Bertualang Wisata di Dunia Sastra Banghar Di Bawah Bendera Revolusi Indonesia
CHAPSTER V (lima)
By : Banghar
Yang biasanya hanya satu shift siang untuk mengerjakan pesanan surat-surat hutang pemerintah, obligasi-obligasi, dan penambahan uang kertas yang dibutuhkan pemerintah. Sedangkan malam hari kegiatan lebih ramai. Pekerja yang di tempatkan jauh lebih banyak dan mesin-mesin percetakan mereka bekerja tanpa henti sampai datangnya pagi. Pekerja-pekerja lembur itu di bayar tiga kali lebih banyak daripada upah harian mereka sebulan. Tapi mereka tidak boleh mengatakan apa-apa diluar. Dengan keterlibatan oknum-oknum polisi dalam operasi itu. Bankir-bankir yang cukup punya kredibilitas, dan bahkan keterlibatan langsung kepala polisinya. Tidak seorangpun akan berani kasak-kusuk. Apalagi menyebarkan pekerjaan penting mereka ke media massa. Setelah hampir tiga minggu operasi itu. Sekitar lima kapal Container dengan kapasitas 80.000 ton. Membawa sekitar seribu Container petikemas yang semua isinya uang melulu, merapat ke pelabuhan salah satu perusahaan eksport yang cukup punya nama di negara itu. Dermaga perusahaan itu, tengah malam sebelum pengisian telah mendatangkan sepasukan kavaleri Angkatan Darat yang membawa Pansher BMP. Atau Bouvaya Machina Pekoty buatan Soviyet.
Lampu-lampu sorot dipasang dari atas mesin-mesin derek pelabuhan yang puluhan meter tingginya. Mengawasi aktivitas bongkar muat ratusan truck petikemas yang bolak-balik dari pelabuhan ke gudang-gudang penyimpanan mata uang milik Pemerintah. Semua berlangsung lancar dan sembunyi-sembunyi. Salah satu orang yang mengawal pelayaran kapal-kapal ini adalah seorang petinggi Angkatan Darat Indonesia berpangkat brigadier jenderal. Yang di ketahui sedang berbicara dengan wakil Konggres Majelis Rendah. Politikus kawakan negeri kecil ini yang tampaknya terlibat dalam skandal pembuatan uang palsu berskala internasional. Brigadier Jenderal itu juga yang nampaknya memimpin suatu tim kecil dari pihak Indonesia. Yaitu sekelompok anggota perkumpulan rahasia dalam dinas keamanan Nasional yang telah meminjam pelat-pelat pencetak uang milik Pemerintah. Pelat-pelat pencetak uang itu kemudian dikemas dalam peti-peti baja dan dimasukkan ke dalam tangki-tangki penyimpanan yang kedap air. Di bawa oleh orang-orang ini dengan kereta beroda. Seperti sepasukan infanteri terlatih yang memindahkan tangki-tangki penyimpanan senjata rudal.
Segera setelah di tengah laut armada lima kapal Container ini berlayar beriringan di dalam gelap dan hanya dengan sedikit penerangan. Mereka diam-diam dan tanpa memperkenalkan diri telah di ikuti oleh sebuah kapal selam dengan bendera Vietnam. Tapi anehnya, di anjungan kapal selam ini ikut serta seorang veteran perang Perancis yang bekerja sebagai kepala Security di Perusahaan tambang Argentina yang beroperasi di Sumatera. Mereka berangkat dari pangkalannya di Teluk Rach Gia dekat kota Ho Chi Minh sekitar limabelas hari yang lalu. Dan telah berada di Polynesia sehari sebelum kapal-kapal Container penyelundup ini berlayar menuju pulau Serangan, di teluk Benoa-Bali. Tujuan pulau Bali ini nampaknya di sengaja karena Bali sangat jauh dari Jakarta. Tapi bukannya menghindari kecurigaan orang-orang inteligent Jakarta. Karena sesungguhnya banyak petinggi militer yang ikut terlibat dalam operasi pemalsuan mata uang rupiah ini. Melainkan sekedar sebagai muslihat yang menjauhkan mereka dari tuduhan memanfaatkan kedudukan untuk melakukan kejahatan demi memperkaya diri sendiri dan kelompok usahanya.
Saat kejadian itu berlangsung, Hyang Mulia Jendral besar Bosma Marssiello Gleizzyardhin Otmmar Abdoullay Behrdourrani Sadeghzadeh Ingenieur Youkke al-Zayyeed Husni. Orang tua kandung Anggitho yang sesungguhnya masih seorang Kasdam Komando militer divisi tujuh Udayana Daerah Operasi Bali, dan Nusa Tenggara. Berpangkat brigadier jenderal. Diam-diam dia telah mencium adanya persekongkolan busuk sejumlah pengusaha nakal dengan kaum birokrat kotor yang hendak memperkaya diri sendiri dengan cara-cara yang keji dan menyengsarakan rakyat banyak. Di bali mereka menggunakan Link sebuah perusahaan Cargo raksasa yang di miliki oleh Konglomerat kawakan. Perusahaan itu memiliki jaringan armada Truck dan pelayaran peti kemas sendiri yang telah di akui kepiawaianya hingga ke Asia Tenggara. Terbukti dalam suatu pertemuan business di sela pertemuan menteri-menteri tingkat tinggi Asean, perusahaan Cargo itu berhasil menggaet kerjasama investasi pengiriman product-product berharga Asean senilai tujuratus juta dollar. Dan menambahkan porto folionya sebagai perusahaan go public yang paling di minati di pasar saham.
Rencana mereka, potongan-potongan uang kertas aspal yang siap edar itu akan di simpan dulu dalam gudang-gudang milik Perusahaan Cargo tersebut selama beberapa bulan. Menunggu situasi keamanan nasional benar-benar cocok seperti yang mereka kehendaki. Kemudian uang itu di pindahkan sedikit demi sedikit ke Jakarta. Dan ke jaringan-jaringan mereka di daerah yang siap untuk menukarkan kembali uang-uang aspal ini untuk di cuci. Untuk rencana itu, mereka telah menjalin kerja sama erat dengan sejumlah pejabat penting perbankkan dan Bangkir-bangkir yang akan mendapatkan komisi sangat besar. Hyang Mulia Jendral besar Bosma kala itu, hanya seorang brigadier jendral dengan organisasi perkumpulan sosialnya Klub Dewan Perwira yang belum kuat sekarang. Tidak berdaya menghadapi kekuatan luar biasa yang melindungi operasi penyelundupan uang palsu itu. Tapi disini, di pulau Bali ini Komando Teritorial adalah basis kekuasaannya. Maka… Hyang Mulia Jendral besar Bosma kala itu. Seorang brigadier jendral dari wilayah komando Kodam yang terpinggirkan dan sama sekali tidak di perhitungkan oleh Pusat.
Menyusun rencana untuk dirinya sendiri. Membiarkan kapal-kapal Container yang di jaga oleh unit-unit pasukan elit dari kementerian Pertahanan bersandar. Membiarkan mereka membongkar muatannya. Dan menunggu saat-saat dimana semua Container-Container penuh uang palsu itu di simpan dalam gudang-gudang mereka. Dan setelah semuanya terlena dengan kesuksesan operasi mereka. Tiba-tiba Hyang Mulia Jendral besar Bosma kala itu membuat gebrakan mengejutkan. Mengirim pasukan anti teror terbaiknya di bawah Mayor infanteri Estianni. Mengepung gudang-gudang itu di tengah malam buta. Dan membawa sekelompok jaksa wilayah, kepala cabang Bank Indonesia di Denpasar, dan wartawan. Kemudian membongkar gudang-gudang penuh cetakan uang palsu yang di taksir berjumlah hingga ratusan trilyun rupiah. Menggemparkan mass media di Jakarta dan membuat pakar-pakar ekonomi terperangah. Bagaimana mungkin di sebuah perusahaan Cargo multinasional di temukan penuh gudang-gudang uang palsu yang bahkan para bankir-bankir sendiri akan sulit membedakannya dengan yang asli. Karena semua uang palsu ini menggandakan nomor-nomor seri semua rupiah yang telah beredar di masyarakat.
Dengan prinsip satu uang asli, satu uang palsu. Akan sulit membedakannya bahkan dari nomor-nomor seri rupiah-rupiah itu. Karena satu hal saja. Nomor-nomor itu ada dan tercatat dalam perbendaharaan uang negara di departemen keuangan. Pemerintah tidak mungkin berdalih bahwa uang itu milik pemerintah yang dititipkan kepada pihak swasta. Pemerintah tidak pernah dan, tidak akan boleh mencetak uang di luar negeri. Dan prosedur penyimpanannya sudah tercatat dengan baku. Penyimpanan hanya di lakukan dalam lingkungan Perusahaan Uang Negara sendiri. Dan tidak akan pernah berpindah ke tempat lain tanpa pengawasan Bank Indonesia dan di tangani langsung oleh aparat keamanan Negara yang di tunjuk. Sama sekali bukan domain pihak Swasta. Apalagi sampai timbul dugaan pengiriman berasal dari luar negeri. Ini jelas sudah tidak benar. Skandal memalukan itu telah mengguncang tampuk kekuasaan tertinggi. Sampai-sampai tujuh Menteri di ganti dalam pemerintahan kabinet yang sedang berkuasa. Bayangkan… ada tujuratus trilyun uang palsu yang sangat mirip dengan aslinya dan itu setara dengan anggaran belanja pemerintah pusat selama setahun penuh. Jumlah uang yang tidak bisa di anggap enteng.
Setelah suatu pengusutan profesional di lakukan selama berhari-hari oleh suatu tim pencari fakta dari Kejaksaan Agung, kementerian Polhukam, Kehakiman, dan Bank Indonesia. Setelah suatu gelombang tuntutan-tuntutan public yang semakin tidak tertahankan lagi. Di temukan fakta sejumlah petinggi birokrat, dinas keamanan nasional, dan sejumlah konglomerat yang mulai terpinggirkan pasca gelombang reformasi kekuasaan di tingkat atas. Terlibat dalam operasi uang palsu ini. Mereka bekerja sama dengan sejumlah persekongkolan asing yang sepenuhnya melakukan demi keuntungan finasial semata. Dalam blue print rencana operasi rahasia itu. Mereka akan menukarkan diam-diam semua simpanan uang cash di bank-bank pemerintah yang mereka kuasai dengan uang palsu ini. Karena nantinya uang palsu di keluarkan oleh Bank-bank pemerintah sendiri, akan sulit pegawai-pegawai keuangan ini menilai atau menyatakan bahwa uang rupiah yang mereka keluarkan sendiri dari gudang-gudang penyimpanan mereka adalah palsu. Sementara semua orang masih terlena dengan aktivitas formal dan tidak menyadari kepalsuan uang yang mereka keluarkan, sejumlah besar uang asli yang berhasil di kumpulkan diam-diam di kapalkan ke luar negeri.
Di tukarkan dalam bentuk pecahan Pound-Inggris, Franc-Perancis, Gulden-Belanda, Mark-Jerman, Krone-Norwegia, Dollar-Amerika, atau bahkan Rubel-Soviyet. Menyimpan uang-uang itu atas nama mereka sendiri di Bank-bank pemerintah Swiss, Yunani, dan Israell. Kalau sampai operasi luar biasa ini berhasil. Bayangkan besar kekayaan yang mereka peroleh secara gratis. Bahkan kerja kotor mereka seumur hidup tidak akan mencapai yang seperti ini. Dari situlah kemudian karier militer nyonya Jendral Estianni meroket. Namanya di puja-puja banyak orang. Sebagai kepala pasukan patriotik yang telah menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran total ekonomi nasional. Akibat dari ulah bejat beberapa pejabat pemerintah dan pengusaha nakal. Tapi otak sesungguhnya di balik operasi kontroversial yang menentang arus kekuasaan tingkat atas itu adalah Hyang Mulia Jendral besar Bosma sendiri… Abdoullay Behrdourrani Sadeghzadeh Ingenieur Youkke al-Zayyeed Husni. Sebab memang tidak mungkin hanya seorang Mayor Angkatan Darat seperti nyonya Jendral Estianni kala itu berani menindak sebuah kejahatan yang di dukung mayoritas petinggi tentara di tingkat Mabes. Melibatkan investor yang mengendalikan hampir setengah perekonomian Republik ini, hingga pucuk-pucuk pimpinan yang mengendalikan kebijakan moneter.
