan itu, cukup menjawab alasan mengapa, dalam beberapa hari ini setelah yang tejadi di sekolah negeri Dian Harapan, Anggitho tidak banyak pergi-pergi.

Bripda polisi Sinta mengangguk paham sembari membalas Anggitho dengan senyum yang tipis menggoda. Senyum yang selalu membuat Anggitho terkenang.

“Ouww… Kupikir, kau mau pindah sekolah.”

                “Mana aku rela. Meninggalkan gadis yang secantik mbak Sinta ini disini. Ntar malah di sambar lagi sama Don juan Sonny itu.”  Anggitho sudah mulai menggoda dengan kenakalannya, dalam nuansa kecemasan Bripda polisi Sinta.

“Ouww… Gith. Kau pasti masih ingat. Ini Bripda polisi Putri Raemawasti…”

Yang di perkenalkan kemudian mengulurkan tangan dan satu persatu para Sersan Pom yang mengawal Anggitho ikut menjabat tangannya. Mulai dari Serka pom. Wahyu  dan, di lanjutkan Serda pom. Sollahudin Setiyadhi. Yang menjabat tangan itu balik menyebutkan nama-nama mereka.

“Dan ini juga, temanku Bripda polisi Nirrina Angelline.”  Bripda polisi Sinta melanjutkan perkenalan temannya. Setelah perkenalan itu dua teman bripda polisi Sinta mulai mengobrol. Merangsek pada pasangan kencan mereka masing-masing. Tapi tidak pernah jauh-jauh dari Anggitho, sebagai orang yang harus mereka lindungi. Bripda polisi Sinta memilih duduk mojok di sebuah balkon taman dari beton cor. Terus bersandar manja di bahu Anggitho.

“Ku pikir aku nggak bisa memilikimu lagi, Gith. Kamu menjadi seperti orang asing lagi bagiku. Tidak bisa di hubungi, malah sekolahpun, tidak sempat melakukan tegur sapa ke seberang sini.”  Bripda pol Sinta melontarkan keluhannya dengan satu desahan yang lirih.

Anggitho merapatkan tangan yang melingkar di bahu Bripda polisi Sinta. Sejenak Anggitho memadang dengan penuh rasa iba.

“Mengapa kau berfikir begitu?  Aku hanya belum terbiasa dengan semua kondisi baru ini.”  Keluh Anggitho yang sama-sama mendesah lirih. Makin Bripda polisi Sinta memanjakan dirinya di bahu pemuda. Anggitho tergerak dan lembut mengecup kening Bripda polisi Sinta.

Kemesraan Bripda polisi Sinta mengundang gelak canda teman-teman yang telah ikut kecipratan bahagia. Setelah saling berduaan beberapa lama, pasangan Bripda polisi Putri dan Bripda polisi Nirrina balik nimbrung ke pasangan Bripda polisi Sinta dan Anggitho.

“Wah… kalian ini. Makin jodoh aja.”  Bripda pol Nirrina berkata-kata canda.

“Bener nih… kita nikahkan  aja.”

                “Uuch… dasar kalian. Emang Na’ib apa ?” bripda polisi Sinta memprotesnya sedikit jengkel. Sebaliknya malah Anggitho sama sekali tidak bereaksi. Selain dari senyum tipis yang bisa memiliki bermacam-macam makna.

“Yyaa… sekarang nikahan pura-pura aja. Ntar baru, nikahan betulan.”  Bripda polisi Putri mendukung.

“Yyaa… ya. Aku setuju itu.”  Sersan pom Sollahudin Setiyadhi mengamini.

“Jadi, gimana dong.”  Tanya Bripda polisi Putri penasaran.

Sebagai jawabannya, Sersan pom. Wahyu Sukarmansyah dan Bripda polisi Nirrina meraih tangan Bripda polisi Sinta dan Anggitho. Di bawanya ke tengah taman yang teduh di bawah sebuah pohon Calathea rosemary dengan daun-daun lebar dan eksotis. Mereka duduk dengan membentuk lingkaran. Anggitho duduk bersimpuh menyanding Bripda polisi Sinta di taman berumput itu, sambil terus berpegangan tangan. Di hadapan mereka ada Sersan muda pom. Wahyu Sukarmansyah yang bertindak sebagai Na’ib. Di kirinya ada Sersan muda pom. Sollahudin Setiyadhi yang berperan sebagai wali pengantin wanita. Sedang Bripda polisi Putri dan Bripda polisi Nirrina bersimpuh di sisi pasangan pengantin yang lainnya sebagai saksi. Serta mereka dengan kreatif-nya membuat replika cincin dari anyaman akar beringin.

“Mas Anggitho Pringadhi. Jabat tangan ini, dan ikuti saya.”  Kata Sersan pom. Wahyu Sukarmansyah yang berlagak seperti Na’ib betulan. Sementara Bripda polisi Putri merangkumkan selembar kain tenun Bali miliknya di kedua pundak mempelai, sebagai kain pengikat hubungan cinta mereka.

“Anda terima nikahnya Sinta Septia Dewi… binti Illyass, dengan mas kawin seperangkat alat shollat dan dua cicin emas seberat sembilan gram yang bertahta Blue Saffire Berlian, di bayar tunai.”

                “Saya terima nikahnya Sinta Septia Dewi,” Anggitho mengulang apa yang di ucapkan Na’ib pura-pura itu dengan serius.

“Bagaimana, saksi-saksi… Sah ?”

                “Syaaahhh… !” semua yang di tanya kontan menjawab dengan semangat.

Anggitho boleh mencium mempelai wanitanya setelah itu. Tapi mereka harus bergegas untuk kembali. Waktu istirahat sekolah Negeri 03 Dian Harapan sudah habis. Bripda polisi Sinta bisa melihat kebahagiaan yang tulus dari seorang Anggitho. Pernikahan yang cuma bohongan. Tapi cukup menjawab sejuta kecemasan yang bergolak di hati Anggitho. Membuatnya semakin mantap untuk kukuh mencintai Bripda polisi Sinta. Mereka sudah berpisah di persimpangan. Dekat denga pos Polantas tempat Bripda polisi Sinta biasa bertugas. Tapi kemudian Anggitho justru melangkah balik secara tak terduga. Menghambur dan memeluk kembali Bripda polisi Sinta.

“Aaach… Gith. Kok balik lagi sih. Masih kangen ya…” Bripda polisi Sinta menanya dengan senyum, sembari tubuhnya masih di rengkuh oleh pelukan hangat Anggitho.

“Aaach… Sintttaaaaa, sekarang… benar-benar… kau… mmmillllikkkku… ya ?”

                “Iya. Sekarang, aaku ini… milikmu seorang.”  Bripda polisi Sinta meyakinkan masih dalam dekapan erat Anggitho.

Anggitho termanggu. Tapi kemudian berusaha untuk tersenyum. Sambil mengendurkan pelukan itu. Bripda polisi Sinta terbebas sudah. Di saksikan teman-teman polisi yang tersenyum malu-malu di pintu belakang pos Polantas. Juga senyum dari kedua Sersan muda Puspom Kodam yang tugasnya mengawal Anggitho, di seberang sana. Membuat wajah Bripda polisi Sinta memerah pucat. Di landa perasaan malu yang sangat. Karena ternyata tidak hanya mereka. Beberapa pengendara mobil dan motor yang kebetulan lewat selepas antrian lampu merah, ikut pula tersenyum dengan perbuatan mereka.

“Sudah Gith… Ntar kita masih bisa ketemu lagi. Masih banyak waktu setelah jam sekolah usai.”

                “Iyyaa… nich. Nggak enak juga menjadi tontonan banyak orang.”

                “Sudah gih… balik sana.”

                “Kita ketemu lagi nanti, yyaaa ?” desah Anggitho dengan penuh harap.

“Iyyaa… Ntar jangan lupa Call me dulu, ok.”

Bripda polisi Sinta mendesah. Berat juga ternyata melepas kekasih yang kini telah melenggang pergi bersama kedua provoost tentara pengawalnya. Walau itu ternyata mungkin hanya sementara saja. Toh hati kecil wanita ini serasa menjerit. Seakan Anggitho akan pergi bertahun-tahun lamanya. Meninggalkan dia seorang. Mereka menyeberang di tengah jalur satu arah persimpangan jalan Juanda yang sedang menyala merah.

 

Sidang terbatas Polkam yang di selenggarakan di Istana tetap memutuskan untuk pengerahan duapuluh empat ribu anggota Pam Swakarsa brigade maut SouMed. Mereka sudah semakin mantap karena di pusat komando kaki Gunung Putri-Cibodas, kini juga di sokong oleh sekitar tigapuluh limaribu pasukan elite. Di istirahatkan dalam tenda-tenda satuan yang bertebaran banyak sampai berkilo-kilo jauhnya. Pasukan Rimbasti JendralBambang Wisesha di dukung oleh armada Renault/Saviyem VAB yang di persenjatai varian Browning M-2Hb kaliber 12.7mm full otomatis dan Cadhillac Gage V-150. Sejumlah mobil toyota Hilux Minor Change 200 LS Standar Spec dan para komandannya membawa jeep Korean Mambo. Pasukan KomeRad JendralDewa Made Geigeer Sudhiarta yang merupakan unit pemukul banyak di lengkapi dengan Pansher Renault/Saviyem VAB, dan Cadhillac Gage V-150 dengan proteksi pemakaian roda berteknologi run flat. Di persenjatai kanon kaliber 90mm beserta dudukan senapan mesin koaksial kaliber 7.62mm. Bisa menembakkan roket anti tank, bom maut anti personel dengan radius ledakan hingga 300 meter, dan smoke bomb.

 

Personel diangkut dengan mitsubishi Coltdiesell HD-150Ps kapasitas satu pasukan berikut kebutuhan logistik untuk kesiapan tempur garis pertama. Mereka juga di lengkapi armada Hilux Minor Change 200 LS Standar Spec untukk pleton pengintai. Dan para komandannya membawa jeep Korean Mambo dengan antena komunikasi sepanjang empat meter di belakang. Seluruh total kekuatan kavaleri yang mereka punyai saat ini sekitar tigaratus unit Pansher Renault/Saviyem VAB, dan Cadillac Gage V-150 meriam. Lawan mereka, Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke menguasai sekitar empatribu Pansher dan tank artileri berat sekelas Shermman M-1A Abrahaam untuk tigapuluh duaribu pasukannya. Jendral Dewa Made Geigeer Sudhiarta beranggapan, akan sulit memenangkan pertarungan ini bila akhirnya mereka tetap harus berperang. Tapi toh perintah tetap harus di jalankan. Kalau sedikit saja mereka bisa berkompromi dengan kepala batu Tuanku Baginda President Albertinus Senno Suhastommo. Sehingga mereka tidak harus mengalami penderitaan yang sesakit ini. Pada petang di hari yang sama dengan kesibukan konsolidasi pasukan di Gunung Puteri-Cibodas.

 

Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke sedang menerima undangan malam bersama isteri dengan keluarga kepala-kepala Ditro dinas rahasia Bosma di Kantor Ditro-9 Banker bawah tanah pangkalan rahasia Sediyatmo. Salah satu hal yang menarik tentang undangan perjamuan adalah, sesungguhnya ini di buat kejutan untuk merayakan hari kelahiran Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke. Yang sudah seringnya, karena suka larut dalam kesibukan-kesibukan pekerjaan dinas sehingga melupakan hari ulang tahunnya sendiri. Perjamuan juga mengundang sejumlah orang dekat Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke saja, seperti MenPangab Marsekal Pnb. Haryo Setiawan, yang sangat bertolak belakang pandangan politiknya dan senantiasa di buat malu oleh sikap-sikap tidak terpuji mantan bawahannya sendiri. Marsekal Pnb. Iskandarsyah Latief. Ada Kasal Laksamana laut Hermanto Alli Bachtiar, yang salah satu divisi-nya berjasa besar mengamankan eksistenti Metro Willis. Kasad JendralFakhruddin Harry Wahyudhi yang bersama-sama dengan Menpangab, menjamin loyalitas para Panglima-Panglima Komando Militer Daerah pada kekuasaan mutlak Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke.

 

Serta Danjen Divisi mobil lapis baja Brimob Jendral polisi Albert Rimmus Reway Hapossan Situmorang. Yang unit-unit pasukannya banyak bertanggung jawab atas penyelamatan darurat putra-putri keluarga diplomatik dalam penyamaran ketat, Imperium business al-Zayyeed Husni. Kemudian masih ada, MenHub Komjen polisi Yuddi Sudhiyat Winarko, Mendag Ir. Yetti Sri Nurraima Gusti, dan Jaksa Agung Komjen polisi Firdha Rahayu Wilujeng. Bahwa menurut kebiasaan mereka suka merayakan pesta-pesta penting di Convention Hall sekelas Hotel Melia, Mall of Indonesia, atau di Two Island Hillton-Bali. Tapi kondisi negara memaksa mereka untuk lebih mengutamakan keselamatan sendiri daripada sekedar Kehormatan. Apalagi telah ada kabar santer yang beredar bahwa kepala Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke di hargai seratus milyar oleh Danjen Rimbasti, JendralBambang Wisesha. Itu memancing hasrat para anggota pasukan elite Rimbasti yang kreatif untuk mencari jalannya sendiri membunuh orang nomor satu di Lingkungan Angkatan Bersenjata Indonesia ini. Sekaligus makin membuka jurang permusuhan antara Satuan elite  pro Istana dengan sejumlah besar Panglima Kotama yang membela kepentingan Jendral Bosma Ingenieur Youkke.

 

Tidak seperti kebanyakan satuan infanteri utama dalam Kementerian Pertahanan. Rimbasti adalah pasukan kecil dengan sumberdaya tidak terbatas. Tidak karena subsidi Pemerintah. Tidak karena alokasi anggaran paling besar dari APBN. Melainkan karena sponsor pribadinya dari para investor minyak asing dan pertambangan-pertambangan yang dia lindungi. Tidak seperti formasi tempur yang biasa di punyai kompi KomeRad kebayakan. Dimana Setiap satuan setingkat kompi selalu di perkuat dengan satu unit Pansher Renault/Saviyem VAB atau Cadillac gage V-150 meriam, satu unit pengintai Toyota Hilux Minor Change 200 LS Standar Spec yang terkadang juga diperkuat dengan dua laras meriam Cannon automatic 30mm anti pesawat. Satu jeep Korean Mambo untuk mobilisasi Dan Kompi. Serta tiga unit mitsubishi Coltdiesell HD-150Ps untuk pasukan. Pasukan Rimbasti sudah punya formasi tempur setiap kompi dengan delapan unit Pansher Renault/Saviyem VAB dan dua unit Pansher Cadillac gage V-150 meriam untuk bantuan tembakan. Di tambah unit pengintai Toyota Hilux Minor Change 200 LS Standar Spec dan jeep komando Korean Mambo untuk mobilisasi Dan Kompi.

 

Sehingga total mereka bisa bisa mengerahkan 250 unit Pansher lapis baja ke medan tempur. Hampir menyamai kesanggupan divisi KomeRad JendralMade Geigeer Sudhiarta yang mengendalikan sekitar lima divisi khusus pasukan. Komandan Jendralnya, JendralBambang Wisesha juga terbilang Panglima komando yang secara pribadi paling kaya di antara Kowalsus dan KomeRad. Yang secara prinsip membela mati-matian kepentingan politik Tuanku Baginda Presiden Albertinus Senno Suhastommo. Pada kenyataannya, sifat manusiawi Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Yokke. Yang mengambil sikap menolak tindakan mengobarkan perang sipil dengan mempergunakan tangan dingin Pam Swakarsa SouMed sekedar demi menjaga keutuhan bangsa ini. Telah di tanggapi sangat berlebihan. Dan sampai membangkitkan antipati kalangan perwira-perwira pro Istana. Sehingga yang terjadi hanya keputusan-keputusan sepihak yang tidak mengakhiri ketegangan. Melainkan justru memicu tindakan antipati dan permusuhan yang semakin dalam antar petinggi Angkatan Perang. Yang semakin membawa nasib negara ini ke tepi jurang kehancuran. Dalam rapat konsolidasi terakhir yang melibatkan semua petiggi OcC dalam organisasi FeBo FeGoz. Freedom General Officer Organization.

 

Semakin kuat suara-suara di daerah yang menuntut Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke mengambil sikap tegas. Mengakhiri petualangan politik dan kekuasaan Tuanku Baginda President Albertinus Senno Suhastommo yang dianggap selalu menindas rakyatnya sendiri. Menjadi kacung investor-investor minyak asing dan pertambangan-pertambangan yang terlalu serakah. Tidak menyisakan sedikit saja kemakmuran kepada rakyat pribumi. Mereka tidak mau melihat nasib Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke karena sifat ragu-ragu dan enggan menyandang nama buruk Pemberontak. Di seret ke depan regu tembak oleh kekuasaan diktator Tuanku Baginda President Suhastommo, sebagai seorang Pecundang. Harus ada semacam Dewan Transisi Nasional untuk mengakhiri kezaliman Pemerintahan Tuanku Baginda President Suhastommo dan untuk mengembalikan kedaulatan negara ke tangan rakyat. Harus ada kesepahaman ulang dengan para investor asing yang menguasai 95% sumberdaya alam Indonesia.

 

Atau mereka dipaksa angkat kaki dari bumi Indonesia melalui proses Nasionalisasi. Untuk semua harapan itu mungkin, perang memang jalan satu-satunya demi membersihkan korupsi dan perampokan besar-besaran kekayaan alam bangsa ini dalam Pemerintahan Tuanku Baginda President Suhastommo. Tapi sampai sejauh ini tuntutan-tuntutan daerah itu belum menjadi perhatian utama Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke. Simpatinya sebagian besar masih tercurah pada bagaimana mencegah pertumpahan darah yang akan di lancarkan anggota brigade maut SouMed. Yang sepenuhnya mendapat perlindungan dari pasukan elite Rimbasti. Dan menyelamatkan sebanyak mungkin nyawa Mahasiswa dan warga masyarakat Jakarta yang tidak berdosa itu dari pembantaian. Di salah satu lantai bangunan Bunker bawah tanah Pangkalan militer Sediyatmo ini terdapat aula besar yang di sulap menjadi tempat perjamuan sangat mewah. Yang menjadi tuan rumah perjamuan ini, adalah Kepala Ditro-9 Bosma, Letnan Jendral Bosma Dharto Gummarang Hadibrata. Karena perjamuan untuk merayakan hari penting seorang pahlawan setinggi Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke. Semua orang nampak bersemangat.

 

Meskipun di luar sana kondisi Ibukota sedang genting. Gurauan orang yang sedang mencicipi Wine dan Champagne terdengar di setiap sudut ruangan. Juga suara orang-orang yang ingin berbicara keras-keras untuk mengatasi kebisingan pesta hari itu. Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke sebagai orang yang di anggap penting di pesta ini, di kerumuni tamu-tamu undangan. Termasuk beberapa Kepala Ditro-Bosma yang menganggap diri mereka orang penting. Sementara beliau Mademoiselle Hj. GKSPPBR Aj. Haennisfhierra Farramurthi Isnna Ingenieur membawa serta Lubherta Ayu Immelvitcha Yusvia Ingenieur Husni. Puteri kesayangannya yang baru berumur tiga tahun. Bersekolah di kelas yunior Yayasan Paud Karreninna Bina Bangsa, kawasan Cengkareng. Basa-basi perkenalan tidak berlangsung lama. Setelah menyerahkan Ayu Immelcitcha Yusvia pada dua asisten pribadinya yang ikut.

 

Mademoiselle BRAj. Farramurthi Isnna Ingenieur mendapat posisi terhormat. Duduk di samping beliau nyonya Dahlianti Gummarang. Di sebelah yang lain di kepala meja utama ada Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Yokke, suaminya. Yang kali ini berdampingan dengan Jendral Bosma Dharto Gummarang Hadibrata. Ada hampir duaratus tamu undangan. Mengelilingi empat meja panjang yang berderet-deret nyaris memenuhi ruangan Aula. Meja utama adalah satu dari dua meja yang di tengah. Berisi limapuluh orang undangan, dan hanya orang-orang berpangkat tertentu di lingkungan teras Markas Besar Bosma. Sehingga meja utama ini memang hanya untuk orang-orang yang di anggap paling terhormat saja. Dan Hyang Mulia Jendral besar Bosma, sebagai orang paling berkuasa di Institusi ini jelas menempati kursi paling bagus di antara mereka. MenPangab Marsekal Pnb. Haryo Setiawan beserta Isterinya yang berpandangan sama tentang perlakuan tidak adil Kabinet Tuanku Baginda Presiden Suhatommo yang demi keserakahannya hendak menyingkirkan Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke.

Kasal Laksamana laut Hermanto Alli Bachtiar yang harus datang sendiri karena Isterinya sedang berobat ke Singapura. Kasad JendralFakhruddin Harry Wahyudhi yang Isterinya terbilang cukup dekat dengan Mademoiselle BRAj. Farramurthi Isnna Ingenieur. Serta Danjen divisi lapis baja Brimob Jendral polisi Albert Rimmus Reway Hapossan Situmorang yang menduda merupakan orang kepercayaan Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke di Institusi Kepolisian. Lalu MenHub Komjen polisi Yuddi Sudhiyat Winarko beserta Isteri, Mendag Ir. Yetti Sri Nurraima Gusti dengan suaminya yang seorang Industrialis kaya-raya justru karena kedekatan dengan pihak Istana, dan Jaksa Agung Komjen polisi Firdha Rahayu Wilujeng dengan suaminya.

“Apa tidak ada rencana untuk… suamDewa Mademoiselle BRAj. Isnna… mengambil langkah… tegas ?” nyonya Dahlianti Gummarang menanyakan dengan was-was.

“Kalau maksud tindakan tegas itu, memulai Makar… Tidak. Mas Youkke belum sampai berfikiran kesana.”

                “Ini bukan persoalan Makar kepada siapa… Atau, siapa menjatuhkan siapa. Tapi jelas, Tuanku Baginda President Suhastommo demi untuk memenuhi ambisi keserakahannya ingin mempergunakan tentara untuk menindas rakyatnya sendiri. Dan untuk tujuan itu, sudah pasti dia akan menjatuhkan Hyang Mulia Jendral besar Bosma. Suami anda, Mademoiselle Isnna.”  Demikian Isteri Jendral Dharto Gummarang itu yang di dukung seratus persen oleh Jaksa Agung Komjen polisi Firdha Rahayu Wilujeng.

“Yyeaaa… sayangnya itu betul.”  Dengan desahan bernada kesal Mademoiselle Isnna menjawab.

Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke sendiri terlibat percakapan yang serius dengan MenPangab Marsekal pnb. Haryo Setiawan. Dan kemudian ganti berbincang dengan Danjen pasukan Lapis Baja Brimob Jendral polisi Albert Rimmus Reway Hapossan Situmorang.

 

Dalam pandangan Mademoiselle BRAj. Farramurthi Isnna, mereka sedang serius memperbincangkan rencana penyerangan dengan senjata tajam Pam Swakarsa brigade maut SouMed. Yang akan di sokong oleh kekuatan tempur penuh resimen elite Rimbasti.

“Dengar, aku tidak perduli saat akhir pekan nanti Tuanku Baginda President mengumumkan pergantian pucuk Pimpinan Bosma yang baru sekali ini terjadi. Atau mengerahkan sepasukan Puspom Tentara untuk menyeretku ke Penjara. Tapi jelas bahwa prioritas operasi kita, menyelamatkan sebisa mungkin Mahasiswa dan warga masyarakat tidak berdosa yang sedag melakukan aksi mogok duduk di jalanan. Tidak boleh ada darah yang tumpah di bumi Pertiwi ini oleh sepasukan Iblis yang mengaku Islam.”  Kata Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke dengan muram.

“Saya mengerti.”  Jendral Bosma Dharto Gummarang selaku tuan rumah menyambut. “Tapi demi kelangsungan Organisasi Perwira Merdeka. Freedom Generall Officer Organization. FeGoz. Bahkan demi mengembalikan hak rakyat yang telah di rampas dengan kejam oleh Investor-investor minyak asing dan tambang-tambangnya. Penyelamatan anda, adalah masih prioritas.”

                “Aku ini bukan prioritas. Popularitasku hanya simbol untuk menunjukkan eksistensi FeGoz. Kekuatan yang sesungguhnya adalah perwira-perwira muda merdeka yang berfikiran maju. Yang progresive revolusioner demi untuk kemaslahatan dan kemakmuran rakyat itu sendiri. Mereka yang harus kita dukung untuk mampu mandiri dan memutuskan yang terbaik bagi bangsa ini. Jangan aku.”  Kata Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke lagi.

“Bagaimanapun, Hyang Mulia Jendral Youkke. Betapa besarnya mereka menguasai asset pertahanan Republik ini. Mereka tetap butuh kepemimpinan anda untuk bergerak. Mereka patuh dan loyal pada perintah anda. Dan karena itu juga mereka ini kuat. Semuanya percaya pada anda, Hyang Mulia Jendral. Jika anda sendiri ragu, maka habislah Popularitas FeGoz. Dan, bukankah hal demikian ini yang di tunggu-tunggu oleh Tuanku Baginda President Suhastommo.”  MenPangab Marsekal pnb. Haryo Setiawan memperingatkan.

“Itu pasti.”  Kata Danjen pasukan lapis baja Brimob Jendral polisi Albert Rimmus Situmorang mendukung. “Lalu bagaimana antisipasi kita dengan pengumuman Tuanku Baginda President besok ?”

Mademoiselle BRAj. Farramurthi Isnna ikut merasa cemas dengan topik pembicaraan para suami itu. Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke di kenal kukuh dalam menjaga kehormatan pribadinya. Di hadapkan pada permusuhan dengan Pimpinan negara tempat dia sendiri mengabdi, ini sungguh ironi. Di sisi lain Hyang Mulia Jendral besar Bosma itu juga tidak bisa melihat ribuan nyawa rakyatnya sendiri yang tanpa dosa di bantai habis-habisan. Oleh sekumpulan milisi yang dibiayai diam-diam oleh Pemerintahnya. Singgasana militernya ini dia bangun sejak dari bawah. Bukan karena promosi seseorang, atau kebaikan Pimpinan Negara kala itu. Ingenieur Youkke muda. Yang kala itu masih seorang Mayor teritorial. Mengendalikan operasi inteligent di tingkat Kodam. Merasa tersentuh dengan kondisi para isteri tentara yang masih harus berhutang agar tidak terusir dari kontrakkannya. Sementara suami yang di cintai bertugas mempertaruhkan nyawa demi bumi Pertiwi di perbatasan. Gaji tentara saat itu memang kecil. Padahal jasa mereka tidak terbayarkan demi keutuhan Republik ini. Melihat satu-satunya peluang waktu itu.

 

Jendral Ingenieur Youkke meminta jatah MenHub dan Perdagangan demi mendukung impiannya di tingkat kebijakan. Semua usaha bersama Tentara kemudian di satukan dalam payung sebuah Holding Company. Armada angkutan darat ketiga Angkatan menjadi satu Manajeman. Armada Pelayaran di perkuat dengan sistem pengelolaan profesional yang tidak mungkin di laksanakan oleh Tentara. Seluruh jasa angkutan barang harus di kelola oleh Serikat Pekerja Tunggal dan di kontrol penuh oleh Holding Company. Kendaraan milik swasta ikut di ambil alih dengan sistem sewa. Traffic Manajeman Centre di luncurkan untuk mengendalikan armada Truck yang begini besar. Semua ditangani oleh ahli-ahli dari Husni Trade Corporation.

 

Yang berpengalaman mengendalikan perdagangan dan business di seluruh dunia. Tidak ada lagi persaingan dimana Perusahaan besar menjatuhkan industri-industri kecil. Semua angkutan barang diperlakukan tarif sama. Perusahaan besar menjadi tidak terlalu untung, sebaliknya industri kecil tidak rugi besar karena tingginya biaya angkutan. Holding Company juga mengendalikan pelayaran kapal-kapal dagang dan Tankers. Walaupun Investor-investor minyak asing yang menguasai tambang-tambang Indonesia. Tidak pernah bisa mereka mempergunakan kapal-kapal dari negara mereka sendiri untuk mengangkut hasil tambangnya. Atau tidak akan pernah di ijinkan berlayar oleh Syahbandar. Kapal-kapal asing hanya merapat ke Indonesia untuk membongkar barang-barang Import. Seluruh proses Export bahan tambang di tangani oleh kapal-kapal anggota Serikat dalam negeri yang di kendalikan Holding Company. Setelah menguasai berbagai bidang jasa angkutan barang, keuntungan yang berlimpah mengalir ke Holding Company. Kemudian industri-industri baru Holding Company yang kebanjiran modal mulai merambah ke bidang usaha real estate. Pembangunan tower-tower apartement murah bagi keluarga Prajurit.

 

Usaha asuransi kesehatan dan pendidikan keluarga Prajurit mendatangkan banyak kemudiahan bagi anak-anak mereka. Selain asuransi pendidikan dan real estate Holding Company ikut pula berinvestasi ke pasar saham. Investor-investor minyak asing yang dengan serakah mengeruk kekayaan alam Indonesia, menjadikan rakyat pribumi sebagai budak. Sebagian sahamnya ikut terbeli di bursa-bursa saham internasional. Sehingga dolar kembali mengalir ke dalam negeri. Sebagian lagi keuntungan di investasikan untuk kendaraan baru built-up untuk memperkuat pertahanan negara. Sehingga tanpa campur tangan Pemerintah, Tentara yang bernaung dibawah organisasi FeGoz bisa memiliki tank-tank tempur artileri berat sekelas M-1 Abrahaam. C-47 Chinoock helikopter angkut. AH-64 Apache helikopter serbu anti tank. Dan mobil-mobil mahal sekelas Humvee dan Pansher lapis baja Bradley. Margin keuntungan yang mengalir kembali ke pundi-pundi Holding Company dibagikan sebagai bonus jabatan setiap prajurit yang bergaji rendah hingga lima kali gaji pokok. Semua ini karena modernisasi Primkop AB menjadi Holding Company yang profesional di bawah supervisi ahli-ahli keuangan Imperium business Husni Trade Corporation.

 

Hasilnya luar biasa. FeGoz tumbuh subur di resimen-resimen tingkat Kodam. Teritorial menjadi sangat populer dan mengalahkan wibawa garis komando yang sesungguhnya. Seiring dengan kenaikan pangkat Jendral Ingenieur Youkke. Popularitas FeGoz dengan mafia Inteldam-nya yang tergabung dalam OcC. Makin kuat menancapkan kuasanya dan menjadi lebih kuat dalam menentukan kebijakan kebijakan operasi ketimbang Panglima sendiri. Ketika Jendral Ingenieur Youkke menguasai Bosma dan di setarakan pangkatnya menjadi Hyang Mulia Jendral besar. KasIntel yang menjadi anggota dewan OcC di setiap garis komando Kodam sudah berbentuk second kabinet dalam kepemimpinan Panglima. Sehingga sanggup mengubah apapun yang menjadi keputusan Pangko Daerah Militer Jawa V. Dan bisa memaksakan kebijakan yang mungkin saja bertentangan dengan Pemerintah Pusat. Pimpinan yang dianggap tidak kompromistis akan di singkirkan dengan mudah oleh kuasa tangan besi Bosma. Setelah tentara menjadi sedemikian kuat di tangan Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke. Tentara memutuskan keluar dari kancah politik dan tanggung jawab keamanan dalam negeri. Tentara hanya mengurusi perbatasan dan tugas-tugas kemanusiaan di luar negeri.

 

Selain dari, dengan wewenang Konstitusi Tuanku Baginda President mengumumkan dekrit yang menyatakan kondisi negara dalam bahaya perang. Tentara tidak di perbolehkan dalam kondisi bagaimanapun mencampuri urusan dalam negeri. Dalih ini pula yang menjadi dasar penolakan Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke untuk mengerahkan tentara meredam protes kemarahan rakyat. Sudah pasti, tindakan Kasau Marsekal pnb. Iskandarsyah Latief yang melibatkan enamribu pasukannya untuk mendukung garis politik Tuanku Baginda President Suhastommo di anggap sebagai aksi pembangkangan dalam kebijakan FeGoz. Akibat yang sangat serius akan di terima Angkatan Udara atas pengkhianatan pucuk Pimpinannya ini. Sebagai konsekwensinya, Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke juga merintahkan basis-basis komando Saber Udara. Yang pangkalannya selalu di kitari pagar kawat tinggi beraliran listrik di lingkungan yang sama dengan pangkalan-pangkalan Skyhawk Angkatan Udara, Hawk Mk-209, Su-27 Sukhoi, dan F-16 Falcon.

 

Di tangan Saber Udara ini di tempatkan pod peluncur rudal-rudal AIM-7 Sparrow, dan  AN/ALQ-99E Tactical Jamming Package.  Terpasang juga pod peluncur AIM-132 Asraam/Advanced Short Range to Air Missile  buatan Inggris, BAe-Sky Flash yang setara dengan AIM-7 Sparrow dan Stringer.  Pod peluncur rudal-rudal Seacat, Rapier, Stringer dan senjata mesin ganda kaliber 20mm jenis M-61 Vulcan yang menggunakan sistem Gatling. Memiliki sistem operasional hidrolis dan ditembakkan secara elektris. Dengan daya serang hingga 6.600 putaran peluru per-menit. Di sokong dengan sistem radar AN/APQ-180 yang efektif mendukung misi serangan anti pesawat musuh. Dengan kamera pengintai yang berdaya putar 360O dan kemampuan night-vision. Pesawat di ketinggian rendah sangat mudah di hancurkan oleh meriam otomatis ini. Senjata-senjata hebat ini di siapkan untuk menangkis serangan udara musuh. Tapi siapa yang berani jamin, senjata itu tidak di tembakkan untuk pesawat-pesawat pangkalan sendiri. Saber Udara juga menguasai armada Huey AH-64 Apache, Huey UH-60 Black Hawk untuk patroli udara, dan masih di perlengkapi CH-47 Chinoock untuk gelar pasukan.

 

Semua dibeli dengan pundi-pundi keuntungan Holding Company yang tidak terbatas. Ancaman dari satuan Saber Udara itu di tanggapi serius oleh para komandan Pangkalan sehingga tidak satupun pesawat tempur milik AU mendapat perintah terbang. Padahal Kasau Marsekal pnb. Iskandar Latief sudah bersusah payah mencari tahu skuadron mana yang mampu secepatnya terbang mencapai Jakarta untuk melumpuhkan unsur-unsur kekuatan Bosma. Alasan lain yang tidak di pungkiri para komandan Pangkalan itu adalah, Jakarta secara de fakto merupakan kawasan larangan terbang. Setiap pesawat yang terbang lintas tanpa ijin di wilayah udara Jakarta, akan di tembak jatuh. Tidak saja oleh roket-roket pencari panas AIM-132 Asraam/Advanced Short Range to Air Missile  buatan Inggris, BAe-Sky Flash yang setara dengan AIM-7 Sparrow, Rapier, Stinger, atau Matra milik Bosma. Tapi juga oleh meriam-meriam Arhanud 30mm milik KomeRad dan Rimbasti sendiri. Sebuah dilema yang sungguh Ironi.

Marsekal pnb. Iskandar Latief sendiri menyadari benar hal itu. Karena jika wilayah larangan terbang itu di langgar, mereka sendiri menghadapi ancaman serius helikopter-helikopter tempur AH-64 Apache, dan Mi-35 Hind yang dalam garis komando berada di bawah kewenagan mutlak Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke. Pada kesempatan lain beliau Mademoiselle BRAj. Farramurthi Isnna berbicara dengan salah seorang tamu yang tidak menyolok. Tapi sangat penting artinya bagi keluarga Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke secara pribadi. Nyonya Panglima divisi kelima, Kodam Jatim Mayjen infanteri Estianni Rahayu Rasmintho.

 

Undangan khusus yang repot-repot datang dari Tokyo-Jepang, karena permintaan yang sangat pribadi darDewa Mademoiselle BRAj. Farramurthi Isnna. Sebelum dia sempat mengakhiri tugas studi banding dengan sejumlah anggota diklat Lemhanas yang lainnya. Tidak banyak orang tahu, keterkaitan pribadi nyonya Mayjen infanteri Estianni Rahayu Rasmintho ini dengan keluarga Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke. Apalagi soal penyamaran Highness of Prince Demmetrio Alexandher Josse Ingenieur di lingkungan keluarga asuhnya. Bahkan di kalangan orang Bosma sendiri. Nampaknya ketika Anggitho Pringadhi menjalani program penyamaran ketat dalam Naturalisasi Kerakyatan Husni. Ada campur tangan beliau Mademoiselle BRAj. Farramurthi Isnna secara pribadi. Sehingga di tengah jalan, Anggitho bisa di pindahkan dari sekedar menjalani dunia pendidikan agamis yang ortodoks. Masuk ke dunia pergaulan bebas dengan latar belakang keluarga asuh seorang Pangko Daerah Militer Jawa V yang di hormati.

 

Tidak perduli keputusan itu melanggar aturan baku protokol rumah tangga Husni, yang di patuhi tanpa cela oleh delapan keluarga menantu diplomatnya yang lain. Atau membuat Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke harus berfikir keras menjelaskan kepada keluarga Ipar-Iparnya yang selama ini masih patuh dan loyal dengan aturan itu. Meski semua lembaga-lembaga keamanan di negerinya sendiri menentang habis-habisan. Nyonya Mayjen infanteri Estianni Rahayu Rasmintho sudah mengenal beliau Mademoiselle BRAj. Farramurthi Isnna jauh sebelum program Naturalisasi keluarga Husni itu di jalankan. Artinya mereka sudah berteman dekat sejak lama. Mereka sudah saling mengerti satu sama lain, dan saling bisa menjaga untuk tutup mulut. Kalau tidak salah, Mayjen infanteri Estianni sendiri pernah menjadi wakil Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke saat masih bertugas di Teritorial Asintel Kodam Udayana-Bali. Di sana mereka menjadi dekat secara pribadi.

 

Salah satu topik hangat yang mereka bicarakan itu, adalah soal penyerangan Geng senior Persaudaraan Karate sekolah yang di komando Don juan Sonny Putrahimawan. Hingga membuat semua personel keamanan Perwakilan departemen Lima kawal pribadi Bosma di Kondo mewah Natrium Prespekz sebagai kepemimpinan kolektif. Dengan empat unsur kawalanya yang masing-masing beranggota delapan orang. Berada langsung dibawah koordinasi kepala protokol dan pengacara rumah tangga, Dr. Anissa Tiara Widhuri SH, Js.D. Sempat menjadi kelabakan. Hingga membuat Anggitho nyaris terbunuh. Makan malam, sebagaimana yang menjadi kebiasaan, betul-betul enak. Dengan butler-butler profesionel dari kontraktor Pesta sebuah hotel berbintang yang cukup ternama di Jakarta. Berikut Chef dan koki-koki terbaiknya yang di boyong ke Markas Ditro-9 Bosma ini. Tentu saja setelah melalui beberapa tahap tes keamanan yang rumit.