Setelah skandal yang ikut menyeret nama beberapa menteri itu terbongkar. Sejumlah jendral-jendral Angkatan Darat di ajukan ke Mahkamah militer karena di tengarai ikut melindungi persekongkolan bejat yang nyaris meruntuhkan pondasi perekonomian nasional. Satu orang konglomerat yang mati-matian berjuang agar namanya tidak tersangkut dalam skandal memalukan itu. Eka Pratama Wisnubrata. Adalah pemilik dari jaringan perbankkan multinasional Bharata Bank. Pengelola sejuta hektar kelapa sawit di Kalimantan dan Industri minyak sawit mentah Bharata Resourses Indonesia Tbk. Dan salah satu anak perusahaannya Mitra Ocean Link Tbk. Adalah perusahaan ekspedisi yang di pergunakan gudang-gudangnya untuk menyimpan seribu peti kemas penuh dengan uang palsu. Mitra Ocean Link Tbk sengaja di pilih nampaknya karena perusahaan itu memiliki dermaga sendiri yang sangat besar di pantai Benoa-Bali. Dan gudang-gudang pelabuhannya cukup lapang dengan sistem keamanan yang di rotasi selama duapuluh empat jam. Selain daerah yang aman, juga sebuah operasi bongkar muat besar yang di lakukan disana tidak akan terlalu menarik perhatian orang luar.
Salah satu staf pengacaranya yang waktu itu susah payah melobby kantor kejaksaan Denpasar, institusi kepolisian, dan garnesun istimewa satuan anti teror yang di pimpin Mayor infanteri Estianni Rahayu. Adalah Dr. Agung Setiawan Rasmintho, SH. Js.D. Pemilik kantor Advocate Rasmintho & Friend. Bujangan tua yang gila kerja dengan nilai asset kekayaan pribadi yang kala itu sudah hampir menyentuh angka duaratus milyard. Berkat bantuan Mayor infanteri Estianni inilah kemudian tuan Eka Pratama hanya kehilangan ijin usaha Mitra Ocean Link yang tiga tahun sesudahnya berdiri lagi dengan bendera baru Eka Bhakti Intermodha Tbk. Menjadikan sejumlah Manajeman MOL Tbk sebagai tersangka utama. Tapi sama sekali tidak menyentuh nama tuan Eka Pratama. Padahal tidak mungkin para eksekutif bayaran ini berani membuka gudang untuk pengapalan beratus-ratus petikemas penuh uang palsu tanpa perintah langsung dari seorang Eka Pratama Wisnubhrata. Konon dari kerjasama proses hukum yang sukses ini Dr. Agung Setiawan Rasmintho, SH. Js.D. memperoleh transfer dana segar hampir duaratus milyard rupiah. Dan tahun itu juga, Mayor infanteri Estianni Rahayu menikah dan menjadi nyonya Estianni Rahayu Rasmintho.
“Sebenarnya bukan tuan Eka Pratama yang terlibat langsung dalam kasus ini. Tapi menantunya. Yaitu Bambang Yullianna Yussuf Widodo. Putera Jendral purnawiraan Arrief Herlambang Widodo yang waktu itu sudah menjadi Wakil Presiden kita dibawah pemerintahan Tuanku Baginda President Hendhi Sukhobaskoro.” Nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho menceritakan. “Kemudian terbukti Bambang Yullianna di ajukan sebagai terdakwa di pengadilan. Bahkan atas perintah Ayahnya sendiri. Wakil Presiden Arrief Herlambang Widodo kala itu.”
“Hmmmh… yeaa, saya pernah mencermati kasus itu. Dalam pengakuannya di persidangan, Bambang Yullianna menyatakan telah menggunakan nama Mertuanya ketika datang bersama-sama sejumlah petinggi pasukan Rimbasti untuk membongkar gudang milik Mitra Ocean Link.” Bripda polisi Sinta berkomentar.
“Aku hanya membantu melindungi seseorang yang sesungguhnya hanya terbawa-bawa dalam kasus ini. Karena keterlibatan menantunya dalam persekongkolan jahat itu. Tuan Eka Pratama memang tidak tahu apa-apa soal kejadian di pantai Benoa. Di mana setengah dari bagian dermaga itu memang resmi milik dirinya sendiri.” Kata nyonya Jendral Estianni dengan muram.
“Saya mengerti.” Kata Bripda polisi Sinta lagi. “Saat itu tuan Eka Pratama adalah orang penting dibalik suksesnya pengangkatan Presiden Hendhi Sukhobaskoro yang sebelumnya politikus kawakan di Senayan. Berpasangan dengan Jendral purnawirawan Arrief Herlambang Widodo yang kala itu punya basis kuat di tubuh tentara. Pasca terbongkarnya skandal uang palsu ini tuan Eka Pratama paling di sorot media massa. Di anggapnya motif politik skandal uang palsu ini adalah balas jasa President Hendhi Sukhobaskoro atas dukungan finasial yang kuat selama kampanye pemilihan President. Padahal itu tidak benar sama sekali. Kalau ada konglomerat perbankkan yang terlibat, itu tidak termasuk dirinya. Melainkan komisaris-komisaris dari sejumlah bank bermasalah yang hampir bangkrut karena permainan-permainan vallas dan korupsi.”
“Kalau proses hukum kasus ini tidak di lokalisir, tidak hanya tuan Eka Pratama yang akan terseret jatuh. Tapi juga Wakil President Arrief Herlambang Widodo. Bahkan kemungkian President Hendhi Sukhobaskoro sendiri akan di mazulkan. Kabinetnya akan di bubarkan dan Negara dalam situasi yang sangat membahayakan.” Kata nyonya Jendrral Estiani Rasmintho.
Bripda polisi Sinta menyukai cerita aktual yang sedang mereka perbincangkan. Tapi secara pribadi dia tahu. Pasti bukan percakapan ini yang sesungguhnya nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho inginkan sampai harus minta meja tersendiri untuk menjamu Bripda polisi Sinta. Ada cerita aktual yang lain tentunya, yang saat ini sedang ingin dia bahas bersama Bripda polisi Sinta. Dia tahu kasus uang palsu di Benoa Bali. Dia tahu kegemparan yang kemudian terjadi di dunia moneter karena ada rencana sebagian besar uang palsu itu akan dipakai untuk menggantikan uang-uang cash dalam almari-almari besi kantor-kantor perbankkan pemerintah di seluruh Indonesia yang hendak di rampok. Atau mungkin saja, sebagian dari uang palsu itu sudah berhasil menyusup ke dalam sistem perputaran uang cash Bank Indonesia. Karena orang biasa akan sulit membedakan ketika uang palsu itu sudah bercampur dalam tumpukan uang yang asli. Karena bahkan nomor serinya sekalipun dibuat sesuai dengan jumlah uang asli yang beredar. Di cetak dengan menggunakan mesin cetak yang sama dengan milik Perusahaan Uang Republik Indonesia. Peruri. Kertas hasil dari daur ulang uang kertas yang sesungguhnya dengan ditambahkan unsur plastik, seperti juga mata uang saratus ribuan yang asli.
Seandainya seorang bankir terkenal di tunjukkan di hadapannya lima uang kertas asli dan lima uang kertas palsu, maka dia pasti akan mengatakan bahwa semuanya asli. Dan untungnya, potongan-potongan uang kertas palsu itu sekarang. Bersama dengan gudang-gudang penyimpanannya sekalian telah dibakar habis. Yang tersisa tinggallah puing-puing baja peti kemas yang di berantakan oleh ledakan bom. Menjadi secuil demi secuil untuk dipunguti yang bisa oleh para pedagang barang-barang rongsokan. Inilah konspirasi pemalsuan uang kertas terbesar abad ini. Konon hampir sekondang operasi Benhard oleh tentara Gestapo-Nazi. Atau operasi Dharmosthead yang di otaki aktor kawakan CIA serta kantor Wakil President Amerika Serikat. Makanan ini yang Bripda polisi Sinta nikmati sambil mendengarkan cerita nyonya Jendral Estianni yang begitu bahagia menerima perhatian dari Bripda polisi Sinta itu, benar-benar enak. Setelah selesai dengan seteguk Mirradelima Punch, nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho mengatakan.
“Setelah ini aku ingin mengajakmu jalan-jalan… tentu kalau kau punya waktu.”
Nyonya JendralEstianni Rahayu Rasmintho kemudian memanggil Letnan satu Evie Widhyasari yang duduk di meja lain dengan isyarat tangan dan permainan matanya. Letnan muda yang merupakan ajudan pribadi nyonya Jendral Estianni sendiri itu beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri dengan penuh hormat. Berjalan pada lututnya mendekat ke sisi nyonya Jendral Estianni dan Bripda polisi Sinta. Dia kemudian mendengarkan bisikan perintah yang disampaikan nyonya Jendral Estianni. Asisten pribadi Panglima itu kemudian kembali untuk menghubungi teman-temannya yang bertugas menjaga keamanan diri nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho. Mengabari petugas-petugas pengamanan jalan raya dan menyiapkan mobil-mobil yang akan mengiringi perjalanan nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho. Kasir keuangan Resto Bu Mirrah di hubungi untuk menutup semua tagihan yang besarnya bisa mencapai dua juta rupiah. Setelah semuanya menyatakan siap. Letnan satu Evie Widyasari kembali mendekati nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho. Melaporkan bahwa semua telah siap berangkat mengantarkan perjalanan nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho sesuai keinginnannya.
Nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho bangkit meninggalkan mejanya, dan pertama-tama berbicara dengan Wahyunni, Ambar, dan Hamidha bahwa mereka bertiga terpaksa harus meneruskan hunting belanja di Plaza ini sendiri karena Bripda polisi Sinta akan ikut dengannya. Dan kemudian memberi isyarat kepada Bripda polisi Sinta untuk mengikutinya pergi. Seperti biasa ketika mereka dalam perjalanan menuju kendaraan yang penuh dengan kerumunan pengunjung. Dua pengawal berseragam safari itu berjalanan lebih dulu membuka jalan. Tujuh orang berjalan mengiringi perjalanan nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho, Bripda polisi Sinta, dan Letnan satu Evie Widyasari asisten pribadinya. Saat kerumunan yang memadati lorong-lorong dalam plaza Megaria itu menuju ke pintu keluar. Security plaza ikut turun tangan membantu. Nyonya Estianni Rahayu Rasmintho begitu memanjakan Bripda polisi Sinta seperti sedang memperlakukan puteri kandungnya sendiri. Bripda polisi Sinta dengan tidak enak hati mengikuti saja apa yang sedang di lakukan nyonya Jendral Estianni ini. Karena biasanya, orang-orang setinggi nyonya Jendral Estianni akan sangat memanjakan seseorang yang jauh lebih rendah darinya, untuk kemudian di jatuhkan sedalam-dalamnya sampai tidak ada lagi yang tersisa untuk dihancurkan.
Bripda polisi Sinta bisa memaklumi kalau jauh di dalam relung hatinya nyonya Jendral Estianni menyimpan dendam kesumat yang sudah lama ingin di ledakkan. Pertama-tama karena dialah Anggitho kemudian terlibat jauh ke dalam masalah sampai-sampai nyonya Jendral Estianni harus mempergunakan seluruh pengaruh kekuasaannya untuk membalas orang-orang yang berusaha menghancurkan puteranya, padahal dulunya mereka adalah teman-teman baik yang selalu memuja dirinya. Kemudian datang permasalahan yang membuat Anggitho menolak jatuh cinta kepada puteri semata wayangnya, Letnan satu Intan Hierrawati. Ini juga gara-gara Bripda polisi Sinta. Seandainya tidak ada Sinta, mungkin Anggitho mau-mau saja di angkat menjadi menantunya. Karena kelihatannya Letnan satu Intan yang di kuya-kuya oleh nyonya Jendral Estianni itu sudah cinta mati kepada Anggitho. Dan tidak terpaksa harus membagi-bagi cinta seperti sekarang ini. Yang pastinya suatu penderitaan tersendiri bagi seorang Letnan satu Intan Hierrawati yang semenjak kecil selalu mendapatkan apapun yang di inginkannya.
Pintu sliding otomatis mobil Toyota Alphard 3.5L a/t hitam itu telah membuka otomatis pada arah nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho datang dari pintu masuk lobby Plaza. Tiga pengawal berseragam Safari dari unit mobil pengawal ford New Everest TDCI Limited Turbo dengan Strobo sirent-light yang lain menjaga sekeliling pintu belakang mobil Toyota Alphard itu. Nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho masuk lebih dulu. Di ikuti Bripda polisi Sinta yang duduk di kursi sebelahnya, dan Asisten pribadinya, Letnan satu Evie yang duduk di kursi jock paling belakang. Begitu pintu sliding mobil Toyota Alphard hitam itu di tutup otomatis, seluruh anggota pengawal berseragam Safari yang menyimpan sarung pistol otomatisnya di sabuk belakang pinggangnya buru-buru masuk ke mobil masing-masing. Begitu pula dengan enam petugas pengawal Puspomdam yang mengendarai mobil mobil dinas Isuzu Panther Smart Hi-Grade putih Puspomdam dengan Strobo blue siren-light, menguing-nguing di depan dan belakang konvoi. Dua dari enam sepeda motor besar pengawal Honda Goldwing-1000 yang bertugas di depan telah menghadangkan sepeda motornya menutup jalur satu arah di depan Megaria Plaza.
Membuat kemacetan yang parah di persimpangan depan alun-alun kota sehingga petugas polantas yang bertugas disana harus mengurai kemacetan dengan susah payah dan berusaha mengalihkan jalur kendaraan. Empat sepeda motor besar Honda Goldwing-1000 meluncur cepat mendahului rombongan nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho meninggalkan Megaria Plaza. Baru setelah seluruh rombongan jauh meninggalkan komplek pertokoan padat pengunjung Megaria Plaza itu, dua motor besar Puspomdam yang menutup jalan menancap gas memburu ke arah rombongan untuk menempati posisinya yang semula. Bripda polisi Sinta tidak tahu kemana tujuan nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho ini pergi. Tapi dengan segenap keteguhan hatinya Bripda polisi Sinta mengumpulkan keberaniannya untuk menerima apapun hukuman yang akan nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho jatuhkan kepadanya. Mereka ternyata tidak kemana-mana. Rombongan pengawal nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho itu hanya berhenti di pinggir jalan dekat jalan masuk ke komplek rumah dinas Makodam. Asisten pribadinya, letnan satu Evie Widhyasari, supir mobil Toyota Alphard dan pimpinan satuan pengawal dalam mobil itu keluar. Dan menutup pintu-pintu kembali dari luar. Pasukan pengawal terlihat hanya berjaga-jaga saja di luar dan tidak melakukan apa-apa.
Jantung Bripda polisi Sinta berdegup kencang. Ini saatnya. Mungkin nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho mau mencampakkan dia dan menendang dia keluar dari kehidupan Anggitho dan keluarga besar angkatnya. Bripda polisi Sinta segera meneguhkan hatinya. Kalau nyonya Jendral Estianni hendak menumpahkan semua kegundahan itu kepadanya, Bripda polisi Sinta sudah benar-benar siap. Dia akan pergi dari sisi Anggitho. Demi kebahagiaan kekasih hati yang sangat di cintainya. Bripda polisi Sinta rela melepaskan Anggitho karena cinta yang benar-benar tulus. Asalkan pelepasan itu memang benar-benar untuk kebahagiaan Anggitho dan kebaikan keluarga angkatnya. Sama sekali bukan bermaksud untuk menyakiti dia.
“Maaf… Sinta. Aku memutuskan harus melakukan pembicaraan pribadi seperti ini denganmu. Agak tidak layak sebenarnya. Tapi aku cemas… di Resto tadi pembicaraan kita secara tidak langsung akan di dengar oleh Wahyunni dan saudara-saudaranya. Dan itu aku sungguh tidak ingin.” Terdengar nada bicara nyonya Jendral Estianni sangat lembut dan berharap pengertian dari Bripda polisi Sinta.
“Aaahhmm… dimana saja nyonya Jendral Estianni ingin berbicara, bagi saya semuanya sangat terhormat.”
“Aku senang kau memakluminya.” Kata nyonya Jendral Estianni menghargai ketulusan penghormatan yang di berikan Bripda polisi Sinta. “Aku sedang dalam suasana yang sangat tidak enak hati saat ini. Dan menganggap perlu untuk membicarakan ini secara pribadi denganmu. Aku tidak tahu puteriku… Letnan satu Intan Hierrawati . Dan secara pribadi pasti kau sudah sangat mengenalnya. Intan memang sejak kecil tidak pernah mau menyerah untuk mendapatkan setiap keinginannya. Dan situasi tertentu kadang itu telah sangat menyulitkan kedudukanku sebagai Panglima komando Kodam.”
“Eeekhhmm… apa yang bisa saya lakukan untuk nyonya Jendral.”
Bripda polisi Sinta benar-benah harus menyiapkan dirinya sekarang. Sejenak Bripda polisi Sinta menghembuskan nafas sesak dalam dirinya. Memberi kesempatan pada Bripda polisi Sinta untuk mengatur dirinya agar bersikap setenang mungkin menghadapi pelampiasan kemarahan nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho yang mungkin sudah tidak terbayangkan lagi itu.
“Aku sungguh tidak tahu kalau puteriku Intan telah membuat kesepakatan… dan itu, tentu sangat menyakitkan bagimu. Aku sangat prihatin… Sinta. Tapi aku ingin kau mengerti, seandainya mungkin kau harus menolak kesepakatan dengan puteriku itu, aku tetap mendukungmu. Harusnya Intan tidak mencampuri urusan ini. Sinta… kau harus mengerti konsekwensi untuk mencintai Anggitho. Dan seandainya harus memilih, aku lebih suka kau yang memiliki Anggitho daripada puteriku sendiri. Karena aku tidak ingin kalau pada akhirnya nanti dia akan sakit hati.”
“Mengapa harus begitu… nyonya Jendral ?”
Bripda polisi Sinta menyatakan rasa penasarannya itu dengan nada tidak percaya. Nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho menyatakan dengan enggan, sepertinya Anggitho akan meninggal besok. Apa sebenarnya rahasia yang sedang di sembunyikan oleh nyonya Jendral Estianni… Mengapa dia serius menyerahkan kepada Bripda polisi Sinta sepertinya Anggitho itu seorang pasien gawat darurat yang sudah tidak mungkin tertolong lagi. Wajah nyonya Jendral Estianni hampir tanpa ekspresi. Dan mata indahnya yang menghitam tajam tidak menunjukkan bahwa dia menyesal dengan ucapan itu.
“Sesungguhnya Sinta… dengan menjalin hubungan dengan Anggitho, kau harus sadar betul bahwa kau tidak mungkin memiliki dia selamanya. Kau hanya bisa mencintainya selama dia seorang Anggitho. Artinya jangan bermimpi terlalu jauh nantinya… untuk menikah, berrumah tangga dengannya, dan apalagi untuk mempunyai anak.” Nyonya Jendral Estianni sedikit cemas.
“Nyonya Jendral… jangan katakan Anggitho sedang sakit parah…”
“Oouuu… tidak. Dia sedang baik-baik saja dan tidak akan meninggal besok. Kalau hanya soal kesehatannya yang kau cemaskan.” Sekali lagi nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho di landa kecemasan. “Yang ingin aku katakan adalah, bila akhirnya kau mengetahui hal ini… maka kau telah masuk ke dalam suatu komunitas rahasia yang tugasnya hanya satu. Menjadi pelayan seumur hidup Anggitho, menjaganya, dan melindunginya seperti kau sedang menjalankan suatu tugas penyamaran yang tidak di ketahui umum. Secara kasat mata orang akan tetap melihatmu sebagai pacar Anggitho. Tapi lebih dalam dari itu… kau… seperti juga aku, dan banyak orang yang telah terlibat dalam operasi ini. Kita adalah satu team pengamanan yang tersembunyi. Sebuah jaringan yang hanya dibangun untuk melindungi Anggitho seorang.”
“Maaf… saya menjadi semakin tidak mengerti, nyonya Jendral.”
“Okkeey… sebelum kau mengetahui lebih dalam.” Nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho kemudian mengeluarkan sebuah dokumen bersegel dari dalam tas kantornya. Lembaran-lembaran rahasia negara yang harus di pahami dan di tanda tangani Bripda polisi Sinta. Melihat sampulnya dengan ragu-ragu, dan menyodorkannya pada Bripda polisi Sinta. “Kau harus menanda tangani ini dulu sebelum mendengarkan lebih lanjut penjelasannku. Karena tanpa legalitas dokumen ini, mungkin setelah selesai aku bercerita tentang Anggitho terpaksa aku harus membunuhmu.”
Bripda polisi Sinta menerima dokumen itu dengan sebatang pulpen tinta berjepit emas yang di sodorkan oleh nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho. Membaca sejenak isi perjanjian yang di bagian atasnya ada logo besar dinas keamanan negara Bosma. Isinya tentang kesediaan Bripda polisi Sinta masuk dalam komunitas perlindungan yang sangat rahasia sifatnya. Orang-orang dari lintas disiplin ilmu yang karena situasi telah menyatakan bersedia direkrut dengan sukarela melaksanakan tugas-tugas sebagai seorang petugas lapangan direktorat tujuh Bosma.
“Artinya sekarang… saya menjadi seorang agen resmi dinas rahasia Bosma ?” Bripda polisi Sinta menyatakan rasa ingin tahunya dengan sungguh-sungguh pada nyonya Jendral Estianni.
“Secara tidak langsung… iya. Kau akan di daftar resmi dan menerima sedikit pembinaan di pusat orientasi dan pendidikan dasar Bosma. Memperoleh dokumen asuransi seorang agen yang resmi. Mendapatkan semacam pesangon balas jasa yang akan di transfer dalam bentuk deposito atas namamu di suatu Bank Pemerintah pada setiap akhir tahun. Tapi kau tidak bisa menunjukkan kepada siapa saja bahwa dirimu kini seorang agen resmi Bosma. Kau akan tetap seorang Bripda polisi Sinta. Tapi kariermu dalam institusi kepolisian akan sangat dibantu dengan peran gandamu sebagai agen sleeper Bosma ini.”
“Hhmm… baik. Saya akan tanda tangani ini.” Kata Bripda polisi Sinta mantap dan kemudian membubuhkan ukiran tangannya sebagai tanda persetujuan di atas dokumen itu. Setelah melakukannya lalu mengembalikan dokumen kembali pada nyonya Jendral Estianni berikut dengan pulpen tintanya. “Baiklah… sekarang saya siap mendengarkan. Siapa sesungguhnya Anggitho.”
“Makasih… Sinta. Sekarang kau membuatku lega.” Nyonya Jendral Estianni berkata dengan tersenyum sambil mengembalikan dokumen itu masuk ke dalam tas kantornya dan menguncinya rapat.