 

Soalnya mereka, pasti tidak mau Pimpinan tertinggi organisasinya meninggal di Markas Ditro ini gara-gara keracunan makanan. Setelah selesai nyonya Dahlianti Gummarang berkata kepada tamu-tamu di sebelahnya.

“Setelah ini kita lanjutkan acara minum teh, Mademouselle… Jeng Anni.”

Nyonya Dahlia bangkit bersama-sama dengan yang lain, meninggalkan mejanya. Mula-mula dia mengajak Mademoiselle BRAj. Farramurthi Isnna. Kemudian juga dengan nyonya Mayjen infanteri Estianni Rahayu Rasmintho yang sejak awal selalu di dekat Mademoiselle Isnna. Yang lain segera mengikuti Jendral Bosma Dharto Gummarang sebagai tuan rumah. Ruang Saloon Adalah aula pertama tempat mereka tadi menikmati suguhan Wines dan Champaqne. Yang di kelilingi dengan soffa-soffa melingkar di seluruh ruangan Dengan altar terbuka yang bisa menampung banyak orang. Dan sedikit meja-meja saji untuk camilan dan hidangan ringan. Sebagian besar wanita duduk di soffa-soffa. Tapi hampir semua pria memilih untuk berdiri dan membaur dalam kelompok mereka sendiri. Kopi-kopi yang masih hangat di suguhkan para butler. Yang tidak suka kopi masih bisa mencicipi kembali Wines, atau bahkan brandy.

 

Di tempat berkumpulnya para tamu penting. Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke masih di kerumuni para koleganya. Serius mendengarkan usulan-usulan dari MenPangab Marsekal Pnb. Haryo Setiawan soal Marsekal Pnb. Iskandarsyah Latief. Kepala Ditro-9 Bosma Jendral Bosma Dharto Gummarang, Kasal Laksamana laut Hermanto Alli Bachtiar dan Kasad JendralFakhruddin Harry Wahyudhi.

“Kalau benar Marsekal pnb. Iskandar Latief akan mengerahkan armada udaranya untuk menggempur Sediyatmo, kita butuh lebih banyak rudal penangkis serangan udara di sini. Tapi saya kira, kekurangan itu cukup terpenuhi oleh batalyon Arhanud Pangkalan Sediyatmo ini dan konsentrasi peluncur AIM-132 Asraam/Advanced Short Range to Air Missile  di pangkalan kapal selam Penjaringan.”

                “Dalam kondisi sekarang ini, aku ragu Marsekal pnb. Iskandar Latief benar-benar akan menggunakan pesawatnya. Atau kalau dia bersikeras, apakah komandan-komandan pangkalannya ada yang berani menerbangkan pesawat mereka dan memancing insiden serius dengan resimen Saber Udara. Karena begitu mengudara, pesawat itu akan langsung di tembak jatuh.”  Kata Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke mengingatkan.

Tamu-tamu yang hadir manggut-manggut, dan terutama Jendral Bosma Dharto Gummarang. Dia sebagai kepala Ditro-9 yang membawahi langsung resimen-resimen Saber itu. Telah mengirimkan sendiri radiogram perintah Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke itu ke pasukan di seluruh Indonesia. Mereka tahu di Pangkalan militer Sediyatmo ini terpasang pod peluncur rudal-rudal AIM-7 Sparrow, Stringer, dan  AN/ALQ-99E Tactical Jamming Package. Sedang di Pangkalan kapal selam Penjaringan yang juga komplek peristirahatan resmi Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke, terpasang pod peluncur AIM-132 Asraam/Advanced Short Range to Air Missile  buatan Inggris, BAe-Sky Flash yang setara dengan AIM-7 Sparrow dan Stringer. Pesawat-pesawat itu bahkan akan di tembak saat melintas di atas Istana Tuanku Baginda Presiden. Setelah bisa meyakinkan para tamunya, Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke kembali menyinggung soal mahasiswa.

“Kalau kita bisa menyusupkan unit-unit tercover pasukan Saber ke tengah demonstran itu, mungkin aku bisa sedikit tenang. Tapi pasti akan sulit untuk memasukkan senjata ke tubuh mereka. Tanpa harus di curigai demonstran yang lain.”

Pertanyaan itu di tanggapi oleh Kasad JendralFakhruddin Harry Wahyudhi yang kemudian memberikan usulannya.

“Kita… eee… er, bisa menempatkan orang-orang Intel dengan gerobak Ice Cream yang kehabisan dagangan. Gerobak itu kita bongkar lalu, isi dengan amunisi dan senjata para penembak Saber. Setidaknya cukup tempat untuk masing-masing delapan senjata anggota Saber berikut amunisi untuk kesiapan tempur garis pertama. Ini trik yang biasa kita lakukan di operasi penjebakan anti teror.”

                “Saya sangat setuju dengan ide itu. Jendral Bosma Dharto Gummarang bisa menyiapkan sumber daya di Pangkalan ini. Atau menggunakan pasukan yang di Mako Kodam. Lebih dekat ke Istana. Lalu team kita luncurkan dengan mobil-mobil Daihatsu Grandmax tanpa identitas. Inteligent akan bekerja dengan tangan dingin. Mengambil alih pusat industri pemasaran Ice Cream Jakarta pusat malam sebelum operasi. Dengan sedikit uang tutup mulut pasti cukong pemilik gerobak-gerobak Ice Cream itu tidak keberatan. Tidak ada waktu untuk membuat duplikat gerobak dengan becak kayuhnya. Kita keluarkan semua isinya dan ganti dengan senjata-senjata yang di butuhkan. Dan sebar para Intel ke ujung-ujung jalan yang kemungkinan menjadi chek point serangan Pam Swakarsa brigade maut SouMed.”

“Betul. Tapi jangan lupa, di jalan-jalan yang menjadi arena unjuk rasa duduk-duduk bisu masyarakat itu juga di blokir oleh anggota polisi yang belum jelas kemana arah dukungan jendral-jendral mereka.”  Kata Kasal Laksamana laut Hermanto Alli Bachtiar. “Mungkin saja salah satu dari polisi-polisi itu bisa mengenali modus penyusupan orang-orang Intel kita. Yang kemudian segera melaporkan temuannya ke atas. Berita cepat beredar ke telinga Menhan Dr. Muzhar Mochtar. Kemudian di bicarakan secara pribadi dengan Panglima Rimbasti, JendralBambang Wisesha.”

                “Aku setuju dengan usulan itu. Masalah kebocoran rahasia bisa terjadi dimana saja.”  Guman Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke dengan lega. “Kita sudah siap menghadapi segala resiko, asalkan warga sipil dan para demonstran yang turun ke jalanan itu terjaga keamanannya. Dengan kita menempatkan satuan Combat secara tercover memberikan kita keuntungan ganda. Serangan brutal anggota-anggota Pam Swakarsa yang mencoba mengobarkan perang sipil ini bisa kita halau. Kalau toh nanti akhirnya nanti Rimbasti tahu, mereka menjadi akan berfikir seribu kali untuk mendukung operasi pembantaian brigade maut SouMed.”

                “Jadi… Hyang Mulia Jendral, karena anda memutuskan begitu. Anggap saja misi ini telah di luncurkan.”  Jendral Bosma Dharto Gummarang menyatakan dengan bangga.

Kebijakan sudah di buat secara politis melalui keputusan pribadi Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke. Tidak akan ada lagi suara yang merasa keberatan atau habis-habisan menentang keputusan itu. Jendral Bosma Dharto Gummarang melanjutkan pembicaraan dengan hal-hal teknis yang sudah tidak menjadi wilayah Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke sendiri. Bersama dengan MenPangab Marsekal Pnb. Haryo Setiawan, Kasal Laksamana laut Hermanto Alli Bachtiar, Kasad JendralFakhruddin Harry Wahyudhi, serta Danjen komando lapis baja Brimob Jendral polisi Albert Rimmus Situmorang. Tidak ada lagi yang perlu menjadi perhatian Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke. Mimik wajahnya sudah jelas menunjukkan keletihan dan perlu sedikit menghirup udara segar. Kemudian dia melihat pengasuh puterinya, Lubertha Ayu Immelvitcha.

 

Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke melangkah ke ruangan lain di aula pesta itu. Tempat dimana suasana kantor yang lengang lebih kental terasa. Melewati dua petugas Pom Saber yang berjaga dan segera bersikap hormat ketika dia lewat. Tiga orang bodyguard dengan pakaian sipil terbaiknya dari Ditro-7 Bosma segera mengikuti.

“Pappa… !” Lubertha Ayu terus menghambur begitu melihat Ayahnya datang. Menunjukkan sebuah PC Tablet milik seorang sekretaris pribadDewa Mademoiselle BRAj. Farramurthi Isnna yang sedang online. “Lihat Pappa, aku baru saja memenangkan satu sesi permainan Larra Crawfort.”

“Yeaa…? Sudah hampir jam sembilan malam. Ayu tidak mengantuk ?” tanya Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke sembari duduk menekuk kakinya. Lubertha Ayu dimanjakan oleh Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke di atas pangkuannya.

“Ayu tidak mengantuk, Ppa… inikan malam akhir pekan. Besok Ayu tidak bersekolah.”

                “Kalau begitu Ayu temani Pappa jalan-jalan.”

                “Jalan-jalan, Ppa ?”

“Yeaa… kita jalan-jalan sebentar.”  Dan Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke menoleh kepada kepala unit pengawal pribadinya dari Ditro-7 Bosma untuk mengatakan. “Aku ingin jalan-jalan di landasan sebentar. Bisa kau siapkan orang-orangmu ?”

                “Baik, Hyang Mulia Jendral.” 

Kepala unit pengawal pribadi yang bertugas itu lalu memberi instruksi kepada anggota-anggotanya yang lain. Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke masih harus menunggu beberapa saat sebelum kepala unit pengawal pribadi itu menyatakan siap. Ada delapanpuluh orang petugas yang mengawal perjalanan Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke. Duapuluh  empat petugas Puspom Saber unit pengawal bermotor, duapuluh empat pengawal bersenjata unit anti serangan dengan tiga mobil Ford Escape bak terbuka yang dilengkapi dengan kabin kanvas dan tempat duduk belakang. Dan tigapuluh dua agen pengawal pribadi berpakaian sipil menggunakan dua unit mobil VW Transporter 1.896cc. Tiga unit mobil Nissan Terrano Kingsroad dengan Strobo blue sirent-light yang menyala. Dan satu mobil unit Senhub Toyota Hillux Minor Change. Mobil Senhub ini dapat melaksanakan dukungan komunikasi secara mobile. Komunikasi radio, komunikasi telephone, komunikasi data/digital, faksimile maupun dengan video Conference.

 

Peralatan yang terpasang antar lain unit komunikasi satelite dengan Antena parabola berdiameter hampir satu meter yang terpasang permanent di atas kabin. Untuk melayani perangkat telephone mobile, komunikasi data dengan komputer jinjing, atau mengirimkan gambar video dan wireless. Agar kru mereka bisa mengabadikan kejadian yang tiga kilometer jauhnya dari mobil. Komunikasi radio terdiri dari radio PRC-1077, Base Station VHF/UHF dan radio SSB. Ada telephone faksimile untuk komunikasi suara dan berita. Piranti komputer jinjing terbaru dengan mobile broadband kecepatan data hingga 14.7 Mb persecond. Interconektor yang berfungsi menyatukan berbagai piranti komunikasi dari radio PRC, radio HT, radio SSB, dan telephone. Mobil juga di lengkapi dengan mesin genset sendiri. Dari delapanpuluh pengawal itu hanya enambelas saja yang ikut turun ke Kantor bunker. Empat orang menempel ketat Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke sesuai aturan protap.

Empat orang mengamankan aula dan sekitar lorang. Dan delapan orang di sebar antara lorong kantor hingga pintu Lift. Sisanya istirahat di hanggar yang merupakan Tarmak Denharsabang Saber Udara Bosma sekaligus lobby depan Bunker Office. Selain untuk parkir mobil-mobil tamu, sejumlah pesawat helikoter ringan jenis NBO-105 Bolkow juga nampak berderet. Armada AH-64 Apache dan UH-60 Blackhawk yang menjadi andalan pangkalan ini tersimpan di Hanggar-hanggar lain. Terutama di hanggar penyimpanan bawah tanah yang berada tepad di bawah landasan pacu Pangkalan. Lubertha Ayu masih di gendongan Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke. Saat kepala unit pengawal berpakaian sipil itu membungkuk dekat telinganya, dan memberitahu bahwa mereka telah siap. Di pesta resmi ini Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke mengenakan Pakaian Dinas Kehormatan warna hijau gelap. Dengan dasi yang terselip dibalik jas. Tapi tanpa topinya.

 

Kemudian ketika bangkit hendak meninggalkan ruangan kantor itu, Madomeiselle BRAj. Farramurthi Isnna menyusul masuk di ikuti lima pengawalnya dari HSb Husni. Ada duabelas motor besar Puspom Saber yang ikut mengamankan perjalanan Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke ke kantornya yang hanya lima kilometer ini. Tiga unit mobil pengawal Daihatsu Terrios TX 1.5 m/t Puspom Saber Laut dengan Strobo sirent-light. Tiga mobil unit pasukan Combat dengan Ford Escape. Tiga Grand Terrano Kingsroad untuk pengawal berpakaian sipil. Dua VW Transporter dan sebuah Toyota Hilux Minor Change unit Senhub. Rombongan yang panjang untuk seorang Hyang Mulia Jendral besar sekelas beliau Ingenieur Youkke. Di tambah dengan mobil Volvo Limousinne allnew S-80 T6 terbaru yang hampir sepupuh meter lebih panjangnya. Yang merupakan mobil dinas resmi orang nomor satu di Bosma. Dengan ornamen-ornamen berlapis Crom yang nampak gagah dan cemerlang.

 

Dan karena keikutsertaan Mademoiselle BRAj. Farramurthi Isnna ini mobil Limousinne beliau juga, sebuah Cadillac berbasis Fleetwood Lincoln Intercontinental yang juga sepuluh meter panjangnya dibawa serta. Disitu ada lima pengawal pribadi dari HSb Husni untuk Mademoiselle BRAj. Farramurthi Isnna sendiri. Kalau di tengah jalan ada rencana mereka memisahkan diri, rombongan akan bertambah panjang. Karena biasanya ada duapuluh empat pengawal HSb Husni khusus untuk Mademoiselle BRAj. Isnna. Dengan tiga Nissan Terrano Kingsroad dipasangi Strobo sirent-light, dua mobil Nissan Serena Highway Star 2.0cc, dan sebuah Chevrolet Silverado doubleCab untuk SenHub. Berikut fasilitas yang hampir menyamai Hillux Minor Change milik pengawal Bosma. Karena selain statusnya sebagai menantu keluarga Husni, juga Mademoiselle BRAj. Farramurthi Isnna adalan Tuanku Baginda President of Whitco.

 

World Husni Industries Trade Corporation yang mengendalikan perusahaan di hampir seratus negara di dunia. Itu membuatnya cukup layak untuk mendapatkan fasilitas pengamanan yang ketat. Kalau sendirian mereka juga mendapat pengawalan dari unsur Kosektro Brimob Penjaringan yang berkantor diseberang Bungallow Kediaman resmi Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke terdiri dari tiga unit motor besar Goldwing-1000 dan sebuah mobil Daihatsu Terrios TX 1.5 warna putih dengan Strobo sirent-light.

“Mysweety darling, kau tidak mengajakku kalau ingin keluar ?” Mademoiselle BRAj. Farramurthi Isnna menghampiri suami dengan kemanjaannya, dan menyorongkan pipi kanan untuk dicium. “Maaf… tadi aku keasyikan ngobrol dengan Jendral Estianni dan jeng Dahlia Gummarang.”

                “Aaach… tidak, aku cuma mau menghirup udara segar di luar. Malam ini belum terlalu larut. Apa kau sudah merasa capek, dear ?”

                “Lubertha… kau menikmati mainanmu, Sweety. Jangan kelamaan, nanti merusak data-data penting Aspri Florensia dan Noviastry. Kalau scedulle Mamma sampai hilang, semua business Mamma akan berantakan. Ayu tidak mau melihat Mamma susah, kan ?”

                “Iyaa… Mamma.”  Kata Lubertha Ayu dengan manja. Kemudian masih di gendongan Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke, Lubertha Ayu berpaling ke belakang menyerahkan PC Tablet-nya kepada Aspri Noviastry. “Ini PC Tablet-nya tante Novi, maaf… Ayu sudah membuat mainan. Jangan marah ya, tante.”

                “Nggak nona Ayu. Tadi… kan, tante Novi sendiri yang meminjamkan.”  Aspri Novi membalas ramah.

“Makasih, tante.”

                “Sama-sama, nona Ayu.”  Aspri Novi kembali membalas.

“Nah begitu, mysweety. Puteri Mamma yang paling cantik. Kau tidak membawa PC Tabletmu sendiri ?” Mademoiselle BRAj. Farramurthi Isnna memanjakan puterinya dengan membelai untaian rambut panjangnya.

“Nggak Mma. Tadi Ayu terlalu bahagia mau di ajak jalan sama-sama Mamma dan Pappa. Biasanya kalau nggak Pappa yang berada jauh di luar kota, Mamma yang terbang ke luar negeri. Paling-paling tante Novi dan tante Shireen yang ngajakin bermain di rumah. Atau ajudan Pappa. Kapten laut Widhiyanti dan kapten polwan Sisca yang suka membawa aku ke kapal selam.”  Lubertha Ayu mengeluh.

“Gitu to… Pappa minta maaf… dah, lain kali kita jalan-jalan bertiga lagi. Okey… ?”

                “Okey… Pa.”  Lubertha Ayu yang baru berumur tiga tahun itu tersenyum renyah mengacungkan dua jempol tangannya.

Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke dan Mademoiselle BRAj. Farramurthi Isnna tertawa bahagia dengan kelucuan puteri mereka ini. Bertiga mereka sama-sama melangkah menuju lorong-lorong kosong. Yang sudah nampak di amankan sejumlah agen kemanan berpakaian sipil dari Ditro-7 Bosma dan HSb Husni. Lubertha Ayu masih dalam gendongan Hyang Mulia Jendral besar Ingenieur Youkke. Segera di ikuti oleh Aspri Mademoiselle BRAj. Farramurthi Isnna, yaitu Aspri Florensia dan Noviastry. Dan juga dua ajudan militer Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke yang lain, ada kapten infanteri Marria Lukito dan kapten warra Qorry Sandhiorriva. Sekitar duapuluh agen keamanan gabungan saat itu mengantar perjalanan Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke di sepanjang lorong. Semuanya bersikap waspada. Membiarkan kancing jas mereka terbuka agar mudah menjangkau sarung senjata di pinggang kiri. Satu dengan yang lain saling berhubungan dengan radio komunikasi yang di hubungkan dengan Earphone.

 

Ada microphone yang terselip di gelangan jam tangan emas mereka. Siap mendengarkan instruksi senjata kiri, senjata kanan. Kepala unit pengawalan ini berhubungan dengan team keamanan di atas juga dengan radio komunikasinya. Tidak ada tamu-tamu yang sedang berpesta di perjamuan itu, yang menyadari Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke telah pergi. Tidak saja satu kompi pengawal Saber Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke bersiaga saat di adakannya pesta perjamuan di situasi genting ini. Satu detasemen elite arhanudze Saber yang berjaga di Pangkalan militer ini juga waspada. Kalau biasanya cuma satu pleton dari kompi pengawal yang berjaga, kini seluruh batalyon aktif menyisir keamanan di sekitar Pangkalan bersama Komandan detasemen-nya sendiri.

“All attention… semua unit. D’Crow sampai di pintu Lift atas. All attention… semua unit. D’Crow sampai di pintu Lift atas. Mohon semuanya waspada.”  Perintah kepala unit pengawal pribadi melalui radio komunikasinya.

Empat pengawal berpakaian preman yang lain berdiri dengan waspada membelakangi lift pintu Lobby bagian dari Hanggar pangkalan itu yang mulai terbuka. Yang lain menyebar ke setiap sudut hanggar yang di penuhi mobil-mobil mewah para tamu perjamuan malam ini. Hanggar itu sendiri masih tertutup gerbangnya dari luar. Pria-pria berseragam tempur Saber dan bersenjata lengkap sibuk berjaga dalam radius pengawalan yang agak luas. Dua unit mobil lapis baja Humvee bersiaga di depan gerbang dengan menempatkan penembak M-60 di atas turretnya. Tetapi sekali ini atas permintaan pribadi Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke, mereka akan berjalan-jalan sejenak di area Pangkalan yang terbuka. Di siapkan sebuah Helliopod. Mobil listrik mini yang biasa digunakan untuk lapangan golf. Kepala unit pengawal pribadi mengantar keluarga Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke sampai di dekat Helliopod, dan mempersilahkan mereka duduk.

“All attention… semua unit. D’Crow menuju ke landasan. Mohon tingkatkan kewaspadaan pangkalan.”  Kembali perintah kepala unit pengawal pribadi. Seorang agen pengawal mengemudi helliopod dan Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke duduk disebelahnya. Mademoiselle BRAj. Farramurthi Isnna berdampingan dengan puterinya, Lubertha Ayu yang nampak riang menikmati dinginnya malam itu. Agen Kepala para pengawal sendiri duduk di kursi jock buritan yang menghadap ke belakang. Memberi komando-komando yang di perlukan kepada bawahannya dan untuk berkoordinasi dengan institusi lain area Pangkalan ini. Enambelas agen pengawal, yaitu separuh dari petugas yang berpakaian sipil berlari-lari mengikuti di sekitar perjalanan Helliopod. Agak jauh di belakang nampak empat unit mobil lapis baja Humvee bergerak perlahan. Dengan penembak M-60 yang berputar-putar di atas turret-nya mengawasi keadaan.

“Ada taman mancur dekat sini yang biasa untuk jogging track. Kita bisa bersantai untuk beberapa saat di sana.”  Kata Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke berpaling kepada isterinya.

“Baiklah, mysweety darling. Kita akan melewatkan keheningan malam ini bersama-sama.”  Jawab Mademoiselle BRAj. Farramurthi Isnna yang sibuk memegangi kenakalan Lubertha Ayu, yang memaksakan berdiri di atas kursi jock. “Ayu… duduk sayang, Mamma capek ni.”

Lubertha Ayu tidak menurut. Gadis cilik itu terlalu riang menikmati kebersamaan bersama orang tuanya di kawasan yang sangat pribadi ini. Seperti yang di perintahkan. Helliopod berhenti di ujung taman mancur yang di kelilingi bunga-bunga dan hamparan rumput hijau, serta pohon sawit sebagai kanopi pelindung panas dan penyaring udara sejuk. Dengan jogging track yang mengelilingi hampir separuh pangkalan militer ini. Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke memilih di salah satu bangku taman bersandaran dari besi permanent. Tempat itu cukup terang dari patulan lampu jalan yang berada tidak jauh dari tempat duduk mereka.

“Mamma… bunga-bunga !  Ayu ingin main di situ.”  Lubertha Ayu kegirangan menunjuk ke arah hamparan taman bunga dekat air mancur.

“Iyyaaa… Ayu boleh main sana. Tapi jangan sampai kotor. Dan, jangan main airnya.”

                “Iya Mmaa…”

Lubertha Ayu segera lepas dari genggaman tangan Mamma-nya dan bergegas menuju ke rimbunan taman bunga beraneka warna itu. Walaupun jelas ada peringatan tidak boleh menginjak rumput. Toh para pengawal bersenjata yang berjaga di sekitar taman itu diam saja.

“Darling… tadi aku bicara banyak dengan JendralEstianni Rahayu Rasmintho. Kau sudah mendengar soal pengeroyokan yang hampir membunuh putera kita ?” Mademoiselle BRAj. Farramurthi Isnna mulai berbincang serius.

“Hmm… aku memang sedikit mendengar soal keributan. Tapi mereka bilang, itu sudah di tangani.”  Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke menggumankan pandangannya sejauh yang di ketahui dari para staf.

“Mungkin, ada baiknya jika kita amankan Demmetrio Alexandher Josse untuk beberapa waktu sampai ribut-ribut ini mereda. Mungkin kita bisa, eee… menyelundupkannya pulang ke Penjaringan.”

                “Aku tidak setuju. Ribut-ribut anak muda itu biasa, mydear. Karena itu ada seksi penyelamatan darurat dalam departemen kawal pribadi Demmetrio Alexandher Josse. Kita jangan terlalu memanjakan anak kita, dengan terlalu mencampuri kehidupan rahasia-nya yang sudah dibangun dengan susah payah. Karena itu justru membuat Demmetrio Alexandher Josse sulit mandiri. Dan gagal menjalani ujian hidup yang dicanangkan keluarga besar Husni. Amerika yang begitu kuat, tidak sampai menarik penyamaran putera Wapresnya sendiri di sini. Karena mereka sangat percaya pada kita.”  Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke membandingkan.

“Aku sama sekali tidak bermaksud meragukan kemampuan Institusimu, my Sweetydarling. Bukan. Tapi aku Mamma kandung yang melahirkan Demmetrio Alexandher Josse. Aku merasa putraku itu sedang terancam di luar sana.”  Mademoiselle BRAj. Farramurthi Isnna membela diri.

Tidak lama Ajudan militer kapten infanteri Marria Lukito dan kapten warra Qorry Sandhiorriva, datang membawa satu nampan Wines dengan dua gelas crystall. Juga satu kaleng Fanta merah untuk Lubertha Ayu. Mereka sudah menuangkan anggur itu ke dalam gelas saat menyuguhkan untuk keluarga Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke.

“Makasih Qorry. Dan, tolong temani Ayu kalau kalian tidak keberatan.”  Mademoiselle BRAj. Farramurthi Isnna meminta sembari menerima suguhan gelas anggur itu ramah.

“Baik… Madem’s.”

                “Toast… darling.”  Mademoiselle BRAj. Farramurthi Isnna mengacungkan gelasnya dan Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke menyentuhkan sedikit gelasnya sehingga menimbulkan bunyi,  “Thiinnngggg…”. Keduanya tersenyum dan menggoyang-goyang gelas anggur demi mendapatkan aroma yang pas. Mencium aroma dengan serius dari bibir gelas itu dan meminumnya se-icip.

“Kondisi sekarang ini yang gawat, membuat aku tidak tenang membiarkan Demmetrio Alexandher Josse jauh dari kita, darling. Panglima Rimbasti saja sudah berani mengancam akan membunuhmu. Bagaimana dengan institusi keamanan lain yang berafiliasi dengan kekuasaan Tuanku Baginda President Senno Suhastommo ?  Bisa saja mereka mencari-cari kesempatan untuk menemukan penyamaran putera kita dan menculiknya untuk tujuan memeras.”

                “Kita bisa mengatasi itu. Saat sekarang Kasintel Kodam Jendral teritorial Dewa Made Windhu Kaemmana, kepala cabang Bosma di daerah telah memerintahkan campur tangan Puspom Kodam untuk mengamankan Anggitho Pringadhi. Mereka akan melakukan tindakan apapun. Termasuk melibatkan seluruh unsur Kodam yang di perlukan jika Anggitho kembali mengalami kondisi berbahaya. Dengan statusnya sebagai anak angkat Pangko Daerah Militer Jawa V Mayjen infanteri Estianni Rahayu Rasmintho, semua hal itu sangat memungkinkan.”  Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke masih mencoba menenangkan hati Isterinya.

“Entahlah, darling. Aku lebih tenang kalau Demmetrio Alexandher Josse ada bersama kita di sini.”

                “Kita sudah sepakat, mydear. Tidak akan menyinggung lagi persoalan program naturalisasi kerakyatan Husni ini dalam kondisi apapun. Ini juga untuk kepentingan Demmetrio Alexandher Josse. Supaya dia bisa menghadapi tantangan hidup masa depannya dengan mandiri. Dan mengerti pentingnya mengelola keuangan.”  Kata Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke lagi.

Mademoiselle BRAj. Farramurthi Isnna membuang nafas sesal. Meneguk Wines itu lagi se-icip untuk menurunkan kadar ketegangan di hatinya. Tidak bisa di bantah. Ini adalah perjanjian tertulis setiap keluarga menantu Husni yang akan masuk ke dalam persaudaraan mereka. Kalau aturan keluarga ini bisa di batalkan, tentu His Excellency of Prince Issaec William yang putera Vice Tuanku Baginda President United State of America, yang paling dulu di batalkan penyamarannya di republik ini. Karena sebagai negara Adidaya United State of America paling banyak memiliki musuh di dunia ini. Dan sebagai pengambil kebijakan utama masalah keamanan, NSA adalah organisasi yang paling keras menentang di luncurkannya operasi gila ini atas His Excellency of Prince Issaec William.

 

Mademoiselle BRAj. Farramurthi Isnna menatap puterinya di sana, yang sedang bermain-main dengan bunga dan kedua ajudan pribadi suaminya. “Tadi aku bicara langsung dengan JendralEstianni Rahayu Rasmintho. Masih menurut informasi yang dia dengar, perwira polisi yang di kecewakan itu mencoba mencari-cari sekutu ke tingkat Mabes di Jakarta ini. Tidak kepada Kapolri, atau kepada Brigjen infanteri Eggy Sudharmonno. Kepala divisi Ranpur, pada departemen kerja direktorat Pengadaan Prasarana, dirjen Persenjataan, kementerian Pertahanan. Tapi kepada . Dr. Oktaprius Surya Prayoga Js.D, SH. Wakil Menteri Pertahanan yang sangat dekat dengan lingkaran kekuasaan Tuanku Baginda President Senno Suhastommo.”

                “Itu pasti karena kaitan dengan tugas khusus pengamanan terhadap keluarga Himawan, dear. Sumbangan mereka untuk partai Sabit Merah itu besar sekali, lho…”

                “Karena itu, darling. Wakil menteri Agus itu cukup dekat dengan pimpinan IcB. Jendral Icb. Mannaf Trighanna Thallib. Bisa saja karena permintaan polisi Bagus Wibawa itu, Jendral Icb. Mannaf mengirim pelacaknya untuk menyelidiki Demmetrio. Dengan kekuasaan tanpa batas IcB, aku cemas… mysweety darling. Orang kita di daerah akan kesulitan menyembunyikan identitas Demmetrio Alexandher Josse.” 

“Aku tidak yakin, mydear. IcB akan sebegitu perhatian pada permintaan perwira polisi itu di tengah permusuhan yang sedang mereka ciptakan denganku disini.”  Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke menjawab dengan ringan.

“Oouch… mysweety darling, tidak bisakah kau mengatur untuk aku saja. Supaya untuk sementara ini Demmetrio Alexandher Josse di singkirkan dulu dari keramaian dengan pengamanan ketat, please…” Mademoiselle BRAj. Farramurthi Isnna semakin merajuk.

Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke menimbang permintaan Isteri tersayang ini dengan sikap yang sangat hati-hati. Memberi perlakuan khusus untuk Demmetrio Alexandher Josse malah bisa mengundang kecurigaan IcB karena campur tangan Bosma yang terlalu berlebihan.

“Baiklah… dear. Kita lihat apa yang besok kita bisa lakukan untuk Josse…”

Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke bangkit dan memanggil Lubertha Ayu untuk pulang. Kepala unit pengawal pribadi telah menghubungi teman-temannya di parkir kendaraan. Memberitahu kalau D’Crow akan pulang. Seluruh peserta konvoi yang di dahului selusin motor besar Puspom Saber itu di berangkatkan. Dan kesibukan-kesibukan segera nampak di hanggar utama. Tentara-tentara bersenjata lengkap sedang berlarian dalam sikap waspada. Beberapa dari mereka bersama-sama mendorong gerbang yang sebesar dinding hanggar itu sendiri. Dan rombongan konvoi pengawal Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke itu meluncur. Volvo Limousinne allnew S-80 T6 terbaru yang hampir sepupuh meter lebih panjangnya telah berhenti di dekat taman. Berikut seluruh rombongan pengiringnya. Termasuk, mobil Cadillac berbasis Fleetwood Lincoln Intercontinental yang juga sepuluh meter panjangnya milik Mademoiselle BRAj. Farramurthi Isnna.

 

Mademoiselle BRAj. Farramurthi Isnna berpaling dan memeluk suaminya penuh rasa haru. Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke, seperti yang selalu ketika bibir mereka mulai bersentuhan. Sejenak dirinya seperti di bawa terbang ke dunia aneh yang belum pernah  terjelaskan. Dan Mademoiselle BRAj. Farramurthi Isnna tersenyum renyah.

“Makasih, mysweety dear. Karena mau mempertimbangkan kecemasanku.”

Dan, Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke balas tersenyum. Tidak banyak waktu lagi. Para pengawal sudah menggiring mereka ke Limousinne dan para petugas bersenjata mulai sibuk menuju kendaraan masing-masing. Dua mobil lapis baja Humvee dengan penembak M-60 di atas turretnya berjalan lebih dulu meninggalkan Pangkalan. Di ikuti motor-motor besar Honda Goldwing-1000 anggota pengawal bermotor Puspom Saber. Di dalam mobil Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke duduk bersama Isterinya, Mademoiselle BRAj. Farramurthi Isnna. Lubertha Ayu berada di tengah. Di hadapan mereka ada ajudan kapten infanteri Marria Lukito dan kapten warra Qorry Sandhiorriva. Di kursi jock tengah yang menghadap ke belakang. Sedang Aspri Florensia da Aspri Novyasri bersama lima agen pengawal HSb Husni menumpang Limousinne Cadillac.

 

Sementara rombongan pengawalan Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke dalam perjalanan kembali ke Peristirahatan Resmi mereka di bukit Penjaringan. Malam itu atas persetujuan tuan Prof. Dr. Agung Rasmintho, Anggitho Pringadhi menumpang mobil dinas Isuzu Panther Smart Hi-Grade putih Puspomdam dengan Strobo blue siren-light, yang berkerlap-kerlip tanpa suara membawa dua anggota Puspom. Masih belum jelas tujuan Anggitho kemana. Sejak kejadian yang menimpa Anggitho, dia tidak pernah lagi di ijinkan pergi sendirian. Bahkan kalau itu untuk acara ngapel ke pacar misalnya.

 

Dess!  Ingatan lelaki muda itu terpaku pada Bripda polisi Sinta. Yaa… Bripda polisi Sinta pacar yang telah dia nikahi secara pura-pura. Tapi ach!  Pantaskah Anggitho mendatangi asrama wanita cantik itu malam-malam begini. Ach… Persetan! Anggitho memajukan badannya menyentil Serka pom. Wahyu  yang duduk di sebelah supir. Menyatakan keinginan untuk langsung menuju ke asrama para bujang Poltabes Malang. Serka pom. Wahyu  memang sudah di perintahkan untuk mengantar kemanapun Anggitho ingin pergi. Jadi dia sama sekali tidak keberatan. Dan memerintahkan supirnya, Serda pom. Sollahudin Setiyadhi untuk mengarahkan mobil ke tujuan. Komplek asrama para bujang Mapoltabes Malang itu berada di samping Gedung Bhayangkara Poltabes Malang. Bangunan gedung tiga lantai di sebelah aula Wisma Bayangkara itu di huni tidak kurang dari tigaratus anggota. Satu unit apartement untuk dua orang polisi. Para gadis di lantai bawah, sedang dua lantai di atasnya semua untuk anggota polisi laki-laki.

 

Serda pom. Wahyu tentu sudah tahu. Bripda polisi Sinta tinggal bersama teman gadisnya di bilik 27. Sudah menjadi tugasnya sebagai staf divisi Panglima, Mayjen infanteri Estianni Rahayu Rasmintho. Yang dengan tugas khususnya mengurusi Anggitho, dia selalu menyelidiki semua aspek yang berhubungan dengan Anggitho Pringadhi. Mobil memasuki komplek aula Wisma Bhayangkara polisi tanpa mendapatkan banyak pertanyaan dari brigadier polisi yang sedang piket jaga. Berhenti di parkiran depan gedung Wisma Bhayangkara itu, Anggitho tidak langsung di ijinkan turun. Hanya Serda pom. Wahyu saja, keluar menuju ke komplek asrama para bujang. Tepatnya ke bilik tempat Bripda polisi Sinta tinggal. Di kamar itu juga sedang ada Bripda polisi Putri Raemawasti dan Bripda polisi Nirrina Angelinne. Yang telah di kabari kalau Anggitho akan datang berkunjung malam ini. Serda pom. Wahyu memencet bel yang terletak di pojok pintu.

Berbunga rasanya hati Bripda polisi Sinta mendengar bunyi bel itu, yang segera melompat ke bilik tamu depan. Setidaknya ada ruangan kecil di depan kamar mereka dan sebuah kamar mandi dengan sekelumit tempat dapur untuk setiap kamar asrama.

“Ouww… mas Wahyu, saya kira…” Bripda polisi Sinta menyambut dengan agak terkejut. Tidak seperti yang di harapkan. Malam ini pacar polisi Raemawasti yang mengetuk kamarnya dan sama sekali tidak dia lihat Anggitho. Tapi Bripda polisi Sinta menyadari. Ini mungkin bagian dari protokoler keamanan yang di jalankan dengan ketat sejak Anggitho nyaris terbunuh beberapa hari lalu. Dan Bripda polisi Sinta tidak harus merasa keberatan dengan perubahan drastis yang di alami Anggitho. Mungkin saja, perubahan suasana ini bisa menguntungkan juga. Setidaknya bagi kedua sahabatnya yang cemas menunggu-nunggu pacar mereka. Bripda polisi Putri dan Bripda polisi Nirrina.

“Githo, gak bersama kalian ?”

Yang di tanya malah tersenyum. Senyum khas seorang Sersan dua pom. Wahyu Sukarmansyah yang sempat membuat Bripda polisi Putri terpesona. Malam ini Bripda polisi Sinta mengenakan gaun terbaiknya. Yaitu blus hitam dari bahan lace dan berpayet. Di padukan dengan rok berlipit susun tiga dari bahan lame yang berwarna emas. Nampaknya dia dengan sengaja hendak menyambut Anggitho yang mau berkunjung. Seperti yang telah di kabarkan Serda pom. Wahyu sebelumnya lewat Handphone. Dan Serda pom. Wahyu membalasnya dengan balik menanyakan.

“Ada… masih bersama Sersan Hudhin di mobil. Apa bisa kita mencari tempat ngobrol yang enak ?” tanya Serda pom. Wahyu dengan tersenyum.