“Jadi setelah semua ini… akankah anda menjelaskan kepada saya, ada apa sebenarnya ?”
“Okeey… sebelum mulai menceritakan siapa sebenarnya Anggitho.” Nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho memulai percakapannya. “Seberapa jauh kau pernah mendengar tentang keluarga besar Industrialis multimillioner Syech arh-Rachmmaan al-Muhammaad asy-Shubbin Otmmar al-Abdoullay Behrdourrani al-Zayyeed Husni ?”
“Pemilik Imperium businnes dengan jaringan perusahaan di seratus negara di dunia itu. Tentu saja saya tahu. Delapan menantunya… para pemimpin negara-negara adidaya dan pewaris kekaisaran di seluruh dunia. Dan Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke… penguasa yang sesungguhnya dibalik tahta Pemerintahan kabinet Paduka President Albertinus Senno Suhastommo, adalah salah satu keturunannya.”
“Apa kau juga pernah tahu… apa yang di lakukan keturunan keluarga besar Imperium businnes multimillioner Husni terhadap anak cucunya di republik ini ?” nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho melanjutkan pertanyaannya.
“Kalau tidak salah… ada suatu program kontroversial yang disebut Naturalisasi Kerakyatan keluarga Husni. Memasukkan anak cucu mereka ke dalam program penyamaran ketat yang sangat terjaga kerahasiaannya di belantara kemiskinan Indonesia yang entah itu di mana. Memberi kehidupan baru pada pangeran-pangeran kecil itu sebagai rakyat jelata yang harus berjuang sendirian untuk sekedar makan. Hal yang bahkan seumur hidup tidak akan pernah mereka rasakan selama menjadi pangeran.”
“Itu benar… tapi sesungguhnya mereka tidak miskin benar. Mereka masih di kelilingi oleh pengawal-pengawal yang tidak terlihat. Sebagian memang agen-agen keamanan Bosma sendiri yang di latih khusus untuk pekerjaan itu. Mereka menyebutnya direktorat X atau ekspatriat dari direktorat operasi sembilan yang sangat rahasia. Tapi sebagian lagi adalah orang-orang biasa dari direkrut untuk tugas pengamanan karena situasi. Seperti keluarga yang di tempati, misalnya. Atau orang-orang di sekelilingnya yang kebetulan mempunyai latar belakang karier kemiliteran. Yang sudah tinggal di daerah itu jauh sebelum pangeran keluarga Husni menjalani program penyamarannya.”
“Apakah… Anggitho… salah satu dari… pangeran kecil… itttuu…?” Bripda polisi Sinta menyatakan sekelumit dugaan yang melintas dalam pikirannya.
“Sayangnya… tebakanmu itu benar. Anggitho mempunyai nama asli His Excellency of Highness Prince Demmetrio Alexandher Josse Descartes Ingenieur.”
“Nyonya Jendral… hendak mengataka bahwa… Anggitho adalah… putera kandung Hyang Mulia Jendral besar Bosma Gleizzyardhin Sadeghzadeh Ingenieur Youkke ?” Bripda polisi Sinta masih mencoba meraba-raba dalam ketidak percayaannya.
“Seperti itulah faktanya. Suatu komunitas yang elite berkantor di lantai basement gedung megah Kondominium duapuluh lantai milik keluarga Husni di Lingkar Natrium Prospekz nomer empat yang kesohor itu. Terdiri dari staf managemant Husni dan pengendali-pengendali yang menggerakkan para sleeper dari direktorat X Ditro-9 Bosma. Aku salah satu yang mereka sebut agen Sleeper itu walau dengan kedudukanku yang setinggi ini, tetap dibawah Kendali Operasi atau KO mereka. Kau mengerti ?”
“Astaga… dan, sekarang.” Bripda polisi Sinta menjadi lemas seketika mengetahui fakta bahwa Anggitho itu ternyata putera sang Penguasa Bayangan yang paling di takuti di Republik ini.
Pemimpin dari perserikatan-perserikatan di sebuah negeri yang penuh dengan persekongkolan ini. Yang otaknya setajam silet, yang perintahnya tidak terbantahkan di Republik ini. Seseorang yang telah berani membohonginya, atau sengaja berkomplot untuk menentang dia selalu akan berakhir dengan terbujur kaku di tanah perkuburan Penjara kerja paksa belantara tambang tembaga yang ekstrim di Kiamanno-Papua. Seseorang yang kenyang pengalaman politik di Republik ini akan selalu memelihara insting yang kuat untuk bisa tetap berkuasa. Dan dengan cepat akan menghindari setiap persoalan yang bersinggungan dengan kepentingan pribadi Hyang Mulia Jendral besar Bosma Gleizzyardhin Sadeghzadeh Ingenieur Youkke. Bripda polisi Sinta masih tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya setelah mengetahui kenyataan yang sebenarnya dari Anggitho. Apakah nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho akan langsung mengirimnya ke pusat Orientasi dan Pendidikan dasar dinas rahasia Bosma seperti yang telah di katakan. Ataukah sedikit memberinya kesempatan untuk berpamitan kepada Anggitho sekembalinya dari pelesiran dengan Letnan satu Intan Hierrawati nanti.
“Jadi… Sinta. Kau telah mengerti, mengapa orang yang telah berani mengusik Anggitho mendapatkan hukuman yang sangat berat. Sepertinya lebih dari aku memperlakukan seandainya Anggitho itu putera kandungku sendiri. Karena di belakang nama Anggitho yang baru mengenal kota Malang ini ada kekuasaan tanpa batas Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke.” Nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho menjelaskan pada Bripda polisi Sinta.
“Bagaimana dengan nasib saya sekarang ?”
“Seperti yang aku bilang di awal. Pertama-tama kau akan melaporkan diri ke Kondominium mewah yang di lindungi pakta kekebalan hukum diplomatik di Natrium Prospekz nomor empat.” Nyonya Jendral Estianni kemudian mengeluarkan sebuah kartu nama yang harus Bripda polisi Sinta berikan kepada seseorang nanti. Tidak ada identitas apa-apa dalam kartu nama yang lebih menyerupai kartu kunci elektronis. Di atasnya hanya tertera sederet nomor acak yang tidak berarti apa-apa. “Berikan kartu ini kepada petugas portal dan katakan kau harus bertemu dengan kepala protokol dan pengacara rumah tangga, Dr. Anissa Tiara Widhuri SH, Ph.D, Js.D, Laws Master. Dia koordinator kepala-kepala seksi departemen Lima direktorat Expatriat Bosma yang bekerja untuk pengamanan Anggitho. Karena aku yang merekomendasikan penugasanmu, aku yakin mereka tidak terlalu banyak pertanyaan.”
“Kapan saya harus mulai melapor ?”
“Karena kau sudah menanda tangani dokumen pengajuan sukarela untuk di rekrut organisasi Bosma. Kau akan berangkat saat ini juga. Letnan satu Evie telah menghentikan taksi untukmu di seberang jalan sana dan telah dibayar lunas untuk mengantarmu ke Natrium Prospekz. Kau siap ?” nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho memastikan.
“Bagaimana saya harus menjelaskannya pada Anggitho… atau saya harus mulai membiasakan menyebut beliah His Excellency of Highness Prince Demmetrio Alexandher Josse Ingenieur ?”
“Oouuh… dia tetap Anggithomu yang manis. Dan tidak akan pernah disebut His Excellency of Prince Demmetrio Alexandher Josse kecuali sedang berada dalam perjamuan-perjamuan keluarga besar Imperium businnes multimillioner Husni yang resmi, dimana saat-saat penting itu Anggitho akan di pungut dari program penyamarannya secara sembunyi dan di terbangkan diam-diam keluar kota Malang. Kau tidak usah cemas soal Anggitho. Pada saatnya nanti, dia hanya diberitahu kau telah masuk komunitas Keamanan Rahasia atau KR. Dan Anggitho tahu maksudnya.” Kata nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho.
“Saya perlu mengemasi pakaian ganti saya di rumah dinas asrama.”
“Kau tidak akan kembali ke rumah itu dulu sampai selesai masa Orientasi dan Pendalaman dasar-dasar Inteligent di Pusat Pendidikan dinas rahasia Bosma. Mereka yang akan mempersiapkan seragam baru dan kebutuhan-kebutuhan pribadimu selama pendidikan. Sudah jelas ?”
“Siap… cukup jelas nyonya Jendral.”
“Kalau begitu berangkatlah sekarang. Aku mendo’akanmu dari sini.”
Tidak ada lagi yang bisa di perdebatkan. Bripda polisi Sinta mengangguk untuk yang terakhir kalinya di hadapan nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho dan menarik handle pintu sliding untuk membukanya. Di luar sudah menyambut Letnan satu Evie yang segera mengantarkannya ke sebuah taksi yang beberapa saat sudah parkir di seberang jalan. Tanpa berkata apa-apa. Dan memang tidak ada yang perlu di katakan lagi kepada Bripda polisi Sinta. Di dalam tentu, nyonya Jendral Estianni sudah menjelaskan semua detail kegiatan yang akan dia lakukan. Yang bahkan Letnan satu Evie sendiri tidak tahu itu apa. Dan mengapa dia di perintahkan untuk mencarikan taksi dan membayarnya untuk tujuan ke Gedung Kondominium Natrium Prospekz. Alasan-alasan itu adalah urusan nyonya Jendral Estianni sendiri. Dan Letnan satu Evie merasa tidak berhak menanyakannya. Baginya, dia hanya melaksanakan tugas. Ketika hendak masuk ke kursi belakang taksi yang telah dibuka pintunya oleh Letnan satu Evie, Bripda polisi Sinta berkata padanya.
“Makasih taksinya, Letnan Evie.”
“Semoga perjalanan anda menyenangkan Bripda polisi Sinta.” Kata Letnan satu Evie seraya menutup pintu itu kembali. Lalu memberi isyarat kepada supir taksi untuk segera berangkat.
Mobel taksi telah meluncur pergi dari kawasan padat kendaraan jalan utama Brawijaya itu. Di seberang sana para pengawal-pengawal berseragam safari telah masuk ke mobil mereka masing-masing dan mesin-mesin mobil di hidupkan. Letnan satu Evie Widyasari bergegas menyeberang menuju ke mobil hitam Toyota Alphard tempat nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho sedang menunggunya. Letnan satu Evie membuka pintu sliding mobil Alphard dan masuk ke dalamnya. Pimpinan pengawalan segera memerintahkan konvoi untuk berangkat. Motor-motor besar Honda Goldwing-1000 menyalakan lampu-lampu biru sirine yang menimbulkan suara gaduh. Menyibak kepadatan kedaraan di kawasan jalan utama Brawijaya itu di ikuti konvoi mobil-mobil pengawal yang lain. Kini Letnan satu Evie duduk di samping nyonya Jendral Estianni. Mendengarkan perintah-perintahnya dan mencatat dengan mesin PC tablet yang dibawahnya. Membacakan agenda-agenda untuk nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho yang telah di jadwalkan beberapa hari sebelumnya. Mengganti beberapa kegiatan yang perlu dan memindahkannya ke jam dan hari yang lain. Atau menambahkan beberapa kegiatan yang tiba-tiba terpikirkan dan di anggap sangat penting oleh nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho.
Taksi telah menepi di seberang jalan protokol Natrium Prospekz yang sangat lebar dengan dua jalur utama diantara bangunan taman tengah kota. Seseorang tidak bisa menyeberang begitu saja di kawasan ini. Tapi sebuah lorong bawah tanah seratus meter dari kawasan itu telah di gunakan beberapa orang pejalan kaki untuk menyeberang. Bripda polisi Sinta melihat penunjuk arah gerbang lorong bawah tanah yang banyak di lengkapi kamera cctv itu. Bergegas menuju lorong masuk itu dan menikmati sentuhan dingin udara AC yang dihembuskan di sepanjang lorong penyeberangan hampir tigapuluh meter jauhnya itu. Muncul di lorong yang lain Bripda polisi Sinta harus berjalan balik menuju ke gerbang masuk Kondominium mewah duapuluh lantai milik Husni. Yang di jaga oleh petugas bersenjata dari Puspomdam ini. Dan Bripda polisi Sinta menunjukkan kartu masuk elektronis itu.