Bripda polisi Sinta tercenung beberapa saat, dan tak lama bermunculan Bripda polisi Putri dan Bripda polisi Nirrina dari ruang dalam. Terbersit kegirangan dan wajah-wajah mereka saat melihat kehadiran Serka pom. Wahyu . Terutama bagi Bripda polisi Putri, pacarnya.

“Sint… kok diam saja, mana Anggitho ?” Bripda polisi Nirrina bertanya.

“Ekhhmmm… ada kok. Kita ngobrol di tempat jemuran lantai atas aja.”  Kemudian kepada kedua temannya itu Bripda polisi Sinta berbisik. “Mereka meminta tempat ngobrol yang nyaman untuk Anggitho.”

“Yyeaa… kita ke lantai atas saja. Anak-anak sini biasa kalau nongkrong, kita ramai-ramai di lantai atas. Sambil melihat pemandangan indah kota Malang di malam hari. Bagus lho…” Bripda polisi Nirrina mendukung.

“Apa juga di perbolehkan untuk kami ?” Serda pom. Wahyu menanyakan dengan ragu-ragu.

“Achh… Bapak asuh kost disini, ajun komisaris polisi Prajudhi Atmodirjo baik kok sama kita semua. Ntar aku yang mintakan ijin.”  Bripda polisi Putri menyanggupi.

Serda pom. Wahyu mempertimbangkan. Pandangannya sekelumit menyapu ke ruangan dalam yang sederhana namun tertata dengan rapi itu. Di dalam, di ruangan lain, dia sempat mendengar alunan lembut band terkenal Numata dengan Pesona-nya. Serda pom. Wahyu mendesah lirih. Kemudian dia berbicara dengan radio HT yang terselip di bleser putih seragamnya di pundak. Walau sudah malam Serda pom. Wahyu masih mengenakan seragam harian Angkatan Darat dengan baret birunya. Karena malam ini statusnya masih dalam tugas mengawal Anggitho. Bisa di bilang ini sudah masuk jam lembur, tapi demi panggilan tugas dia sama sekali tidak keberatan. Jarang-jarang dia di promosikan untuk menjaga keamanan putra Panglima seperti ini. Kalau nanti beliau terkesan, pasti akan bagus dalam catatan kariernya di masa depan.

“Tenang saja. Ada tigaratus polisi di asrama ini. Anggitho pasti baik-baik saja.”  Bripda polisi Putri menyatakan pada kekasihnya, Serda pom. Wahyu. Anggota Puspom yang masih muda belia itu mengangguk sambil berbalas senyum dengan Bripda polisi Putri.

Anggitho memang muncul tidak lama kemudian. Di belakangnya ada Serda pom. Hudhin dengan sarung pistol di pinggang, lengkap dengan pisau komando dan tali borgol. Di sisi belakang pinggangnya ada lima kotak magazine pistolnya yang terselip.

“Mbak Sinta…” sapaan Anggitho terkesan manja. Bripda polisi Sinta menyambut dengan menyorongkan pipinya untuk di cium. “Apa kedatanganku malam ini cukup mengganggu ?”

Tentu tidak, sayangku… Ini justru yang sangat aku harapkan.”

Tidak membuang waktu lagi. Mereka berenam terus beranjak pergi ke lantai atas. Yang mula-mula mereka lakukan adalah bertemu Bapak asuh asrama di lantai dua. Malam ini Ajun komisaris polisi Prajudhi sedang di bilik apartement-nya memanjakan anak keduanya yang baru masuk di sekolah Paud Bhayangkari. Serda pom. Wahyu sendiri yang berbicara dengannya dan menunjukkan surat tugas yang di tanda-tangani oleh Kasintel Kodam. Brigjen teritorial Dewa Made Kaemmana. Ajun komisari polisi Prajudhi mengijinkan, dan berjanji memberitahukan para senior di asrama polisi ini untuk membantu menjaga ketertiban. Dia malah menawari mereka camilan. Ada sekeranjang Lengkeng Bangkok dan Jeruk Shantang di dalam kulkasnya. Tetapi Bripda polisi Sinta menolaknya dengan sopan. Di tas keranjang mereka sudah penuh dengan kemasan Kacang garing Garuda 500 gr/pck. Snack Potato Chips 400 gr/pck. Dan kacang Mixnut 200 gr/pck. Ada Roti sobek manis rasa Coklat-Srikaya, Lapis legit Srikaya Morisca 600 gr/pck. Malkist Ckackers Romma 300 gr/pck. Ada selusin Health Drink Vitamin You C1000 300 gr/btl. Sari Asem Ultra 500 gr/tpk. Dan Softdrink Bintang Zero 900 gr/klg. Belanjaan Bripda polisi Sinta dan teman-temannya, di Minimarket Wisma Bhayangkara sesaat begitu mendapat pemberitahuan Sersan pom. Wahyu lewat Handphone bahwa mereka mau datang.

 

Minumannya mereka membawa satu tecko Green tea milk shake dan Air batu campur ala Malaysia. Setelah mendapat ijin resmi dari Bapak asuh asrama, mereka berenam melenggang menyusuri balkon apartement. Menuju tangga ke atas untuk mencapai lantai jemuran di ujung paling belakang asrama. Beberapa orang telah Ajun komisaris polisi Prajudhi hubungi nomor Handphone-nya. Sekedar untuk memastikan Anggitho tidak mendapatkan masalah di lantai atas sana dari para senior asrama polisi yang sedang duduk-duduk bermain gitar. Sudah ada beberapa kumpulan polisi asrama yang sedang nongkrong. Kebanyakan mereka mojok di beberapa sudut pekarangan di atap asrama itu. Ada yang hanya para Cowok. Tapi beberapa ada yang gabungan dengan Cewek-Cewek asrama polisi. Bripda polisi Sinta memilih tempat di salah satu sudut tengah yang kosong. Dekat dengan balkon lantai atap yang di tumbuhi tanaman kucai. Di dekat situ ada sebuah meja yang di kelilingi empat bangku bundar dari campuran beton. Di meja itu mereka duduk dan menggelar perbekalan.

“Disini kenceng banget anginnya.”  Anggitho mengeluh.

“Namanya juga di ketinggian. Sini… kita mojok di atas turunan genting itu.”  Bripda polisi Sinta menggapai tangan Anggitho untuk memaksanya pergi ke tempat yang di maksud. Mereka harus melangkahi dinding pembatasnya dan berhati-hati melangkah di antara turunan genting yang licin. Tapi ternyata cukup kokoh karena genting yang bagus buatannya. Dan di topang oleh jari-jari besi baja ringan. Setelah mendapat posisi duduk berdua yang nyaman, Bripda polisi Sinta membiarkan Anggitho mengulurkan tangan, meraih tubuhnya dan kemudian membawanya ke dada. Bripda polisi Sinta tersenyum di manjakan seperti ini. Dan senang hati menyandarkan kepalanya di dada Anggitho.

“Apa kita akan selamanya seperti ini, sayang…”

                “Kalau aku bisa memilih. Akan tetap aku biarkan tangan ini merengkuhmu erat meskipun dunia di sekeliling kita sedang hancur. Aku tidak ingin berpisah jauh-jauh darimu.”

                “Hmmm… aku bahagia mendengarnya. Seandainya kau tidak merasa bosan, aku ingin mendengar pengakuan itu di bibirmu setiap hari.”  Bisik Bripda polisi Sinta dengan lembut.

“Sungguh…?”

Tidak ada perasaan yang paling membahagiakan bagiku selain dari mendengar itu.”  Susul Bripda polisi Sinta merajuk.

Anggitho menarik kembali tubuh Bripda polisi Sinta dan di antara pantulan lampu warna-warni yang remang-remang itu Anggitho menatap wajah ayu Bripda polisi Sinta. Yeah… tidak ada hal yang paling membahagiakan Anggitho selain bisa memandang wajah ayu Bripda polisi Sinta sedekat ini. Dan dia sangat mencintai gadis ini. Gadis yang telah rela memberikan seluruh hidup dan tubuhnya untuk kebahagiaan Anggitho.

“Githo… aku sangat… mencintaimu.”  Bripda polisi Sinta mendesah  lirih.

“Aku juga… seperti yang kau rasakan… sayanggg…” bisik lelaki ini dengan suara lembut Kemudian mendekatkan wajahnya. Di pagutnya penuh rasa sayang bibir lembut Bripda polisi Sinta yang merekah.

Bripda polisi Sinta membalas pelukan Anggitho dengan sama eratnya. Seakan-akan tidak ingin melepasnya lagi. Dan Anggitho sendiri semakin merapatkan bibirnya ke bibir Bripda po. Sinta. Keduanya semakin menyatu dalam kemesraan. Rasanya… hanya dengan Bripda polisi Sinta dia dapatkan semua kehangatan yang seperti ini.

“Cintaku akan selalu ada untukmu, Githo… sayanggg… Akan ku berikan seluruh hidup ini untuk mengabdikan diri demi kebahagiaanmu. Walaupun pada akhirnya nanti kau harus memilih wanita lain yang berhak menyandang gelar resmi sebagai Isterimu.” Pengakuan Bripda polisi Sinta dengan sungguh-sungguh.

“Mengapa mbak Sinta berkata begitu… ?” tanya Anggitho sedikit bernada jengkel. “Tidak ada orang lain yang paling aku harapkan untuk ku jadikan isteri selain dari mbak Sinta sendiri.”

Bripda polisi Sinta hanya bisa mendesah, membayangkan jalan panjang yang masih membentang di perjalanan cintanya. Tetapi memang seperti itu kenyataan yang harus dia hadapi. Tidak saja karena Anggitho datang dari keluarga setinggi JendralEstianni Rahayu Rasmintho walau hanya anak angkat. Yang biasanya sangat memandang derajat, martabat dan asal usul seseorang untuk bisa menjadi menantu mereka. Dan pasti bintara rendahan sekelas Bripda polisi Sinta tidak masuk dalam daftar seleksi mereka. Tapi juga Anggitho masih terlalu ingusan. Kelas Satu Es-Em-U, masih sangat jauh waktunya untuk memikirkan pernikahan.

“Entahlah, Gith… toh waktu kita masih panjang. Akan kita jalani saja hubungan ini sampai kau menjadi bosan sendiri. Aku akan menunggu saat-saat dimana akhirnya kau dengan berat hati ingin meninggalkanku. Tapi akan aku terima kenyataan itu sebagai hal yang tidak terhindarkan. Kalau mungkin… seandainya nanti Tuhan masih memberiku waktu. Aku akan biarkan diri ini lapuk dimakan waktu karena menunggumu kembali. Kembali untuk menyatakan sayang di usia yang tepat dan mapan. Kalau toh itu mungkin…” Bripda polisi Sinta melantunkan suara hati yang terdalam dengan kepasrahan.

“Sudahlah… aku tidak ingin mendengar itu lagi.”  Bisik Anggitho dengan nafas memburu.

“Gith… !” Bripda polisi Sinta membalas bisikan itu dengan kepasrahannya.

“Apa, sayang ?” sahut Anggitho sambil mengecup pipi yang di sodorkan dengan sukarela.

“Maukah kau melupakan untukku perbedaan antara antara kita yang berpaut jauh ini… Dan kita nikmati malam ini sebagaimana pasangan kekasih ?” pinta Bripda polisi Sinta yang kembali bermanja-manja di bahu Anggitho.

“Tentu, sayang… Lagian dari awal aku tidak pernah mempersoalkan perbedaan yang biasa itu. Cinta tidak mengenal perbedaan, to. Yang ada hanya perasaan dan ketulusan.”  Kata Anggitho yang membuat Bripda polisi Sinta benar benar merasa bahagia. Bripda polisi Sinta tertawa pendek, menjangkau dengan bibirnya dan mengecup lesung pipi Anggitho.

 

Anggitho semakin erat merangkum tanganya di pundak Bripda polisi Sinta. Seakan tidak ingin melepas kehangatannya lagi. Tangan yang lain mulai bergerilya, meraba-raba bagian terindah dan lembut dada seorang wanita yang begitu bersahaja seperti Bripda polisi Sinta. Gadis itu melenguh, dan beberapa saat membuat kelopak matanya yang indah bagai meredup-redup.

“Oukkhhmmmm… Githo… bawa aku lagi… ke… dunia cinta… mmuuuu….. uuhh.”

Bripda polisi Sinta tersenyum nakal. Ia semakin merapatkan tubuhnya. Membuat dia bersikap jauh lebih agresif dari yang di lakukan Anggitho sendiri. Dan benar, walaupun sekali sudah Anggitho merasakan kenikmatan yang sangat dalam dari Bripda polisi Sinta. Toh kehangatan yang mampu di berikannya masih sangat kaku. Anggitho merasakan betapa dadanya yang bidang dan lebat dengan bulu-bulu halus itu seperti di tindih busungan dada wanita yang bagai mewakili segala bentuk kelembutan di dunia ini dan mampu menggetarkan jiwa dan raga Anggitho sampai jauh ke dalam sumsum-sumsum-nya. Terasa betapa hangat. Dan Anggitho mendesah. Namun toh dia balas memeluk pinggang ramping Bripda polisi Sinta ini dengan erat. Naluri sebagai kelaki-lakiannya muncul. Mereka sudah sangat melekat Bripda polisi Sinta tersenyum dalam hatinya. Anggitho masih tetap ingusan di bandingkan dengan Don juan Sonny yang sudah berpengalaman.

“Cium… aakkhuuu… saa… yyyaaaanngggg.”  Bisik Bripda polisi Sinta seperti mendesis. Dia sudah pasrah mengorbankan tubuhnya bulat-bulat untuk lelaki muda yang sangat dia kagumi ini. Anggitho kembali mendekatkan wajah yang merah itu. Karena jelas dia sangat gemetar untuk melakukan hal-hal yang terlalu pribadi seperti ini. Sapuan hangat yang bergetar kentara sekali pada wajah Bripda polisi Sinta. Namun toh gadis itu diam saja. Sembari terus menunggu apa yang hendak di lakukan Anggitho.

Aaacchhh !!!

Begitu lembut bibir pemdua ini berlabuh. Bripda polisi Sinta memejam demi menikmati segala keindahan itu dengan keutuhan hatinya. Cukup lama memang sapuan bibir ini. Dan manakala hendak berakhir. Bripda polisi Sinta segera merebutnya kembali. Ia membalas sema ini dengan hangat. Betapa di rasakannya keindahan itu, hingga Anggitho semakin berani melakukanna. Sementara tubuh mereka masih menyatu dengan hangat. Bripda polisi Sinta mempermainkan perasaan Anggitho dengan caranya sendiri. Setidaknya dia ingin menyatakan pada Anggitho bahwa di saat apapun cinta itu tetap indah. Bahwa cinta itu tetap memabukkan.

 

Dada Anggitho semakin hangat oleh tekanan lembut keindahan membusung bukit kembar yang tersembul dalam balutan blus hitam dari bahan lace yang berpayet. Aaachh…!  Kehangatanya terasa membuat tangan lelaki itu selalu ingin menjamahnya. Dan memang, sekali lagi Anggitho melakukannya. Membuat Bripda polisi Sinta bagai bergetar hebat. Jemari tangan yang kekar itu makin meremas dengan kegemasan. Dan terasa bagai busungan dada wanita yang begitu indah di aduk-aduk dalam rasa nikmat dan kegelian yang sangat. Bripda polisi Sinta merintih. Menikmati godaan keindahan itu dengan utuh. Kelembutan yang tangan-tangan kekar Anggitho berikan ternyata mampu menyuntuh dinding hatinya. Gadis itu semakin pasrah. Semakin terlena oleh belaian lembut Anggitho.

 

Keheningan komplek asrama di Wisma Bhayangkara itu terusik oleh kedatangan mobil dinas Kombes polisi Bagus Wibawa, sebuah Opel Blazzer Montera abu-abu berplat nomor polisi yang di kawal mobil dinas Suzuki New Baleno Euro-3 dengan strobo sirent-light yang berkelap-kelip sebagai pembuka jalan. Di belakang mereka dua mobil Nissan Serrena hitam dengan plat nomor Kementerian Pertahanan. Seperti yang di perintahkan ajun komisaris Prajudhi. Bintara muda penjaga portal Wisma Bhayangkara itu tidak langsung memberinya ijin masuk. Hanya mendekati mobil dinas Kombes polisi Bagus tanpa menaikkan pintu portal yang terkunci.

“Buka pintu. Ada seorang tersangka yang harus kami jemput disini.”  Perintah Kombes polisi Bagus yang kurang suka di halangi jalannya. Tapi pemuda berpangkat brigadir dua polisi yang dia bentak tidak berekspresi.

“Saya diminta untuk siapapun yang akan masuk, berbicara dulu dengan ajun komisaris Prajudhi. Apa Komisaris besar sudah membuat janji ?” tanya bintara polisi itu ringan tapi tegas.

“Hehh…!!  Saya ini komisaris besar. Pangkat saya melati tiga. Berani kamu menghalangi petinggi polisi yang sedang melaksanakan tugas negara… ha ?” Kombes polisi Bagus turun dari mobilnya dan membanting pintu. “Cepat buka pintunya, atau akan ku adukan kau ke Mahkamah militer.”

Ketegangan masih terjadi di bawah sana ketika bintara yang lain melaporkan kejadian itu pada ajun komisaris Prajudhi. Ajun komisaris Prajudhi buru-buru keluar melihat dari balkon lantai dua. Meyakinkan apa yang dia dengar dan menggunakan nomor Handphone-nya untuk menghubungi beberapa orang di atas. Dia tahu bagaimana situasi Anggitho setelah kerusuhan maut yang terjadi di sekolah negeri Dian Harapan. Soal ketegangan yang terjadi antara Kombes polisi Bagus Wibawa dengan keluarga besar Markas Komando Kodam. Terkait dengan hilangnya beberapa tersangka yang di antaranya masih keponakan Kombes polisi Bagus Wibawa sendiri. Sekumpulan senior asrama polisi yang ditugaskan oleh ajun komisaris Prajudi naik ke tempat jemuran atap dan berbicara dengan dua bintara Puspom Kodam yang mengawal Anggitho.

“Buka… !!!” karena tidak ada reaksi lantas dia berpaling kepada dua polisi yang keluar dari mobil pengawal di depan. “Brigadir, buka saja. Nanti aku tanggung jawab.”

Mendapat perintah dari atasannya itu, dua petugas dari mobil pengawal langsung menuju pintu portal. Tapi segera di cegah dengan kedatangan ajun komisaris Prajudhi dengan belasan senior asrama polisi yang membawa senjata. Kedatangan ajun komisaris Prajudhi dan anak buahnya mengundang agen senior IcB Kapten Ricky Siswonno dari dalam mobil Nissan Serrena.

“Komisaris besar. Tenang dulu. Mari kita bicara baik-baik soal tujuan Komisaris besar kemari. Tapi tidak dengan cara brutal seperti ini.”  Ajun komisaris Prajudhi membujuk.

“Begini. Kami membutuhkan pengambilan seorang saksi penting dari kasus yang sedang kami tangani. Kami tahu dari informasi yang terpercaya bahwa, saksi itu sedang ada di sini.”  Agen senior IcB kapten Ricky maju menyampaikan informasinya. Dari tanda pengenal di atas saku seragam tempur hitamnya jelas tertera keanggotaan aktif dari dinas rahasia pemerintah IcB.

“Maksudnya… eee… Anggitho… ?”

                “Kau tahu siapa maksud kami, Judh. Jangan banyak omong lagi dan biarkan kami masuk.”  Teriak Kombes polisi Bagus tidak terbendung lagi. Ajun komisaris Prajudhi tersenyum tipis. Sebenarnya dia tidak begitu takut-takut amat menghadapi suara geledek Kombes polisi Bagus. Betapa dia selalu membanggakan pangkat dan jabatannya di institusi kepolisian. Toh… sebagai tuan rumah sebuah properti dibawah institusi yang sama, dia berhak meminta surat resmi penggeledahan dari kepala Reskrim yang menangani kasus bersangkutan.

“Jangan menantangku, Judh. Kau tahu formalitas bisa menyusul nanti. Okey… sekarang minggirlah. Biarkan kami melakukan tugas ini dan kau akan kuselamatkan dari sanksi yuridis karena menghalang-halangi tugas seorang agen resmi IcB.”

                “Sebagai penanggung jawab asrama, saya juga tidak mau ada masalah dengan fasilitas ini setelah anda pergi. Komisaris besar. Jadi lengkapi dulu formalitas-nya sekarang, dan kalian bisa masuk dengan baik-baik.”  Kata ajun komisaris Prajudhi tenang.  Aach, permintaan sederhana ini yang pasti tidak Kombes polisi Bagus penuhi dalam operasi dadakan itu akan cukup mengulur waktu. Kasintel Kodam, Jendral teritorial Dewa Made Kaemmana meminta dia mengulur waktu sampai tim yang dia kirimkan untuk menyelamatkan Anggitho tiba.

“Aku rasa dia mengulur waktu, komisaris besar.” 

                “Mengulur waktu untuk apa… ?”

                “Mungkin dia sudah menghubungi aparat Kodam untuk meminta bantuan.”

                “Hei… kita hanya membutuhkan Anggitho untuk ditukar.”

                “Kenyataannya. Akan sulit kalau aparat Kodam ikut campur tangan disini. Di tubuh mereka ada Bosma. Kami akan kelabakan jika harus berhadapan langsung dengan institusi Bosma di sini.”  Agen senior IcB kapten Ricky kembali berkata. Nampak jelas secara institusi dia tidak mau terlibat jauh berurusan dengan petinggi Kodam di sini, apalagi sampai berhadapan secara langsung dengan Bosma. Jauh hari sebelum dia menerima tugas kecil ini, pada saat seluruh pekerjaan IcB terkuras habis untuk menghadapi konsekwensi perang inteligent dengan Markas Komado Bosma di Pusat. Sejak Tuanku Baginda President Albertinus Senno Suhastommo mencanangkan kampanye “Gusur Kekuasaan Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke”. Setiap personel inti IcB tegap memandang ke arah Direktur Jendral IcB Mannaf Trighanna Thallib untuk bergerak. Tidak ada satu tindakan dalam bentuk apapun tanpa ada perintah komando dari Jendral Icb Mannaf itu.

 

Karena bergerak sendiri tanpa dukungan pasti dari sang Jendral, artinya tindakan bunuh diri. Terlebih mereka berhadapan dengan institusi sebesar Bosma. Dimana semua ahli-ahli inteligent dari tentara bernaung. Yang memiliki kewenangan jauh lebih hebat dari IcB. Kemampuan menyamar dan seni membunuh yang jauh lebih baik ketimbang IcB. Faktanya, Bosma memang tidak bisa dibuat main-main. Dan kesalahan besar bagi siapapun di Republik ini mengusik Institusi militer sekuat Bosma. Persoalan orang hilang yang di laporkan Kombes polisi Bagus sama sekali tidak ada kaitan dengan Bosma. Artinya agen senior IcB itu aman dari bahaya menghadapi pembunuh-pembunuh profesional sekelas Bosma. Tapi mengingat target operasinya masih keluarga Panglima Komando Kodam yang membawahi seluruh divisi tentara daerah ini, bukan hal mustahil kalau kantor perwakilan resmi Bosma di libatkan. Karena Kasintel Kodam yang adalah kepala cabang Bosma adalah institusi staf dari Panglima itu sendiri.

“Maksudmu… kartu pengenal IcB itu menjadi tidak berkuasa lagi ketika Bosma terlibat disini ?” Kombes polisi Bagus bertanya dengan perasaan cemas.

“Kenyataan itu memang pahit. Tapi kalau urusan ini berkaitan dengan Bosma, meminta bantuan kami adalah tindakan yang sangat salah.” Jawab agen senior IcB kapten Ricky tiba-tiba dan sangat serius. Sementara ajun komisaris Prajudhi yang ikut mendengar perdebatan itu mendesah dengan lega. Satu fakta terungkap. Orang-orang IcB yang sangat Kombes polisi Bagus banggakan itu sudah ciut nyalinya mendengar nama Bosma. Artinya sekarang mereka tidak akan ngotot lagi. Aach!!  Paling tidak mengulur waktu menjadi semakin mudah. Sementara anggota-anggota senior Asrama polisi di wisma Bhayangkara itu tengah berusaha menyembunyikan Anggitho dan pengawal-pengawal Puspom Kodam.

“Judh… bagaimana kalau kita berdamai saja. Ini untuk kepentingan kita bersama dan citra institusi kepolisian. Kalau pihak Kodam mau melepaskan anak-anak yang hilang itu demi Anggitho, urusan akan menjadi beres dan institusi kita tidak dianggap loyo menghadapi kekuasaan.”  Kombes polisi Bagus mencoba untuk berunding.

“Mereka yang hilang itu semuanya tersangka kejahatan, Komisaris besar. Hadapilah kenyataan, tidak ada pihak yang rugi sampai mereka semua muncul di kursi persidangan dan menerima hukuman atas apa yang mereka telah lakukan. Kalau toh ada yang menuntut, itu pastilah anda sendiri.”  Kata ajun komisaris Prajudhi.

“Bagiku… sebuah proses persidangan yang jujur itu tidak masalah. Tapi ini semua masih serba misteri. Bagaimana kalau ternyata akhirnya mereka semua di temukan terbunuh dengan keji. Tanpa ada satu pihak yang mengaku bertanggung jawab…?”

                “Kita semua disini masih meraba-raba. Menelaah hal yang serba tidak pasti. Ada baiknya kalau kita coba Cooling down. Menunggu untuk beberapa waktu dan menghindari ambisi yang terlalu membahayakan diri kita sendiri adalah tindakan bijaksana.”  Lanjut ajun komisaris Prajudhi.

Tujubelas menit kemudian. Ajun komisaris Prajudhi melihat belasan motor besar pengawal Puspom Kodam yang berpacu. Bunyi sirine meraung-raung membuka jalan. Memacu ke arah mereka di ikuti empat buah mobil lapis baja Humvee dengan penembak senjata mesin M-60 di atas turretnya. Dan sebuah mobil Mitsubishi Pajerro Sport Exceed A/T milik tuan Profesor Agung sendiri. Di atas mereka mengikuti patroli udara dua helikopter milik Saber Udara jenis UH-60 Blackhawk yang membawa masing-masing enam penembak tempur terikat pada tali kekangnya di pintu. Setiap waktu mereka bisa dengan mudah meluncur kebawah dengan tali itu dan melakukan serangan dadakan. Mobil-mobil itu mengerit dan berhenti tepat di belakang kendaraan anggota IcB. Belasan tentara berseragam dengan baret birunya menghambur keluar dari Humvee dan memaksa semua anggota IcB yang berjumlah duabelas orang itu keluar di bawah ancaman moncong Steyr-F88. Brigadir Jendral teritorial Dewa Made Windhu Kaemmana yang pertama keluar dari mobil Mitsubishi Pajerro Sport Exceed dan di ikuti oleh tuan Profesor Agung sendiri.

“Makasih, ajun komisaris Prajudhi. Kami berusaha datang secepatnya begitu dapat pemberitahuan.”  Ramah Jendral teritorial Dewa Made Kaemmana mendatangi kumpulan orang di portal itu. Dan saat dia berpaling kepada agen senior IcB kapten Ricky, spontan berkata. “Well… kalian orang-orang IcB. Anak-anak Saber pasti senang mendapatkan tahanan kaki tangan IcB yang tersasar jauh ke kota ini. Mereka sudah lama tidak melemaskan otot-ototnya.”

                “Mohon Jendral, jangan siksa kami… !!” agen senior IcB kapten Ricky itu memohon dengan ketakutan. Sementara dengan tatapan tidak berdaya dia melihat anak buahnya di belakang sana di lucuti dan di ikat kedua jempol tangannya dengan tali plastik tahan air. Sebelum di jejalkan kembali ke dalam Nissan Serrena. Tapi kali ini mereka sebagai tahanan Puspom Kodam yang menjadi perwakilan resmi organisasi Inteligent Bosma, sampai pemberitahuan lebih lanjut.

Plooonggg !!!  Ajun komisaris Prajudhi kini tidak lagi harus menghadapi tekanan-tekanan sok kuasa Kombes polisi Bagus Wibawa dan anak buahnya. Terutama dengan membawa-bawa nama besar IcB yang tidak tahu apa keterkaitan mereka dengan kasus orang hilang ini. Setidaknya untuk saat ini posisnya aman dari ancaman brutal anak-anak batalyon yang bisa saja menghancurkan asrama di Wisma Bhayangkara ini. Entah nanti kalau urusan dengan Kombes polisi Bagus bertambah panjang. Soalnya, Kombes polisi Bagus yang oleh sebagian kalangan elite kepolisian di anggap memprihatinkan dan bikin repot. Merasa hebat karena di dukung oleh pusat kekuasaan. Bukan oleh orang-orang Mabes. Tapi oleh petinggi Kementerian Pertahanan yang dengan kekuasaan tak terbatas bahkan mampu melibatkan IcB seperti sekarang ini.

“Ini sangat tidak adil, Jendral. Mengapa anda bisa seenaknya menghilangkan keponakan-keponakan saya. Tapi saya sama sekali tidak di beri kesempatan untuk menanyai saksi utama kami. Anggitho… ??” Kombes polisi Bagus memprotes.

Pernyataan itu secara tidak langsung membuat panas telinga tuan Profesor Dr. Agung Rasmintho SH, Sw.D, Ph.D, Js.D, Laws Master.yang langsung maju menghadapi Kombes polisi Bagus Wibawa. Ini tantangan yang dengan apa adanya di ucapkan seorang Komisaris besar polisi terhadap egoisitas seorang suami Pangko Daerah Militer Jawa V yang bermartabat. Sebenarnya tuan Profesor Dr. Agung tidak ingin ribut lagi soal Anggitho yang telah di anggapnya selesai. Proses hukum sedang berjalan, dan Jaksa pengadilan tinggi urusan Intel sedang mengumpulkan sebanyak-banyaknya informasi yang tidak terbantahkan untuk menjerat enambelas tersangka secara diam-diam.

“Anak-anakmu hampir membunuh puteraku, dan masih saja mereka kau bela…??  Jika memang itu tujuanmu lebih baik kau bergabung saja dengan mereka.”  Kata tuan Profesor Dr. Agung yang sekaligus itu sebagai perintah kepada Jendral teritorial Dewa Made Kaemmana untuk ikut menangkapnya. Pria itu memandang Kombes polisi Bagus demikian tajam. Dan perintah itu dibalas dengan memerintahkan dua tentara anggota Saber untuk membawa serta Kombes polisi Bagus Wibawa sebagai tahanan.

“Apa ini, tuan Profesor…??  Saya sama sekali tidak terlibat dalam serangan itu. Tindakan saya hanya sebagai pelaksanaan tugas pencarian orang hilang yang telah di laporkan para orang tua murid. Tolong… bebaskan saya…!!!”

                “Aku rasa Jaksa pengadilan tinggi akan bisa memasukkan nama anda sebagai aktor intelektual dibalik penyerangan itu, komisaris besar.”  Jendral teritorial Dewa Made Kaemmana berkata sinis.

“Aktor intelektual…??  Saya sama sekali bukan aktor intelektual. Semua ini sepenuhnya di atur oleh Don juan Sonny. Saya ini aparat, jendral…!!!” suara Komisaris besar polisi Bagus semakin menjauh. Dia di seret dengan kedua tangan terikat ke belakang oleh dua anggota pasukan Saber Bosma yang bekerja untuk Kasintel Kodam.

“Bagaimana dengan kapten Icb Ricky ini… jendral ?” dua anggota pasukan Saber yang lain mengingatkan. Jendral teritorial Dewa Made Kaemmana dan tuan Profesor Agung masih tertegun mengawasi kombes polisi Bagus yang meronta-ronta di masukkan ke dalam mobil Nissan Serrena. Sampai tidak ingat juga ada agen senior IcB kapten Ricky disitu.

 

Aach !!!

Proses yang panjang untuk sebuah penuntutan kasus percobaan pembunuhan terhadap Anggitho. Setelah mereka mengajukan enambelas tersangka untuk di proses penyelidikan kasusnya ke Jaksa pengadilan tinggi. Sekarang di ajukan lagi aktor intelektual kasus penyerangan itu yang ternyata seorang perwira menengah Polisi. Semakin jatuhlah nama baik Kombes polisi Bagus Wibawa karena terseret kasus ini. Padahal semula dia perjuangkan semua ini demi untuk membela keluarga besar Andhre Himawan. Dan karena itu menyangkut permintaan khusus dari wakil menteri yang juga staf khusus Istana dibawah Tuanku Baginda President Albertinus Senno Suhastommo. Tidak istimewakah tugas negara ini… ??

“Yyeaa… bawa saja dia. IcB akan menjalani hukuman terberat dalam dunia kejahatan inteligent. Kalian akan di tuntut dalam Mahkamah kejahatan inteligent militer dan akan di jatuhi hukuman terberat karena menyalahgunakan kekuasaan kalian dalam otoritas sipil. Dan berharaplah Tuhan akan menolong kalian, karena Jendral teritorial Mannaf sendiri tidak mungkin mencampuri kasus kalian.” Kata Jendral teritorial Dewa Made Kaemmana. Dan agen senior IcB itu di bawa pergi oleh anggota pasukan Saber.

 

Rombongan mobil Nissan Serrena itu, yang fungsi-nya sudah berganti menjadi mobil tahanan bergerak mundur menghadap ke jalanan. Di kawal oleh beberapa mobil lapis baja Humvee dan sebuah helikopter UH-60 Blackhawk dari udara mereka meluncur menuju markas komando Kodam. Ajun komisaris polisi Prajudhi maju menerima jabat tangan tuan Profesor Dr. Agung. Tidak lama kemudian Anggitho juga keluar dengan kedua pengawal bintara Puspom dan di sertai oleh Bripda polisi Sinta. Anggitho masih gemetar dalam rengkuhan kasih sayang Bripda polisi Sinta. Pemuda ingusan ini untuk kedua kalinya mengalami tekanan hebat. Setelah tempo hari hampir di bunuh oleh sekelompok preman pelajar sekolahnya sendiri. Tekanan yang bagai menggoras di sela hati Anggitho. Ngeri sekali ia rasakan. Hanya karena berkat Bripda polisi Sinta. Ketakutan yang amat sangat itu bisa terobati.

 

“Tenanglah… Anggitho, mereka tidak akan mengganggumu lagi setelah ini. Aku yakin. Kombes polisi Bagus sudah tamat. Apalagi komplotan IcB-nya yang sok berkuasa itu.”  Desah tuan Profesor Dr. Agung kepada putera asuhnya.

“Aach… !!”

Anggitho berpaling kepada Bripda polisi Sinta di sampingnya yang masih melingkarkan tangannya di bahu pemuda ingusan ini. Seolah setelah apa yang terjadi ini dia tidak ingin di tinggal sendirian lagi. Sorot mata itu memandang dengan tajam menembus nurani kewanitaan Bripda polisi Sinta.

“Sabarlah… sayang, aku tidak akan pernah pergi dari sisimu. Percayalah.”  Bisiknya lirih seakan takut membuat salah paham tuan Profesor Dr. Agung di hadapannya.

Anggitho tersenyum. Sementara mobil Mitsubishi Pajerro Sport Exceed milik tuan Profesor Dr. Agung dengan beberapa mobil lapis baja Humvee dan motor besar pengawal Puspom yang tersisa masih menunggu di belakang tanpa mematika mesin. Demikian juga dengan Kasintel Kodam Jendral teritorial Dewa Made Kaemmana yang harus meninggalkan obrolan santai di club demi panggilan mendadak keselamatan Anggitho ini.

“Maaf kalau aku mengusik kemesraan kalian. Tapi… begini saja. Kita pulang ke asrama Kodam dan…, Bripda polisi Sinta boleh ikut untuk sementara ini. Bagaimana… ??” desah tuan Profesor Dr. Agung akhirnya. Tuan Profesor Dr. Agung tahu Anggitho yang sedang terguncang tidak mudah melalui keadaan ini sendirian. Sementara dia sendiri tidak mungkin menahan terlalu lama tamu-tamunya dari rutinitas keseharian mereka yang juga penting.

“Pappa serius mengijinkan Bripda polisi Sinta tinggal denganku… ??  Setelah semua yang terjadi malam ini ?”

                “Sepertinya Pappa tidak lagi punya pilihan untuk masalah yang satu ini. Saya kira ajun komisari Prajudhi juga tidak keberatan mengijinkan Bripda polisi Sinta. Dan mungkin, menguruskan cuti dalam beberapa hari ke depan ke kantornya.”

Ajun komisaris Prajudhi tersenyum menanggapi permintaan pribadi dari suami orang nomor satu di institusi militer daerah ini. Yang kekuasaannya bisa lebih besar dari jabatan dan kepangkatan yang di milikinya.

“Tentu, tuan Profesor. Soal ijin cuti untuk Bripda polisi Sinta besok saya saja yang atur.”

                “Nah… sekarang tidak ada lagi yang perlu dirisaukan. Saatnya kita pulang.”  Tuan Profesor Dr. Agung menawarkan tangannya mengajak Anggitho ke mobil. Kemudian kepada jendral teritorial Dewa Made Kaemmana dia berkata.

“Pak Dewa… mau ikut berdesakan di mobil saya, atau… ??”

                “Aach, saya biar ikut mobil pengawal Puspom sersan Wahyu saja. Sekalian saya langsung ke markas komando Kodam. Ada beberapa pekerjaan yang harus saya selesaikan dulu disana.”  Kata Jendral teritorial Dewa Made Kaemmana sopan.

Tuan Profesor Dr. Agung Rasmintho mengantar Anggitho yang terus dalam rangkulan kemanjaan Bripda polisi Sinta. Menuju ke mobil Mitsubishi Pajerro Sport Exceed yang di tunggui oleh Nathannia Gunawan S.Com, sekretaris pribadi tuan Profesor Dr. Agung dan seorang staf Angkatan Darat. Seorang supir dinas dari Kodam. Anggitho masuk bersama Bripda polisi Sinta dan mengambil tempat paling belakang. Kemudian sekretaris pribadi Nathannia di kursi tengah. Dan tuan Profesor Dr. Agung duduk di sebelah supir di kursi depan.

“Tidak keberatan kau harus tinggal di tempatku, nanti…??”

                “Kenapa harus keberatan… sayang, kesempatan itu justru yang aku nanti selama ini. Sehingga kita tidak terpisahkan lagi.”  Bripda polisi Sinta berkilah.

“Sungguh…??  Makasih, sayang.”  Lelaki ingusan itu memandang wajah Bripda polisi Sinta. Dia memang melihat kesungguhan yang tulus di mata yang bening itu. Di tatap mata lembut yang pernah membuat Anggitho luruh tiada daya.

Tak dapat ditahan lagi. Air mata yang mulai merembes jatuh ke pipinya. Mengalir perlahan terus membasah di kerah baju Anggitho. Bagai anak sungai yang berliku-liku turun ke muara. Sungguh mengharukan !!!  Kebahagiaan itu tanpa di sangka datang di tengah bahaya yang demikian bertubi menghampiri Anggitho. Pemuda itu terisak haru. Kebahagiaan di matanya itu kian jelas memancar. Bripda polisi Sinta ikut terenyuh dengan sikap polos Anggitho ini.

Hhussshhh… sayaaang, sudah. Kamu akan membuat mbak Sinta ini sedih kalau terus menangis.”  Desah Bripda polisi Sinta menghibur seraya makin mengeratkan rangkulannya.

“Maaf… mbak, aa… akkuu… ssungguuuh tak percay… ya, ini.”

                “Percayalah, karena aku disini nyata. Dan kulakukan ini hanya untukmu… Oke ??”

Mistubishi Pajerro Sport Exceed meluncur di jalanan. Di dahului motor-motor besar pengawal Puspom Kodam dengan bunyi sirien meraung-raung membuka jalanan. Bripda polisi Sinta telah mendapat ijin resmi untuk selalu berada di dekat Anggitho yang sedang shock dari tuan Profesor Dr. Agung sendiri. Tidak ada yang perlu di cemaskan kini. Pastinya, ajun komisaris polisi Prajudhi juga akan mengurus ijin cutinya besok ke kantor. Tidak ada hal paling membahagiakan bagi Bripda polisi Sinta sekarang selain berada di sisi Anggitho dalam situasi bagaimanapun. Dia bisa memuaskan diri melampiaskan kerinduan yang selalu datang saat mereka berjauhan. Dia rindu rayuan Anggitho. Dia rindu sentuhan-sentuhannya. Bahkan dia merindukan gelombang asmara yang di timbulkan Anggitho saat mereka bersimbah keringat mengarungi samodera cinta berdua.

 

Mitsubishi Pajerro Sport Exceed memasuki gerbang masuk komplek asrama dan rumah dinas perwira Mako divisi lima Kodam yang membawahi tidak kurang dari  limabelas ribu tentara. Atau hampir sekitar empatpuluh batalyon dan Kodim di seluruh Jatim. Ini tidak termasuk enamribu anggota pasukan lintas udara KomeRad yang memiliki garis komando tersendiri dan Panglima-nya di anggap loyalist Pemerintahan korupt Tuanku Baginda President Albertinus Senno Suhastommo. Di dahului raungan sirine motor-motor, menguing-nguing di depan sebagai pembuka jalan. Di ikuti dua unit mobil lapis baja Humvee komando Saber Bosma dengan penembak senjata mesin M-60 yang bertindak waspada di atas Turret-nya. Tuan Profesor Dr. Agung Rasmintho nampak kelelahan di dalam mobil Mitsubishi Pajerro-nya. Seperti mobil-mobil lain di depannya, mobil pribadi milik suami nyonya Mayjen infanteri Estianni Rahayu Rasmintho yang penuh kuasa ini mengurangi kecepatan ketika membelok ke gerbang masuk yang berportal.

 

Di pos penjagaan itu delapan tentara Mako Kodam yang bertugas piket berdiri dengan sikap hormat. Keluarga besar Pangko Daerah Militer Jawa V memiliki kediaman resmi tersendiri yang luas dan indah di sebelah Mako Kodam. Di tepi jalan protokol kawasan Raya Brawijaya. Tidak jauh dari pos penjagaan itu terdapat asrama putera-puteri asuh keluarga Panglima. Riuh suara sirine yang bersautan malam itu membuat mas Satria, mbak Wahyunni, dan mas Bagoes rame-rame keluar rumah. Di ikuti mbak Deassy, mbak Ambar, mbak Hamidha, dan mas Satya yang mendukung Anggitho di sekolah Dian Harapan. Begitu mobil Pajerro Sport Exceed A/T terhenti, sekretaris pribadi Nathannia keluar. Membuka pintu untuk tuan Profesor Dr. Agung Rasmintho dengan sikap hormat. Di belakangnya muncul Anggitho. Di ikuti oleh Bripda polisi Sinta yang sedang berbicara dengan Handphone miliknya ke salah seorang teman di asrama polisi komplek wisma Bhayangkara.

 

Bermaksud meminta bantuannya untuk mengantarkan beberapa stel pakaian ganti untuk Bripda polisi Sinta ke rumah di komplek asrama rumah dinas perwira Kodam ini. Wahyunni menanggapi keikut sertaan Bripda polisi Sinta di mobil Pajerro tuan Profesor Dr. Agung ini dengan agak tercengang. Tapi tidak keberatan membantu menunjukkan kamar Anggitho di lantai dua kepada Bripda polisi Sinta. Satria sebagai putera asuh tertua keluarga Rasmintho masuk paling belakangan. Mengikuti tuan Profesor Dr. Agung sendiri yang di ikuti sekretaris pribadi Nathannia dan dua pengawal Angkatan Darat. Kepada Satria kemudian tuan Profesor Dr. Agung memesan dengan serius.

“Satt… untuk sementara ini aku sendiri yang mengijinkan Bripda polisi Sinta tinggal di sini. Setelah usaha penangkapan yang gagal dari Kombes polisi Bagus Wibawa dan kaki tangan IcB-nya. Sepertinya Anggitho sangat membutuhkan Bripda polisi Sinta. Jadi untuk beberapa hari ini biarlan Bripda polisi Sinta mengurus dia di rumah ini. Aku juga akan menugaskan tambahan unit mobil lapis baja Humvee dengan empat anggota Saber Bosma yang bersenjata lengkap untuk memperkuat keamanan anak itu. Walaupun Kombes polisi Bagus sudah ikut di tangkap. Aku cemas akan ada lagi tindakan balas dendam yang tidak terduga dari orang-orang IcB. Kau tahu situasinya saat ini. IcB telah memaklumatkan perang dengan Bosma-nya Hyang Mulia Jendral besar Ingenieur Youkke di Pusat.”

                “Yyeaa… apapun keputusan Pappa, anak-anak di sini pasti mendukung. Apa perlu kami tambahkan satu springbed tambahan di kamar Anggitho… ??” Satria mengusulkan.

“Nanti biar Nathannia bicara dulu dengan Bripda polisi Sinta. Bagaimana nyaman-nya mereka berdua. Mungkin Bripda polisi Sinta mau kamar tersendiri, atau bagaimana.”  Tuan Profesor Dr. Agung menyatakan. Kemudian mereka sama-sama menyusul Anggitho di kamar atas.

Wahyunni, Deassy, Ambar, dan Hamidha ikut sibuk menanyakan yang Anggitho butuhkan malam itu. Seperti tengah melayani seorang Pangeran yang baru kembali dari medan Perang. Sementara Bagoes dan Satya menunggu di luar kamar. Anggitho hanya duduk terdiam dalam dekapan Bripda polisi Sinta. Bagaimanapun hampir di tangkap para agen IcB untuk seorang bocah tertutup seperti Anggitho adalah pengalaman paling traumatik kedua setelah beberapa hari lalu dia menjadi sandera hidup preman-preman pelajar sekolah Dian Harapan. Anggitho tidak banyak bicara, dan tidak menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang bertubi-tubi dari saudara-saudara asuhnya yang tampak jelas tengah mencari-cari perhatian. Melihat betapa sayang dan dekat tuan Profesor Dr. Agung Rasmintho padanya. Entah karena alasan histories apa terjadi kedekatan itu. Hal yang tidak semua anak angkat keluarga besar Rasmintho bisa merasakannya. Satu-satunya yang Anggitho inginkan malam itu hanya selalu dalam rangkulan Bripda polisi Sinta sampai dirinya menjadi benar-benar merasa tenang.

 

Bripda polisi Sinta memahami benar apa yang di butuhkan Anggitho sekarang ini. Dan untuk melayani Anggitho dia siap berada di samping pacar barunya ini kapanpun dia butuhkan. Sudah tidak ada lagi kebutuhan menjelang istirahat Anggitho yang tertinggal. Mbak Wahyunni, Deassy, dan Ambar sudah mempersiapkan handuk, kimono tidurnya, dan menghangatkan air bath-up di tempat mandi dalam kamar tidur Anggitho yang istimewa. Hamidha pergi keluar ditemani Mas Bagoes dan Satya dengan mobil jeep Mini Puch 4×4 Classic kemudian untuk memborong makanan siap saji Nasi Goreng Kare Udang kesukaan Anggitho, dan Capjae di pedagang pinggiran luar komplek. Tuan Profesor Dr. Agung Rasmintho yang di temani Satria dan Nathannia Gunawan, S.Com. Sekretaris pribadi tuan Profesor, masuk menemui Anggitho dan Bripda polisi Sinta. Di kamar juga sedang ada Wahyunni, Deassy, dan Ambar. Menemani Bripda polisi Sinta yang sedang menenangkan Anggitho. Di meja kecil dekat ranjang tidur besar itu ada segelas air putih yang telah di minum setengahnya. Anggitho diberi dua tablet Lexsothan yang di persiapkan dengan resep dokter untuk obat penenang di rumah ini. Tapi Anggitho tetap saja gemetaran dan shock.

“Sebaiknya Anggitho… setelah ini tiduran sebentar, mungkin akan merasa lebih baik. Situasinya memang berat. Apalagi untuk pertama kalinya, seseorang yang terbiasa menikmati kenyamanan hidup yang eksklusif seperti Pesantren. Dimana antara santri dan interaksi pergaulan masyarakat di luar penuh keramahan dan selalu baik-baik saja. Ini kota besar, Githo… interaksi antar masyarakatnya sangat beragam dan dengan permasalahan yang serba komplek.”  Mbak Wahyunni menyatakan pandangannya di hadapan Anggitho.

“Tidak selalu pergaulan masyarakat perkotaan itu selalu komplek dan rumit.”  Terdengar suara tuan Profesor Dr. Agung Rasmintho yang tiba-tiba sudah berdiri di pintu kamar. Melihat kedatangan yang mengejutkan itu para putera angkat tuan Profesor Dr. Agung yang lain langsung bergeser. Mengangguk dengan penuh rasa hormat kepada Orang tua asuh yang telah memberikan kehidupan bermartabat kepada mereka selama ini.

“Aaach… sudah lama, Pappa disitu… ya ??” Wahyunni menanyakan dengan penuh perasaan bersalah.

“Pappa memang agak mengejutkan kalian disini. Sudahlah… bagaimana sekarang Anggitho… ??” tuan Profesor Dr. Agung mengalihkan topik pembicaraan. “Aku berharap malam ini dia bisa lebih tenang dengan dukungan kalian semua dan Bripda polisi Sinta disini. Situasi yang di alami barusan memang tidak di perkirakan semua orang. Untung tadi pengasuh asrama polisi, ajun komisaris Prajudhi mengambil sikap berani dengan berpihak pada Anggitho. Mencoba selama mungkin menahan Kombes polisi Bagus dan orang-orang IcB-nya dengan alasan administratif dan formalitas. Walaupun dengan resiko di anggap melecehkan perintah atasan dan tidak bersikap hormat kepada perwira yang berpangkat lebih tinggi.”

Semua para putera angkat tuan Profesor Dr. Agung itu terdiam. Mereka kompak mencermati kondisi yang baru di ceritakan Pappa asuhnya itu dengan serius. Tidak seperti Anggitho yang di pindahkan ke rumah asuh keluarga besar Panglima ini di usia yang sudah cukup dewasa. Mereka kebanyakan di pungut dari panti anak-anak yatim di usia yang masih balita. Dan menjalani tradisi sesungguhnya keluarga Rasmintho yang sangat keras seperti dalam militer. Karena itu mereka terbiasa menghormati orang tua asuh mereka dengan loyalitas yang tanpa cela.

“Kombes polisi Bagus itu sudah tahu kalau Anggitho anak angkat Pappa Profesor. Agak aneh kalau dia masih terus berusaha mendapatkan Anggitho dengan cara-cara yang bahkan tidak bijak seperti itu. Dan pasti ini, bukan lagi atas permintaan pribadi Don juan Sonny itu.”  Pertanyaan Deassy membayangkan kejadian yang baru saja menimpa Anggitho. Bripda polisi Sinta menyetujui pendapat itu dengan beberapa anggukan.

“Memang agak diluar perhitungan kita. Kombes polisi Bagus begitu menggebu untuk merebut Anggitho demi kepentingannya sendiri. Dia… bermaksud menukar Anggitho dengan kebebasan anak-anak keponakannya yang terancam kemungkinan hukuman belasan tahun penjara karena terlibat usaha pembunuhan Anggitho tempo hari.”  Bripda polisi Sinta menceritakan persoalannya dengan terus-terang.

“Tetapi jelas… Kombes polisi Bagus sama sekali tidak berhak bertindak seperti itu.”

                “Seharusnya memang tidak. Tetapi Kombes polisi Bagus bersikap lebih mementingkan keluarganya daripada mengutamakan kehormatan sebagai seorang prajurit polisi. Dan karena itulah… sampai terjadi konflik yang seperti ini. Kalau saja tempo hari, Kombes polisi Bagus mendapat laporan dari Intelpampol soal rencana penyerangan itu dan langsung menindak lanjuti. Bahkan tidak memerintahkan Danrestro Malang ajun kombes polisi Inoki Wasis Jatmiko untuk melakukan pembiaran atas rencana serangan tiba-tiba itu. Pasti kejadiannya tidak seperti ini.”  Kata Bripda polisi Sinta lagi.

“Keterlaluan… !!  Memang keterlaluan sekali Kombes polisi Bagus. Dia tidak pantas mendapat perlakuan terhormat sebagai seorang perwira polisi setelah tindakan-tindakan memalukan itu.”  Kata Wahyunni menanggapi. “Kalau aku ketemu pas ketemu dia saat itu pasti sudah aku tembak jidhatnya.”

Anggitho ikut mengangguk. Wajahnya tampak tersedu. Dia memandang ke arah Mbak Wahyunni yang barusan bicara. Seperti sedikit hendak mencari pengalihan dari rasa ketakutannya yang amat sangat malam ini. Dan saat itu dia masih tetap hangat dalam rangkulan yang manja seorang Bripda polisi Sinta. Anggitho ingin bersikap biasa saja di hadapan kakak-kakaknya. Anggitho tidak ingin menjadi pusat perhatian seperti ini. Tetapi shock hatinya tidak bisa berbohong. Anggitho tidak bisa menutupi dirinya yang masih sangat ketakutan. Anggitho tidak siap untuk mati saat ini.

“Anggitho… bagaimana perasaanmu sekarang… ??  Sudah lebih mendingan to… ??” tuan Profesor Dr. Agung kemudian bertanya kepada Anggitho. Pemuda yang di tanya itu mendesah dan mencoba nampak bahagia dengan senyumnya. Tapi toh, tuan Profesor Dr. Agung tidak bisa di bohongi dengan penampilan yang sangat nyata dibuat-buat.

“Anggitho sudah merasa lebih baikkan kok… Pappa. Sekarang Anggitho tahu, di rumah ini Kombes polisi Bagus tidak mungkin akan menyentuh Anggitho lagi. Setidaknya sampai nanti dia benar-benar kehilangan pangkat dan jabatannya.”  Kata Anggitho menjadi tertunduk kesal.

“Tentu… tentu, Anggitho… kau akan baik-baik saja disini. Pappa sudah menempatkan dua unit pengawal mobil Humvees bersenjata di depan. Ada penjaga yang siap dengan senjata mesin M-60. Dan pastinya di Mako Pusdenpom Kodam ada Jendral teritorial Dewa Made Kaemmana yang akan memastikan Kombes polisi Bagus dan orang-orang IcB itu selama mungkin mendekam dalam tahanan Pusat detasemen Polisi Militer.”   Tuan Profesor Dr. Agung memberikan jaminan untuk Anggitho.

“Anggitho tidak tahu bagaimana harus Makasih kepada Pappa. Anggitho sangat menghargai itu. Anggitho justeru sangat menyesal… seandainya saja malam ini Anggitho tidak harus memaksakan untuk ketemu Bripda polisi Sinta. Aaach… maaf mbak Sinta. Aku menjadi terpaksa membawa-bawa mbak Sinta juga dalam masalah ini.”  Kata Anggitho dengan keterus-terangan yang sepenuh hati.

Bripda polisi Sinta mengangguk dan tersenyum. Berkata dengan tetap bersikap penuh perhatian pada Anggitho yang luluh di dalam rangkulan yang hangat.

“Tidak apa sayang… kau tidak perlu harus selalu merasa bersalah seperti itu. Semua ini bukan kesalahanmu. Juga tentang sikap kecemburuan Don juan Sonny yang keterlaluan. Kombes polisi Bagus sudah sejak lama ingin mendapatkanmu. Kalau dia tidak mendapatkanmu di asrama polisi komplek Wisma Bhayangkara itu, pastilah dia akan mengejarmu di tempat lain.”

                “Benar apa yang di katakan Bripda polisi Sinta… Githo.”  Wahyunni menyatakan dukungan atas ucapan Bripda polisi Sinta.

“Aaach… aku jadi merepotkan semua orang seperti ini. Tidak hanya kepada mbak Yunni, mbak Deassy, dan mbak Sinta. Tapi bahkan Pappa sendiri.”  Sekali lagi Anggitho mengeluh akan sikap yang dia anggap sendiri berlebihan.

“Anggitho… adalah kewajiban seorang Ayah untuk melindungi anaknya sendiri dari sifat-sifat jahat orang lain yang sangat tidak patut. Dan Pappamu punya kemampuan untuk melakukan itu.”  Kata tuan Profesor Dr. Agung membela tindakannya.

“Makasih… Ppa.”

Anggota Saber yang menumpang mobil lapis baja Humvee berhenti di depan pintu rumah. Balik kanan dan waspada menjaga pintu masuk. Sementara teman-temannya di dalam mobil lapis baja Humvee yang lain bersiaga di jalanan. Lalu lintas dalam komplek asrama dan rumah dinas perwira Mako ini. Walau masih merupakan kawasan pribadi cukup ramai di lewati kendaraan umum. Maklum, soalnya jalanan itu juga merupakan arah tembusan ke kawasan-kawasan pemukiman warga di sekitar komplek asrama. Sehingga anggota Puspom Kodam yang mengendarai motor besar Honda Goldwing-1000 dan Panther Smart Hi-Grade putih Puspomdam perlu turun mengarahkan arus lalu lintas. Seorang perwira Kodam yang baru pulang dari sebuah hiburan malam di hentikan mobilnya oleh anggota Puspom. Menunggu giliran lewat dari arus depan. Dia melongok keluar jendela mobil itu dan bertanya kepada anggota Puspom yang menghentikannya.

“Apa baru saja ada bom…???”

                “Kalau hanya kejadian itu mungkin tidak begini heboh.”  Kata sersan Puspom dengan kesal. “Tapi ini… putera asuh keluarga nyonya Pangko Daerah Militer Jawa V, Mayjen infanteri Estianni Rahayu Rasmintho… hampir mau di habisi lagi. Kali ini melibatkan orang-orang suruhan dari lembaga keamanan negara sekelas Investigated Corruption Bureau. IcB.”

“IcB… !!  Itu… kan, lembaga negara anti korupsi. Apa urusannya lembaga keamanan negara yang bisa menjatuhkan hukuman mati pada pejabat sekelas President itu dengan kasus kenakalan anak-anak remaja ?” perwira dalam mobil itu nampak protes.

“Kalau saja kami tahu. Yang kami dengar, mereka menggunakan kekuasaan tanpa batasnya itu untuk menculik putera asuh keluarga nyonya Pangko Daerah Militer Jawa V itu dari komplek asrama polisi Wisma Bhayangkara.”

                “Menculik anak angkat keluarga Panglima… ??  Memangnya sudah sinting orang-orang dari IcB. Apa urusannya anak pelajar seusia putera asuh nyonya Pangko Daerah Militer Jawa V ini dengan tindakan korupsi. Setelah menjadi alat kekuasaan Tuanku Baginda President Albertinus Senno Suhastommo, semakin aneh-aneh saja sepak terjang lembaga anti korupsi negara yang lebih bertindak sebagai polisi rahasia Pemerintah ketimbang sebuah lembaga independent anti korupsi yang semestinya. Kayak Bupati saja, anak enambelas tahun sudah di curigai melakukan perbuatan korupsi. ”  Perwira Angkatan Darat di mobil itu terheran-heran.

“Faktanya sekarang memang begitu. IcB mencap banyak tokoh-tokoh penting yang berlawanan dengan pandangan politik Tuanku Baginda President Senno Suhastommo di Parlemen sebagai koruptor. Sebagian malah dengan bukti-bukti yang di atur sedemikian rupa telah di jebloskan ke penjara dengan hukuman seumur hidup dan terpaksa harus kehilangan kedudukan terhormat sebagai wakil rakyat. Sementara mereka yang mendukung kekuasaan mutlak Tuanku Baginda President Senno Suhastommo di Pemerintahan maupun Parlemen bisa tetap menikmati harta korupsinya dengan berkacak pinggang. Tanpa harus takut-takut di periksa oleh orang-orang IcB. Dunia memang sedang terjungkir balik. Orang yang salah asalkan mendukung penguasa pasti di lindungi. Sementara mereka yang dengan tulus dan tanpa pamrih memperjuangkan nasib rakyat yang kelaparan di jatuhi predikat dan hukuman seumur hidup sebagai koruptor”  kata sersan Puspom itu dengan pasrah.

Kemudian lalu lintas dari depan terhenti, tetapi petugas Puspom yang mengatur arus lalu lintas tidak segera mengijinkan mobil perwira Angkatan Darat itu jalan. Ternyata kendaraan di sisi yang lain sudah lama di hentikan. Tetapi mereka menunggu mobil jeep Mini Puch 4×4 Classic milik para putera angkat keluarga Panglima yang datang di kejauhan mau masuk ke dalam. Mobil kecil itu pasang rething kanannya dan terus membelok masuk ke halaman rumah. Antara kedua mobil jeep lapis baja Humvees yang berjaga di kedua sisi gerbang masuk. Setelah itu rombongan arus kendaraan dari arah depan di perbolehkan lewat.

Sang Penjaga (The Keeper-1)

Bertualang Wisata Di Dunia Sastra Banghar Di Bawah Bendera Revolusi Indonesia

 Gambar

 

 

 

Sang Penjaga-1

The Keeper

 

 

By : Banghar

 

Telah enam tahun lamanya Anggitho di besarkan dalam tradisi kuno keagamaan yang keras.  Di dunia Pesantren bernama “ABDUSSALAAM al-Qudd”.  Di daerah perbukitan gersang wilayah distrik Pronojiwo, kota Lumajang, Jawa bagian Timur. Minggu ini Githo, panggilan akrab anak pesantren bernama Anggitho Pringadhi, pun telah menamatkan jenjang pendidikan Madrasah Tsanawiyah di Pesantren asuhan Rommo Yai Haji asy-Sheikh Raden Muhammad Alli Hassaan Ahmmad ini. Yang merupakan satu-satunya sarana pendidikan formal di kalangan masyarakat pinggiran, wilayah lereng gunung Semeru. Dusun mereka masih belasan kilometer jauhnya dari kota distrik Pronojiwo, di mana ada fasilitas pendidikan menengah pertama satu-satunya, di daerah tersebut. Tidak heran kalau pondok pesantren “Abdussalam al-Qudd” , bisa mendidik lebih dari sembilan ribu murid dan duaratusan santri pondok.

 

Bagi Rommo Yai Haji asy-Sheikh Raden Muhammad Alli, santri tidak harus membayar biaya sekolah dengan uang. Sebagian murid dan santri ada yang melunasi biaya  dengan hasil panen keluarga di akhir musim. Ada yang menyumbang berkarung-karung buah singkong, memberi beras, hingga sayur-masyur. Apapun itu Rommo Yai Haji asy-Sheikh Raden Muhammad Alli Hassaan selalu menerima dengan ikhlas. Sehingga setiap hari di seksi dapur umum selalu ada saja untuk dimasak demi menghidupi para santri mondok. Kebiasaan menjalankan pondok madhrasah yang sangat merakyat ini menjadikan Rommo Yai Haji Asy-Sheikh Raden Muhammad Alli di sukai banyak orang. Yang akhirnya turut mengangkat nama besar pondok pesantren “Abdussallaam al-Qudd”, di kalangan warga Pronojiwo khususnya. Dan masyarakat Lumajang pada umumnya.

 

Konon cerita. Sekitar setahun sebelumnya. Pondok pesantren “Abdussallaam al-Qudd”, pernah mendapat kunjungan dinas rombongan Gubernur kala itu. Yang salah satu hasil kunjungannya adalah pembangunan megah tiga lantai Masjid al-Qudd. Yang sebagian bangunan itu menjadi aula perpustakaan, fasilitas multimedia, dan laboraturium bahasa. Sehingga malah pondok “Abdussallam al-Qudd” , akhirnya bisa memiliki madhrasah Alliyah-nya sendiri. Hal lain yang menjadi istimewa adalah di perkenalkannya santri baru bernama Anggitho Pringadhi yang dibawa oleh ustad santri Nur Achmmad Murtadho, sebagai sesuatu yang telah di atur. Dan itu telah membuat beliau nyonya Mayor Jendral Estianni Rahayu Rasmintho. Panglima Komando Kodam yang baru saja menjabat, menjadi terkesan. Sesuai janjinya. Hari ini Anggitho telah usai mengikuti ujian akhir persamaan tingkat Tsyanawiyah. Dan dinyatakan lulus dengan nilai memuaskan. Anggitho di jemput oleh staf ajudan nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho. Letnan satu infanteri Evie Widhyasari dan  supirnya, Kopral satu Zipur. Yudha Kuncara. Menumpang mobil suv Hyundai Trajjet hijau lumut yang berplat nomor Angkatan Darat.

 

Letnan satu Evie juga telah membawa surat pribadi yang di tulis oleh Nyonya JendralEstianni Rasmitho untuk Rommo Yai Haji asy-Sheikh Alli Hassaan. Bahwa Anggitho yang telah di angkat putra asuhnya, Nyonya JendralEstianni menginginkan di usia Anggitho yang menginjak awal enambelas tahun, bisa dekat dengan keluarga angkatnya. Karena itu Nyonya JendralEstianni menghendaki Anggitho bisa meneruskkan jenjang pendidikan di terbaik di kota Malang. Rommo Yai Haji asy-Sheikh Alli Hassaan membaca surat pribadi yang dibawa tamunya, di balai tamu pesantren dan tepekur. Minuman segar kemasan yang telah dihidangkan untuk tamunya sama sekali belum dia silahkan untuk diminum.  Apalagi beberapa nampan kue yang juga di hidangkan santri abdi dalem. Sebagian besar merupakan sumbangan oleh-oleh para orang tua santri pesantren “Abdussallaam al-Qudd” yang berkunjung.

                “Jadi sudah waktunya ?” katanya, dengan perasaan getir yang tulus sebagaimana orang tua yang hendak dipisahkan dari anak kandungnya. Demi  mengejar ilmu dan masa depan yang lebih baik. “Githo.. salah satu anak santri saya yang terbaik. Tapi saya toh.. tidak mungkin menghalangi kesempatan anak untuk maju. Semua kembali keinginan pribadi Anggitho. Sebagai Bapa’ asuh, saya hanya bisa menitip hidup dan masa depan Anggitho kepada kalian.”

                “Sebagai utusan pribadi beliau  nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho, pastilah.. saya jamin itu. Anggitho akan memperoleh penghidupan dan pendidikan terbaik. Yang sepenuhnya akan ditanggung keluarga besar nyonya Jenderal Estianni Rahayu Rasmintho.”

Rommo Yai Haji asy-Sheikh Alli Hassan mengangguk-angguk beberapa waktu. “Dulu Anggitho waktu pertama kali dibawa kemari, oleh seorang santri senior saya dari Jakarta. Saat itu . baru berumur sepuluh tahun. Anak yang manis dan pendiam. Dia seperti seorang anak pingitan yang terbuang. Saya kasihan sekali. Sekarang dia sudah layaknya anak sendiri bagi saya.”

                “Kami mengerti itu. Pasti berat untuk Rommo Yai.”  Letnan satu Evie menghibur.

                “Aach.. ya. Kebetulan sepeninggal Anggitho, seorang ustad santri yang menjadi ustad pembimbing Anggitho juga mau balik ke Jakarta. Kini sedang berkemas sekalian membantu Anggitho di kamarnya. Mungkin sebentar lagi mereka akan kemari.”

                “Kalau maksudnya ustad Nur Achmmad Murtadho, ya. Kami sudah sempat berbincang tadi waktu diluar. Dia menyatakan sedang mempersiapkan Anggitho untuk pergi. Kami juga menawarkan pada Ustad Nur Achmmad Murtadho tumpangan sampai ke stasiun kereta kota Malang. Tapi di tolaknya dengan halus.”

                “Ya… Ustad santri Nur Achmmad Murtadho memang masih akan beberapa hari menyelesaikan urusannya dulu disini.”  Kata Rommo Yai asy-Sheikh Alli Hassaan.

                “Saya kira itu karena tugas ustad santri Nur Achmmad Murtadho di sini sudah berakhir. Dan dia harus melapor balik ke induknya.”  Kata-kata Letnan satu Evie di utarakan sambil lalu, tanpa memperdulikan rasa penasaran Rommo Yai Haji Asy-Sheikh Raden Muhammad Alli.

Memang ada rahasia yang terkandung di balik penempatan Anggitho, di pesantren “Abdussallaam al-Qudd”. Yang di anggap pinggiran dan selalu dalam pengawasan ustad santri Nur Achmmad Murtadho. Semua telah di rancang rapi tanpa begitu banyak orang tahu.

 

                Markas besar Bosma, yang terletak di pusat. Di jalan Veteran Raya 04 – 10. Atau tepatnya di samping Sekretariat Negara, Ibu kota Jakarta. Bangunan besar megah tujuh lantai itu. Dan meskipun dia tidak kecil. Dia tak akan sanggup menampung sebagian saja dari salah satu direktorat operasi (Ditro), yang bisa terdiri dari banyak direktorat utama, direktorat aksi, divisi-divisi dan departemen-departemen. Yang membentuk organisasi keamanan militer paling besar di Indonesia ini. Maka sejumlah sub markas besarnya tersebar di mana-mana. Markas direktorat operasi Sembilan atau Ditro-9, terletak di belantara lembah Sediyatmo. Di bangunan bunker tujuh lantai di bawah pangkalan udara pribadi milik Bosma. Yang hanya tujuh kilometer jauhnya dari Peristirahatan resmi Hyang Mulia Jendral besar Bosma Marssiello Gleizzyardhin Otmmar Abdoullay Behrdourrani Sadeghzadeh Ingenieur Youkke al-Zayyeed Husni. Puncak bukit Penjaringan yang juga menjadi bagian komplek armada brigade kapal selam rahasia satuan tugas laut Saber-Bosma.

 

Karena sifat komando Saber yang rahasia, sebagai satuan penyabot elite. Maka para staf Ditro-9 yang resmi sebagai institusi tempat komando Saber bernaung, harus selalu dalam penyamaran. Bahkan di kampung halamannya sendiri, markas Bosma. Tapi ada satu direktorat di dalam Ditro-9 yang begitu rahasia sifatnya. Sehingga tidak berkantor bersama-sama saudara Ditro-9 yang lain, di pangkalan udara Sediyatmo. Kalau Bosma itu sudah organisasi yang rahasia. Dan Ditro-9 lebih rahasia sifatnya. Maka direktorat Expatriat, atau direktorat X, adalah bagian yang super rahasia. Seperti namanya Expatriat, atau direktorat X. Direktorat ini menyediakan dan mengatur seksi-seksi khusus yang melayani tugas pengawalan. Khusus para Expatriat yang berasal dari keluarga diplomat keturunan asy-Syech al-Zayyeed Husni di republik ini. Putera dan puteri para Pemimpin Negara asing yang menjadi anak menantu mendiang Industrialis multimillionair al-Zayyeed Husni.

 

Yang sekarang masih mendominasi pusat-pusat perdagangan dunia modern. Salah satu dari keturunan itu tidak lain dari Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke al-Zayyeed Husni sendiri. Sang direktur jendral dinas keamanan rahasia Bosma. Penguasa faksi-faksi bayangan di dalam hierarki Pemerintahan. Yang dikenal umum sebagai Man Behind Forcement. Sang Penguasa di balik layar. Di dukung financial keluarganya yang bercokol di Metro Willis. Dan kendali penuh atas Angkatan Bersenjata, sungguh tidak ada satupun kekuasaan yang berani menentang atau berkomplot melawan dia. Dalam rutinitasnya, direktorat X membawahkan satu divisi markas besar. Yang meliputi unsur pimpinan, satu divisi bantuan teknis, dan satu divisi pendukung. Divisi ini melibatkan semua unsur infanteri komando rahasia Saber Bosma. Konkritnya, divisi markas besar meliputi departemen Operasi, departemen Inteligent, departemen Personel, dan departemen Logisik. Unit kerja mereka sehari-hari di dukung oleh unsur Sekretariat, unsur Staf Markas Besar, dan seksi Keuangan. Divisi Bantuan Teknis membawahkan Sembilan departemen pengamanan untuk:

v His Excellency of Prince Bneuvaiya Dourris, yang putera Sekretaris  Jendral CCCP Soviet Komunis.

v His Excellency of Prince Boen Juan Hweie, yang putera Sekretaris Jendral CCP Chinna Komunis.

v His Excellency of Prince Descartes Pierre, yang putera Highness Kansellir Jerman Federation.

v His Excellency of Prince Issaec William, yang putera Vice Tuanku Baginda President United State of America.

v His Excellency of Prince Demmetrio Alexandher Josse Ingenieur, putera Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke.

v His Excellency of Prince Muhammed Alli Muhammedhien Hildhan, putera Prime Minister Uni Kuweit.

v His Excellency of Prince Walther Hoouve Richard, yang putera GrandPrincesse Istana Belgium.

v His Excellency of Prince Jorge Vinscourt Wilheminna, putera GrandPrincesse Istana Britania Raya.

v Hia Excellency of Prince Desaillesse Grecho Ongha, yang putera Diktator militer Argentina Republik.

 

Divisi Pendukung di dalamnya meliputi unsur departemen Deteksi, departemen Komlek, departemen Kesehatan, departemen Peralatan, departemen Perbekalan dan Angkutan, serta detasemen Kavaleri serbu yang operasionalnya ditangani langsung oleh markas besar Ditro-9. Di setiap detasemen pengawalan sendiri terbagi dalam unsur pengamanan khusus bagi seluruh instalasi pribadi Pangeran yang resmi selama 24 jam. Unsur pengawal pribadi untuk mengamankan diri sang Pangeran secara melekat. Dan unsur penyelamatan darurat untuk satuan kontra serangan dalam kondisi yang membahayakan keselamatan sang Pangeran. Ketika usianya sepuluh tahun, His Excellency of Prince Demmetrio Alexandher Josse Ingenieur di masukkan dalam program, “Naturalisasi Kerakyatan Husni”. Prince Josse Ingenieur masuk dalam program penyamaran ketat untuk suatu kegiatan semacam PKL di dunia Pendidikan. Meninggalkan identitas sesungguhnya selama bertahun-tahun. Untuk hidup di dunia asing yang telah dipersiapkan orang lain. Seseorang dari markas besar telah menyiapkan legenda untuk Prince Demmetrio Alexandher Josse.

 

Seseorang yang lain menyeleksi relawan dengan latar belakang seperti yang di harapkan Bosma, untuk diplot dengan tokoh fiksi Anggitho Pringadhi. Relawan itu bisa dari kalangan dalam Bosma. Atau jika harus, di rekrut dari institusi lain setelah melalui penelusuran yang mendalam. Ustad santri Nur Achmmad Murtadho, sebelum di mutasi ke biro khusus, menjadi agen pendamping untuk program penyamaran Anggitho. Ustad santri Nur Achmmad Murtadho adalah taruna tingkat dua Akabri Laut yang terbaik. Dengan sukarela mengajukan diri masuk ke pendidikan komando rahasia Saber. Bagi seorang AKABRI Laut seperti dia, masuk dalam jajaran Pasukan Khusus, adalah sebuah kebanggaan. Apalagi Saber, satuan elite yang bernaung langsung di bawah kendali Bosma. Biro Keamanan Negara yang paling di segani dunia. Tapi di rekrut ke salah satu departemen utama Inteligent Bosma kemudian. Itu sebuah pengalaman teramat langka yang tidak pernah terbayangkan olehnya. Menjadi agen Intel Bosma, bukan pekerjaan mudah. Syarat menjadi agen Intel Ditro-7, yang tugasnya hanya mengamankan fasilitas-fasilitas vital Pemerintah, calon harus telah dua tahun sedikitnya berdinas aktif di satuan rahasia Saber.

 

Menjadi agen Intel Ditro-4, yang menjaga keamanan Dalam Negeri  masih di tambah syarat harus berdinas aktif enam bulan di Puspom Tentara. Sedang agen Intel Ditro-6, yang menjalankan operasi spionase di luar negeri mewajibkan calon berdinas aktif satu tahun di direktorat hubungan Internasional Kementerian Luar Negeri. Mereka semua yang terpilih harus juga lulus uji Kesamaptaan dengan nilai minimal 62 atau 75 untuk Kesamaptaan Jasmani tipe B. Bersenjata lengkap setiap calon harus mampu berenang sejauh 50 meter dalam satu menit. Menyelam sedalam 15 meter dalam satu menit. Yang terbaik dalam kemampuan bela diri. Mahir mengemudi dalam kondisi darurat. Menguasai segala jenis senjata Infanteri. Dan untuk kemampuan menembakkan senjata genggam, calon harus menguasai tembak tepat sasaran sejauh 15 meter, dalam tiga formasi. Mahir dalam tembak reaksi untuk sasaran 10 meter, dengan nilai terendah 2.5 dan, banyak lagi tes. Di luar semua itu ujian di Ditro-9, adalah yang paling berat. Yang institusinya langsung membawahkan satuan komando rahasia Saber di seluruh Indonesia. Sekitar tigaribu agen Intel bekerja yang sebagian besarnya untuk melindungi pribadi-pribadi symbol kekuasaan Negara. Termasuk sang Direktur Jendral sendiri. Dan terutama asset-aset diplomatik yang berkaitan langsung dengan keturunan keluarga Industrialis Multimillioner al-Zayyeed Husni almarhum.