“Saya harus bertemu dengan Dr. Anissa Tiara Widhuri.”
“Sebentar.”
Petugas dari Puspomdam di dalam portal jaga itu mengamati kartu masuk elektronis itu dan menggesekkan dalam alat deteksi khusus. Membaca informasi rahasia yang tercantum di dalamnya mengenai semua hal yang menyangkut latar belakang dan riwayat hidup Bripda polisi Sinta. Rupanya nyonya Jendral Estianni melalui tangan-tangan yang tidak terlihat telah mengcopy dokumen rahasia di pusat bank informasi kepolisian Negara tentang latar belakang Bripda polisi Sinta yang di perlukan. Riwayat sepanjang pendidikan formalnya dari sekolah dasar, hingga masuk sekolah bintara kepolisian. Catatan-catatan penting mengenai pergaulannya dan dinyatakan bahwa Bripda polisi Sinta bersih dari segala cacat hukum dan layak mendapat kesempatan masuk dalam komunitas Keamanan Rahasia Anggitho Pringadhi. Seorang petugas Puspomdam yang lain kemudian menerima kartu masuk elektronis itu dan memanggil Bripda polisi Sinta untuk mengikutinya. Tanpa melalui petugas receptionist di Lobby Bripda polisi Sinta langsung dibawanya menghadap kepala seksi pengawal bermotor. Seorang kapten Puspomdam yang bekerja untuk Kasintel Brigjen teritorial Made Windhu Kaemanna.
Kapten pom Setyonno Budhi membawahkan lima anggota Puspomdam yang diperbantukan untuk pengamanan konvoi His Excellency of Prince Demmetrio Alexandher Josse. Menggunakan empat motor besar Honda Goldwing-1000 dan sebuah mobil dinas Isuzu Panther Smart Hi-Grade putih Puspomdam dengan Strobo blue siren-light. Kolega Kapten pom Setyonno dalam komunitas Keamanan Rahasia ini antara lain Iptu brimob Mardhionno yang memimpin satuan penyelamatan darurat. Kapten Bosma Dwi Satryo yang memimpin lima agen keamanan departemen Lima seksi pengamanan gedung-gedung milik pribadi His Excellency of Prince Demmentrio Alexandher Josse, Agen senior HSb Kikit Wahyuantho yang membawahkan lima agen keamanan HSb Husni Security Brigade untuk keamanan pribadi khusus dari kementerian rumah tangga keluarga Husni sendiri, dan Mayor Bosma Supraptonno yang memimpin lima agen keamanan departemen Lima seksi perlindungan pribadi. Ada KaStaf rumah tangga His Excellency of Prince Demmetrio Alexandher Josse Letnan kolonel Bosma Sinto Enggaronno, dan Dr. Anissa Tiara Widhuri SH, Ph.D, Js.D, Laws Master. Dia koordinator kepala-kepala seksi departemen Lima direktorat Expatriat Bosma yang bekerja untuk pengamanan Anggitho.
Setelah bertemu Kapten Setyonno ini, Bripda polisi Sinta di perkenalkan pada KaStaf rumah tangga, Letkol Bosma Sinto Enggaronno yang kemudian membawanya ke Dr. Anissa Tiara Widhuri SH, Ph.D, Js.D, Laws Master. Yang sebelumnya telah berbicara secara pribadi melalui sambungan telephone yang di acak dengan nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho. Dr. Anissa Tiara mempersilahkan Bripda polisi Sinta duduk dalam ruangan kantornya yang luas dengan dinding kaca baja yang menjadi latar belakang meja kerjanya. Langsung menghadap ke arah taman di lantai dua gedung kondominium super mewah itu. Ruangan enam kali delapan meter itu di lengkapi dengan toilet pribadi. Seperangkat soffa dan teve LG Plasma 42PT250 berukuran 42 inch dengan Dynamic Contrast Ratio 1.000.000:1 dan Panel Resolution 1024×768(HD Resolution). Home Theater HB-806 TM denga 3D BlueRay Disc Playback, 850W Power, dan External HDD Playback. Ruangan sangat bersih. Di rawat dengan baik setiap pagi dan sore hari oleh sepasukan cleanning service yang bekerja penuh duapuluh empat jam untuk Kondominium duapuluh lantai ini.
Kini Bripda polisi Sinta hanya bisa menunggu apapun yang akan di lakukan orang nomor satu di kementerian rumah tangga His Excellency of Prince Demmetrio Alexandher Josse itu. Mempelajari data pribadi Bripda polisi Sinta dari informasi yang dimasukkan oleh staf nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho ke dalam kartu masuk elektronis. Dr. Anissa Tiara menatap layar plasma dalam komputer Laptop-nya dan mengangguk tertegun. Jenjang karier Bripda polisi Sinta dalam daftar riwayat kerjanya cukup mengagumkan. Beberapa prestasi pernah dia raih selama tahun-tahun pertama penugasan sebagai bintara muda yang sedang magang. Sebagian dari prestasi itu adalah berkat sokongan Kombes polisi Bagus Wibawa yang sedang berusaha mendapat simpati dari keluarga tuan Andhre Permana Himawan. Karena saat itu Bripda polisi Sinta sudah menjadi pacar kesayangan Don juan Sonny Putrahimawan.
“Karier yang tergolong bagus untuk seorang bintara polisi pemula sepertimu. Prestasi-prestasi ini cukup membuatmu cepat naik pangkat menjadi brigadier satu sebentar lagi, dan mungkin seleksi masuk ke jenjang promosi menjadi Ajun Inspektur muda.”
Bripda polisi Sinta mengangkat wajahnya. Melihat Dr. Anissa Tiara masih terus mengamati daftar riwayat kariernya di institusi kepolisian yang terlampir lengkap sampai jenjang penilaian prilaku di lingkungan asrama polisi. Bripda polisi Sinta ingin menanggapi pujian itu tapi urung. Kelihatannya tanggapan tidak diharapkan oleh Dr. Anissa saat ini.
“Baiklah… Sekarang kita berbicara soal rencana kerja barumu, Bripda polisi Sinta.” Kata Dr. Anissa Tiara mengakhiri pengamatannya pada layar komputer Laptop. Meletakkan tangannya di atas meja dengan menyatukan ujung-ujung jemarinya sambil berfikir. “Dengan sederet prestasimu dalam kesamaptaan dan kejelianmu dalam tembak reaksi. Kau punya masa depan yang bagus untuk berkarier di dinas Inteligent Bosma. Tentunya bila kau tidak sedang dalam situasi menjadi bagian dari komunitas Keamanan Rahasia Anggitho Pringadhi.”
“Apa bisa kita percepat formalitas ini. Keinginan saya sekarang hanya melakukan apa yang harus saya jalani untuk menjadi bagian dari komunitas Keamanan Rahasia Anggitho Pringadhi. Selanjutnya saya bisa cepat kembali di sisi Anggitho sebelum dia semakin gelisah dengan ketidak hadiran saya.” Kata Bripda polisi Sinta menghentikan basa-basi menjebak Dr. Anissa Tiara. Harapan-harapannya jelas sengaja untuk menipu Bripda polisi Sinta. Toh… tidak mungkin Bosma akan mau merekrut wanita biasa-biasa saja seperti dia kalau saja tidak karena unsur Anggitho. “Saya mencintai Anggitho sepenuh jiwa dan raga saya. Dan berada di dekatnya melebihi kebahagiaan mendapatkan promosi apapun.”
“Apa kau sadar… bahwa cintamu itu nantinya akan hanya sebatas melayani sebagaimana seorang hamba sahaya kepada Pangerannya. Kau tidak akan pernah di ijinkan berhubungan lebih dari sekedar pelayan dengan tuannya, apalagi berfikir untuk bisa di nikahi. Kalau terjadi skandal di belakang hari… sampai mungkin saja kau mengandung putera His Excellency of Prince Demmetrio Alexandher Josse, kami akan lebih mudah menyingkirkanmu daripada membawa kesulitan ini di hadapan His Excellency of Prince Demmetrio Alexandher Josse. Mengerti maksudku.” Kata Dr. Anissa Tiara memperingatkan.
“Saya bisa memaklumi itu. Dan… saya tentu, akan sangat menjaga diri.”
Bripda polisi Sinta sudah pasti tidak bodoh membuat dirinya hamil untuk menghancurkan kebahagiaannya sendiri. Meskipun apa yang telah mereka lakukan bersama-sama itu sudah melangkah terlalu jauh. Bripda polisi Sinta bukanlah anak kemarin sore yang tidak mengerti apa-apa tentang konsekwensi pergaulan bebas. Dan sejak pertama dia sudah sangat menjaga resiko-resiko itu. Antaranya dengan memilih menenggak habis larutan kehidupan yang Anggitho muntahkan saat remaja ingusan ini habis-habisan melenguh di puncak kenikmatannya. Atau mengajari Anggitho memuntahkan larutan kehidupan itu hingga menggenangi lembah kecil di tengah-tengah pusarnya yang lembut. Apapun asalkan tidak harus membiarkan larutan kehidupan yang membawa mereka berdua ke puncak seribu kenikmatan itu menetes ke mulut rahimnya. Toh kebahagiaan yang sama-sama mereka rasakan saat menggapai kenikmatan itu juga tidak ada bedanya. Sama-sama merasakan sentuhan-sentuhan surga yang membahagiakan. Sama-sama merasakan deburan-deburan badai asmara yang membawa perasaan mereka melambung ke awang-awang. Hanya akhirnya saja yang berbeda. Tapi itu justeru memberikan sensasi yang luar biasa.
“Baiklah… Bripda polisi Sinta. Ini yang akan kau lakukan.” Akhirnya Dr. Anissa Tiara menyatakan. Selembar surat pengantar sudah dia keluarkan dari dalam laci meja kerjanya. Untuk kemudian di sodorkan kepada Bripda polisi Sinta. Dengan di sudut atasnya melampirkan kartu masuk elektronik yang Bripda polisi Sinta dapatkan dari nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho. “Kau akan membawa surat ini dan menunjukkan identitasmu ke kantor pusat Bosma di jalan protokol Dr. Sediyatmo. Tepatnya di pangkalan militer komando rahasia Saber-Ditro 9 Bosma yang menjadi pusat kegiatan kesamaptaan dan seleksi jenjang karier seluruh anggota Bosma yang tersebar di propinsi-propinsi seluruh Indonesa. Sekolah staf dan komando yang akan mempersiapkan dirimu selama tiga bulan untuk nantinya siap menjadi bagian dari komunitas Keamanan Rahasia.”
“Saya harus berangkat ke Jakarta selama tiga bulan ?”
“Ini masa Orientasi dan pembinaan dasar tersingkat yang bisa kau ambil untuk bisa masuk komunitas Keamanan Rahasia. Biasanya kami harus memasukkanmu dulu dalam pendidikan dasar akademi Angkatan Darat selama dua tahun. Berdinas aktif selama enam bulan di kesatuan polisi militer, dan baru bisa menempuh pembinaan dinas rahasia selama satu tahun.” Dr. Anissa Tiara menegaskan.