 

                Legenda. Dalam dunia Spionase, artinya, sebuah kisah fiktif hidup seseorang yang tidak pernah ada. Yang di dukung serangkaian dokumen nyata dari berbagai macam dan bentuknya. Umumnya, tokoh dalam legenda memang pernah ada di masa lalu. Tapi meninggal dalam keadaan tanpa jejak. Identitasnya kemudian di ambil alih. Dan tokohnya di hidupkan lagi. Walaupun jelas kerangka orang mati itu tak bisa bangun lagi. Nama Anggitho Pringadhi yang asli, atau kerangkanya yang masih tersisa. Telah bertahun-tahun membusuk di belantara jurang-jurang pedalaman Sumatra. Anggitho lahir enambelas tahun yang lalu. Putera Abdullah Sofyan dan, Sri Widharti dari kota Klaten, Jogjakarta. Di tahun-tahun sulit pasca resesi dunia global awal tahun duaribuan. Sofyan bosan dengan penghasilan dari tanah garapan persawahan yang di landa paceklik. Memutuskan bertransmigrasi, meninggalkan kota Klaten kelahirannya, bersama Isteri dan anak laki-lakinya yang masih bayi merah. Mereka menuju pulau Sumatra. Kualifikasi sebagai kuli penggarap membuatnya sukses mengelola kebun Sawit yang subur. Dia telah mendapat relasi perusahaan Minyak Sawit yang penting di kawasan Sumatra Barat. Hingga bisa mengirim anak yang telah beranjak remaja itu ke sekolah terbaik di Kota. Namun untung tak dapat diraih, malang tak mampu di tahan.

 

Di suatu acara liburan. Saat mereka sekeluarga bermaksud mengantar balik Anggitho ke asrama sekolah. Sofyan merasa sangat mengantuk. Dan beberapa saat, dia kehilangan kendali atas mobil mereka. Di tengah belantara pegunungan Bukit Barisan yang terkenal rawan. Fatal, dalam perjalanan itu mobil mereka terperosok dan lenyap ke dalam jurang-jurang pedalaman Sumatra yang entah berapa dalamnya. Sejak saat itu nama mereka masuk dalam daftar keluarga yang hilang dalam pencarian. Tahun demi tahun, akhirnya riwayat keluarga Sofyan mulai di lupakan orang. Seorang petinggi Intelpam Polisi yang senior di Polda Sumbar, tertarik pada kasus orang hilang ini. Dan, menelusuri kronologisnya. Latar belakang Sofyan ternyata menarik perhatian relasinya di Inteldam. Yang tidak lain dari, kepanjangan tangan dinas Intel Bosma. Jadi, Bosma menghidupkan kembali tokoh Anggitho Pringadhi.  Ketika di usia sepuluh tahun, Anggitho yang baru kelas empat Es-D, harus mendapat kenyataan pahit. Ayahnya menyetujui kemauan keras sang Kakek, yang sudah mulai hidup makmur, untuk menyekolahkan cucunya ini di Jawa.

 

Tangan-tangan tidak terlihat mencuri Copy dokumen kelahiran Anggitho di kantor Kependudukan Klaten. Tangan-tangan yang lain, mengisi dan memperbaharui formulir surat kesehatan. Pendaftaran ke sekolah Umum, dan hasil tes kenaikan kelas. Dalam upaya menciptakan sebuah legenda yang bagus. Sejumlah agen Intel dan intrik di manfaatkan. Ribuan jam di habiskan. Dan Bosma tidak pernah akan kekurangan orang maupun kesabaran untuk hal-hal yang sepele ini.

 

Ustad santri Nur Achmmad Murtadho, yang kemudian harus kembali pulang ke Pesantren yang telah membesarkannya. Karena setelah dua tahun gemblengan keras di Akabri Laut, dia dinyatakan drop out. Toh, Rommo Yai Haji asy-Sheikh Alli Hassaan masih menerimanya dengan hangat. Malah saat kepulangan karena kegagalan yang menyakitkan ini, ustad santri Nur Achmmad Murtadho membawa serta seorang yang di perkenalkan sebagai keponakan dari Jogjakarta. Rommo Yai Haji asy-Sheikh Raden Muhammad Alli Hassaan tetap menerimanya tanpa terlalu banyak pertanyaan. Baginya, ustad santri Nur Achmmad Murtadho sudah seperti keluarga sendiri. Yang pernah ikut membesarkan pesantren hingga seperti sekarang ini. Bagaimanapun itu sekarang Anggitho  adalah dirinya sendiri. Dan, bisa membuktikan secara sah dan meyakinkan. Bahwa, dirinya memang Anggitho Pringadhi. Yang telah enam tahun menempuh pendidikan formal di pesantren “Abdussallaam al- Qudd” dan, kini dalam proses perpindahan ke sekolah Es-em-K favorit di kota Malang. Anggitho memiliki alamat Wali murid yang sangat jelas di kota Klaten. Dan rekening pribadi yang cukup bonafid di Bank Negara kota Klaten, Jogjakarta. Yang Credit Card-nya bisa dia cairkan lewat anjungan tunai yang manapun di Republik ini. Anggitho telah berlatih menggoreskan tanda- tangannya sendiri dengan sempurna.

                “Assallaamu’alaikum. Rommo Yai, semuanya. Sudah lama menunggu ?” Anggitho menyapa dari arah pintu yang terbuka. Tas ransel besar, nampak kerepotan menyandangnya. Dan ustad santri Nur Achmmad Murtadho di belakang, menjinjing dua tas trolly besar yang lain milik Anggitho. “maaf, saya menjadi agak lama. Terlalu banyak keperluan yang harus di kemas.”

                “Ya.. sudah siap, Githo ?”

Suara Rommo Yai Haji asy-Sheikh Raden Muhammad Alli Hassaan terdengar memaksa Anggitho untuk berpaling kepadanya dengan penuh rasa hormat.

                “Rommo Yai, sepertinya saya juga harus berpamitan sampai disini.”

                “Yyaa.. ya, Rommo tahu, ini semua untuk masa depanmu, Githo.”  Balas Rommo Yai Haji asy-Sheikh Raden Muhammad Alli Hassaan dengan sikap bijak.

                “Githo hanya bisa menjalani pengabdian di pesantren ‘Abdussallaam al-Qudd’ sampai di sini saja, Rommo Yai. Maaf, kalau selama ini Githo banyak membuat kecewa, Rommo.”

                Begitu juga dengan Rommo Yai, yang sudah mulai uzur ini, Githo. Mungkin Rommo Yai mendidik terlalu keras padamu. Bukan maksud Rommo Yai pilih kasih.”   Kata Rommo Yai Haji asy-Sheikh Raden Muhammad Alli dengan tulus.

                “Yyaa.. Rommo Yai.”

Anggitho terakhir menyentuhkan tangan Rommo Yai Haji asy-Sheikh Raden Muhammad Alli Hassaan di keningnya. Dan bersama-sama untuk di antarkan ke mobil dinas Suv Hyundai Trajjet. Kopral Zipur. Yudha membuka jendela kap belakang mobil. Dibantu oleh ustad santri Nur Achmmad Murtadho mulai memasukkan tas-tas besar Anggitho ke bagasi mobil. Anggitho mengucapkan salam terakhirnya untuk sang Guru Spiritual, dan Letnan satu Evie ikut berpamitan.

 

                Perjalanan cukup panjang. Di jalan raya utama yang menghubungkan kota-kota distrik di Pronojiwo, Dampit, dan kota Malang. Tapi jalur itu sebagian telah di aspal hotmix, dan cukup nyaman untuk perjalanan mobil premium buatan Korea ini. Mereka menempuh kilometer demi kilometer dengan santai dan tidak formal. Anggitho duduk meringkuk di kursi jock belakang. Malahan bisa tidur dengan nyaman. Lama waktu perjalanan itu sekitar empat jam. Saat mereka menuruni lereng-lereng pegunungan Semeru yang berliku. Letnan satu Evie sempat menahan nafas kagum. Jauh di bawah, terhampar lembah yang begitu kaya dan makmur. Tanah yang datar, di penuhi ribuan atap rumah-rumah kaum Tani yang sederhana. Di kelilingi halaman penuh sayur-sayuran dan, hamparan persawahan yang tak berbatas. Rumah-rumah sederhana itu sebagian kecil berdinding anyam bambu. Bertengger di lereng bukit. Tapi sebagian besar yang lain menghampar di dasar lembah yang luas tiada bertepi. Asap dari perapian kayu nampak mengebul dari bangunan dapur menjadi bagian tersendiri di sisi rumah utama.

 

Letnan satu Evie yang berkecimpung di kantor pusat, nampak jarang melakukan perjalanan jauh. Dan dia takkan melewatkan kesempatan ini untuk menikmatinya. Masuk wilayah kotamadya Malang. Mereka tidak langsung menuju ke wisma kediaman resmi beliau nyonya Pangko Daerah Militer Jawa V. Jendral Estianni Rahayu Rasmintho. Melainkan masuk ke halaman rumah dinas perwira staf Kodam. Di tepi jalan utama komplek Mako. Ternyata rumah besar itu sudah bukan lagi tempat tinggal resmi perwira staf. Melainkan telah di pinjam pakai untuk rumah asrama para anak angkat keluarga besar Pangko Daerah Militer Jawa V, beliau nyonya Mayor JendralEstianni Rahayu Rasmintho. Isteri Prof. Dr. Agung Setiawan Rasmintho, SH. Js.D. Pemilik kantor Advocate Rasmintho & Friend dan Guru Besar fakultas hukum UniMa. Sedikitnya ada tujuh anak remaja yang tinggal di sana. Ada Satria, Wahyunni, dan Bagoes. Mereka mahasiswa semester dua Universitas yang berbeda di kota Malang. Deassy, serta Ambar yang duduk di tingkat akhir Es-em-U kota Malang. Hamidha, dan Satya anak kelas dua semester pertama di Es-em-K Negeri 03, Dian Harapan-Malang. Sedang sekolah unggulan itu juga, yang kini menjadi tujuan Anggitho melanjutkan sekolah.

                “Kita masuk dulu, Nanti saya perkenalkan dengan saudara-saudara Githo, ya ?” kata Letnan satu Evie yang telah membuka pintu jock belakang mobil itu dari luar.

                “Saya akan tinggal di sini ?”

                “Begitulah. Tapi pak Agung Rasmintho, dan terkadang juga aku. Akan sering menyambangi kalian disini. Ada dua almari pendingin yang akan selalu di isi dan di periksa kesegarannya oleh petugas dari satuan kuliner dinas Logistik Kodam. Tersedia aneka minuman ringan dan camilan bila kalian bosan. Menu utama makan kalian di antarkan tiga kali sehari dalam paket  catering.”  Letnan satu Evie menjelaskan sembari terus memandu Anggitho masuk ke ruang tamu utama. “Kalian di jemput armada Buss Sekolah dari bagian Perlengkapan Kodam, tigapuluh menit sebelum waktu masuk sekolah. Kalian harus siap. Kami tidak diberi perintah untuk menunggu. Mengerti ?

                Yya.. kak. Dan, bagaimana dengan… uang… saku ?”

                Ouw… kalian pasti, akan memperolehnya setiap akhir pekan. Ada juga uang buku dan kegiatan  ekstra kurikuler yang langsung di transfer ke Sekolah. Nanti kau mintalah penjelasan pada saudara-saudara asuh yang lain.”  Kata Letnan satu Evie lagi.

 

Sungguh sebuah kehormatan. Hari itu beliau Prof. Dr. Agung Rasmintho SH, Js.D, yang mengantar hari pertama Anggitho masuk sekolah. Sebuah mobil dinas Isuzu Panther Smart Hi-Grade putih Puspomdam dengan Strobo blue siren-light, menguing-nguing di depan sebagai pembuka jalan. Di ikuti Mitsubishi Pajerro Sport Exceed A/T milik Prof. Rasmintho. Ada satu mobil dinas Suv Hyundai Trajjeet milik Letnan satu Evie dan, satu mobil Ford New Everest TDCI Limited Turbo dengan Strobo sirent-light untuk empat pengawal bersenjata. Mendapat kunjungan suami seorang wanita hebat yang menjabat Panglima Daerah Angkatan Darat ini, tentu menjadi kehormatan. Anggitho di sambut kepala sekolah Es-em-K Negeri 03 Dian Harapan. Berikut dengan seluruh jajaran pendidiknya. Hanya sedikit perjamuan-perjamuan. Dan selanjutnya Anggitho telah mendapatkan kelasnya sendiri tanpa menunggu antrian. Rupanya Hamidha, menjadi teman wanita pertama yang Anggitho kenal di sekolah. Hamidha juga, seorang panitia Ospek yang membimbing Anggitho di hari pertama Orientasi sekolahnya. Saat jam istirahat tiba, Hamidha langsung menemui dan, menawarkan diri menemaninya.

                “Sudah dapat rencana makan siang ?”

                “Belum kak. Tadi tuan Profesor Agung memberi uang jajan pertamaku tigaratus ribu. Dan aku belum tahu menu makanan yang enak di daerah ini.”  Anggitho mengeluh.

                “Sebenarnya kamu dapat jatah makan nasi kotak dari sekolah. Tapi tidak apa jika, kau ingin beli jajanan di luar.”  Hamidha memberikan pilihan. “Temen-temen aku paling suka dengan gado-gado pak Jenggot di sini. Tepatnya di sisi persimpangan seberang jalan sana. Mau ? Jangan khawatir, simpan saja uang jajanmu. Nanti aku yang traktir.”

Sebenarnya malu juga mendapat traktiran seorang Cewek. Tapi di hari pertamanya, Anggitho membiarkan saja ajakan saudara asuh ini. Hamidha tertawa sembari menggandeng dia pergi. Kios gado-gado pak Jenggot, seperti yang di ceritakan Hamidha. Terletak di pinggir persimpangan taman kota. Di sisi lapangan tenis tengah kota itu. Yang agak membelok letaknya dari sekolah Es-em-K Dian Harapan. Memang ramai. Kebanyakan dari siswa-siswa senior Es-em-K yang mengikuti kegiatan panitia Ospek. Murid baru seperti Anggitho umumnya makan ransum sendiri yang di bagikan oleh sekolah. Sewaktu Hamidha sibuk mengantri pesanannya, di sebelah duduk Anggitho ada Bripda polisi Putri Raemawasti, dan menghadapinya di seberang meja ada Bripda polisi Sinta Septia Dewi. Paras mungil seperti sosok super model Magdallena. Aktris film dan presenter berparas Orientall look. Taipan berdarah Bangka-Belitung yang pernah masuk dalam jajaran 100 wanita terseksi di dunia versi majalah FHM Singapura. Gadis centil yang sangat imut dan putih. Bripda polisi Putri yang ceplas-ceplos itu lebih dulu menyapanya.

                “Hei tampan. Kamu murid baru Dian Harapan?”

Anggitho pun menoleh dengan sekelumit senyum yang manis. Tapi tidak berniat untuk segera menanggapi sapaan perkenalan yang ramah itu.

                “Yyeaa… aku murid Ospek.”

                “Eeei… logatmu, layaknya bukan anak Malang to.”

                “Mmm… Kebetulan memang,” spontan Anggitho menjawab. “Aku anak Jogja, tapi lama tinggal di kota Lumajang. Sekarang aku mengikuti daerah kerja Wali aku di Malang ini.”

                “Jadi kamu anak baru di Malang ini, ya ?” Bripda polisi Sinta akhirnya ikutan bertanya.

Pertanyaan yang sesungguhnya tidak perlu di jawab. Tapi toh, Anggitho menanggapi juga dengan manis. Dan, semenjak perkenalan itu, Anggitho lebih sering meluangkan waktu istirahat untuk mengunjungi Brigadier dua polisi Sinta. Di pos polisi ujung persimpangan. Antara jalan Muharto dan jalan Juanda yang tepat melewati depan sekolah baru Anggitho. Yang luas dengan bangunan empat setengah lantai yang berbentuk nyaris melingkar. Pos polentas Metro Malang itu berada di sisi barat seberang sekolah baru Anggitho. Di belakang pos polisi itu adalah taman kota dan lapangan tenis. Sedang kios gado-gado pak Jenggot tepatnya adalah di barat taman kota. Bagian utara pos polisi terdapat bangunan dua setengah lantai dengan garasi tertutup yang menjadi markas Kosekta Brimob Polda Jatim. Ada halaman balkon di lantai atas, dimana para anggota Brimob yang tidak sedang bertugas biasa nongkrong. Lima petugas Brimob tugas bergantian sehari-harinya. Kalau sore hari tiga anggota balik ke asrama, dan dua orang lainnya menginap. Ada dua motor dinas Kawasaki trail 250cc Special Engine. Mobil dinas Dankosekta Inspektur satu Brimob Muhammad Mardhionno, berupa Toyota Suv Avansa coklat gelap dengan Strobo sirent-light dan plat nomor Polisi. Serta sebuah kendaraan taktis Pansher APC Barracudha yang tertutup rapat dalam garasi Kosekta. Di hari-hari tertentu, Pansher akan di keluarkan untuk di cuci. Dan itu biasanya menjadi tontonan menarik bagi warga sekitar.

 

Seperti siang itu. Armada Buss sekolah yang menjemput Anggitho sangat terlambat. Membuat belasan siswa Dian Harapan. Empat di antaranya siswa Ospek, seperti Anggitho, agak terlantar. Ada puluhan anak warga komplek Mako yang bersekolah di Dian Harapan. Sebagian kecilnya masuk mengikuti kegiatan kepanitiaan Ospek. Tapi dari sedikit itu hanya Hamidha. Panitia yang berasal dari keluarga putera angkat Pangko Daerah Militer Jawa V, beliau nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho. Seperti halnya Anggitho. Dan siswa warga komplek Mako yang pernah satu Buss sekolah dengan Hamidha dan Anggitho praktis segan padanya. Ketika kebanyakan siswa Ospek menunggu di gerbang sekolah. Anggitho justru menyeberang dan menyapa Bripda polisi Sinta. Yang Cuma berdua saja di dalam pos polentas. Mereka telah cukup akrab. Dan Anggitho tidak keberatan untuk di panggil adik. Menyambut kedatangan Anggitho, Bripda polisi Sinta beranjak keluar pos dengan senyum.

                “Masih menunggu buss jemputan ?”

                “Yyaa… Katanya sedang gani ban di bengkel perlengkapan. Mbak Sinta nggak Off siang ini ?” Anggitho mengajaknya duduk di atas diorama batuan di taman belakang pos Polantas.

                “Kalau buss nggak datang, nanti sama aku aja, naik motor Beat. Habis dzohoor ini aku melapor balik ke resort dan pulang ke asrama.”  Bripda polisi Sinta menawarkan.

                “Ach… sebentar juga nyampek. Beruntung ya, yang bisa jadi pacar Mbak Sinta. Dapet pacar cantik, baik lagi.”  Anggitho mulai menyatakan godaan-godaannya.

                “Memang, mau kamu pacaran sama aku ?”

                “Accchhh… Yaa, gak mungkin to. Nanti aku bisa di kuliti hidup-hidup sama Don Sonny itu.”

Bripda polisi Sinta bagai tersentak. Meski baru beberapa hari ini mereka akrab. Anggitho rupanya sudah menelusuri gossip yang beredar di sekitarnya. Dan cukup tahu diri untuk tidak mengutak-atik hubungan asmara Bripda polisi Sinta dan Don juan Sonny. Sonny Putrahimawan. Seorang Don juan yang sangat di takuti lingkungan sekolah. Dia juga ketua Persaudaraan Karate di sekolah. Dimana setengah siswa senior sekolah ini menjadi anggotanya. Orang tua Sonny pemilik pabrik yang menguasai hampir sepertiga perekonomian kota Malang. Dan mengantongi kontrak milyaran dolar dari direktorat Persenjatan Kementerian Pertahanan.

 

Sehingga seluruh anggota keluarganya di anggap pantas untuk mendapat pengawalan resmi dari Kepolisian. Lama Bripda polisi Sinta tepekur. Sorot matanya nanar menatap ke pandangan kosong. Mencoba menerawang hari demi hari hubungan asmaranya yang semakin tidak nyaman dengan sang Don juan Sonny.

                “Benar.”  Katanya sedih. “Aku tidak pernah akan bisa meninggalkan belenggu Sonny. Meskipun hubungan itu menyiksaku bagai kehidupan Neraka. Pria Don juan yang congkak. Selalu main wanita dan tidak terbantahkan keinginannya. Membanggakan uang Pappa-nya dan selalu berlindung di ketiak preman-preman Polisinya itu.

                Dulu pertama aku di perkenalkan dengan Sonny lewat Kakanwil  Poltabes Malang, pak Kombes polisi Bagus Wibawa, SE. Aku salah satu bintara magang yang baru lulus. Sangat bangga bisa dekat dengan seorang Komisaris Besar kala itu. Jaminan untuk kelancaran karier dan masa depan. Apalagi di awal-awal perkenalan itu aku terlanjur silau dengan yang dimiliki keluarga Sonny. Anak multijutawan Andhre Permana Himawan. Pemilik industry pengecoran Baja ternama di Jatim. Yang sejumlah perusahaan turunannya berkongsi membangun kendaraan taktis tempur untuk Kementerian Pertahanan.”

                Mmm… alasan yang bagus. Dan faktanya setelah itu Mbak Sinta mulai menyadari kecurangan Don juan menyayangi banyak wanita ?” Anggitho melantunkan pendapat yang terlintas di pikirannya.

                “Faktanya aku menikmati saat Don juan Sonny masih memanjakan aku dengan kemewahan dan uangnya. Dan tentang keburukan-keburukan Sonny di belakang aku masih berusaha tutup mata. Sampai Don juan Sonny mulai menunjukkan rasa sayang pada gadis-gadis sekolahnya, di depan mataku. Tanpa perduli. Gadis-gadis yang tahu bahwa mereka di permainkan, tapi di paksa untuk tetap setia dan mencintainya. Seperti juga aku.

                Kemudian Don juan Sonny mulai menjalin hubungan dan tergila-gila pada janda satu anak yang menjadi pi’ar di kantor Pappa-nya sendiri. Sehinga aku semakin terlupakan. Tapi begitu, Sonny masih suka ikut campur dan mengamuk jika tahu aku dekat dengan pria lain.” Kata Bripda polisi Sinta.

Anggitho sejenak menjadi tampak bingung dan, merasa sangat bersalah telah membuat Bripda polisi Sinta ini membuka kembali luka hatinya yang menyakitkan.

                “Memang… seperti itukah… Sonny ?”

                “Kau boleh bertanya langsung pada kakak-kakak seniormu. Anak-anak panitia Ospek itu. Mereka tidak akan menyangkal fakta yang aku ceritakan. Ada tiga teman gadis mereka yang saat ini menjadi wanita piaraan Don juan Sonny dan sama menderitanya dengan aku.”  Kata Bripda polisi Sinta dengan ketus.

                “Aku belum tahu soal ini, Maaf.”  Tatapan Anggitho menjadi sayu.

Mereka tidak melanjutkan percakapan itu lagi. Melihat rombongan Buss sekolah dari depo Perlengkapan Kodam. Dua Metrobuss NHR-55 Elf-2 hijau lumut milik Angkatan Darat itu membelok ke gerbang sekolah Dian Harapan.

 

                Terasa agak istimewa sore itu. Ketika Wahyunni dan Satria mengetuk kamar kost Anggitho, di lantai atas. Mereka mengeluarkan sebagian setelan baju Anggitho di almari. Dan menyisihkan yang terbaik. Tidak ada penjelasan sebelumnya. Mereka begitu saja masuk dan memaksa Anggitho berdandan. Sembari menunggu Wahyunni memilihkan baju yang harus dikenakan. Hanya dalam limabelas menit saja. Jeep mini Puch 4×4 Classic tahun ’62 di start kemudian oleh Satria. Kendaraan perang tempo dulu yang masih terawat baik. Merupakan mobil operasional para putera angkat Pangko Daerah Militer Jawa V yang resmi. Anggitho tidak tahu akan kemana dia dibawa pergi. Dan memang tidak ada yang memberitahunya. Di timur kota Malang. Kearah Bandara Abdurrachmman Saleh. Berderet tampak kawasan hotel-hotel berkelas yang setara Hilton dan Shangrilla. Salah satu di kawasan itu ada club house yang cukup bergengsi. Menjadi langganan para pengusaha kaya hingga pejabat daerah, menghabiskan waktu luang mereka. Tempat dimana biasanya praktek suap dan permufakatan-permufakatan dagang terjadi. Tentu saja. Hanya mereka yang bisa menunjukkan kartu Gold keanggotaan saja yang boleh masuk. Setiap hari dua penjaga bertubuh kekar berdiri dekat pintu masuknya dengan wajah angker.

 

Meninggalkan jeep Mini Puch di parkiran basement. Satria dan Wahyunni terus mengajak Anggitho melalui lobby samping hotel. Kelihatan mereka sudak tidak asing dengan tempat ini. Di lantai dua hotel, mereka menyapa dua penjaga itu dengan ramah. Mereka di persilahkan tanpa banyak pertanyaan. Jauh di dalam sana. Berada di altar meja pribadinya. Segera Anggitho melihat wajah beliau Prof. Dr. Agung Rasmintho SH. Js.D, menengadah melambaikan tangan untuk para putera angkatnya yang baru tiba. Hidangan yang tersedia sudah rancak memenuhi meja besar Club. Ada gurame asap dengan rujak manis. Udang Lobster dengan bumbu ketumbar. Gurame kuah dengan oseng-oseng Sawi. Sup bola-bola Gambas. Brokoli dengan tumis Tofu. Dan ada lagi aneka minuman seperti Leci Squash yang mahal.

                “Aauww… Anggitho, Maaf. Baru malam ini aku punya waktu luang menyambut kedatanganmu. Jendral Estianni, isteriku sedang tugas belajar di Jepang. Sekaligus mengunjungi puteri kami. Satu-satunya, yang dalam tugas diplomatic di kedutaan Tokyo. Puteriku seorang Letnan satu Kowad yang menjadi asisten Intel Atase Pertahanan di sana.”

                Saya baru tahu Ibu Panglima punya seorang puteri.”  Anggitho membalas sambil sedikit mencicipi salah satu hidangan. “Kebetulan saya belum sempat silaturahmi di kediaman Bapak.”

                “Dia puteri kami satu-satunya, Anggitho. Dan karena masih sendiri, sering mendapat tugas penempatan di luar negeri. Syukur ada kalian. Dan walau tidak cukup tinggal di wisma kediaman resmiku, aku cukup terhibur punya anak-anak sebaik kalian.”

                “Kami juga Makasih. Karena semua kebaikan keluarga tuan Profesor Agung, sehingga kami bisa mendapat fasilitas pendidikan dan kehidupan terbaik di sini.”  Wahyunni menimpali.

“Hmm… ya. Sekarang ini kalian putra-putriku. Dan sudah kewajiban kami mencukupi semua kebutuhan hidup kalian. Tidak beda dengan Letnan Satu Intan Hierrawati Rasminto. Putriku sendiri.”

Anggitho menjadi tersentuh dengan begitu besarnya simpati keluarga tuan Profesor Rasmintho ini. Betapa para putera angkatnya yang di pungut dari berbagai latar belakang kemiskinan ini. Tetap memperoleh rasa sayang yang sama dengan putri kandungnya sendiri.

                “Betapa bahagia saya. Menjadi satu dari sedikit anak tidak mampu di Republik ini, yang sangat beruntung. Di angkat menjadi putra asuh keluarga tuan Profesor dan beliau nyonya Mayor JendralEstianni Rahayu Rasmintho.”  Anggitho tepekur.

                “Mmm… ya, Pappa juga bahagia bisa memiliki anak-anak smart yang manis-manis seperti kalian.”  Profesor Dr. Agung Rasmintho SH, Sw.D, Ph.D, Js.D, Laws Master.ini mengungkapkan perasaan hatinya dengan tulus. “Dan kau Anggitho, biasakan mulai sekarang memanggil aku dengan, Pappa. Seperti juga saudara-saudaramu. Dan kau, juga di terima di wisma kediaman resmi Panglima.”

                “Makasih, Pa.”  tersentuh hati Anggitho dengan mengangguk.

Di tengah kehangatan mereka, tiba serombongan tamu berumur yang kaya-kaya melewati meja mereka. Dan salah satunya menghampiri suami Pangko Daerah Militer Jawa V itu, akrab.

                “Wah pak Agung. Bahagianya di kunjungi sama anak-anak. Sampai lupa dengan temen-temen Geng Poker-nya.”

Terhenyak pak Profesor berpaling, dan bangkit dengan penuh kegirangan. Mereka segera saling berjabatan tangannya dengan hangat.

                “Pak Andhre. Kok nggak ngasih kabar kalau sudah balik dari Tiongkok. Kan, tadi kita bisa berangkat sama-sama ke Club.”  Tuan Profesor Agung menepuk pundak sahabatnya dengan ramah. Andhre Permana Himawan, boss HSW Ltd. Himawanputra Steel Work Limited. Suami nyonya Wulan Hartadhi Himawan yang merupakan pemegang mayoritas saham perusahaan.

 

Seketika para putera angkatnya minta diri dengan sopan. Tuan Profesor langsung ikut bergabung dengan temen-temen main Poker yang merupakan permainan kesukaan para pengusaha kaya dan pejabat lingkungan teras Pemkot Malang ini. Mereka tanpa jaminan, karena sesungguhnya ini hanya permainan untuk keakraban. Yang terpenting dari itu, biasanya adalah justru pembicaraan-pembicaraan yang bisa berujung pada kesepakatan penggarapan proyek atau sub proyek Pemerintah. Sudah hampir jam sembilan malam. Jeep Mini Puch itu kembali menyusuri jalanan kota Malang. Tapi Malang adalah kota yang tidak pernah tidur. Jam selarut ini jalanan masih ramai dengan kemacetan kendaraan. Dari yang mobil-mobil pribadi sampai Angkutan Umum. Di kursi jock belakang Mini Puch yang terbuka, Anggitho merapatkan baju jacket miliknya. Dalam mobil Wahyunni dan Satria juga merasakan kedinginan yang sama. Hanya atap kanvas yang menaungi mereka dari panas dan hujan. Mereka merasakan angin yang membekukan bertiup ke wajah dengan lepas. Bagai menusuk-nusuk ke dalam kulit.

                “Mbak Yunn… kenal dengan… teman Pappa Profesor tadi ?” Anggitho mengungkapkan rasa penasaran sembari menahan rasa dingin.

                “Ouw… maksudmu Omm yang tadi itu? Yyeaa… Omm Andhre Himawan, Gitt. Pemilik pabrik pengecoran baja terkaya di kota ini. Dan kabarnya juga, memiliki 40 persent saham industri automotif pemerintah yang berkongsi dengan Pindad.”  Jawaban yang itu justru datang dari mulut mas Satria.

                “Omm… Andhre Himawan. Maksudnya, orang tua Don juan Sonny Putrahimawan ?”

                “Yyaa… beliau salah satu teman baik Pappa Profesor.”  Wahyunni menimpali. “Pertanyaanmu, ada kaitan denga Bripda polisi Sinta?”

Anggitho menjadi terkejut mendengar mbak Yunni menyebut soal Bripda polisi Sinta. Dan bahwa mereka sudah tahu tentang kedekatan yang bisa menyebabkan rasa ketidak nyamanan di sekolah Dian Harapan.

                “Apa Don juan Sonny begitu berkuasanya di kota ini, mbak  ?” tanya Anggitho kemudian.

                “Sesungguhnya bagi kami, Sonny itu biasa saja. Hanya dia sendiri yang merasa sok berkuasa. Asal tidak sampai menyinggung kami saja. Karena sekali dia tercebur, sulit bagi dia atau, bahkan keluarganya sekalipun untuk menikmati kehidupan normal lagi.”  Kata mas Satria dengan ringan saja.

                “Mas Satria tahu soal Bripda polisi Sinta ?” tanya Anggitho akhirnya dengan memberanikan diri. “Beberapa hari terakhir, kami berteman cukup dekat.”

                “Itu bagus. Nggak kenal betul sih, tapi aku cukup tahu Bripda polisi Sinta. Sudah lama dia di campakkan Sonny. Ada satu teman aku dulu. Pernah tinggal satu komplek asrama dengan Sinta. Kebetulan dulu, kami anak-anak komplek Mako sering main ke tempat dia. Salah satu tradisi favorit kami godain gadis-gadis asrama seangkatan Bripda polisi Sinta.”  Cerita mas Satria.

                “Ada kemungkinan aku… ee… er… melanjutkan, hubungan… itu ? Dengan mengabaikan resiko benturan yang serius dengan pihak Don juan Sonny.”

                “Jangan anggap terlalu berlebihan soal Sonny.”  Mas Satria menyatakan. Dan itu sesuai dengan fakta yang menjadi tradisi di lingkungan pergaulannya. Rasa solidaritas Jiwa Corsa yang tinggi di lingkungan anak komplek Mako begitu kuatnya. Sehingga bisa melebihi pengaruh kekuasaan seperti Don juan Sonny yang coba di tampilkan institusi yang manapun.

Jeep Mini Puch telah memasuki komplek Mako dan langsung belok ke halaman rumah tinggal mereka. Malam itu merupakan malam minggu. Besok sekolah libur. Jadi kebanyakan anak-anak asrama ramai begadang di depan rumah. Satya dan mas Bagus enak-enakkan bermain petikan gitar di bangku panjang tepi jalan utama. Sedang Hamidha, Deassy, dan mbak Ambar lagi pesta memborong gerobak Bakwan Arya Malang di balkon teras. Penjualnya sendiri lagi menunggui mangkuk hingga terkantuk-kantuk di dekat tongkrongan Satya. “Kalau memang Bripda polisi Sinta sendiri welcome, lanjutkan saja. Toh di sudah lama di campakkan Sonny. Kalau Geng persaudaraan Karate Sonny mau berulah, biar nanti anak-anak Mako yang atasi.”

 

                Dari kebiasaan yang Anggitho pelajari. Selama enam tahun hidup di dunia penyamaran. Departemen kawal khusus Excellency of Prince Demmetrio Alexandher Josse, dari divisi bantuan teknis Direktorat Expatriat Ditro-9 Bosma. Selalu menempatkan satu team khusus detasemen penyelamat darurat. Saat enam tahun menjalani hidup yang lain di pesantren “Abdussallaam al-Qudd” atas bimbingan ustad santri Nur Achmmad Murtadho. Yang sekarang telah di mutasikan kembali ke dalam kesatuannya di Angkatan Darat. Karena rasa pengabdiannya yang luar biasa, ustad Santri Nur Achmmad Murtadho boleh memilih pekerjaan di detasemen yang manapun, yang dia sukai. Tapi tetap merangkap sebagai seorang sleeper dalam organisasi keamanan Bosma. Dan untuk tugas pertamanya kembali ke kesatuan Angkatan Darat Nur Achmmad Murtadho mendapat pangkat Kapten. Tapi ada satu lagi team keamanan yang langsung dibawah pengarahan Bosma. Yaitu pos pantau hutan lindung Kosekhut Brimob, di lereng Ranu Kumbolo. Di mana delapan anggota satuan taktis Brimob Polda yang di persenjatai bertugas di kantor mereka yang terpencil itu. Tepatnya di atas komplek pesantren “Abdussallaam al-Qudd”. Apakah Kosektro Brimob Polda di jalan Juanda ini. Yang berada di luar hierarki komando Danres Kepolisian kota Malang. Mempunyai misi penugasan yang sama dengan pos pantau Ranu Kumbolo ?

 

Karena hakekatnya satuan tugas divisi lapis baja Brimob, adalah pasukan pribadi Jendral polisi Albert Rimmus Reway Hapossan Situmorang. Komandan Jendral Mako Brimob yang setia kepada sang Direktur Jendral Bosma sendiri. Hanya Anggitho pribadi tidak pernah di beritahu. Karena detasemen khusus penyelamatan secara otomatis terlibat ketika dia dinyatakan dalam kondisi berbahaya. Anggitho memang tidak perlu di beritahu. Karena setiap waktu ada puluhan mata kamera tersembunyi yang di pasang ke setiap tempat yang biasa Anggitho datangi. Detasemen penyelamatan khusus sebagai bagian dari dinas rahasia tentu, kamera mata-mata canggih yang bisa diarahkan dari jauh sudah menjadi perlengkapan standar mereka. Tapi Anggitho benar-benar merasa cemas dengan resiko benturan akibat aksi nekad-nya mendekati Bripda polisi Sinta. Apalagi Geng persaudaran Karate sekolah praktis menguasai pergaulan sosial kampus. Di mana Anggitho tergolong ingusan dalam komunitas itu. Selain dorongan semangat dari mas Satria, yang memang di anggap punya pengaruh di lingkungan anak-anak komplek Mako Kodam.

Rasanya perlindungan sebuah institusi formal bagi Anggitho, kalau itu bisa menjadi sangat berarti. Terutama menghadapi aspek kekuasaan dua preman polisi yang setia menjadi pesuruh Don juan Sonny untuk melindungi setiap kemauannya. Yang biasanya mengemudikan mobil Nissan Grandroad Terrano milik keluarga Sonny. Dengan sangat memberanikan diri. Siang itu Anggitho turun dari Mikrolet. Tepat di jalan seberang Kosektro Brimob sektor Juanda. Tiga petugas berseragam tengah duduk di gardu piket. Samping pintu garasi Pansher. Nampak terhenyak melihat remaja yang menyeberang langsung ke halaman kantor mereka. Serda polisi Supri Riyanto salah satunya, langsung berdiri menyambut.

                “Mas Anggitho… ada yang bisa kami bantu ?”

Semakin Anggitho tersentak. Ternyata mereka semua tahu sesungguhnya dia, padahal sama sekali mereka belum pernah ketemu langsung.

                “Hmm… yaa, makasih. Bisakah… sa… ya, hmm… bertemu komandan di… sini            ?”

                “Maksudnya Iptu polisi Mardhionno ? Tentu, komandan akan ada di sini sebentar lagi. Mari, masuk dulu-lah.”  Serda polisi  Supri Riyanto lantas mengajaknya masuk dan di persilahkan duduk di ruangan komandan Kosektro Brimob.

Ada suatu tradisi yang tidak biasa di lingkungan komando Brimob. Walaupun para komandan tetap menggunakan pangkat seperti yang berlaku di kepolisian. Tapi untuk kalangan bintara ke bawah mereka menggunakan tanda kepangkatan seperti yang berlaku di Angkatan Darat. Seperti Peltu, Serka, Kopral, dan hingga Prada. Atau Prajurit Yunior. Iptu polisi Mardhionno yang telah  di hubungi datang bersama supirnya dengan tergesa-gesa. Sekitar tujuh menit sejak mendapat telpon. Membalas hormat bawahannya, dan berbicara sejenak dengan Serda polisi Supri yang baru menemani Anggitho berbincang di ruangannya. Iptu polisi Mardhionno berperawakan tinggi atletis dan cukup rupawan. Seperti artis Sinetron. Dia menyalami Anggitho kemudian di ruangannya. Dan masih bersama-sama Serda polisi Supri hingga kopi-kopi di hidangkan. Tapi perbincangan sampai sejauh itu hanya seputar basa-basi. Serda polisi Supri segera tahu diri, dan meminta diri meninggalkan ruangan komandan.