Waktu tiga bulan bukanlah waktu yang singkat untuk berpisah dengan Anggitho. Dan selama tiga bulan itu Anggitho akan terus lengket dengan Letnan satu Intan Hierrawati. Mungkinkah Anggitho masih akan mengingat dia setelah penantian panjang selama tiga bulan penuh itu. Apalah artinya semua pengorbanan ini bila setelah Bripda polisi Sinta lulus pendidikan, justeru mereka tidak lagi punya perasaan yang sama. Anggitho tidak lagi menganggapnya sebagai pacar. Dan mungkin saat itu Anggitho sudah benar-benar jadian dengan letnan satu Intan Hierrawati Rasmintho.
Sperti yang sudah Bripda polisi Sinta ketahui sebelumnya. Tentang apa yang disebutnya struktur organisasi dinas keamanan negara paling besar dan hebat. Bosma. Khususnya struktur organisasi pada departemen Lima direktorat Expatriat Ditro-9 Saber-Bosma. Direktur dan wakil direktur departemen Lima yang menangani tugas pengamanan dan kenyamanan His Excellency of Prince Demmetrio Alexandher Josse. Dalam rutinitas kerjanya selalu dibantu empat unsur satuan staf. Ada KaStaf Operasi, KaStaf Inteligent, KaStaf Personel, dan KaStaf Logistik. Setiap staf sehari-harinya akan selalu dibantu masing-masing biro sekretariat, biro operasional Markas, dan biro keuangan. Yang ketiga-tiganya masuk dalam struktur layanan administratif. Ada perwakilan operasi kantor Lima di Seksi A meliputi kegiatan pengamanan yang berpusat di Gedung Kondominium Husni Jakarta, Seksi B meliputi kegiatan pengamanan yang berpusat di Gedung Kondominium Husni Bandung, Seksi C meliputi kegiatan pengamanan yang berpusat di Gedung Kondominium Husni Malang, dan Seksi E meliputi kegiatan pengamanan yang berpusat di Gedung Kondominium Husni Metro Willis. Karena suatu alasan tertentu Seksi D dalam organisasi ini di tiadakan.
Kemudian ada departemen-departemen lain yang penugasannya langsung di tangani oleh Markas besar Direktorat Expatriat. Meliputi departemen Deteksi, departemen Komunikasi Elektronik, Departemen Kesehatan, Departemen Peralatan, Departemen Pembekalan dan Angkutan, dan Departemen kavaleri serbu yang seluruh fungsinya jelas untuk mendukung kegiatan dari departemen pelaksana Lima. Petugas-petugas dalam setiap Seksi itu seperti halnya yang ada di Gedung Kondominium keluarga Husni Lingkar Natrium Prospekz-4 Malang. Selalu terdiri dari Seksi kepala seksi pengawal bermotor. Seorang kapten Puspomdam yang bekerja untuk Kasintel Brigjen teritorial Made Windhu Kaemanna. Kapten pom Setyonno Budhi membawahkan lima anggota Puspomdam yang diperbantukan untuk pengamanan konvoi His Excellency of Prince Demmetrio Alexandher Josse. Menggunakan empat motor besar Honda Goldwing-1000 dan sebuah mobil dinas Isuzu Panther Smart Hi-Grade putih Puspomdam dengan Strobo blue siren-light. Kolega Kapten pom Setyonno dalam komunitas Keamanan Rahasia ini antara lain Iptu brimob Mardhionno yang memimpin satuan penyelamatan darurat.
Kapten Bosma Dwi Satryo yang memimpin lima agen keamanan departemen Lima seksi pengamanan gedung-gedung milik pribadi His Excellency of Prince Demmentrio Alexandher Josse, Agen senior HSb Kikit Wahyuantho yang membawahkan lima agen keamanan HSb Husni Security Brigade untuk keamanan pribadi khusus dari kementerian rumah tangga keluarga Husni sendiri, dan Mayor Bosma Supraptonno yang memimpin lima agen keamanan departemen Lima seksi perlindungan pribadi. Ada KaStaf rumah tangga His Excellency of Prince Demmetrio Alexandher Josse Letnan kolonel Bosma Sinto Enggaronno, dan Dr. Anissa Tiara Widhuri SH, Ph.D, Js.D, Laws Master. Dia koordinator kepala-kepala seksi departemen Lima direktorat Expatriat Bosma yang bekerja untuk pengamanan Anggitho. Tugas pokok Seksi perlindungan pribadi departemen Lima seperti yang di jalankan Mayor Bosma Supraptonno adalah mengamankan fisik langsung dari jarak dekat terhadap His Excellency of Prince Demmetrio Alexander Josse. Dalam penugasannya dia dibantu oleh Agen Senior keamanan pribadi HSb Husni seperti Kikit Wahyuantho.
Seksi satuan penyelamatan darurat seperti yang di pimpin oleh Iptu Brimob Mardhionno. Dan anggota-anggota komunitas keamanan rahasia seperti nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho, Letnan satu Evie Widyasari, Ustad Santri Nur Achmmad Murtadho yang sekarang telah di tarik sepenuhnya ke dalam kesatuan sebelumnya merangkap sebagai sleeper Bosma. Rommo Yai Haji asy-Sheikh Alli Hassan yang sampai saat skarang ini tidak pernah mengetahui siapa sesungguhnya Anggitho. Dan sekarang Bripda polisi Sinta. Apakah nanti ketika namanya sudah tidak di butuhkan sebagai agen pendamping Bosma seperti halnya Ustad Santri Nur Achmmad Murtadho, yang dia dapatkan sebagai balas jasanya hanya kenaikan pangkat berjenjang dari institusi kepolisian seperti yang di alami Ustad Santri Nur Achmmad sendiri. Tapi Aaach… Bripda polisi Sinta sudah tidak perduli. Yang penting baginya sekarang, pacaran denga remaja jangkung yang masih ingusan dan sangat ganteng itu sungguh menyenangkan. Sebagai orang yang di persiapkan untuk selalu dekat dengan Anggitho dalam situasi yang bagaimanapun. Nantinya Bripda polisi Sinta akan banyak di bina di Pusat Pelatihan Penanggulangan Teror komando pasukan Saber K-81. Di latih oleh orang-orang terbaik dari Detasemen Gultor Rimbasti, Detasemen Jala Mangkara komando Kopaskha AL, Detasemen Intai Para Amfibhi KiPam Marinir, dan Detasemen Bravo 99 Korps KomSraad AU.
Bripda polisi Sinta yang telah menguasai dasar-dasar kesamaptaan dan beberapa kali juara dalam tembak reaksi akan jauh lebih mudah beradaptasi dengan gaya pendidikan mereka. Sebuah mobil hitam Ford New Focus Ghia 2.0cc bernomor korps diplomatik milik Gedung Kondominium Lingkar Natrium Prospekz telah menunggu di lobby depan. Duapuluh menit kemudian Bripda polisi Sinta di antar keluar oleh seorang agen keamanan departemen Lima Bosma. Menuju ke mobil yang telah di siapkan itu. Mereka melaju lambat menyusuri jalan beton menurun yang di apit areal taman. Menuju gerbang besar dari pelat baja setinggi tujuh meter yang perlahan-lahan menggeser ke samping di tarik dengan motor listrik. Empat petugas Puspomdam yang berjaga di dalam dan luar portal itu memberi hormat serempak kepada Bripda polisi Sinta. Sebagai penghormatan selamat datang karena sebentar lagi dia akan menjadi bagian dari komunitas Keamanan Rahasia yang vital bagi program penyamaran ketat Anggitho Pringadhi. Membelok ke dalam arus searah lalu lintas kendaraan yang padat lancar itu menuju ke arah Bandara Abdurrochman Saleh. Di sana telah menunggu sebuah Embraer 135 Bj dari ETA. Express Transport Antar Benua yang harusnya telah terbang limabelas menit yang lalu.
Traffic Air Controll berkali-kali menolak memberikan ijin terbangnya karena sebuah permintaan yang sangat menjengkelkan dari otoritas keamanan diplomatik Kondominium Lingkar Natrium Prospekz. Agen keamanan departemen Lima Bosma menunjukkan tanda pengenalnya yang serba guna itu kepada petugas imigrasi dan mengantar sendiri Bripda polisi Sinta ke dalam pesawat. Saat di dalam pesawat Bripda polisi Sinta harus menghadapi tatapan puluhan pasang mata tidak senang dari empatpuluh delapan penumpang yang merasa waktunya tersita sia-sia. Tapi tiga pramugari cantik yang menyambutnya di pintu pesawat tetap bersikap manis dan menunjukka tempat duduk Bripda polisi Sinta di barisan Vip vi-ai-pi di depan dengan senyum. Agen keamanan departemen Lima Bosma itu menyarankan Bripda polisi Sinta untuk menjaga diri, meminta diri dengan sopan, dan meninggalkan lorong apron pada saat pintu geser pesawat di turunkan. Embraer 135 Bj itu menekuni garis putih yang mengarah ke landasan pacu. Berbicara denga Menara Traffic Air Controll bahwa paket telah di terima. Petugas di menara TAC itu mengucapkan Makasihnya yang dibalas ucapan balik dengan nada sinis yang di sembunyikan. Petugas Menara TAC memberitakan kondisi cuaca di atas kota Malang, informasi arah angin yang penting, dan mengucapkan Caiyo pada pilot saat Embraer 135 Bj itu mulai berpacu pada jalur cepat. Dan kemudian pesawat itu Airborne.
Malam itu sedikit di luar dari kebiasaan. Mobil Toyota Alphard 3.5L a/t hitam yang menjemput Letnan satu Intan Hierrawati dan Anggitho tidak menuju ke arah komplek rumah dinas asrama para putera angkat keluarga nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho. Tapi malah berjalan lurus dari arah Bandara Abdurrochman Saleh menuju ke kediaman resmi Pangko Daerah Militer Jawa V di jalan utama Brawijaya nomor satu. Rumah besar tiga lantai yang asri dengan dua pohon besar menaungi pelataran utama rumahnya. Sebuah kantor penjagaan yang cukup menampung enambelas orang prajurit pengawal berdiri dibelakang portal gerbang. Yaitu bangunan pintu pagar dari pelat baja setinggi tujuh meter yang dijalankan dengan motor listrik. Pelatarannya cukup besar dengan sebuah kolam mancur berukuran duabelas meter persegi dan sebuah lapangan tenis di sebelahnya. Tempat parkirnya bisa menampung sekitar sepuluh mobil. Jalan melingkar yang di apit dengan taman itu panjangnya hampir setengah kilometer. Termasuk jalan masuk yang terus mengarah ke lobby bangunan belakang. Mobil Alphard hitam 3.5L a/t membelok ke arah kediaman resmi Pangko Daerah Militer Jawa V dan pintu portal setinggi tujuh meter itu bergerak perlahan-lahan menimbulkan suara yang berderak-derak.
Menerima hormat dari tiga prajurit pengawal berseragam harian Angkatan Darat di kantor penjagaan dalam itu mobil Alphard hitam terus meluncur mengitari kolam mancur. Membelok ke jalan samping yang langsung menuju ke taman peristirahatan dengan gasebo di belakang. Di sana sudah ada nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho dan suaminya. Tuanku Prof. Dr. Agung Setiawan Rasmintho yang sedang bersantai dengan secangkir kopi Ekspresso di dalam Gasebo taman belakang. Rumah besar duapuluh kamar yang dijaga enambelas prajurit pengawal seksi pengamanan khusus. Yaitu seksi pasukan yang bertugas mengamankan rumah kediaman resmi Pangko Daerah Militer Jawa V. Lalu ada enambelas prajurit pengawal seksi Pengawal pribadi. Yaitu seksi pasukan yang bertugas mengawal nyonya Jendral Pangko Daerah Militer Jawa V sendiri secara melekat. Di tambah delapan anggota Pengawal pribadi untuk Tuanku Prof. Dr. Agung Setiawan Rasmintho. Bagaimanapun nyonya Jendral Pangko Daerah Militer Jawa V adalah penguasa tertinggi institusi militer satu propinsi. Memimpin lebih dari limabelas ribu tentara Angkatan Darat yang menguasai seluruh pesisir Jawa bagian Timur. Nampaknya mengamanan ekstra dan rumah dinas yang bagai sebuah Istana itu cukup pantas untuk di miliki nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho. Dua pengawal mereka, Serka pom. Wahyu dan Serda pom. S
Menghadapi situasi kisruh yang tidak menentu yang sedang bergolak di Jakarta kini. Bahkan nampak tambahan dua unit Pansher Cadhillac Gage V-150 yang dilengkapi turret dudukan Canon 90mm. Dan sebuah Pansher Bradley yang dipersenjatai senjata kaliber 0.50mm MacMillan M-2. Pintu sliding dibuka oleh seorang pengawal pribadi yang sedang bertugas di taman belakang itu dengan seragam safari. Hanya di sisi Anggitho yang nampak jelas di rumah besar ini dia sangat di istimewakan. Toh Letnan satu Intan Hierrawati tidak merasa keberatan. Malah dia sendiri memutuskan keluar dari sisi Anggitho. Nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho dan suaminya, Tuanku Prof. Dr. Agung Setiawan Rasmintho juga menyambut ke arah Anggitho yang jelas berada di sisi seberang tempat mereka bersantai. Perhatian yang nampak di lebih-lebihkan bahkan di bandingkan Letnan satu Intan Hierrawati yang adalah puteri tunggal mereka sendiri.
“Apa perjalanan kalian menyenangkan tadi, Anggitho… Kami disini sudah cemas menunggu kepulangan kalian. Khawatir kalau-kalau ada halangan di penerbangan kembali. Berkali-kali Mamma mencoba hubungi Intan tapi tidak nyambung.”
Anggitho tidak langsung menanggapi pertanyaan yang bertubi-tubi itu. Selama di penerbangan mereka yang beberapa kali transit itu Anggitho sama sekali tidak diberi kesempatan untuk beristirahat sejenak. Karena alasan keamanan. Mereka lebih baik berada sesingkat mungkin di tengah-tengah publik karena resiko untuk mendapat gangguan lebih besar. Mengingat dalam rombongan mereka itu ada keluarga Tuanku Baginda President Albertinus Senno Suhastommo. Serta anak sejumlah pejabat tinggi setingkat Menteri. Terlebih di sepanjang perjalanan itu Letnan satu Intan tiada henti-hentinya mengumbar kemesraan dengan Anggitho. Sehinnga waktu untuk bersantai itu sungguh tidak ada. Dua petugas Pengawal dari Puspomdam. Serka pom. Wahyu dan, Serda pom. Sollahudin Setiyadhi yang duduk di kursi paling belakang keluar paling terakhir sambil membawakan perlengkapan kedua putera terhormat majikan mereka ini.
“Maaf… Maa. Sambunga Handphone dalam penerbangan itu tidak memungkinkan. Sedangkan di penerbangan lokal kami tidak di sediakan fasilitas telephone udara.” Letnan satu Intan menimpali.
“Apa kalian juga tidak sempat waktu melakukan transit penerbangan di darat ?”
“Bagaimana kami akan bisa bersantai kalau terus diburu-buru rumitnya prosedur pengawalan dari Kowalsus dan BKO KomSraad AU disana…” Letnan satu Intan membela diri.
“Mungkin karena ada puteri Tuanku Baginda President Suhastommo disana, Maa.” Tuanku Prof. Dr. Agung Setiawan Rasmintho mencoba menahan omelan isterinya. “Nanti saja kita ngobrolnya… apa tidak kita beri kesempatan dulu pada Anggitho ini untuk beristirahat…?”
“Aaach… maafkan Mamma, Anggitho. Ini karena Mamma terlalu mencemaskan kalian.” Kata nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho kemudian yang segera menggandeng tangan Anggitho. Mengajaknya masuk ke dalam rumah. Diikuti oleh Tuanku Prof. Dr. Agung Setiawan Rasmintho yang menggandeng tengan Letnan satu Inta Hierrawati di belakangnya. Dua pengawal mereka, Serka pom. Wahyu dan serda pom. Sollahudhin Setiadhi mengikuti di belakang menarik tas trolly perlengkapan mereka.
“Anggitho… untuk beberapa minggu ke depan, Mamma akan memindahkanmu ke rumah ini. Hanya kamu saja. Mamma sudah menyiapkan salah satu kamar tamu di lantai atas untukmu. Kamar terbaik yang kami miliki disini. Ini karena situasi kisruh di Jakarta yang semakin tidak menentu. Kami khawatir… bahkan sangat cemas, situasi ini berkembang menjadi semakin buruk. Bukannya membaik seperti harapan kita. Jadi demi keamananmu lebih baik kami menjagamu langsung di rumah ini.”
“Bagaimana dengan mbak Sinta… Maa ?” Anggitho menyatakan rasa ingin tahunya menanggapi ucapan Mamma angkatnya.
“Oouw… Mamma tahu akhirnya kau akan menanyakan itu. Hmm… Ada suatu tugas yang harus dia kerjakan selama kau pelesiran dengan Intan. Anggitho, Mamma terpaksa melakukan ini terhadap kalian. Karena jelas kalian harus menjaga hubungan itu sebagaimana mestinya. Kau tentu sudah sering mendengar apa yang disebut KR. Ini seperti waktu pertama kali penugasan Ustad Santri Nur Achmmad Murtadho menjadi petugas pendamping hidup barumu. Saat kepindahanmu ke Malang ini, inisiatif soal petugas pendamping sempat di hapuskan. Karena kau sudah cukup aman dengan statusmu sebagai putera angkat Mamma. Tapi sekarang… dengan hubungan yang semakin serius kalian, tampaknya kami harus memberikan posisi yang tempat untuk Sinta. Dia gadis yang baik, Anggitho… Ma mma tahu itu. Tapi Mamma juga harus menjaga kehormatanmu sebagai His Excellency of Prince Demmetrio Alexandher Josse Ingenieur agar tidak terusik oleh resiko-resiko yang tidak perlu dari hubungan itu. Kau maklum dengan maksud Mamma ini…?” nyonya Jendral Estianni membicarakannya dengan setengah berbisik. Menandakan betapa serius pembicaraan itu.
Letnan satu Intan Hierrawati memang kurang memahami yang sesungguhnya tentang latar belakang Anggitho. Yang dia tahu hanyalah, Mamma Jendral Estianni telah memungut seorang anak angkat lagi dari sebuah pondok pesantren yang terpencil di pedesaan. Seperti yang selalu terjadi pada Satria, Wahyunni dan Bagoes. Umumnya mereka di pertemukan dengan keluarga besar nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho yang kuat jiwa sosialnya dan memiliki cukup kelebihan finansial untuk tujuan itu karena sedikit faktor prestasi dan lebih utama karena keberuntungan. Wahyunni adalah seorang anak jenius dari sebuah sekolah dasar negeri di Surabaya yang terpilih mewakili Indonesia dalam Olimpiade Matematika terapan di Osllo-Norwegia sebelum dipungut oleh nyonya Jendral Estianni. Latar belakang keluarga Wahyunni saat itu hanyalah pemungut sayur-sayur yang terafkir karena dimakan hama dan busuk di pasar. Tinggal hanya dengan neneknya yang berusia tujupuluh tahun di pinggir sungai Keputran yang jorok. Membersihkan sayur-sayur busuk itu dirumah. Mengambil sebagian kecil yang masih bisa di makan dan menjualnya ke tetangga-tetangga yang juga miskin.
Sekarang Wahyuni yang telah dewasa bisa mengenyam pendidikan di Universitas terpandang. Dan Neneknya yang tua renta menghabiskan sisa umurnya di sebuah panti jompo yang terjamin baik hingga tutup usia tujuh tahun lalu. Karena kebaikan yang tanpa pamrih itu mereka umumnya putera-putera angkat nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho menjadi sangat patuh dan setia seumur hidupnya pada keluarga besar nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho. Apa Anggitho nantinya juga seperti itu… hanya waktu yang akan bisa menjawabnya. Tapi Letnan satu Intan melihat. Ada perlakuan berbeda dari Mammanya. Nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho yang dominan kekuasaannya dalam keluarga besar ini. Kepada dirinya sendiri, dan bahkan kepada Pappa. Tuan Prof. Dr. Agung Setiawan Rasmintho sekalipun. Nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho berkesan terlalu memanjakannya lebih dari puteri kandungnya sendiri. Cinta yang diberikan nyonya Jendral Estianni ini, dalam pandangan Letnan satu Intan Hierrawati sendiri. Lebih seperti perasaan takut kehilangan. Sepertinya Anggitho punya arti yang sangat penting dalam hidup nyonya Jendral Estianni.
Menyakiti hati anak itu menjadi suatu yang sangat di tabukan oleh nyonya Jendral Estianni. Sama sekali bukan pribadi nyonya Estianni Rahayu Rasmintho yang selalu menguasai dan mengendalikan apa saja yang dalam genggamannya. Termasuk puteri kesayangannya sendiri. Lebih tepatnya pribadi Anggitholah yang tengah mendominasi kekuasaan nyonya Jendral Estianni sekarang. Tidakkah hal ini sangat aneh… ?
“Jadi… tepatnya, mbak Sinta masuk program pelatihan ?”
“Ini akan memberinya sedikit pengetahuan tentang dirimu dan, arti pentingnya menjaga hubungan kalian pada jalur yang tepat. Dan… kau tentu tidak keberatan tanpa dia untuk beberapa waktu. Dia akan baik-baik saja, dan Mamma jamin… tidak akan lari darimu.”
“Setelah resmi menjadi petugas pendamping penyamaranku… Mamma bercanda. Bahkan kalau harus mati karena melindungiku, mbak Sinta harus rela melakukan itu.” Anggitho mentertawakan pandangan tidak mungkin itu. Jelas dalam komunitas Keamanan Rahasia atau KR dibentuk hanya untuk melindungi kepentingan Anggitho secara sangat rahasia. Semua dalam pembinaan dan kendali penuh kepala protokol dan pengacara rumah tangga, Dr. Anissa Tiara Widhuri SH, Ph.D, Js.D, Laws Master. Dia koordinator kepala-kepala seksi departemen Lima direktorat Expatriat Bosma.
Anggitho tidak tahu apa harus menyetujui itu atau mendebatnya. Seumur hidup bisikan-bisikan yang jauh di relung hatinya selalu mengatakan tidak ingin berpisah dari Bripda polisi Sinta. Tapi dengan dimasukkannya Bripda polisi Sinta dalam komunitas Keamanan Rahasia itu, masih mungkinkah dia berkeras untuk meminta Bripda polisi Sinta kembali. Tidak. Selama Bripda polisi Sinta masuk dalam program pelatihan Keamana Rahasia yang di ajukan secara resmi oleh departemen Lima direktorat Expatriat Bosma. Tahapan demi tahapan seleksi dan pelatihan dinas rahasia itu harus tetap berjalan sebagaimana mestinya. Dalam situasinya yang sekarang ini yang bisa dia lakukan hanyalah menunggu dengan manis. Menunggu sampai semua prosedur-prosedur itu di lalui dengan baik. Barulah Anggitho akan bertemu kembali dengan Bripda polisi Sinta dan merasakan kembali gairah-gairah kenikmatan yang membuat Anggitho tergila-gila. Bagaimana dengan Letnan satu Intan Hierrawati… Letnan satu Intan seperti yang telah mereka lalui bersama selama beberapa waktu berada di pelesiran pusat Mercusuar Sangkapura pulau Bawean.