                “Well… mas Anggitho.”  Katanya dalam percakapan yang resmi dari tempat duduknya di sofa bersebelahan dengan Anggitho. “Atau saya perlu menyebut paduka Excellency of Prince Demmetrio Alexandher Josse ?”

                “Ach… panggil saja Anggitho. Bukan tujuan saya merusak penyamaran yang di bangun Bosma dan susah payah. Saya hanya butuh konfirmasi. Apa jika nanti di lingkungan kampus Dian Harapan ini saya, dengan tidak sengaja terjebak dalam benturan fisik. Akan ada tindakan kongkret dari satuan Brimob ini ? Maaf, bukan saya mengharapkan adanya keributan itu. Tapi sekedar menenangkan hati. Karena begitu komplek permasalahan dan kepentingan dalam komunitas yang ada.”  Berat suara Anggitho seperti sedang mengumpulkan seluruh keberanian untuk menyatakannya.

                “Ouw… sudah tentu. Tugas kami disini adalah mendukung kenyamanan anda di situasi apapun. Tentu dengan cara kami sendiri dan melalui tindakan yang terukur.”

                “Apapun itu. Meski mungkin saja kesalahan justru bersumber dari pribadi aku ? Atau barangkali berbenturan dengan tindakan represif aparat kepolisian sendiri yang sedang menegakkan ketertiban sipil. Misalnya.”  Anggitho masih berusaha untuk merasa yakin.

Inspektur Mardhionno menghela nafasnya, dengan sebuah senyum tipis yang nampak tersungging. Dia memajukan badannya lurus dengan bertumpu pada meja.

                “Begini saja. Jika mas Anggitho merasa nyaman menjalin hubungan dengan Bripda polisi Sinta, lanjutkan saja.”  Katanya kemudian. “Masalah Sonny, dan barangkali para preman polisinya itu nanti biar menjadi urusan kami kalau mereka ikut campur. Bagaimana ?”

                “Ouw… jadi tentang mbak Sinta pun kalian sudah tahu ?” nada Anggitho tambah merasa terkejut.

                “Setiap hari mas Anggitho pacaran di sebelah kantor kami. Bagaimana bisa kami tidak tahu ? Wong tugas kami ini hanya memantau kegiatan mas Anggitho di sekolah saja, kok.”

                “Jadi begitu ?”

Saat meninggalkan halaman Kosektro Brimob terdengar suara panggilan seseorang. Dan langkah-langkah yang memburu tampak makin dekat di belakangnya. Anggitho terhenti, menoleh. Di situ masih ada Iptu polisi Mardhionno dan Serda polisi Supri yang melepas kepergiannya di lorong gardu piket. Dan di sisi yang lain ada Bripda polisi Sinta. Gadis itu tidak berseragam. Tapi sedang menyambangi seorang teman polisi yang piket di pos polantas.

                “Anggitho… Nggak ngira ya, kita ketemu disini.”  Bripda polisi Sinta  menghampiri Anggitho yang masih berdiri mematung di halaman Kosektro Brimob. “Sendirian, ada urusan apa ?”

                “Ouch… tidak. Hanya kebetulan, seorang teman mondokku di Lumajang. Dia punya kakak yang kerja disini. Barangkali teman aku yang khawatir menelpon kakaknya itu untuk mengetahui keadaanku di tempat baru. Jadi beberapa hari lalu petugas Brimob itu mencariku di sekolah.”

                “Jadi begitu. Hmm… kita jalan-jalan yuk. Aku bawa helm cadangan di bawah jock motor Beat pribadiku.”  Ajak Bripda polisi Sinta kemudian.

                Kemana ?

                “Hmm… kita nyathe di Bunga Butik Resort. Kawasan lembah Panderman di kota Batu. Mau kan ?” Bripda polisi Sinta kembali membujuk dengan berkeras.

                “Tapi… aku lagi gak bawa uang lebih. Ada sih simpanan, tapi… Cuma dua jutaan, di rumah. Mau aku pakai buat…”

                “Aaaah… gak usah pikirkan itu. Ntar aku yang traktir.”

Tidak ada kesempatan lagi untuk berdebat. Bripda polisi Sinta yang centil itu langsug menggapai tangan Anggitho, dan menggandeng ke parkiran motor belakang pos polantas. Tiga teman Polwan yang sedang bertugas di situ menyaksikan Bripda polisi Sinta dengan motor Beat hitamnya. Bukan Honda Beat putih dinas dengan kaca pelindung, sirent-light, dan bagasi belakang yang biasa di pakai patroli. Dan mereka tersenyum.

                “Lho… kok, cowoknya bonceng cewek. Gak kebalik tu, Sin ?” gurauan seorang teman Polwan.

                “Biasa lagi. Ni Anggitho kan belum kenal jalan.”

Santai saja Anggitho mengankat kaki, membonceng di jock belakang motor Beat. Dan tangan-tangan yang kokoh langsung melingkar di pinggang Bripda polisi Sinta, tanpa rasa sungkan. Semula Bripda polisi Sinta agak tersipu. Tapi tidak berusaha melepasnya. Perjalanan kurang lebih sejam dengan mobil, bisa di tempuh hanya duapuluh menit dengan motor Beat Bripda polisi Sinta. Motor automatic itu melaju dengan zig-zag di antara antrian mobil-mobil bagh’ pembalap profesional. Dan ternyata Bripda polisi Sinta ini seorang polisi wanita pengendara motor yang cukup handal. Dari jalan Kartika kota Batu yang ramah. Motor membelok ke parkiran Bunga Butik Resort. Yang adalah bagian dari kawasan Wisata ternama, Jatim Park I. Menstandarkan motor, kemudian Bripda polisi Sinta menggandeng tangan Anggitho layaknya seorang Pacar. Sedang Anggitho yang hanya terima nasib, mengikut saja Bripda polisi Sinta melangkah. Bagai seekor Kerbau yang di cokok hidungnya.

 

Menapak di lobby Teratai Café. Resto terbaik di kawasan hotel ini. Anggitho sungguh mengagumi arsitektur bangunan yang Simple, tapi tetap berkesan modern. Begitu menyatu dengan alam sekitarnya. Gemericik air yang membentuk silang-menyilang Geometris, di depan pintu lobby Café itu sangat menawan hati. Mulai dari taman, setiap bebatuan, dan setiap detail dari tanaman hias. Sampai hal yang sekecil-kecilnya apapun itu semua saling dukung membentuk komposisi artistik yang sempurna. Ruangan dalam Teratai Café yang sebagian terbuka, dengan pembatas dinding-dinding kaca berbingkai baja dan tembok bata berlapis Granit. Menghadap ke sebuah Amphiteatre mini di spilut  tengah yang di kelilingi deretan meja-meja. Udara sejuk dan angin yang semilir menerpa dari bingkai kaca jendela-jendela yang berukuran besar. Seakan menyempurnakan suasana romantis kota Batu, yang jauh menyusup ke relung hati. Tidak lama menanti, sembari mereka menikmati  minuman dingin yang gratis. Akhirnya, hidangan utama makan siang itu muncul. Masakan Dim Sum favorit, berupa siomay udang kucai kesukaan Bripda polisi Sinta. Juga ada lumpia Seafood. Enam tahun Anggitho menempuh pendidikan Agamis menurut tradisi kuno yang ketat. Belum pernah dia merasakan nikmatnya hidangan mahal seperti ini.

                “Githo… kok di bengongin aja ? Di makan dong.”

                “Ouww… Apa ? Ouch… Yyaa. Makanan ini pasti enak sekali.”  Balas Anggitho dengan sedikit tergagap dari dunia lamunannya.

                “Enak, tentu ! Kamu belum pernah ngerasa’in to ?” kata-kata Bripda polisi Sinta yang ketus. “Ngelamunin apa sih ? Aku… ya.”

                “Ngapain juga di lamunin. Lha.. orangnya sendiri sudah di depan ini. Mending langsung di peluk aja… he… he…” Anggitho menjadi penuh tawa.

                “Aduh… adik kecilku ini mulai berani… ya. Memang aku nggak mau apa ?” Bripda polisi Sinta balas mencanda.

Anggitho menatap Bripda polisi Sinta dengan tidak percaya. Tapi yang sedang di pandanginya malah mengenakkan keasyikan makan siomay Udang. Berpaling balik ke makanan yang belum di sentuhnya. Membolak-balikkan dengan sepasang sumpit. Agak repot. Tapi Anggitho berusaha keras dengan meniru apa yang di lakukan Bripda polisi Sinta.

                “Hmm… enak ternyata. Siomay ini.”

                “Tentu enak. Ini siomay Udang dengan taburan kucai yang dimasak tidak sembarang koki. Khusus dengan tungku Jepang. Hanya disini, yang bisa memasak seenak ini, Githo.”  Bripda polisi Sinta menjelaskan dengan penuh bangga.

                “Ou… yya. Mbak Sinta sering dong, makan disini ?”

                “Nggak terlalu sih. Kalau sedang suntuk saja dengan pacar-pacarnya yang lain, Sonny mengajak paksa aku kemari. Yyeah… mungkin dia sedang di tolak.”  Cerita Bripda polisi Sinta bersedih.

                “Ceritanya, selama ini mbak Sinta hanya jadi pacar cadangan. Kenapa mau, mbak Sinta di gitu’in.”  nada Anggitho tampak mencela.

                “Dulu Sonny tidak begitu. Dia pria yang sempurna untukku. Setia, suka memanjakan aku, meski terpaut usia dua tahun lebih muda dariku. Tahu apa yang dibutuhkan untuk menyenangkan hatiku.”  Bripda polisi Sinta kembali membayangkan masa indah.

Dimana kala itu, dimatanya Sonny hanya cinta dirinya. Dan kemudian borok-borok Sonny mulai terkuak. Sonny mulai terang-terangan memanjakan gadis-gadis sekolahnya di hadapan Bripda polisi Sinta. Di lain fihak, Sonny bersikukuh tetap mencemburui Bripda polisi Sinta habis-habisan bila melihat lelaki lain mendekatinya. Kombes polisi Bagus Wibawa, Kanwil Kepolisian kota Malang Raya. Merasa perlu melibatkan diri demi menjaga kenyamanan hidup Sonny yang menjadi tanggung jawabnya. Karena dahulu memang, Kombes polisi Bagus yang melancarkan jalan Sonny jadian dengan Bripda polisi Sinta. Dan karena Kombes polisi Bagus tidak ingin buruk citranya dimata keluarga Permana Himawan. Sudah membuat hari-harinya berada dalam kecemasan menghadapi teror-teror kecemburuan Don juan Sonny. Bripda polisi Sinta masih harus menghadapi desakan-desakan bernada perintah dari Kombes polisi Bagus, agar menjaga kenyamanan Don juan Sonny dan tidak mencoba berulah. Situasi yang membuat dia serba sulit itu akhirnya, membuat Bripda polisi Sinta menyerah pada nasibnya.

 

Tuan Andhre Permana Himawan yang Presdir HSW Limited, juga sahabat baik tuan Profesor Agung Rasmintho. Suami beliau nyonya Pangko Daerah Militer Jawa V Mayor JendralEstianni Rahayu Rasmintho. Artinya, itu bisa memberi pengaruh positif pada kenaikan pangkat. Nyonya Emmy Wulan Hartadhi Himawan, yang menjadi Prescom HSW Limited juga punya hubungan dekat dengan Kementerian Pertahanan.

                “Sudahlah. Untuk apa mikir orang yang nggak penting macam Sonny itu. Mending kita nikmati saja acara santai di sini.”  Kata Anggitho membuyarkan lamunan kepedihan Bripda polisi Sinta.

                “Kau benar Githo. Toh hari ini resmi milik kita berdua.”

Habis menikmati santap siang. Masih dalam kawasan Bunga Butik Resort, Bripda polisi Sinta mendaftar dengan creditcard-nya. Seperti juga dia telah membayar lunas makan siang tigaratus limapuluh ribu mereka. Di counter jasa persewaan motor ATV. Motor empat roda yang khusus untuk off road. Bripda polisi Sinta menyewa satu untuk boncengan mereka berdua. Sekali ini Anggitho menstart dan, Bripda polisi Sinta yang kecentilan langsung membonceng di belakangnya. Memeluk rapat pinggang Anggitho. Seperti layaknya pasangan kekasih yang hendak di pisahkan.

 

Masuk ke persneleng dua, dan Anggitho melaju di jalanan beton menembus taman hotel. Tapi itu tak lama. Jalur wisata off road segera masuk ke kawasan perkebunan. Menembus jalan berlumpur dan becek, mendaki di antara lahan perkebunan buah blimbing yang segar menguning. Membelok dengan tajam dan terkadang menuruni lembah curam. Motor itu menerabas genangan lumpur basah dan air kotor muncrat ke celana mereka. Bripda polisi Sinta tertawa-tawa kegirangan. Dan terus memberi semangat untuk Anggitho.

                “Aku nggak tahu kau jago bawa motor, Githo. Ayyooo… terus maju.”  Sinta berteriak.

                “Jangan salah. Aku pernah jadi juara off road motor traill di kampung. Ada warga kampung dekat pesantren yang punya motor Traill. Kebetulan teman baik ustad santri Nur Achmmad Murtadho. Dia sering mensponsori aku lomba.”  Anggitho bercerita.

                “Ouw… yea ? Baiklah. Kalau ntar sudah kenal baik jalan-jalan disini, kau boleh boncengin aku terus.”  Kata Bripda polisi Sinta berjanji.

                “Ach… makasih, mbak.”  Anggitho mengucapkan rasa senangnya.

Mereka memutuskan berhenti. Saat melewati kawasan kebun teh yang luas menghampar. Di sana ada Saung dari batang  bamboo. Dan tampaknya kosong. Anggitho membelok tajam, terus memarkir motor ATV-nya di depan Saung itu. Bripda polisi Sinta memanjat naik ke dalam. Langsung dari motor tanpa menjejak tanah. Di ikuti oleh Anggitho. Bripda polisi Sinta membongkar tas belanjaan. Yang ternyata penuh dengan aneka makanan ringan dari TUC Crackers 400gr. Indofood Sandwich Trenz 300gr. Ada kacang atom Sukro 400gr. Roti manis sobek coklat Sari Roti. Dan Snack Sea Crunch 400gr. Ada Mie Instan Ayam Pop Mie 56gr. Kacang madu Mr.P 250gr. Snack Potato Crisps Ayam Original Leo 250gr. Dan yang paling enak untuk panas-panas adalah Walls dung-dung 350ml. Selain dari beberapa botol Isotonic drink water You C-1000 500ml. Dan minuman shandy Green sands 330ml. Juga ada The hijau Lemon C2 360ml. Dan Soy bean milk/Chrysanthemum Yeo’s 330ml.

                “Kau tahu, Githo. Kalau sedang suntuk aku sering ke sini sendirian.”  Bripda polisi Sinta menceritakan sementara dia sendiri sedang membuka kemasan Pop mie Instan Ayam yang a lot. Mencampurkannya dengan sedikit air panas dari thermos portable yang ikut dia siapkan dan menunggunya hingga matang. “Hawa pegunungan yang sejuk, memberiku suasana damai yang hampir tidak pernah bisa kudapatkan di Metro Malang. Dengan hiruk-pikuknya dan kemacetan yang tidak pernah tidur.”

                “Bagiku juga. Kalau sedang jenuh dengan kegiatan pesantren, aku suka menyendiri di Saung pedalaman hutan Akasia Ranu Kumbolo.”  Anggitho membalas.

                “Eee… er… Ranu Kumbolo, itu di daerah Lumajang juga ?”

                “Yaa… Pesantren aku itu di kaki bukit Ranu Kumbolo. Jauh di bagian lereng selatan gunung Semeru. Itu meliputi beberapa kecamatan di kawasan barat Lumajang.”  Jawab Anggitho lagi.

                “Kok, nama hutannya aneh.”  Bripda polisi Sinta menggumankan pertanyaan dengan serius.

                “Yea… Karena di tengah-tengah hutan itu ada sebuah telaga, yang orang menyebutnya Ranu Kumbolo.”

                “Gitu yaa.”

                “Iyya…” Anggitho menjawab sekenanya.

Sambil dengan seenaknya Anggitho meraup segenggam dari tangan  Kacang madu Mr.P 250gr. Bripda polisi Sinta. Tapi gerakan tangan itu terlalu jauh sehingga tidak sengaja menyentuh bagian dada montok Bripda polisi Sinta. Wanita itu terkesima, dan memandang Anggitho sesaat. Tapi pemuda itu malah bersikap tak tahu-menahu. Atau memang pura-pura tidak sadar. Sementara hati Bripda polisi Sinta bagai tergetar.

                “Ach… Anggitho.”  Desah panggilan Bripda polisi Sinta terdengar lirih. Saat kemudian tangan gadis itu malah bergayut di leher Anggitho. Dan mudah saja Bripda polisi Sinta merebahkan kepalanya di bahu Anggitho. Lelaki ini tahu tahu maksud perbuatan Bripda polisi Sinta. Dan yang selama ini memang dia harapkan. Tapi entah, Anggitho tidah mau menanggapi cepat-cepat. Atau kelihatan terlalu bernafsu di hadapan Bripda polisi Sinta.

 

Bripda polisi Sinta tahu apa yang harus dia lakukan demi untuk mendapatkan kemanjaan lelaki ingusan ini. Anggitho belum banyak mengenal kehidupan dunia bebas. Anggitho yang sudah lama di kungkung dalam dunia pesantren. Dengan tradisi pendidikan Agamis yang ortodoks dan sangat konservatif.

                “Pria baik. Bisa menghargai dan menyenangkan hati wanita. Pantas mendapat hadiah.”  Sinta mendesah lagi sembari jari-jari lentik tangannya menyusup ke lipatan kemeja bagian dada Anggitho yang atletis. Di kecup lengan Anggitho yang kekar walau sifat Anggitho sendiri lembut. Penuh dengan perasaan. Anggitho mendesah. Dia berpaling kepada Bripda polisi Sinta. Bukan senyum renyah yang Bripda polisi Sinta dapatkan. Melainkan sosok wajah gemetar seorang lelaki yang baru saja mengenal surga asmara. Sedang menatapnya dengan hujan keringat sebesar butiran-butiran jagung.

                “Heei… kok tegang sih ? Nggak usah terlalu serius gitu. Yang santai dong.”  Bripda polisi Sinta tersenyum. Mengusap pipi dan bibir basah Anggitho. Walau berat akhirnya toh Anggitho memaksa juga tersenyum. Bripda polisi Sinta menampakkan bibir mungil itu yang bagai merah merekah. Mengharapkan sesuatu yang datang menyentuhnya. Dan akhirnya Anggitho terkesima.

                “Githo…”  terdengar lirih suara mendesah Bripda polisi Sinta. Dan Anggitho cuma terpaku memandangi, telaga bening yang merekah merah di wajah ayu Bripda polisi Sinta. Tidak sabar dengan kelakuan Anggitho. Jari-jari lentik Sinta menyentuh pipi Anggitho. Bripda polisi Sinta mengikuti bisikan nuraninya dan gelora hasrat kewanitaan yang menggebu-gebu. Bripda polisi Sinta menarik wajah Anggitho dan mencium bibirnya. Sesaat justru Anggitho-pun tersentak.

 

Tidak tahan Anggitho memeluk Bripda polisi Sinta dengan erat. Dan sekali ini dia semakin merasa takut kehilangan. Aneh memang perasaan yang menggejolak di hatinya. Karena perasaan itu tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Kini Bripda polisi Sinta semakin memeluk dan menciumi Anggitho. Ciuman yang begitu lembut bagai sentuhan gaun sutera dan lumatan yang penuh cinta. Cinta itu akhirnya berlabuh di kamar mewah salah satu villa di Bunga Butik Resort bertarif sejutaan satu malam. Sinta kembali terebah. Begitu erat memeluk dan membalas ciuman Anggitho. Keduanya kini tenggelam ke dalam kehangatan yang begitu menggelora.

                “Aach… Githo. Love youuu… uuuch, Love youuu… uuuch my sweet.”  Dan suara desah Sinta itu semakin menjadi. Sosok tubuh cantik yang molek itu terbentang indah di atas pembaringan. Tubuh putih mulus yang tergolek tanpa cela. Begitu licin menyiratkan cahaya nan indah. Malang yang begitu hening di naungi cahaya sang dewi malam, membuat mereka benar-benar menikmati percintaan ini. Anggitho telah mulai terbiasa menjalankan kewajiban-kewajibannya meski harus tertatih dan mendengarkan ajakan-ajakan lembut dari Bripda polisi Sinta. Dan terus menciumi bibir mungil Bripda polisi Sinta. Yang tiada henti meracau dan mendesis-desis bagai sosok ular kepanasan.             “Githo… aa… aaakku, gak rela kehilanganmu. Aku bener-bener sayang kaa… ammm… mmuuhhhh.”  Akhirnya Bripda polisi Sinta membisik dengan desahannya dibawah guyuran peluh kenikmatan. Seperti hendak menelan cinta mereka berdua.

 

                Menanggapi permintaan pribadi yang di sampaikan langsung beliau Excellency of Prince Demmetrio Alexandher Josse Ingenieur. Komandan seksi penyelamatan lapangan. Inspektur satu Polisi. Mardhionno telah menghubungi atasannya. Kepala departemen kawal Lima, direktorat Expatriat di Ditro-9 Bosma. Sesuai kebiasaan. Kepala seksi departemen Lima, yang berkedudukan di Kondo mewah duapuluh dua lantai berkaca-baja dan dinding batu granit. Satu dari empat kondo mewah yang resmi milik para expatriat keturunan Husni, yang di lindungi hukum diplomatik internasional. Baik itu yang di Metro Willis, kota Jakarta, kota Bandung, dan juga Lingkar Natrium Prospekz-4 kota Malang ini. Dan setiap expatriat keturunan Husni masing-masing masih mendapat hak atas bungallow pribadi. Yang boleh dirancang sesuai kehendak sang expatriat, di kawasan Hotel milik Husni yang manapun di Republik ini. Perwakilan departemen Lima kawal pribadi Bosma di Kondo mewah Natrium Prespekz ini adalah kepemimpinan kolektif. Ada empat unsur kawal pribadi yang bertugas di sini. Yang masing-masing beranggota delapan orang.

 

Satu unsur agen keamanan HSb, atau Husni Security Brigade yang lebih dikenal sebagai Private Firearm keluarga Husni. Tapi sesungguhnya mereka lebih berkuasa dari institusi yang manapun di Republik ini. Lalu seksi kawal pribadi departemen Lima Bosma. Ada seksi pengendali penyelamatan darurat, yaitu seksi operasi khusus Iptu Polisi. Mardhionno. Dan seksi kawal bermotor dari Puspomdam. Empat kepala seksi yang bertugas hanya untuk keamanan pribadi dan kenyamanan beliau Excellency of Prince Demmetrio Alexandher Josse. Berada langsung dibawah koordinasi kepala protokol dan pengacara rumah tangga, Dr. Anissa Tiara Widhuri SH, Ph.D, Js.D, Laws Master.  Kepala-kepala seksi kolektif ini, yang secara resmi mengajukan permintaan ke Pusat. Berkaitan dengan penciptaan legenda pendukung untuk penyamaran Excellency of Prince Demmetrio Alexandher Josse. Kepala departemen Lima di direktorat Expatriat yang kemudian meneruskan permintaan itu ke Ditro-9 di markas besar. Roda birokrasi terus berjalan walau mungkin agak lamban. Di tangan komandan Ditro-9 Bosma, Letnan Jendral Bosma Dharto Gummarang Hadibrata. Permintaan itu kemudian di setujui. Dan resmi di ajukan untuk mendapat pengesahan politis dari direktur jendral Bosma.

 

Yang tak lain Hyang Mulia Jendral besar Bosma Behrdourrani Sadeghzadeh Ingenieur Youkke al-Zayyeed Husni. Setelah permintaan mendapat pengesahan politis, maka di jalankan Ditro-4 Bosma. Dimana Letnan Jendral Bosma Wirryo Adhyotta Wardhanni menjadi pimpinannya. Seksi Ditro-4 Bosma di daerah biasanya di jalankan oleh Kasintel Dam. Brigadir Jendral teritorial Dewa Made Windhu Kaemmana. Yang juga adalah atasan langsung dari seksi kawal bermotor Puspom Dam. Karena ini permintaan seorang Anggitho Pringadhi, Hyang Mulia Jendral besar Bosma Sadeghzadeh Ingenieur Youkke tidak mungkin keberatan. Rapat-rapat kecil telah di adakan sebelum perintah di jalankan Brigjen Teritorial Made. Ditro-4 Urusan organisasi Ilegal melakukan kajian mendalam mengenai aturan Protokoler, terkait implikasi permintaan. Tentang aspek-aspek hukum dan adat setempat. Tingkat kesulitan terkait dengan kepentingan-kepentingan Penguasa lokal. Dan terpenting, informasi Inteligent yang telah di kumpulkan menyangkut kondisi lingkungan sekitar Anggitho. Seksi Bantuan penyelamatan darurat yang paling dekat dari satuan Garnesun kota Malang.

 

Akomodasi yang di butuhkan bagi penciptaan legenda pendukung itu. Dan yang terpenting, besar anggaran yang harus di siapkan. Meski sesungguhnya demi urusan keamanan Excellency of Prince Demmetrio Alexandher Josse, uang bukan masalah. Jika untuk operasi pengamanan Kepala Negara bisa menghabiskan dana tiga milyar sebulan, anggaran keamanan untuk expatriat Husni bisa lebih dari itu. Karena sistem operasinya yang tersamar di tengah-tengah tradisi masyarakat miskin yang liar. Hasil rapat selanjutnya akan dibawa tim pemantau pada Kas Inteldam Brigjen Teritorial Made. Atas saran tim pemantau Ditro-4 Bosma. Brigjen Teritorial Made memanggil kepala-kepala seksi kawal pribadi Kondo mewah Husni di Natrium Prospekz-4. Dalam rapat itu di bahas mengenai langkah-langkah dari permintaan Inspektur polisi Mardhionno.

 

Di capai kesepakatan untuk mendekati Satya. Anak seangkatan dengan Hamidha yang juga masih putera angkat Pangko Daerah Militer Jawa V seperti Anggitho. Satya itu seorang asisten Pelatih Geng Persaudaraan Karate sekolah. Ada beberapa asisten Pelatih sesuai dengan tingkatan kelasnya. Don Sonny itu asisten Pelatih utama. Tapi sudah waktunya, ada penyegaran pengurus persaudaraan di sekolah. Mengingat siswa kelas tiga sudah harus mempersiapkan diri menghadapi ujian akhir Nasional. Satya di sebut-sebut ketua faksi pengurus bayangan di lingkungan Persaudaraan Karate Dian Harapan. Tapi dia sangat menghormati Don juan Sonny sebagai senior. Walau dalam hal ketangkasan karate keduanya boleh di uji. Sebab Satya sudah menjadi asisten pelatih yunior sejak kelas satu. Dan sama-sama telah menguasai semua tingkatan jurus.

 

Toh, Satya tetap seorang yunior yang memegang teguh prinsip senioritas. Begitupun kepada Satria. Seniornya yang juga saudara angkat, yang menjabat ketua Geng Persatuan Putra-putri Purnawirawan/FKPPI di komplek Mako. Akhirnya di putuskan menyertakan dua anak ini dalam legenda. Di sekolah Satya di sokong oleh seluruh siswa anggota persaudaraan yunior, dan sebagian anggota persaudaraan kelas tiga. Satya akan mengkonsolidasi anak-anak Geng-nya sendiri untuk berdiri di belakang Anggitho. Akan tetapi sebagai konsekwensi, Anggitho juga harus masuk ke Geng Persaudaraan karate juga. Pelantikan secara sederhana akan di adakan. Tapi akan sangat beresiko jika ada pembangkangan dari kubu pengurus Persaudaraan senior yang pro Don juan Sonny. Jadi pelantikan harus sesingkat mungkin sebelum pengikut Sonny menyadari rencana itu dan membuat onar. Di usahakan sebuah ceremonial yang sederhana mungkin.

 

Di tempat yang cukup aman dari jangkauan kelompok pendukung Don juan Sonny. Hanya orang-orang tertentu saja. Satya, dan sejumlah senior yang bisa di arahkan untuk pro dirinya. Dan terutama Pelatih, orang yang terakhir di sebut memang agak sulit. Pak Widodo Iskhak. Guru Pelatih di sekolah itu. Bersama-sama Kepala Sekolahnya pernah di briefing secara pribadi oleh Kombes polisi Bagus Wibawa dalam rangka tugas pengamanan pribadi keluarga Andhre Permana Himawan. Yang perintahnya langsung datang dari Pusat. Kementerian Pertahanan Indonesia. Dan menyatakan bahwa perlindungan protokoler atas Sonny Putrahimawan di atur oleh Negara. Membuat tidak nyaman atau bahkan, sampai mencelakai Sonny di ancam dengan pidana serius yang hukumannya bisa lebih dari duabelas tahun penjara. Celakanya, urusan Anggitho ini terselubung dan tidak ada satu aspek saja boleh menunjukkan bahwa Anggitho itu penting. Malah demi kepentingan yang jauh lebih tinggi dari sekedar aspek businnes keluarga Himawan untuk pertahanan yang perlu di lindungi. Mencelakai Anggitho bisa berujung pada Revolusi militer yang mengubah seluruh riwayat sejarah Republik ini. Mengamankan Anggitho tidak seperti perlindungan terhadap Don juan Sonny yang bersifat resmi. Tapi justru melibatkan orang-orang tertinggi dari Pusat, yang biasanya mewakili kekuasaan jauh di atas pangkat yang sesungguhnya.

 

                Hari Jum’at. Menjelang malam yang beku. Di sebuah gang sempit daerah Klayatan Kemantren, Bendungrejosari Malang. Tepatnya di pinggir sungai Watu, yang kumuh. Rumah guru Pelatih Widodo Iskhak di datangi staf pribadi beliau tuan Profesor Dr. Agung Rasmintho SH, Sw.D, Ph.D, Js.D, Laws Master. Seorang wanita muda sekretaris dengan gaun putih dan jas kantor yang elegan. Di lengannya terselip sebuah Laptop Lenovo sebagai perangkat agenda pribadi. Dan tanpa kendaraan. Namanya resmi terdaftar sebagai sekretaris direktur Kantor Advocate Rasmintho SH, Sw.D, Ph.D, Js.D, Laws Master & Friends. Keluarga Widodo Iskhak sedang ramai menonton teve di ruang tamu yang sekaligus berfungsi sebagai ruang keluarga. Dan motor Vespa Sringfield satu-satunya milik mereka nampak terstandar di sudut ruangan yang sempit.

                “Yaa… Saya sendiri Widodo Iskhak.”  Katanya saat menanggapi pertanyaan seorang tamu asing di luar.

                “Perkenalkan, saya Nathannia Gunawan S.Com, sekretaris tuan Profesor Agung Rasmintho. Isteri beliau nyonya Panglima Mayjen infanteri Estianni Rahayu Rasmintho. Saya membawa pesan tuan Profesor, kalau pak Widodo tidak keberatan. Tuan Profesor sedang menunggu anda sekarang untuk berbincang.”

                “Tuan Profesor Rasmintho. Yyaa… tentu saya tahu, walau tidak secara langsung.”  Sepasang mata pak Widodo menjadi terbelalak. “Oouch… tentu saja, tidak keberatan. Dimana beliau menunggu saya ?”

                “Di jalan besar. Ujung gang sempit ini. Dan saya berharap, anda tidak terlalu membuat tuan Profesor lama menunggu.”

                “Tentu… tentu. Sebentar, saya ganti baju yang pantas.”  Katanya.

Pak Widodo mempersilahkan tamunya. Yang kemudian malah di tolak ajakan itu dengan sopan. Pak Widodo kembali beberapa saat kemudian setelah membasuh muka. Mengenakan pakaian yang pantas. Lalu keluar tanpa sempat berpamitan kepada Isteri dan anak-anaknya. Rombongan pribadi tuan Profesor Agung Rasmintho. Malam ini terdiri atas sebuah mobil dinas Isuzu Panther Smart Hi-Grade putih Puspomdam dengan Strobo siren-light, menguing-nguing di depan sebagai pembuka jalan. Di ikuti Mitsubishi Pajerro Sport Exceed A/T milik tuan Agung Rasmintho. Dan, satu mobil Ford New Everest TDCI Limited Turbo dengan Strobo sirent-light untuk empat pengawal resmi Garnesun yang di persenjatai. Di mobil Pajerro sport hanya ada tuan Profesor Agung dan supir Angkatan Darat. Semua ini adalah fasilitas karena dia suami beliau Pangko Daerah Militer Jawa V.

 

Nathannia mempersilahkan pak Widodo dan mengetuk sisi pintu jock belakang Pajerro Sport. Lalu membuka pintu itu  untuk bertemu tuan Profesor Agung. Tiga pengawal berseragam hijau harian Angkatan Darat, dan senjata SS di punggung tersebar untuk berjaga. Di depan juga tiga anggota Puspomdam berseragam hijau setbelt putih bersarung pistol di pinggang berjaga. Kalau tiga pengawal Angkatan Darat itu berbaret hijau, maka orang Puspomdam mengenakan yang baret biru. Pak Widodo di persilahkan masuk dan pintu di tutup dari luar. Nathannia ikut masuk ke kursi sebelah supir. Kalau nanti tuan Profesor membutuhkan sesuatu. Tapi rombongan tiga mobil itu tidak bergerak kemana-mana. Hanya berdiam saja di tempat itu tanpa mematikan mesin dan membiarkan lampu-lampu menyala. Udara AC membuat perbincangan itu cukup nyaman walau agak kurang pantas.

                “Maaf pak Widd. Pertemuan ini mendadak, dan kurang nyaman. Tapi tentu, pak Widodo tahu kedudukan saya tidak mungkin mengadakan pembicaraan di tempat terbuka dan resmi. Akan timbul gosip-gosip, yang pasti bagi pak Widodo-pun tidak enak.”  Tuan Profesor Agung menyatakan dalam keengganannya.

                “Aaach… saya bisa memahami itu, tuan Profesor.”  Pak Widodo berkata dengan sangat merendahkan diri.

Sebuah pertemuan pribadi, walau bisa di bilang rahasia. Tapi sudah menjadi satu kebanggaan tersendiri bagi orang kecil seperti pak Widodo. Dulu sekali, pernah suatu acara santai di adakan untuk semua guru wali Es-em-K Negeri Dian Harapan di Mako Kanwil Kepolisian kota Malang Raya. Kombes polisi Bagus Wibawa. Ketika itu baru dipercaya untuk mengendalikan tugas pengamanan khusus bagi keluarga hartawan Permana Himawan. Bukan oleh atasannya di Polda Jatim, atau Panglima Kepolisian Negara sekalipun. Tapi oleh pucuk pimpinan Kementerian Pertahanan yang menaungi seluruh Angkatan Bersenjata di Republik ini. Sekali ini sebuah perbincangan rahasia  dengan suami beliau nyonya Pangko Daerah Militer Jawa V sendiri yang mewakili kekuasaan sekitar duabelas ribu dari garnesun Angkatan Darat dengan duabelas ribu unsur cadangannya di seluruh Jatim. Yang kata-katanya menjadi hukum dan panutan bagi seluruh wajah perpolitikan masyarakat Jawa bagian Timur ini. Kombes polisi Bagus Wibawa boleh menyombongkan telah mendapat mandat langsung dari pak Menteri. Tapi seorang Profesor Agung Rasmintho. Suami beliau nyonya Mayjen infanteri Estianni Rahayu Rasmintho.

 

Kekuasaannya tetap yang menentukan di daerah ini. Dan tidak ada satu kebijakan di jalankan walau katanya itu langsung perintah Jakarta, yang tanpa restu dan sepengetahuan Jendral Estianni Rahayu Rasmintho. Beginilah tradisi, dan walaupun itu secara tidak tertulis.

                “Ini soal satu anakku. Anggitho. Mungkin kau kenal. Dia ingin sekali menjadi anggota Persaudaraan Karate di sekolah. Dan walaupun ini belum saatnya pelantikan anggota baru.”

                “Tentu. Anggitho bisa menjadi peserta pengunjung saja di Persaudaraan kami. Kebetulan Satya, salah satu putera tuan Profesor, juga asisten Pelatih di Persaudaraan kami.”  Kata pak Widodo.

                “Aku menginginkan pelantikan resmi. Sebenarnya. Tentu kalau kau tidak keberatan.”  Tuan Profesor Agung menyatakan keterus-terangannya. “Tapi… mungkin ada sedikit masalah. Bisa kau usahakan dalam pelantikan itu. Sebisanya dengan tidak melibatkan fihak pengikut Sonny Putrahimawan. Aku tahu, ada benturan serius dalam Persaudaraan Karate yang itu melibatkan anakku Anggitho. Terutama sejak apa yang mereka sebut, ‘hubungan dengan Bripda polisi Sinta’.  Soal kaum pengikut Sonny itu, aku percaya Satya bisa mengendalikan. Tapi akan lebih baik jika ada back up langsung dari guru Pelatih. Kau.”

                “Selama ini… eee… er… Sonny. Mendapat banyak fasilitas istimewa dari dewan guru. Terutama itu karena dua pengawal polisi Sonny, dan adanya permintaan yang resmi dari Kombes polisi Bagus Wibawa. Ancaman pidana serius atas persepsi ketidak nyamanan telah sangat merepotkan kami.”  Pak Widodo Iskhak mengeluh.

                “Persepsi perlindungan itu tidak lantas di artikan segala kejahatan Sonny juga dapat kebal hukum. Apalagi tujuan pengamanan itu untuk keluarga Permana Himawan. Bukan Sonny pribadi. Kalau Kombes polisi Bagus sampai kelewatan, biar nanti aku yang bicara sama dia. Jika perlu tindakannya, aku yang akan menghadapi sendiri.”  Tuan Profesor Agung nampak sedikit tersinggung.

                “Maaf tuan Profesor. Bukan maksud saja menyulut api permusuhan anda dengan Kombes polisi Bagus Wibawa. Saya ini orang kecil. Bukan apa-apa. Kalau terjadi gesekan, jelas andalah pemenangnya. Karena di belakang anda belieu nyonya Mayjen infanteri Estianni Rahayu. Pangko Daerah Militer Jawa V. Tapi apapun itu, saya tetap  yang akan di persalahkan. Saya tidak mau itu.”  Pak Widodo Iskhak menuntut. “Jika memang tuan Profesor menghendaki pelantikan istimewa yang tanpa melibatkan senior pengikut Sonny. Baik. Saya janjikan akan mengatur itu. Mungkin akan ada ketegangan-ketegangan yang bisa mengundang keterlibatan Kombes polisi Bagus. Tapi saya tidak mau berburuk sangka. Dan saya sangat percaya tuan Profesor.”

                “Baguslah. Memang kesepakatan seperti ini yang aku harapkan. Kalau nanti muncul protes-protes dari  pengawal polisi Sonny, biar menjadi urusanku. Kalau perlu Andhre Permana sendiri akan menghadapiku. Koleganya yang di direktorat Pengadaan Kementerian Pertahanan itu kan, cuma seorang Brigjen. Lagian aku punya koneksi yang jauh di atas dia. Kalau mau main kasar, bisa habis semua jaringan dia. Pabriknya yang disini beroperasi juga berkat perlindungan Isteriku. Kalau Isteriku bilang, habis. Maka habislah seluruh kerajaan business keluarga Himawan itu. Mereka tidak akan pernah sanggup menggaji ribuan karyawan, karena para krediturnya akan  menarik semua investasi demi alasan keamanan.”

Tidak ada pembicaraan lagi setelah itu. Tuan Profesor Agung Rasmintho menyerahkan sebungkus uang tigapuluh juta rupiah untuk operasional acara pak Widodo Iskhak. Tuan Profesor Agung berjanji akan melibatkan orang Garnesun untuk keamanan acara pelantikan nanti. Yang tentu hanya akan patuh pada perintah tuan Profesor Agung seorang. Nathannia Gunawan S.Com membuka pintu dengan sambutan senyumnya yang teramat manis. Dan pak Iskhak melihat para pengawal itu bergerak sigap ke mobil masing-masing. Tuan Profesor Agung menurunkan kaca jendela samping yang pintunya tertutup dan melambaikan tangannya terakhir untuk pak Widodo.

 

                Mobil dinas Isuzu Panther Smart Hi-Grade putih Puspomdam dengan Strobo siren-light, menguing-nguing di depan sebagai pembuka jalan. Di ikuti Mitsubishi Pajerro Sport Exceed A/T milik tuan Agung Rasmintho. Dan, satu mobil Ford New Everest TDCI Limited Turbo dengan Strobo sirent-light mulai melaju meninggalkan kawasan kumuh tempat tinggal guru Pelatih Widodo Iskhak. Pak Widodo masih menatap kepergian suami  orang paling berkuasa di komando Kodam itu hingga lenyap di persimpangan. Memasukkan bungkusan uang tigapuluh juta ke balik saku jacketnya, dan beranjak pulang. Sembilan Karateka terbaik anggota Geng Persaudaaran Es-em-K Negeri Dian Harapan yang pro Satya. Kebetulan semua warga masyarakat komplek Mako Kodam. Telah berusaha keras menyeleksi dan menyebarkan undangan ke anggota  yang berpandangan lunak atau netral untuk acara ceremonial pelantikan Anggitho. Di bangsal Spilut Es-em-K Dian Harapan. Sebagian senior yang bersimpati pada arah politik Satya ikut di undang. Tapi tidak dengan penyokong lima nama pengurus Sonny yang di kenal dengan the Big Five. Mereka itu anak jajaran direksi HSW Limited milik keluarga Permana Himawan.

 

Lagipula saat ini mereka dan keluarganya sedang ikut acara traveling ke luar negeri bersama Sonny Putrahimawan. Yaitu ke Phuket-Thailand. Khususnya memang ada dua jadwal latihan berbeda dalam Persaudaraan Karate. Waktu latihan para siswa Senior dan, jadwal latihan siswa Yunior kelas dua Es-em-K yang lebih intensif. Sebagian anggota Persaudaraan senior ikut datang membantu asistensi para Yuniornya. Tapi sesuatu yang berbeda terjadi siang itu. Jam kegiatan Ospek menjelang ceremonial Pelantikan Anggitho. Sebagian anak Senior yang sama sekali tidak punya kepentingan dengan acara ceremonial itu, datang dengan sembilan motor. Sebagian mereka membawa Parang, Clurit, dan Rencong. Tanpa perlu di sembunyikan ke balik jacket mereka. Anggitho sedang mengikuti kegiatan Orientasi di ruang kelasnya sendiri lantai empat. Dua Satpam sekolah, yang sesungguhnya anggota Brimob Inspektur polisi Mardhionno yang sedang menyamar. Hampir setahun ini mereka bekerja. Seperti juga keberadaan Kosektro Brimob jalan Juanda. Mereka kenal betul siapa enambelas siswa Senior yang baru datang. Dan lansung naik tanpa permisi ke lantai atas.

 

Satpam itu bergerak. Satu mengejar mereka ke tangga belakang, dan yang lain menemui sejumlah anggota Persaudaraan Karate yang menjadi Panitia dan tengah menyiapkan mimbar ceremonial di bangsal Spilut. Tanda bahaya berupa silent-sight juga telah di bunyikan di kantor Kosektro Brimob-Juanda. Satu tim penyelamat segera di luncurkan. Petugas dengan rompi pelindung, helm baja dengan kaca tameng anti pecah, borgol di pinggang, pistol genggam, granat kejut , dan terutama Austeyr F-88 machine gun yang berpengarah laser. Suasana menjadi sangat gaduh. Saat sekelompok siswa Senior tanpa baju seragam itu memburu ke lantai atas. Ada sejumlah Panitia Ospek yang menjadi kolega mereka mencoba untuk tegur sapa. Namun bukan sambutan yang mereka dapat. Rombongan anak kalap itu mendorong mereka yang menghalangi jalan, dan malah ada yang mengancam dengan mata Parang tepat di sudut mata Panitia. Tanpa sanggup menghentikan langkah mereka yang terus memburu ke lantai atas. Mendapat bisikan Satpam sekolah itu, Satya bertindak sigap. Mengomando anak-anak Persaudaraan Yunior, dan sejumlah siswa Pelatih senior yang sukarela membantu Dekorasi bangsal Pelantikan nanti malam. Sekitar duapuluh orang.

 

Membongkar gudang senjata Persaudaraan Karate. Berupa sekumpulan tongkat pipa besi sepanjang satu meter dengan cat warna-warni. Biasanya untuk senam pemanasan dan berlatih adu senjata. Tidak mematikan, tapi cukup membuat bonyok korban bila di arahkan ke sasaran yang tepat. Menggenggam senjata itu di tangan kiri yang melipat ke balik pinggang. Mereka berlari setengah merunduk seperti gerakan para Ninja. Membentuk barisan mengular satu persatu. Berlari menyusuri tangga dari lantai dasar ke tingkat dua, tingkat ketiga, dan seterusnya hingga mereka menemukan lawan yang di harapkan. Sementara itu di ruang kelas Anggitho. Enam siswa Senior yang kalap menyerbu masuk. Satu orang mencengkeram pundak wakil ketua Panitia Ospek yang tengah memberi pengarahan. Mendorongnya ke papan tulis dan mengunci tubuhnya sambil mengancamkan golok rencong. Pria dekil yang gondrong menjijikkan nampak sebagai Geng kepercayaan Don juan Sonny. Dia yang paling tahu mana Anggitho. Di ikuti dua pria bersenjata Clurit langsung menuju ke Anggitho duduk.

 

Tiga siswa yang lain membaur ke deretan bangku-bangku mencegah siswa yang hendak menjadi pahlawan kesiangan di bawah ancaman Parang. Saat yang lain dua pria berclurit telah menggelandang Anggitho keluar. Tanpa banyak pertanyaan. Sepuluh siswa Senior lainnya sibuk mengawal kerumunan peserta Ospek yang berdesak-desakan penuh rasa ingin tahu.

                “Minggir semua… Atau akan ada yang meregang nyawa dengan leher putus di sini !” teriak siswa Senior yang kalap itu sembaru mengacungkan mata pedangnya. Mereka terus merangsek maju menyibak kerumunan yang memadati gang sempit antara balkon teras lantai empat.

Tahu-tahu sekelompok anak Geng yunior Persaudaraan Karate menghadang di ujung tangga keluar. Lima di antaran siswa Senior anggota Geng Persaudaraan yang seangkatan mereka. Mifthakull Dzakhir, seorang siswa Senior Geng Persaudaraan itu mengenali temannya, Rusman Hadhi. Yang berada di antara kelompok perusuh.

                “Menyerahlah, Hadh. Kalian akan menghadapi konsekwensi pidana serius karena perbuatan ini. Dan tidak akan  menang.” Dzakhir memperingatkan sembari bersiap dengan senjata tongkat di tangannya.

                “Jangan konyol Dzakh… Di sogok berapa sampai kau tega mengkhianati kepercayaan Don juan Sonny. Ketua kita ?” ancamnya membalas. “Sikap pembangkanganmu ini, akan dibalas dengan sangat menyakitkan dengan tebasan Pedang. Kita semua telah disumpah untuk patuh dan setia pada sang Ketua. Itulah arti sesungguhnya Persaudaraan.”

                “Kau yanf konyol, Hadh. Jaman sudah berubah. Geng Persaudaraan itu bukan lagi budak kejahatan Sonny semata. Jika kau tidak cepat sadar, Hadh… Kau akan sangat menyesal.”

Dan begitu Dzakhir memberi komando. Puluhan anak Geng yunior Persaudaraan Karate telah menghambur menghadapi para Senior yang sedang kalap. Terdengar bunyi tangkisan-tangkisa pipa besi yang beradu dengan parang dan golok Rencong. Para siswa Ospek yang tadinya berdesak-desakan ingin melihat, kini berlarian mencari selamat masing-masing. Sekejap saja dua kelompok yang masih satu Persaudaraan itu sudah saling serang dengan gencar. Suara beradu mata Rencong di balas dengan pukulan tongkat besi yang menimbulkan dentingan-dentingan nyaring. Yang terkadang sampai di ikuti pijaran bunga-bunga api sesaat.

 

Dua kelompok ini boleh di bilang sama-sama gesit. Sama-sama tangkas mempermainkan senjata, dan juga cukup hebat. Di antara gerakan-gerakan tubuh yang berputar. Menghindari kelebatnya sabetan Parang dana Clurit. Pentungan tongkat besi-pun berayun ganas memburu mangsa. Serangan-serangan tongkat pendek berputar-putar cepat dan lincah. Pukulannya keras menyambar-nyambar. Gerakan siswa Senior Geng Persaudaraan dengan sambaran Parang dan Rencong tampak lebih tenang dan kokoh. Laksana banteng aduan yang selalu siap menunggu serangan lawan untuk kemudian di babat habis. Siswa Geng yunior Persaudaraan masih banyak mengandalkan kecepatan yang mereka bisa walau berkali-kali serangan gagal. Dan justru, tangkisan-tangkisan Parang dan Rencong yang terarah sanggup membalas dengan tusukan-tusukan berbahaya. Di sertai juga bacokan-bacokan maut. Sekilas tampak senjata tongkat terus berputar-putar ringan mencari kelengahan lawan. Di lorong-lorong kelas yang sempit dengan tebing balkon yang curam pertarungan banyak berlangsung satu lawan satu.

 

Pertempuran yang sangat seru, dan sengit. Telah di tonton dari latar di lantai dasar Sekolah. Oleh sejumlah besar siswa Ospek dan para Guru Pembimbing tanpa bisa berbuat apa-apa. Pertempuran nyaris berimbang walau Geng yunior menang jumlah. Anak-anak Geng yunior bergerak cepat dan lincah. Tapi para Senior bergerak lebih tenang dan terarah. Kuda-kuda juga lebih kokoh. Tidak ada peringatan atau suara ancaman apapun. Tiba-tiba granat kejut dan gas di lemparkan dari depan dan belakang mereka. Semua mata terbelalak dan tiba-tiba dada menjadi sesak nafas oleh asap gas yang memenuhi lorong kelas lantai empat. Tiga serdadu Brimob dengan tutup masker dan kaca tameng pelindung maju dari arah depan, dan dua serdadu lainnya merangsek dari belakang. Siswa-siswa Geng Persaudaraan tak lagi bisa bertarung. Selain hanya sedang meraba-raba dalam shock berat dan pekatnya kabut asap yang menyelimuti mereka. Di tengah kebingungan-kebingungan itu mereka bisa mendengar tembakan-tembakan dari jarak yang sangat dekat. Di susul erangan kesakitan yang amat sangat.

 

Sebuah aksi pembantaian yang sangat memilukan hati. Satu persatu siswa Senior yang kalap itu tumbang sembari berteriak-teriak kesakitan. Korban-korban menggelepar di lantai balkon. Di tandai dengan bagian paha mereka yang bocor mengalirkan banyak darah. Rupanya perintah dari Inspektur Brimob Mardhionno sangat tegas. Siapapun yang di temui pegang Parang, golok Rencong, dan Clurit. Semua yang mempunyai tanda dan ciri-ciri khusus Siswa Senior Geng Persaudaraan penyerang Anggitho. Tidak ada kecuali, tembak kakinya. Lama sekali, sampai kabut asap itu akhirnya menghilang. Tinggal para siswa Geng yunior yang masih berdiri. Melihat bagaimana Senior mereka menggelepar kesakitan di lantai yang penuh genangan darah. Sementara Anggitho di bawa turun oleh dua anggota Brimob yang masih menyandang senjata. Ada tiga siswa Geng yunior yang robek lengannya karena sabetan Clurit. Satya langsung mengomando teman-temannya pergi dan membawa yang luka ke bagian UKS dan, mendapatkan perawatan. Sementara dibantu sejumlah siswa Ospek, anggota Brimob memapah korban-korban penembakan satu persatu ke aula kosong kantor Kosektro Brimob lantai dua. Di baringkan mereka di lantai tanpa alas lalu di tinggalkan begitu saja. Anak-anak Ospek itu di suruh kembali ke sekolah.

 

Sebuah Metrobuss ambulan dan dua unit mobil Mercedes Vito ambulan dari detasemen kesehatan Mako Rindam di datangkan. Sebagian petugas menyeberang ke kantor Kosektro Brimob. Merawat sekenanya semua korban penembakan yang berjumlah enambelas orang. Tapi sejumlah dokter specialist dalam rombongan itu justru sibuk membawa Anggitho yang tidak tergores sedikitpun, masuk dalam Metrobuss. Melakukan general chek-up dengan peralatan City-scan yang sangat canggih. Bersama dengan kedatangan mereka, ikut pula rombongan Lettu infanteri Evie Widhyasari dan  supirnya, Kopral satu Zipur. Yudha Kuncara. Membawa mobil dinas Hyundai Trajjet seperti biasa. Di ikuti Lettu infanteri Herru Triyuonno dalam mobil jeep dinas Korean Mambo hijau lumut dengan antena panjang di belakang. Serta dua truk Toyota Dyna HT 130Ps 6rd-High Gear angkut pasukan, penuh dengan tentara. Sebagian pasukan ini sebenarnya adalah memang tentara yang di janjikan untuk membantu pengamanan ceremoni Pelantikan Geng Persaudaraan Karate malam nanti. Tapi karena adanya kejadian ini, mereka di datangkan lebih awal dan di tingkatkan menjadi dua pasukan.

 

Lettu infanteri Herru menerima ajakan Lettu infanteri Evie Widhyasari untuk menjenguk kondisi para tersangka penyerangan yang terluka. Kini sedang di kumpulkan dan di obati oleh para perawat dengan sekedar anti biotik dan perban untuk menghentikan pendarahan. Mengeluarkan timah panas dari dalam paha di perlukan penanganan operasi lebih lanjut. Letda infanteri Mufidahlevvy beserta sejumlah bintara senior ikut mereka meninggalkan sekolah. Jalanan terlihat sibuk dengan belasan tentara bersenjata lengkap yang berjaga-jaga. Belasan yang lain di sebar ke setiap sudut sekolah Dian Harapan. Kedatangan rombongan Lettu infanteri Herru di sambut wakil komandan Kosektro, Serda Brimob Teguh Priyanto. Saat itu Inspektur Brimob Mardhionno sedang di panggil untuk menghadap Kasintel Kodam, Jendral teritorial Made di Mako Kodam. Bersama dengan empat kepala seksi dari Kondo mewah keluarga Husni. Itu termasuk juga kepala protokoler dan pengacara rumah tangga pribadi Excellency of Prince Demmetrio Alexandher Josse. Rombongan kecil ini tengah berbincang di lobby kantor. Dimana tiga anggota brimob lainnya tengah berjaga di pos piket. Dua yang lain sedang menjaga para tersangka di aula lantai dua. Dengan Serda Brimob Priyanto, Inspektur Brimob Mardhionno, dan supir dinasnya.

 

Lengkap seluruh anggota yang di tugaskan di Kosektro Brimob-Juanda ini menjadi delapan orang. Bila satuan tugas ini memasuki masa cuti, pasukan kedua dari pleton Brimob Inspektur Mardhionno yang menggantikan bertugas. Empat anggota pleton sisanya stand by di Mako. Jadi Inspektur Brimob Mardhionno resminya membawahkan duapuluh anggota yang menjalankan tugas di Kosektro ini bergiliran. Pasukan yang sedang tidak piket di Kosektro ini biasanya berada dalam kendali dua Serka Brimob bawahan langsung Inspektur Mardhionno. Mereka telah melihat sendiri nasib enambelas penyerang Anggitho yang dilumpuhkan kakinya dengan timah panas. Di perban luka mereka sekenanya. Dan hanya di ijinkan mengenakan celana pendek saja tanpa baju dan sepatu. Kemudian datang rombongan dari Kombes polisi Bagus Wibawa. Mobil dinas Opel Blazzer Montera abu-abu di ikuti satu truk anggota Pamapta Kantor Wilayah Polisi. Dan satu lagi truk kosong Isuzu Elf Nkr-55 E-2 FH angkut pasukan. Ditambah unit mobil Patwal dinas Suzuki New Baleno Euro-3 dengan Strobo sirent-light sebagai pembuka jalan.

 

Komber polisi Bagus Wibawa berhenti di jalan depan Kosektro dan bisa melihat betapa banyak tentara bersenjata lengkap tengah berjaga di depan Es-em-K Dian Harapan. Turun bersama tiga staf lapangannya, menemui sejumlah orang yang tengah berbincang di lobby Kosektro. Mendamprat Serda Brimob Teguh Priyanto dengan sangat marah.

                “Siapa yang berwenang disini ?” suara kasar Kombes polisi Bagus bertanya.

                “Saya. Sersan dua Brimob Teguh Priyanto, Komisaris.”  Serda Brimob Teguh langsung memberi hormat. Beda dengan rombongan Letnan satu Evie Widhyasari dan Letnan infanteri Herru yang hanya bersikap tak acuh saja di belakang Serda Brimob Teguh, karena merasa beda angkatan.

                “Apa yang sesungguhnya terjadi. Aku dengar, keributan di picu oleh provokasi anak baru bernama Anggitho. Kenapa justru para siswa Senior saja yang kalian tangkapi ?” suara Kombes polisi Bagus tampak meninggi. Jelas kalau dia menunjukkan sudut pandang berbeda atas kasus penyerangan di lokasi sekolah Dian Harapan. Dan sangat keberatan dengan cara penanganan oleh anggota Brimob. “Mana, tersangka siswa Geng yunior Persaudaraan yang terlibat kerusuhan itu. Dan kalau harus ada yang di hukum, harusnya Anggitho itu yang di dakwa hukuman paling berat. Dia itu provokator. Aktor dibalik segala kekacauan di sekolah ini.”

                “Ada apa dengan Anggitho, Komisaris.”  Letnan infanteri Herru yang merah telinganya mendengar hujatan Kombes pol Bagus itu lantas menantang.

                “Mengapa?  Anggitho memang fihak yang harus di persalahkan atas kerusuhan ini. Faktanya sejak dia memang bertanggung jawab, menggoda dengan sengaja…” Kombes polisi Bagus sedang membela pandangannya saat  terpotong.

                “Anda tahu sesungguhnya Anggitho adalah target penyerangan ini ?” Letnan satu Evie menjadi ikut menilai dengan suara yang tak kalah sinis. “Atau sesungguhnya anda pribadi telah di kabari diam-diam soal rencana membunuh putra asuh beliau nyonya Pangko Daerah Militer Jawa V. Mayjen infanteri Estianni Rahayu Rasmintho ?”

                “Jaga ucapanmu, Letnan. Tuduhan itu bisa berimplikasi serius terhadap kasus ini. Bagaimanapun aku ini masih Kolonel. Hormati aku.”  Kombes polisi Bagus seketiga tergagap. Yang sama sekali tidak dia ketahui dari rencana Don juan Sonny yang diberitahukan kepadanya semalam adalah, anak siapa Anggitho. Benarkah seperti yang di katakan? Anggitho putra asuh Mayjen infanteri Estianni Rahayu Rasmintho, Pangko Daerah Militer Jawa V. Yang mutlak mengendalikan empatpuluhan batalyon di propinsi ini.

                “Jadi. Apa tujuan anda di sini, Komisaris ?” Serda Brimob Teguh Priyadi tidak ingin ada bentrokan kedua. Kali ini sosok seorang Kombes polisi dan para Perwira Kodam yang di tugas menjaga pengamanan di sekolaj Dian Harapan. Jadi berusaha mengalihkan perhatian. Sangat jelas nadanya, Kombes polisi Bagus mati-matian membela tindakan para tersangka penyerangan di sekolah Negeri 03 Dian Harapan. Yang dugaan kuat sengaja di arahkan oleh Don juan Sonny dari luar negeri.

                “Begini saja. Kalian serahkan para tersangka di dalam sana, untuk diproses sesuai berita acara hukum sipil. Dan persoalan ini tidak akan aku perpanjang lagi.”

                “Tidak ada  pemindahan !” serta merta Letnan satu Evie yang mendengar itu memprotes. “Sampai ada perintah lebih lanjut dari beliau nyonya Pangko Daerah Militer Jawa V, Komisaris. Dan anda juga tidak akan menyentuh Anggitho.”

                “Tapi hukum yang berlaku disini, adalah berita acara hukum sipil. Sekalipun salah satu pelaku mungkin masih keluarga dari nyonya Pangko Daerah Militer Jawa V sendiri.”  Kombes polisi Bagus mencoba untuk menegaskan.

                “Itu sudah menjadi keputusan beliau nyonya Pangko Daerah Militer Jawa V, Komisaris. Kalau anda merasa keberatan, sampaikan sendiri protes anda kepada beliau. Toh, dua hari lagi di pastikan beliau sudah kembali dari Tokyo.”  Letnan satu Evie menjawab dengan tanpa ragu-ragu.

Pupus sudah rencana Kombes polisi Bagus Wibawa untuk membebaskan para tersangka dari tahanan Brimob. Padahal kalau bisa tersangka diproses di kantornya, Kombes polisi Bagus bisa mengatur agar penyelidikan kasus tawuran itu kurang bukti untuk menjerat para tersangka. Sehingga sekitar tigapuluhan orang Wali murid yang merasa anaknya di jerumuskan Don juan Sonny dan, juga atas jaminannya itu bisa di bebaskan. Mereka semakin curiga Kombes polisi Bagus terlibat karena Bambang Tristam Wibawa, anak Kombes polisi Bagus sendiri yang mengorganisir anak-anak mereka, atas perintah Don juan Sonny untuk menyerang Anggitho.

 

                Tidak ada yang perlu di perdebatkan lagi. Mereka tidak akan pernah melepas anak-anak tersangka itu. Dan tampak ada dua truk Toyota Dyna HT 130Ps 6rd-High Gear angkut pasukan dari Rindam diparkir diseberang jalan sana. Kekerasan justru akan memancing benturan-benturan yang berimplikasi sangat serius dengan warga Kodam. Di Republik ini siapa yang berani melawan tentara? Kombes polisi Bagus memutuskan pergi dengan gelisah. Teguran hormat staf yang tengah membuka pintu mobilnya bahkan tidak mendapat tanggapan sama sekali. Entah bagaimana nanti dia akan menghadapi puluhan Wali murid sampai siang ini masih bertahan dengan tuntutan mereka di kantornya. Atau bahkan, jawaban yang harus dia berikan bila telefon dari Don juan Sonny berdering lagi. Memprotes ketidak becusannya mengatasi persoalan ini. Atas usulan Letnan infanteri Herru Triyuonno. Serda Brimob Teguh Priyanto yang mewakili pucuk pimpinan di Kosektro Brimob-Juanda. Setuju untuk memindahkan siswa Geng senior Persaudaraan yang menjadi tersangka, ke Mako Brimob di Garnesun Surabaya.

 

Letnan infanteri Herru kemudian memerintahkan Letnan muda infanteri Mufidahlevy untuk mengawal Serda Brimob Teguh Priyanto dan tahanannya ini dalam perjalanan ke Surabaya. Sebuah truk Toyota Dyna HT 130Ps 6rd-High Gear angkut pasukan milik Rindam telah di undurkan sampai masuk ke halaman Kosektro. Tempat yang bersebelahan persis dengan garasi Pansher itu ada pintu belakang yang harus melalui gang. Dari mulut gang yang kosong itu, dalam pengawalan ketat dua anggota Brimob bersenjata lengkap. Satu persatu siswa Geng senior, tersangka kasus penyerangan di giring ke atas truk dengan kabin tertutup. Serda Brimob Teguh Priyanto dan Letnan muda infanteri Mufidahlevy, duduk satu bangku di sebelah supir Angkatan Darat. Dua anggota Brimob lainnya duduk berjaga di bangku paling belakang. Truk militer Toyota Dyna HT 130Ps 6rd-High Gear itu di pacu dan membelok cepat ke arah persimpangan. Penuh kesabaran Bripda polisi Sinta. Pacar baru Anggitho yang telah diresmikan, dengan setia menemaninya selama chek up denga Cityscan. Waktu semua telah berakhir, mereka kemudian duduk berduaan di dinding pondasi pembatas sekolah.

 

Sembari menghabiskan minuman kaleng bersoda yang di sediakan mobil ambulan. Di berikan Cuma-Cuma untuk siapa saja yang diperiksa dalam ambulan Metrobuss. Padahal jelas, hanya untuk Anggitho seorang Metrobuss ambulan itu ada di sini.

                “Maaf, Githo. Kau menjadi terlibat dengan masalah yang serius ini. Aku maklum kalau setelah semua kejadian ini kau harus menghindari aku.”  Kata-kata Bripda polisi Sinta yang terdengar sangat bersedih. “Tenang. Soal kejadian malam itu, anggap saja sebagai niat baik dari seorang teman. Dan lupakan…”

                “Mbak Sinta, aku ini nggap apa-apa. Kamu jangan khawatir, yyaa…?” Aku… di sini. Di sudut hati yang paling dalam.”  Anggitho serius berbicara dengan meletakkan kepalan tangannya di dada. “Aku… masih sangat… mencintai… kak Sinta. Kejadian ini hanya sekelumit saja. Sekelumit dari rintangan yang harus kita lalui bersama.”

                “Tapi Githo. Sonny sudah gagal mencoba membunuhmu sekali ini. Tidak ada jaminan, dia tidak melakukannya lagi di lain waktu.”  Keluh Bripda polisi Sinta cemas.

                “Hukum punya cara yang unik untuk melindungi orang lemah seperti kita. Percayalah, kita tidak akan apa-apa.”  Kata Anggitho membalas.

                “Hmm… ya… Makasih kalau begitu.”

Bripda polisi Sinta merebahkan wajah cantiknya di bahu Anggitho. Pria ingusan ini-pun membalas dengan merangkul hangat pundak Bripda polisi Sinta. Di elus perlahan rambut Bripda polisi Sinta yang menghitam tebal dan sepanjang lehernya saja. Dan Anggitho kecup perlahan rambut di atas wajah cantik itu dengan penuh perasaan. Bripda polisi Sinta-pun mendesah. Dan Anggitho tersenyum. Semakin merapatkan pelukan untuk sang kekasih. Bripda polisi Sinta merasakan bahwa Anggitho telah membawa dia terbang. Cinta dengan perasaan yang sangat tulus. Bukan sekedar cinta nafsu dan gairah sex seperti yang selama ini Bripda polisi Sinta nikmati dari Don juan Sonny.

                “Mas Githo…” sapaan asing tiba-tiba menyadarkan kemesraan mereka. Ternyata Lettu infanteri Evie Widhyasari dan Lettu infanteri Herru Triyuonno. Mereka telah kembali dari kunjungan ke Kosektro Brimob. Dan sekarang para siswa Geng senior Persaudaraan Karate, tersangka penyerangan telah menghilang.

                “Ouwwf… maaf. Aku sama sekali tidak melihat kakak berdua. Bagaimana? Manusia-manusia tidak beradab itu sudah memperoleh ganjaran perbuatannya ?” Anggitho bertanya.

                “Tadi… kami… eee… er… sudah memutuskan untuk, memindahkan mereka.”  Lettu infanteri Evie menjelaskan dengan setengah berbisik. Seperti tidak ingin ada yang ikut mendengarkan percakapan ini. “Tadi ada kunjungan tidak menyenangkan dari Kombes polisi Bagus Wibawa. Tapi seperti perintah tegas dari tuan Profesor Rasmintho, tidak akan ada pelimpahan ke institusi lain tanpa sepengetahuan beliau. Mas Githo sudah chek-up. Ada keluhan-keluhan dari yang mas Githo rasakan sekarang ?”

                “Tidak. Kata mereka juga aku baik-baik saja. Ya… syukur.”

                “Siang ini tuan Profesor Rasmintho akan bertemu mas Githo. Mari ikut kami sekarang.”  Katanya mengajak.

                “Apa boleh… eee… er… Sinta, ikut bersama kita ?”  tanya Anggitho harus menunda kepergian Lettu infanteri Evie.

                “Untuk saat ini, saya kira waktunya kurang tepat. Tuan Profesor Rasmintho sedang bersedih dan sangat mencemaskan mas Githo. Akan lebih baik mas Githo menemui beliau sendirian saja.”  Jawab Lettu infanteri Evie kemudian.

Bripda polisi Sinta cukup tahu diri dengan situasi mencekam yang sedang terjadi. Bagaimanapun tuan Profesor Rasmintho adalah suami beliau nyonya Pangko Daerah Militer Jawa V, Mayjen infanteri Estianni. Dan dengan ketidak hadiran JendralEstianni di sini praktis secara tidak resmi tuan Profesor Rasmintho yang mewakili kekuasaan mutlak beliau. Bahkan sekalipun itu ada Kasdam di bawahnya dan Kasintel Dam Jendral teritorial Made Kaemanna.

                “Pergilah, Gith. Sayang. My sweety. Kebetulan aku juga masih bertugas dan belum mungkin jauh-jauh meninggalkan pos aku siang ini. Toh nanti selepas tengah hari kita masih bisa ketemu. Right ?”

Bripda polisi Sinta mengantar Anggitho sampai ke mobil  Hyundai Trajjet Angkatan Darat itu. Di ikuti Lettu infanteri Evie Widhyasari yang di temani Lettu infanteri Herru. Bripda polisi Sinta untuk sekian kalinya mencium Anggitho pada bibirnya. Hanya melalui jendela jock belakang mobil yang telah di turunkan ketika Anggitho sudah di dalam. Lettu infanteri Evie saat itu juga berpamitan dengan Lettu infanteri Herru sebelum akan pergi. Dan Hyundai Trajjet meluncur manis meninggalkan area sekolah Dian Harapan. Terus membelok ke selatan menuju ke arah persimpangan. Menghilang di belokan berikutnya menuju ke tempat yang di inginkan tuan Profesor Rasmintho. Dalam ruangan mewah ber-AC. Sebuah club house di kawasan Bandara Abdurachman Saleh, Malang. Siang itu sedang ada tujuh pria senior yang sangat terhormat. Tengah berbahagia memainkan segebok kartu judi tanpa taruhan sepeser-pun.

 

Salah satu tamu penting siang itu adalah Brigjen polisi Yussuf Yuhrimaullana. Waka Polda Jatim yang juga adalah tamu pribadi tuan Andhre Permana Himawan. Mereka sudah berteman baik sejak di perkenalkan oleh Brigjen infanteri Eggy Sudharmonno. Kepala divisi Ranpur, pada departemen kerja direktorat Pengadaan Prasarana, dirjen Persenjataan, Kementerian Pertahanan. Yang tidak lain masih familly dekat tuan Andhre sendiri. Brigjen polisi Yussuf, dan juga Irjen polisi Sukardjo Sudjatmoko sebagai Kepala Polda saat ini juga mengenal baik tuan Profesor Rasmintho yang punya kantor Advocate cukup bonafide di kota Surabaya. Dan juga menghormatinya sebagai suami beliau nyonya Pangloma Kodam. Tuan Profesor Rasmintho adalah Guru Besar tamu di UniMa, UniBraw, UnSu, dan UnAir. Dan semenjak isterinya pergi ke luar negeri, karena urusan adaptasi perpindahan Anggitho ke kota Malang ini. Tuan Profesor Rasmintho jadi jarang berada di Surabaya. Bersama Waka Polda Brigjen polisi Yussuf, ikut pula rombongan DirIntelkam Kombes polisi Wayan Badhrikka dan DirReskrim Polda Kombes polisi Arrief Julianto Nugraha.

 

Di pihak tuan Andhre saat itu ada Kombes polisi Bagus Wibawa dan juga, Danres kepolisian kota Malang Ajun Kombes polisi Inoki Wasis Jatmiko. Sebagai sesama warga Polri dan sekaligus juga atasan langsung mereka, adalah kewajiban bagi Kombes polisi Bagus dan Ajun Kombes polisi Inoki untuk menyambut mereka. Mereka ini bagian yang menyebut diri ‘Club Pertemanan Panglima Brother’. Selalu tuan Profesor Rasmintho menjadi pusat perhatian dari kumpulan pria-pria kaya raya dan sangat berkuasa ini. Karena memang besar pengaruh dan kekuasaan yang tidak terbantahkan dari beliau nyonya Panglima Mayjen infanteri Estianni Rahayu Rasmintho, isterinya. Biasanya pak Profesor Rasmintho sendirian saja masuk ke Club House, dan langsung menggabung ke meja mereka dengan riang. Tapi yang terlihat hari ini sangat beda. Tiga pengawal Angkatan Darat nampak ikut serta. Hatinya terlihat sedang galau. Pria-pria ini berdiri dengan sambutan senyum yang mengembang. Utamanya Brigjen polisi Yussuf Yuhrimaullana, Waka Polda Jatim. Teman ngobrol di Club TPB. Pertemanan Panglima Brother yang sangat terkenal di Surabaya. Dan tuan Andhre Himawan juga salah satu anggotanya. Namun tidak ada manis-manisnya sama sekali yang terbersit di wajah tuan Profesor. Sorot mata nanar tuan Profesor langsung menuju ke arah tuan Andhre. Presdir sekaligus pemilik dari HSW Limited. Himawan Steel Work.

 

Menghampirinya tanpa menunjukkan sedikitpun keramahan, dan “Spllaaakkk…!”. Tangan tuan Profesor yang kokoh itu tiba-tiba menyambar. Telak menghajar pipi kanan tuan Andhre Himawan sampai terbuang ke arah kiri. Cukup keras tamparan itu seluruh tubuh tuan Andhre nyaris terpelanting ke belakang kursi. Spontan tamu-tamu yang hadir di Club house itu terbelalak.

                “Mas… Agung… ssuu… ssuuddaaah. Ampuni sssa… yyaa ! Tolong jelaskan, apa salah sssa… yyaa ?”

                “Kau kritik namaku di belakang tidak masalah. Tapi kau coba lagi untuk bunuh anakku, kamu… dan seluruh keluargamu, akan habis menghadapi kekuasaanku.”  Akhirnya tuan Profesor Agung Rasmintho meledakkan semua kemarahan dalam dirinya. Dan kepada teman TPB-nya yang kebetulan hadir di sini beliau berkata. “Aku mohon maaf, suasanaku sedang tidak enak hati, dengan sangat menyesal tidak bisa aku temani kalian siang ini. Permisi. Aku harus pergi.”

Terlihat jelas wajah tuan Profesor Rasmintho yang berduka. Yang hampir-hampir mau menangis. Tuan Rasmintho terus berbalik meninggalkan Club house. Langsung di ikuti ketiga orang pengawal Angkatan Darat. Kombes polisi Bagus hendak menyusul tuan Profesor. Dia tahu siapa dan seperti apa kekuasaan yang di miliki tuan Profesor itu. Tapi terus-terang dia tidak suka caranya memperlakukan seorang Andhre Himawan. Kombes polisi Bagus sudah pernah sekali terusik harga dirinya karena gagal membebaskan anak-anak yang dibayar Don juan Sonny untuk menghabisi Anggitho. Sekarang tuan Profesor sendiri di depan matanya melakukan penganiayaan tanpa alasan. Namun justru di cegah oleh Waka Polda Brigjen polisi Yussuf Yuhrimaullana. Di mata Jendral polisi Yussuf, yang sangat kenal tabiat tuan Profesor. Tahu bahwa kondisi tuan Profesor sedang tidak ingin di ganggu. Kalau hanya seorang Kombes polisi kemudian justru berani mengusiknya, untuk mempersoalkan hal kecil ini. Yang ada justru akan membangun sentimen kebencian Angkatan Darat  dengan seluruh jajaran institusi kepolisian. Masih terngiang dalam ingatan Jendral polisi Yussuf, ketika seorang kolonel Angkatan Laut dibunuh oleh Briptu polisi di kawasan Tretes-Malang.

 

Fatal akibatnya waktu itu. Duabelas polisi menjadi korban kebrutalan para anggota Marinir yang marah. Dan sekitar seratus polisi dirawat di rumah sakit. Selama dua bulan penuh polisi menghilang dari jalanan. Sembunyi. Sampai harus Gubernur dan Pangko Daerah Militer Jawa V waktu itu menanda tangani kesepakatan untuk Cooling down dan mengadakan Patroli bersama yang di sokong Puspom Kodam. Waka, Jendral polisi Yussuf tentu tidak mau catatan hitam itu sampai terulang hanya karena dendam pribadi seorang Kombes polisi Bagus. Kini semua mata tertuju pada satu-satunya pria senior yang paling di persalahkan dalam kekacauan ini. Tuan Andhre Permana Himawan. Pria paruh abad yang masih menyisakan kegagahannya di kala muda. Nampak terguncang di meja dan mengalami kondisi shock berat. Tapi tidak satupun orang yang menyatakan rasa iba kepadanya. Semua orang masih menuntut penjelasan. Laksana seorang hakim di depan seorang terdakwa yang sedang terjerat di kursi pesakitan. Apa yang terjadi, terutama bagi Jendral polisi Yussuf Yuhrimaullana, merupakan hal yang sangat mencemaskan.

 

Hal yang sangat berbeda menurut kebiasaan yang berlaku. Karena Paglima Kodam daerah ini di jabat seorang Wanita maka, lingkaran Geng Pertemanan Panglima dekade ini antara lain beranggota beliau nyonya Marrini Rubhiakti Iskandar, isteri Laksamana laut Wahyu Iskandar Pangarmatim. Beliau nyonya Arrind Nerrishya Sudjatmoko, isteri Kepala Polda Irjen polisi Sukardjo Sudjatmoko. Dan beliau nyonya Puspita Titin Hidayat, isteri Marsekal udara Wachid Hidayat Pangkohanud III Jatim. Sedang tuan Profesor Rasmintho memimpin Geng Pertemanan lini kedua dengan para Waka seperti Jendral polisi Yussuf Yuhrimaullana, Kasdam Brigjen infanteri Richard Salampessy, Kasarmatim Lakda laut Johny Humbrey Kakiay, dan Kashanud III Marsda udara Indhra Zakha Permana. Kemudian beberapa kelompok tamu dari jajaran sipil seperti Wagub Nouvriyansah Yakkub dan tuan Andhre Himawan dari kalangan pengusaha. Pribadi tuan Profesor Rasmintho jelas punya andil kekuasaan yang sangat besar di Geng Pertemanan para Kasdam ini. Mereka, terutama kalangan sipilnya jelas sangat bergantung pada kemurahan hati tuan Profesor Rasmintho untuk tetap mempertahankan jabatan dan jaringan usaha mereka.

 

Terutama kenyamanan di bidang politik dan perlindungan keamanan yang tak terbantahkan. Pengaruh apa yang melekat pada isterinya selaku Pangko Daerah Militer Jawa V, jelas akan dimiliki pula oleh tuan Profesor Rasmintho secara tidak langsung.

                “Jadi apa yang sesungguhnya terjadi, mas Andhre… ?” Jendral polisi Yussuf menanyakan dengan perasaan yang sedingin Es. Jendral polisi Yussuf kurang mengenal baik Kombes polisi Bagus Wibawa. Yang menunjukkan sikap sangat tidak hormat kepada seorang tuan Profesor Rasmintho. Padahal disini, seorang Andhre Himawan sekalipun tahu resiko jika memilih fihak yang memusuhi tuan Profesor Rasmintho. Jendral polisi Yussuf seperti halnya yang lain juga sama ingin tahu, persoalan yang bisa membuat Geng Pertemanan penting ini bubar.

                “Kalau saja saya mengerti.”  Akhirnya tuan Andhre menyatakan setelah bisa menguasai emosinya. Dan mencoba untuk menjawab rasa penasaran orang-orang. “Malah saya tidak mengenal baik dengan semua putra asuh tuan Profesor Rasmintho itu. Jika menyangkut satu dari mereka, pasti ini berkaitan dengan putraku, Sonny. Tapi setahuku, Sonny tengah berlibur ke Phuket-Thailand saat ini. Aku akan bicara dengan mereka, secepatnya.”

                “Implikasi akan sangat buruk kalau tuan Profesor Rasmintho sampai semarah ini. Cobalah mas Andhre bayangkan. Kalau sampai Geng Pertemanan ini bubar, kita semua berada dalam posisi sulit menghadapi Angkatan Darat. Mungkin keluarga mas Andhre hanya kehilangan perusahaan. Tapi kami, kami pertaruhkan hidup kami di sini. Hutang kita pada tuan Profesor Rasmintho sudah sangat banyak.” Jendral polisi Yussuf berkata.

                “Emmy juga perlu tahu hal ini. Kemajuan business kami, meskipun dia pemilik sembilanpuluh persen saham-nya, sangat bergantung pada tuan Profesor Rasmintho. Ini akibatnya kalau dia terlalu memanjakan anak. Aach… permisi tuan-tuan. Saya juga harus pamit pulang.”  Kata tuan Andhre Permana Himawan itu akhirnya.

Setelah pamitan yang tidak lagi hangat itu. Cepat-cepat tuan Andhre Himawan pergi dan supirnya telah di hubungi lewat Handphone, supaya siap menunggu di parkir lobby Club House. Lorong-lorong berkilau hotel mewah itu tidak ubahnya gang kumuh sel-sel penjara yang membuat tuan Andhre jengah. Yang menyongsong dia menjadi peristirahatan terakhir seumur hidup. Tuan Andhre sedang berfikir saat tuan Profesor Rasmintho menarik dukungan pada usaha businessnya. Kontrak dengan Angkatan Darat akan di cabut. Para investor ramai-ramai menarik dana investasinya, dan ribuan karyawan akan kehilangan pekerjaan. Selanjutnya, adalah keributan. Kerajaan businessnya hancur. Seluruh asset habis di sita menggantikan dana investor. Dan mungkin hidupnya benar-benar berakhir di penjara.

 

                Kursi beton taman kota belakang komplek UnMu-Malang. Di pinggiran sungai wisata kawasan Tlogomas yang asri. Hyundai Trajjet Angkatan Darat lama parkir dekat jalan masuk jogging track. Seratus meter darinya ada Anggitho yang duduk sendirian di bangku beton diantara pepohonan taman tropis. Berdiri di dekatnya ada Lettu infanteri Evie. Panther Smart Hi-Grade putih Puspomdam dengan Strobo blue siren-light, menguing-nguing di depan sebagai pembuka jalan saat kemudian. Di ikuti Mitsubishi Pajerro Sport Exceed A/T milik Prof. Rasmintho. Dan, satu mobil Ford New Everest TDCI Limited Turbo dengan Strobo sirent-light untuk empat pengawal bersenjata. Kopral satu Zipur. Yudha Kuncara bergegas keluar mobil menyambut tuan Profesor Rasmintho. Tiga pengawal Angkatan Darat dan dua anggota Puspom di sebar ke sekitar taman kota tepi sungai. Untuk memberi rasa nyaman suami Pangko Daerah Militer Jawa V ini. Lettu infanteri Evie juga hanya berdiri saja di samping Anggitho, tidak bertindak apa-apa. Setelah pembicaraan singkat dengan Koptu Zipur. Yudha, tuan Profesor Rasmintho bergegas menemui putra asuhnya. Kemudian Lettu infanteri Evie ikut menyambut kedatangan tuan Profesor. Dan meninggalkan mereka berdua untuk saling bicara.

                “Pappa harus memaafkan saya, karena kekacauan ini. Saya telah menduga, hubungan ini akan menjadi suatu hal yang rumit. Tapi saya… tidak mengira kalau… Don juan Sonny… akan berbuat senekad ini. Siang tadi.”  Anggitho berkata berat. Tuan Profesor Agung Rasmintho duduk di sebelah Anggitho dengan wibawa. Dan berusaha bersikap sangat toleran dengan anak emas yang di titipkan kepadanya ini.

                “Kalau ada yang harus di persalahkan dalam hal ini, pastilah Danres Kepolisian Malang. Mereka ada Polsek-polsek, dan Intel. Nggak mungkin kalau sama sekali tidak tahu gosip soal rencana penyerangan itu. Sejak, Hyang Mulia Jendral besar Sadeghzadeh Ingenieur Youkke al-Zayyeed Husni, Pappa kandungmu, memutuskan tentara kembali ke barak. Dan urusan kita hanya perbatasan. Inteldam sudah tidak lagi terlibat dalam keamanan dalam negeri. Tugas-tugas kita, malah Bosma sekalipun menggali informasi rahasia dari apa yang sudah di laporkan Polisi.”   Tuan Profesor Agung berkata dengan sedih. “Hmm… Githo, yakin kau tidak apa-apa ?”

                “Mereka hanya menyandera Githo sebentar. Dan semua bertindak sesuai Protap, Ppa.”  Anggitho berkata, sedang berusaha menenangkan hati Ayah asuhnya yang masih nampak gelisah. “Tim dokter Rindam sudah memastikan itu. Pappa bisa chek laporan Letnan Evie. Untung ada Geng yunior Persaudaraan Karate yang mendukung aku. Sebelum akhirnya satuan Brimob Inspektur Mardhionno menyelamatkan.”

Tuan Profesor Agung Rasmintho menjadi sangat terharu. Dan segera dia merangkul Anggitho dengan sentuhan yang hangat.

                “Anggitho… aach… aku tidak tahu jadinya. Andai sedikit saja senjata mereka menggores kulitmu. Atau menumpahkan setetes darahmu.”  Berkata tuan Profesor Agung penuh perasaan. “Tenanglah. Mulai sekarang Pappa sendiri yang akan memastikan keamananmu.”

                “Anggitho rasa. Setelah ini Don juan Sonny tidak mau berbuat lebih jauh lagi.”  Kata Anggitho. “Dan saya rasa Pappa tidak perlu bersikap berlebihan begitu. Anggitho memang seorang anak Pappa, tapi bukan seorang Pangeran. Anggitho juga tidak mau menjadi angkuh dan tamak seperti Don juan Sonny, gara-gara ada pengawal.”

                “Baiklah. Pappa berjanji tidak akan memperlakukan berlebihan. Tapi kehadiran satu-dua orang pengawal saja, itu mutlak setelah kejadian ini. Kau juga harus berjanji kepada Pappa untuk menjaga diri baik-baik. Setidaknya teruslah di dekat Satya.”  Tuan Profesor Rasmintho seperti memohon.

                “Nanti malam ada pelantikan warga baru Geng Persaudaraan Karate sekolah. Seleksi pertama sekitar limapuluh siswa Ospek yang lolos.”

                “Yyeaa… Pappa tahu itu. Pappa telah berjanji pada guru Pelatih, pak Widodo Iskhak untuk membantu pengamanan dan kelancaran acara. Pappa sudah meminta ke Mako Rindam. Mereka mengirim pasukan Letnan infanteri Herru Triyuonno ke sekolah Dian Harapan. Tapi karena kejadian ini, kuminta pengamanan mereka di gandakan. Nanti sebagian pasukan di kerahkan untuk mensterilkan pekuburan tua Kotalama. Untuk lokasi uji nyali atau perenungan kalian sebagai seleksi akhir.”

                “Itu cukup melegakan, Ppa.”

                “Dan apa rencanamu siang ini, Anggitho ?” tanya tuan Profesor Agung melanjutkan.

Anggitho berusaha menahan diri untuk tidak ingin segera kembali menemui Bripda polisi Sinta. Seperti juga dia tidak ingin Pappa asuhnya ini tahu, betapa setiap detik hasratnya tidak terbendung lagi untuk selalu berada di dekat Bripda polisi Sinta. Anggitho tidak mau merusak privasi kebersamaan dengan tuan Profesor sebagai sebuah keluarga ini, dengan hasrat cinta semata. Sadar akan rasa hormatnya pada tuan Profesor Agung yang telah mengorbankan banyak hal demi kebersamaan ini. Anggitho justru memberanikan diri untuk balas menawarkan.

                “Setelah yang terjadi di sekolah, semua siswa Ospek di liburkan. Dan itu termasuk juga Anggitho, Ppa. Sekarang Anggitho bisa menemani Pappa seharian ini. Atau kalau Pappa sibuk, ya pulang.”

                “Tentu saja tidak. Pappa tidak akan melewatkan kebersamaan yang jarang-jarang ini.”  Tuan Profesor Agung menjawab. Tuan Profesor Agung bangkit dari duduknya dan menghampiri sekretaris pribadi, Nathannia Gunawan S.Com yang sedang berdua dengan Lettu infanteri Evie. Permintaan pribadi tuan Profesor Agung segera dibicarakan berdua dengan Letnan satu Evie yang menyarankan untuk menghubungi Dithubad yang mengoperasikan armada helikopter SA-365 Dauphin dan 105 Bolkow untuk Angkatan Darat melalui Handphone. Yang segera memperoleh jawaban dari komandan pangkalan yang sedang piket. Jawaban itu diteruskan kepada tuan Profesor Agung.

                “Katakan duapuluh menit saja. Aku akan menunggu dia di halaman Mako Kodam.”  Kata tuan Profesor Agung selanjutnya kembali menemui Anggitho. Kepada putra asuhnya ini tuan Profesor Agung lalu berkata. “Kita pergi sekarang, Gith. Pappa akan mengajakmu memancing. Kau suka ?”

                “Memancing? Itu pasti sangat menyenangkan.”

Anggitho, yang enam tahun lebih menjalani sosialisasi kemasyarakatan yang menganut tradisi kuno agamis. Tidak pernah sekali mendapat sikap penentangan yang begini hebat dari lingkungannya karena sudah di anggap anak sendiri oleh Rommo Yai Haji asy-Sheikh Raden Muhammad Alli Hassaan Ahmmad. Kini tiba-tiba dalam kehidupannya masuk gaya hidup preman Don juan Sonny yang hampir membunuhnya. Jelas Anggitho dalam hati kecilnya sangat shock. Tapi dukungan tulus Bripda polisi Sinta membuatnya cukup tabah. Sebaliknya di dunia tuan Profesor Agung, dia seperti menemukan gaya hidup kepangeranan-nya kembali.

 

 

Kombes polisi Bagus Wibawa. Kepala Kanwil Kepolisian kota Malang Raya. Sedang duduk di belakang meja ruang kerja rumahnya sore itu. Jalanan besar Raya Ijen no. 10 dan mengusap-usap tengkuk-nya yang terasa pegal. Peristiwa sore tadi. Tepatnya di Club house yang sangat jarang terjadi, itu menjadi tempat pertemuan Geng Pertemanan Kasdam. Tuan Andhre Himawan yang sangat dia hormati sebagai Client State Duty. Yang membuatnya di mutasi dari sekedar Kompol administrasi di Polda Jatim waktu itu di naikkan pangkatnya menjadi Kombes polisi. Tidak oleh Wanjatum Polri, atau atas penunjukan Kepala Polri sendiri. Melainkan atas permintaan langsung dari Kemenhan Indonesia yang masih menaungi Polri secara administrasi. Perbuatan tuan Profesor Agung telah membuat dia, yang merasa mendapat mandat khusus dari tampuk kekuasaan tertinggi Angkatan Bersenjata bagai tertampar. Harusnya, pengaruh tuan Profesor Agung hanya sebatas kekuasaan reguler yang jauh berada di bawah kekuasaan yang menaungi tugas suci Kombes polisi Bagus Wibawa melindungi asset penting negara.

 

Seperti halnya kejadian mengejutkan tadi siang. Memang ada sistem komando terpisah antara Kanwil Kepolisian kota dan Brimob. Tapi secara institusi Brimob tetap dibawah Polri dan sebagai Kombes polisi, dia punya kompetensi untuk mengendalikan kesatuan Brimob. Tapi sebaliknya yang terjadi, dia sama sekali tidak di hargai di kantor Kosektro Brimob-Juanda. Dan seenaknya juga komandan dari kesatuan lain turut campur menentang keinginannya. Semua ini sudah tidak benar. Harus di luruskan. Kombes polisi Bagus tidak bisa mengandalkan orang-orang di daerah yang terlalu takut pada kekuasaan beliau nyonya Pangko Daerah Militer Jawa V. Dan ketidak tegasan tuan Andhre, yang punya koneksi kuat di tingkat pusat juga tidak banyak membantu. Masalahnya sekarang bertambah rumit. Empat dari tersangka siswa Geng senior Persaudaraan itu adalah keponakan-keponakan Isterinya sendiri. Berkali-kali keluarga mereka telephone tentang nasib anak-anak mereka. Sikap Isterinya juga tidak mau tahu betapa posisi dia sedang sulit. Satu tersangka masih terbilang keponakan Walikota Malang yang sedang menjabat. Dua tersangka bahkan anak Komandan distrik militer kabupaten Malang yang ikut mempersalahkan dia. Enambelas tersangka siswa Geng senior Persaudaraan itu sampai sekarang tidak jelas nasibnya.

 

Terakhir Kombes polisi Bagus mendengar kabar dari teman polisi Bripda polisi Sinta yang bertugas di pos polantas. Bahwa sebuah truk angkut pasukan Toyota Dyna HT 130Ps 6rd-High Gear milik Angkatan Darat, meninggalkan kantor Kosektro Brimob dengan kabin yang tertutup rapat. Ke suatu tujuan yang belum jelas. Melihat gelagatnya disini, tampak. Sebuah operasi Inteligent sedang terlibat dalam pemindahan itu. Kombes polisi Bagus tidak bisa tidak untuk berfikir bahwa suami beliau nyonya Pangko Daerah Militer Jawa V telah ikut campur secara pribadi. Sebuah pertaruhan yang sangat berbahaya. Karena melibatkan banyak fihak tidak bersalah yang juga memiliki akses kekuasaan. Kalau persoalan ini Kombes polisi Bagus bawa ke tingkat pusat, nyonya Mayjen infanteri Estianni Rahayu Rasmintho, isterinya itu bisa kehilangan pangkat dan jabatannya. Demi menyelamatkan anak-anak orang penting itu, kini nasib Don juan Sonny sudah bukan lagi prioritas. Kombes polisi Bagus harus melindungi keluarganya sendiri. Dan keluarga dari orang-orang yang menjadi teman baiknya selama ini. Dan untuk itu dia tidak mungkin sendirian. Dia harus mencari sekutu.

 

Seseorang yang jauh lebih tinggi kedudukannya sehingga sanggup menundukkan popularitas kepangkatan Mayjen infanteri Estianni Rahayu Rasmintho. Dulu, pertama kali dia di usulkan untuk tugas pengamanan asset negara ini oleh Brigjen infanteri Eggy Sudharmonno. Kepala divisi Ranpur, pada departemen kerja direktorat Pengadaan Prasarana, dirjen Persenjataan, Kemenhan. Tapi Brigjen infanteri Eggy tidak cukup tinggi pangkatnya untuk mengimbangi popularitas kekuasaan Mayjen infanteri Estianni Rahayu Rasmintho. Satu orang lagi yang pernah di perkenalkan kepadanya demi meyakinkan legalitas misi pengamanan asset negara ini, adalah wakil Menhan Oktaprius Oktaprius Surya Prayoga. Dan Kombes polisi Bagus sendiri memperoleh nomor Handphone pribadinya. Sekarang menjadi jelas. Kombes polisi Bagus memutuskan untuk melakukan kunjungan pribadi kepada wakil Menhan Dr. Oktaprius Surya Prayoga ini. Tapi dia tahu. Walau kedudukannya tinggi di garis komando Polda Jatim. Jejak langkahnya akan di rekam. Penarikan-penarikan berkas dari bagian arsip. Permintaan-permintaan resmi akan informasi. Pembicaraan-pembicaraan via telephone. Memmoranda. Semua akan di laporkan dan mengundang pertanyaan. Jadi semua langkahnya harus sebisa mungkin tidak sepengetahuan orang. Ada banyak orang penting di atas saja, yang mungkin saja terusik dengan berbagai tindakannya.

 

                Rombongan dinas Isuzu Panther Smart Hi-Grade putih Puspomdam dengan Strobo blue siren-light, menguing-nguing masuk area komplek Mako Kodam. Di ikuti Mitsubishi Pajerro Sport Exceed A/T milik Prof. Rasmintho. Satu mobil dinas Suv Hyundai Trajjeet milik Letnan satu Evie dan, satu mobil Ford New Everest TDCI Limited Turbo dengan Strobo sirent-light untuk empat pengawal bersenjata Angkatan Darat. Sebuah Helikopter militer Mi-17V Hip Milanov telah di panaskan mesin limabelas menit sebelumnya di Tarmak Denharsabang Lanud Abdurachman Saleh. Dan terbang ke halaman Mako Kodam ini lima menit setelahnya. Baling-baling rotornya sengaja masih berputar karena tuan Profesor Agung akan segera terbang. Tuan Profesor Agung keluar dari mobil Mitsubishi Pajerro Sport bersama Anggitho. Di ikuti sekretaris pribadinya Nathannia Gunawan S.Com dan enam pengawal Angkatan Darat. Kepada Praka pom F. Joko Poerwoko, supir mobil Panthern Smart Hi-grade putih itu tuan Profesor Agung berpesan. Karena Lettu infanteri Evie dan sekretaris Nathannia Gunawan S.Com ikut terbang juga. Kopilot nampak mengenakan helmet terbangnya. Turun dari balik pintu sliding di belakang dan menyambut para tamunya setengah menunduk. Helmet itu bertali, tapi masih di peganginya kuat-kuat agar tidak terbang.

                “Aku sedang memenuhi undangan Kasarmatim, Lakda laut Johny Humbrey Kakiay. Di dermaga ujung Surabaya.”  Katanya mengabarkan. “Suruh petugas kita di Mako Garnesun Surabaya untuk mengirim mobil dari Kediaman resmi Panglima. Mungkin aku nanti, atau pengawalan butuh mobilitas kendaraan.”

                “Baik. Akan saya kabari lewat telephone, tuan Profesor.”  Balas petugas kawal dari Puspom itu hormat.

                “Barangkali komunikasi udara akan kurang baik. Dan pengaturan lebih awal biasanya lebih disarankan. Aku akan coba bicara secara pribadi dengan Laksda laut Johny Kakiay. Nanti. Pasti dia sudah menunggu aku di Mako Armatim.”

                “Bagaimana dengan acara mas Githo malam nanti?  Apa saya harus kabari guru pelatih Iskhak untuk menundanya ?” prajurit pengawal itu balik bertanya.

                “Aku sudah akan mendarat di sini nanti sebelum Ishyak. Kalau terlambat, aku usahakan jam sepuluh. Sebelum seleksi permenungan, sudah kembali.”  Tuan Profesor Rasmintho menjawab. “Kalian bersiap-siap saja. Menunggu berita dari Lettu infanteri Evie.

                “Baik, tuan.”

Helikopter masih menunggu dalam kondisi siap terbang. Baling-baling yang berputar pada rotornya menimbulkan badai angin yang cukup kuat. Tuan Profesor Agung di jemput oleh Kopilot bergegas menuju pintu sliding. Anggitho dan lainnya sudah mengenakan sabuk pengaman mereka di atas kursi kanvas yang jauh dari nyaman. Tuan Profesor duduk di ujung dekat pintu keluar. Kopilot membenahi sabuk pengamannya sebelum balik ke kokpit. Di hadapannya ada Anggitho, dan Lettu infanteri Evie Widhyasari. Sedang di sebelahnya sekretaris pribadi Nathannia Gunawan S-Com. Ke enam pengawal duduk di kedua sisi sebelah mereka yang lain. Tiga orang dari Puspom dengan baret birunya mengenakan sarung pistol di pinggang. Sedang tiga pengawal Angkatan Darat membawa Austeyr F-88 dengan night vision telescopic. Helikopter itu melaju ke arah barat daya. Mendesing terus di ketinggian. Setelah berada di angkasa, nampak daratan berjalan dengan lamban. Mereka mengitari punggung Gunung Arjuna yang sedang cerah. Melihat kotatif Batu-Malang yang makmur dengan barisan kebun apel dan aneka palawija. Mereka meninggalkan kawasan wisata Tretes dan memacu ke arah kota Bangil. Melalui kawasan udara kota Pandaan. Anggitho nampak riang.

 

Dulu sekali. Di masa kecil. Anggitho sering di ajak terbang Ibunya. Beliau Mademoiselle nyonya Raj.Hj. Farramurthi Isnna Ingenieur. CEO atau Chieff Executive Organized World Husni Industriess Trade Corporation. Yang berkantor pusat di bangunan kaca-baja dan beton granit empatpuluh dua lantai yang berbentuk triple Piramide. Di tepi danau buatan kawasan Zona hijau Setiabudi. Bangunan superblok yang mewah ini menempatkan tujupuluh persen lahannya untuk taman kota dan lokasi wisata. Yang hanya mereka dengan ijin khusus saja bisa masuk. Sebagai CEO beliau berhak menggunakan Helikopter perusahaan jenis Sikorsky CH-54 Super Stallione Vip class. Yang sehari-hari biasa diparkir di Helipad belakang Bungallow Kediaman resmi Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke bila sedang tidak di pakai. Atau terbang keliling Indonesia bersama Ayahnya, Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke al-Zayyeed Husni dengan CN 235-300 GunShip kebanggaan Ayahnya. Pesawat angkut dan semi combatan untuk Close Air Support, Air Interdiction, dan Force Protection. Dengan senjata utama dua laras senjata mesin kaliber 20mm jenis M-61 Vulcan yang menggunakan sistem Gatling. Memiliki sistem operasional hidrolis dan ditembakkan secara elektris. Dengan daya serang hingga 6.600 putaran peluru per-menit. Di sokong dengan sistem radar AN/APQ-180 yang efektif mendukung misi serangan terhadap sasaran di darat. Dengan kamera pengintai yang berdaya putar 360O dan kemampuan night-vision.

 

Atau jalan-jalan keluar negeri dengan Pesawat Vvip Kemenhan Airbuss A-330 yang selalu di kawal empat jet penempur Falcon F-18 Superhornet milik Saber AU Bosma. Anggitho melihat deretan mobil-mobil angkutan niaga yang mengular tak terhingga. Mulai dari truk-truk Container besar yang mengangkut bahan baku import. Truk-truk sayuran hasil panen para petani Pasuruan-Lumajang yang harus segera dipasarkan ke Surabaya atau Jakarta. Dan mobil-mobil pribadi yang salip-menyalip dengan ribuan sepeda motor. Di atas Porong yang berbatasan dengan selat Madura nampak berjajar ladang tambak udang yang sebagian kita sudah bangkrut karena di terjang banjir lumpur. Bencana lumpur panas Lapindo yang terus berusaha dibuang ke sungai Porong semakin mendangkalkan kawasan pantai yang menjadi hamparan tambak. Merusak habitat tambak udang dan mencemari kehidupan laut. Kini hanya hamparan tambak-tambak kering yang terbengkalai di tinggal pemiliknya. Campuran lumpur liat dan gas methanen telah membunuh apa yang selama ini menjadi tambang emas mereka. Bencana lumpur itu sendiri telah menguras kas negara hingga enam trilyun rupiah.

 

Menenggelamkan sepuluhribu rumah di lima desa yang terparah kena dampak Lapindo. Merusak enampuluh unit tempat ibadah. Enampuluh bangunan sekolah. Dan total kerugian sekitar dua milyar rupiah. Sekitar sebelas ribu keluarga terpaksa mengungsi ke tempat lain. Tanpa jaminan kehidupan dan ganti rugi yang jelas soal harta benda mereka. Jauh di sebelah kiri. Saat matahari bersinar terik di atas mereka. Di landasan pacu Bandara Juanda. Sebuah MDL-660 pesawat komuter Vickerw Viscount milik Air Asia dengan tujupuluh dua penumpang. Sedang memutar di jalur lambat untuk persiapan terbangnya. Lautan tampak penuh dengan kapal-kapal penyeberangan antar pulau yang sedang menunggu giliran untuk merapat di dermaga ujung Tanjung perak. Kapal-kapal tongkang yang baru membongkar isinya di dermaga PLTU Paithon, melayari selat Madura dengan tanpa beban. Dermaga ujung Surabaya sudah tampak di kejauhan. Dengan latar belakang jembatan super toll Suramadu. Yang membentang hingga ke tengah pulau.

 

Patung raksasa Laksamana laut Yos Sudharso tampak berdiri kokoh di tengahnya. Berderet kapal-kapal perang yang tengah berlabuh di dermaga terbesar AL wilayah timur itu. Ada KRI Teluk Manggar yang diperkuat dengan senjata rudal. KRI Makasar yang fungsi utamanya sebagai rumah sakit terapung. Deck belakangnya berguna untuk pangkalan darurat skuadron helikopter serang demi mendukung operasi udara. Kasarmatim Laksda laut Johny Humb Kakiay, sedang menunggu di samping sebuah Toyota Camry dinas 3.5Q warna biru laut. Di apit dua mobil pengawal suzuki Grand Escudo xl-7 dengan strobo sirent-light. Dan lima unit Hyundai Tucson GLS a/t, untuk para staf Armatim dan keperluan tamu-tamunya.

                “Tuan Profesor Agung. Kerasan bener di Malang sana. Sampai gak ingat teman-teman lama.”  Protes Laksamana laut Johny Kakiay dengan suasana yang akrab. Menjabat tangan tuan Profesor dan merangkul seperti layaknya saudara sendiri.

                “Aaach… mas Johny ini. Di Malang juga aku banyak mengurus para putera angkatku. Ada Satria, Bagus, Wahyunni. Dan sekarang malah ada anak bungsu aku,” kata tuan Profesor Agung menyatakan dengan sangat bangganya. “Ini, anak angkat bungsu aku, Anggitho.”

Laksamana laut Johny Kakiay melirih tersenyum ke arah remaja ingusan di samping sahabatnya. Tidak keberatan mengulurkan tangan waktu di perkenalkan.

                “Anggitho, Ooom.”

                “Hmmm… yyaa. Oom Johny. Kamu masih muda sekali. Manis sekali.”  Pujinya dan kemudian berpaling kepada tuan Profesor Agung. “Sebaiknya kita langsung ke kapal. Pesiarku, mv. Kallingha Angels, sudah menyiapkan banyak hidangan penyambutan untuk kita semua.”

                “Baiklah. Ayo kita memancing.”

Dan rombongan para petinggi di Angkatan masing-masing itu mulai masuk ke mobil-mobil yang di siapkan. Mv. Kallingha Angels merapat di dermaga yang langsung menghadap ke kantor pusat Mako Armatim. Pesiar mewah sekelas korvet dengan bobot kurang dari enamratus ton. Dibangun dari bahan besi baja dan campuran fiber yang membuatnya kelihatan cantik. Lengkap dengan kabin, Spa, dan peralatan standar pelayaran seperti radar, sonar pelacak kedalaman, dan GPS. Deck bagian buritan kapal memberi cukup ruang santai dengan soffa-soffa dan meja-meja saji untuk pesta outdoor. Di sana juga telah ada Kasdam Brigjen infanteri Richard Salampessy, dan Kashanud III Marsda udara Indhra Zakha Permana dengan beberapa stafnya.

 

Sedang Waka Polda Jendral polisi Yussuf Yuhrimaullana seperti yang semua orang tahu sedang berada di kota Malang. Menjadi tamu penting keluarga hartawan Andhre Permana Himawan yang sedang terpuruk. Sembilan pramusaji kapal yang semuanya anggota Kowal sibuk membantu tamu-tamu menempati kabin mereka masing-masing. Setiap tamu juga  bawa pengawal. Meski tidak sebanyak tuan Profesor Rasmintho. Di meja-meja saji telah dihidangkan aneka minuman seperti Ice Nata kelapa muda. Ice Alpucate Kopi aneka rasa, dan Ice Squash yang berselera bintang lima. Hidangan pembuka di siapkan dari mulai soup bola-bola gambas dengan rasa daging ayam halus, soup mie, telur ayam, dan seledri.

 

Ada soup Makaroni daging, dengan rasa potongan dadu daging sapi yang lezat, butiran jagung manis, rebusan Makaroni dan tumisan seledri bawang putih yang beraroma sedap. Dan soup pasta Ayam dengan rasa, rebusan dada Ayam suwir, irisan kapri dan pasta Vegeroni yang di tiris. Di barisan menu utama terhidang sajian Ikan Woke Belanga. Sajian Ikan Kuluyuk, dan Sate Udang Brokoli. Sesi penutup menghadirkan Crepes Blueberry keju yang renyah. Ada bubur Semur Pedas. Sedang untuk pencuci mulutnya, ada kroket tempe dari bahan Cornet. Ada Pai coklat buah. Juga gelas-gelas Anggur yang di tempatkan dalam rak-rak pohon yang mengikat dan mengerucut. Anggur mewah Rosse dari Hatten-Wines kota Sanur Bali di tuangkan. Hasil permentasi dari buah anggur khas Bali yang populer dinamakan Alphonsse Lavalley. Meja-meja saji telah dibuat sedemikian rupa sehingga tidak banyak tumpah terkena hempasan gelombang laut. Di soffa-nya, Anggitho di temani dua Pramusaji anggota Kowal yang sok akrab. Sementara Lettu infanteri Evie dengan sekretaris Nathannia Gunawan S.Com sibuk sendiri dengan obrolan mereka.

 

Anggitho mencicipi Crepes Blueberry yang di suguhkan kepadanya. Di kabin bagian dalam hanya untuk para Jendral dan tuan Profesor Agung merayakan kebersamaan mereka sendiri. Area pancing di siapkan di haluan kapal. Dengan balkon-balkon yang menjorok ke laut dan di lengkapi sabuk pengaman. Agar para orang tua berusia baya ini tidak kecebur ke laut saat memancing. Adonan bubur pakan ikan di semprotkan ke laut. Bukan oleh ABK pesiar. Melainkan oleh sebuah Korvet Angkatan Laut yang telah berlayar bersamaan mengawal mereka. Dan kail-kail mulai di lemparkan ke tengah laut. Anggitho tidak mau ketinggalan adegan seru itu. Segera saja berdiri di belakang tuan Profesor Agung yang sibuk menunggu kailnya di sambar ikan.

                “Mas Agung. Gimana to… cerita sebenarnya di Malang itu. Gosipnya sampai ribut sama pemilik HSW Limited itu. Pak Andhre Himawan.”  Kata Kashanud III Marsda udara Indhra Zakha Permana dengan aksen bukit tinggi yang lantang dan ceplas-ceplos. “Jangan tersinggung llo… Tadi kami dengar kabar dari Waka Polda Jendral polisi Yussuf Yuhrimaullana yang sedang berada di Malang.”

Tuan Profesor Agung berpaling pada sahabatnya itu dengan sikap agak terkejut. Rupanya kejadian menghebohkan siang tadi telah menyebar hingga kemana-mana.

                “Wah… beritanya sudah sangat populer ni.”  Tuan Profesor Rasmintho akhirnya menjawab dengan senyum dan gayanya yang menggoda. “Layaknya kisah sinetron aja ni. Aaach… yyeaa… itulah. Berawal dari rasa cemburu dan saling suka pada wanita yang sama. Tahu-tahu siang tadi, putra hartawan Andhre mengirim lusinan preman pembunuh yang mengincar nyawa anak angkatku. Anggitho. Lha aku ini, suami Pangko Daerah Militer Jawa V to. Masak sama sekali tidak di anggap. Keterlaluan sekali to itu. Lha… Intelnya tahu, seluruh garis komando tingkat Danres Kepolisian  tahu semua rencana itu. Ujungnya malah seorang Kombes ikut-ikutan mau membebaskan begitu saja para tersangkanya. Jelas aku sangat tersinggung. Lha… empat dari tersangka itu masih keponakan dia sendiri.”

                “Kurang ajar sekali itu. Kalau ketemu aku langsung, pasti sudah ku tembak dia. Terus Anggitho sendiri baik-baik saja ?” Waka Armatim Laksda laut Johny Kakiay menanyakan dengan cemas.

                “Syukurlah Mas. Seperti yang kalian lihat ini.”  Tuan Profesor Agung mengangkat tangannya meraih Anggitho yang berdiri di belakangnya. “Anggitho baik-baik saja. Untungnya ada Satya. Anak angkatku yang lain. Dia memimpin faksi siswa Geng yunior Persaudaraan Karate sekolah. Ada kegiatan yang sedang mereka jalani di sekolah waktu itu. Dan cepat bertindak mencegah penyanderaan Anggitho.”

                “Mas Agung… itu Strike !” peringatan Kasdam Brigjen infanteri Richard Sallampessy kemudian membuyarkan perhatian semua orang. Kail tuan Profesor Agung telah ditarik hingga melengkung seekor ikan besar. Tuan Profesor Agung segera mengangkat pangkal kail di tempatkan pada lubang di perutnya. Menarik sekuatnya dan memintal. Menarik lagi sekuatnya dan memintal lagi. Begitu terus hingga seekor ikan besar meronta-ronta di dekat kapalnya dan di tarik dengan susah payah oleh dua ABK yang membawa tongkat berkait. Ikan bawal merah seberat hampir setengah kwintal. Tuan Profesor Dr. Agung nampak terheran-heran. Kashanud III Marsda udara Indhra Zakha Permana berdecak kagum memandangi ikan bawal merah setengah kwintal yang baru di peroleh tuan Profesor Dr. Agung Rasmintho.

                “Waaahh… tangkapan besar ini, mas Agung. Menu makan siang kita hari ini tambah satu porsi besar Ikan bawal merah. Luar biasa.”   Katanya dengan senang.

                “Yeaa… kalau di jual bisa dapat Limabelas jutaan nich… satu motor lho…”  Kasdam Brigjen infanteri Richard Sallampessy membayangkan. Di belakang tuan Profesor Dr. Agung Rasmintho ada Anggitho dan Nathannia Gunawan S.Com, sekretaris pribadi tuan Profesor Dr. Agung.

                “Allaaa… limabelas buat apa kita. Mending biar anak-anak ABK yang ramai-ramai bikin daging asap, nanti kita makan sama-sama.”   Tuan Profesor Dr. Agung melanjutkan dengan santai. Dan kembali melemparkan kailnya ke tengah lautan. Kapal pesiar kecil itu masih merambat tenang di lautan. Berjalan sekenanya sekedar membuat kapal tidak terlalu di ombang-ambingkan ombak lautan. Tiga orang ABK bersusah payah menggotong ikan besar itu ke dalam ruangan dapur di kabin.

                “Ayo… mas, kita mancing lagi. Siapa tahu nanti gantian aku yang dapat ikan besarnya.”   Kashanud III Marsda udara Indhra Zakha Permana menantang lagi.

                “Yyeaa… mungkin memang ini hari keberuntungaku. Hanya sekali ini aku rasa pernah mendapatkan hasil tangkapan yang terbaik.”   Kata tuan Profesor Dr. Agung Rasmintho yang segera melemparkan mata pancingnya lagi.

Kapal pesiar milik petinggi Angkatan Laut armada timur itu terus berlayar perlahan-lahan mencari lokasi tangkapan yang terbaik. Masih terus di ikuti dua buah kapal fregate yang siap mendekat kalau tiba-tiba para jendral yang bersenang-senang di atas kapal ini mendapat masalah. Anggitho yang akhirnya merasa bosan terus-menerus berada dekat tempat pemancingan itu kembali ke buritan. Ke deretan meja saji yang menghadirkan berbagai macam minuman penghilang rasa haus dan makanan kecil yang tidak terlalu mengenyangkan. Di temani oleh . Letnan satu infanteri Evie Widhyasari serta dua anggota Kowal Angkatan Laut.