Mungkin bisa sedikit menghibur kesepian Anggitho tanpa Bripda polisi Sinta untuk beberapa waktu. Tapi rasa yang diberikan untuk gairah-gairah kenikmatan itu sepertinya tetap akan berbeda. Letnan satu Intan Hierrawati tetap akan terasa berbeda dengan gairah-gairah kenikmatan yang selama ini dia dapatkan dari cinta tulus Bripda polisi Sinta. Aaach… memang kenyataan tidak selalu harus sempurna seperti apa yang kita harapkan. Akhirnya Anggitho hanya bisa mendesah. Membuang nafas sesal yang mengganjal di relung hatinya. Nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho telah mengantarkan Anggitho ke sebuah kamar besar dan mewah. Lengkap dengan semua fasilitas hotel bintang lima seperti soffa dan teve LG Plasma 42PT250 berukuran 42 inch dengan Dynamic Contrast Ratio 1.000.000:1 dan Panel Resolution 1024×768(HD Resolution). Sebuah bathup dengan toilet pribadi yang dilengkapi dengan wastafel dan sanitasi yang lengkap. Almari-almari yang dikamuflase cermin-cermin menggantikan pintu-pintu slidingnya. Membuat kamar besar itu berkesan luas dan modern.
“Ini kamar pribadimu selama tinggal disini… Satria dan Ambar telah aku minta untuk memindahkan sisa perlengkapanmu yang masih ada di komplek rumah dinas asrama tadi siang. Jadi kau tidak perlu keluar-keluar lagi mulai sekarang.” Nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho masuk lebih dulu menunjukkan bagian-bagian dari kamar paling istimewa itu. Menuju ke salah satu sisi kamar yang merupakan dinding kaca sliding dan bertirai vertical blind. Pintu geser itu langsung menuju ke balkon sempit diluar yang berada di sisi samping kediaman. Nyonya Jendral Estianni membuka pintu geser itu dan meninggalkan Anggitho di belakangnya. Berjalan keluar dan berdiri menghirup udara malam yang menusuk pada pagar pembatas balkon. Menyaksikan lampu-lampu taman rumahnya yang bertebaran bagai jamur di tengah lembah. Dan sebagian gemerlapnya kota Malang yang terlihat indah dari atas sini. Tapi kemudian nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho kembali dan menutup pintunya karena tidak tahan dingin. Sekarang berpaling pada Anggitho dan menggandengnya dengan penuh kehangatan.
“Sekarang kau pemilik kamar ini. Berada di lantai tiga yang tenang dan nyaman. Sebelah kamar ini adalah kamar pribadi Intan Hierrawati. Jadi kalau butuh apa-apa… minta saja kepadanya. Dengan senang hati dia akan membantumu. Kami mempunyai tujuh staf pelayan rumah tangga yang di pekerjakan oleh departemen Logistik Kodam. Selain dari tiga juru taman dan empatpuluh pengawal yang senantiasa menjaga kenyamanan rumah besar ini duapuluh empat jam sehari.”
“Makasih… Mma. Ini sudah sangat nyaman untukku.”
“Baiklah. Sudah malam… baiknya kau istirahat, dan nanti makan malammu akan kami antar ke kamar saja.”
“Yaa… Mma. Anggitho sudah capek sekali. Yang Anggitho inginkan saat sekarang ini hanya tidur sepuasnya.” Perkataan terakhir Anggitho kepada nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho. Dan salah seorang pengawal Puspomdam itu sedang melipat pegangan trolly dan memasukkan tas koper ke dalam salah satu almari berpintu cermin itu. Setelah membisikkan kata-kata terakhir perpisahannya nyonya Jendral Estianni mengundurkan diri. Di ikuti suami dan kedua pengawal puspomdam yang mengantarkan pakaian ganti Anggitho dalam tas koper trolly.
Letnan satu Intan Hierrawati begitu bahagia malam ini. Lebih bahagia dari hari-hari sebelumnya dimana dia bisa mendapatkan kebersamaan Anggitho karena belas kasihan Bripda polisi Sinta. Sekarang bahkan Mammanya, telah menempatkan satu rumah dengannya dan tepat di seberang kamar pribadinya. Sementara Bripda polisi Sinta telah di kirim tugas entah kemana di negeri ini. Rasanya kini tidak ada alasan lagi bagi Letnan satu Intan untuk mencari-cari kesempatan dan merayu Bripda polisi Sinta untuk memberikan waktu Anggitho kepadanya. Tapi… rasanya tidak pantas memanfaatkan Anggitho diatas penderitaan Bripda polisi Sinta yang sedang di sibukkan oleh tugas lain. Bagaimanapun Letnan satu Intan telah berjanji kepada Bripda polisi Sintan. Akan membagi bersama cinta ini antara mereka berdua apapun yang terjadi. Termasuk seandainya nanti bahkan Anggitho tidak memilih di antara mereka berdua. Mereka berjanji akan saling setia dan menjaga ketulusan cinta ini hanya untuk Anggitho.
“Mandi air hangat ya… ada pemanas di shower bathup. Aku siapkan.” Saran Letnan satu Intan dan lantas wanita itu membuka salah satu pintu cermin almari mengambilkan sehelai piyama handuk. Wanita yang cantik dan begitu anggun seperti Catherine Zeta Jones itu lantas menggeser pintu transparan kamar mandi untuk mengisi bathup dengan air hangat. Anggitho menurut saja apa saran Letnan satu Intan. Melapas satu persatu pakaiannya untuk di gantikan dengan sehelai piyama handuk dengan ikatan di pinggang. Letnan satu Intan Hierrawati masih mengenakan terusan knit yang di permains dengan kerah drape. Anggitho membuang Mantel woll-nya. Kemeja blazer satu kancing dengan celana yang juga berbahan woll dari Lous Vuitton.
Air sudah hampir setengah bathup dan panasnya sudah cukup. Letnan satu Intan mematikan kran shower dan menyiapkan botol sabun cair sekaligus mencampurkannya ke dalam air hangat bathup. Meninggalkan sisa sabun cair dalam botol di sisi bathup kalau Anggitho membutuhkannya lagi. Letnan satu Intan kemudian bangkit menuju Anggitho di dalam kamar.
“Mandilah sekarang, sayang… aku siapkan pakaian tidur yang bersih untukmu.” Desis Letnan satu Intan Hierrawati. Dan kemudian tangannya mulai merangkul ke pundak Anggitho. Tangan yang lain membelai pipi yang melekuk tampan di wajahnya kemudian, begitu lembut bibir wanita itu berlabuh. Anggitho memejamkan mata. Menikmati segala keindahan itu dengan keutuhan hatinya. Cukup lama memang sentuhan bibir itu. Dan manakala hendak berakhir, Anggitho segera memintanya kembali untuk dilanjutkan. Ia balas ciuman itu dengan segenap kehangatan. Yeaah… pengalaman ini memang bukan yang pertama baginya. Pertama bersama Bripda polisi Sinta dia sudah kenyang dengan sentuhan-sentuhan kemesraan seperti ini. Lalu dalam perjalanan pelesir bersama Letnan satu Inten Hierrawati. Anggitho mendapatkan pengalaman luar biasa dalam kegembiraan-kegembiraan pesta dan permainan yang selalu berujung pada pemuasan nafsu berahi. Sementara tubuh mereka masih menyatu dengan hangat. Letnan satu Intan mempermainkan perasaan laki-laki ingusa ini dengan caranya sendiri. Setidaknya dia selalu berusaha untuk membuktikan kepada Anggitho bahwa cintanya itu masih bisa sehangat dan senikmat yang pernah Bripda polisi Sinta berikan kepadanya.
Dada Anggitho semakin terasa hangat oleh tekanan lembut dari bagian yang menggembung indah dengan belahannya yang membuat seorang wanita nampak sangat bersahaja. Aaach! Ingin rasanya berkali-kali Anggitho menjamahnya. Dan itu akhirnya dia lakukan juga. Yang sejenak membuat seorang Letnan satu Intan sampai bergetar hebat. Jemari tangan yang kekar itu meremas bagian yang paling lembut dari belahan dada wanita telah membuatnya sangat seksi. Dan Letnan satu Intan merintih.
“Mmmekkhhmm… mandi dulu sayang, nanti kita lanjutkan lagi.” Letnan satu Intan Hierrawati memberikan ciuman terakhirnya dan meninggalkan Anggitho dengan cinta. Letnan satu Intan juga harus membersihkan diri sendiri di kamarnya. Memanaskan air shower dalam bathup dan memilih sendiri baju tidur yang akan dia kenakan malam ini.
Selesai menyegarkan diri dan mengganti dengan pakaian bersih, Letnan satu Intan mengintip sebentar ke kamar Anggitho. Tapi yang ingin di sapanya malah sudah tidur mendengkur. Letnan satu Intan tahu, Anggitho pasti sangat capek setelah perjalanan panjang dari pulau Bawean dan kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan bersama sebelumnya. Letnan satu Intan mengangkat bahu dan berbalik menutup pintu kembali. Pupus sudah keinginan Letnan satu Intan Hierrawati untuk melanjutkan kenikmatannya memadu kasih yang belum tuntas dengan Anggitho. Letnan satu Intan memutuskan untuk turun ke lantai bawah. Di aula luas ruang keluarga tengah akrab berkumpul Mamma Jendral Estianni dan Pappa Agung Setiawan Rasmintho yang tengah duduk mesra di soffa. Di depan sebuah Samsung Plasma teve 51D450 dengan Mega Contrast Ratio ukura 51 inchi. Juga ada Letnan satu Evie Widyasari yang menjadi staf ajudan pribadi Mamma Jendral Estianni. Sekretaris Kantor Advocate Rasmintho SH, Sw.D, Ph.D, Js.D, Laws Master & Friends, Nathannia Gunawan S.Com. Tempat soffa dan perangkat teve plasma dengan audio surround Home Theater HB-806 TM denga 3D BlueRay Disc Playback, 850W Power, dan External HDD Playback itu merupakan undakan yang lebih rendah dari sisa ruangan yang mengelilinginya.
Sehingga ujung sandaran soffa itu setara dengan lantai ruangan di sekelilingnya. Sehingga bahkan Letnan satu Intan Hierrawati dari lantai ruangan itu bisa langsung turun ke soffa tepat di sisi Mamma Jendral Estianni Rahayu Rasmintho.
“Eeeeii… Intan, sayang. Anggitho sudah tidur ?”
“Iyyaa… Mma. Perjalanan siang ini telah membuatnya sangat lelah. Dia tidak sekuat aku yang sudah terbiasa dengan latihan berat kemiliteran. Selama pelesiran Anggitho begitu senang menemukan makanan-makanan aneh yang dengan sengaja telah di kumpulkan oleh para anggota satuan tentara pengawal Kowalsus dan KomSraad AU. Yang di bumbui dan di panggang dengan peralatan seadanya dari alam yang khas dari kebiasaan tentara. Mungkin karena terlalu banyak makan itu… Anggitho sekarang terlalu capek.”
“Makanan-makanan aneh… apa saja itu, Intan ?” nyonya Jendral Estianni menanyakan sekedar memenuhi rasa ingin tahunya. Dia sendiri sudah kenyang dengan kebiasaan-kebiasaan bertahan hidup tentara di alam bebas. Semasa mudanya dulu nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho adalah kepala satuan anti teror dari detasemen pemukul komando reiders yang lebih sering menjalankan tugas operasi dari resimen yang manapun di satuan komando. Mulai dari menjebak terduga aksi teror di persembunyian tengah hutan dengan bekal seadanya. Sampai terlibat baku tembak satu lawan satu di dalam suatu perkampungan padat penduduk yang amat seru.
“Mereka menyiapkan ratusan tusuk daging panggang sate musang, ratusan tusuk ikan tongkol bakar dan bawal bakar, daging-daging domba panggang dan juga sapi-sapi panggang. Anggitho melahap dua kali lebih banyak dari semua orang yang ada di situ. Padahal kami bukan komunitas yang terbiasa menjalankan program diet untuk penampilan dan pelangsingan tubuh. Kami semua juga jago-jago makan karena terbiasa melakukan aktivitas-aktivitas berat pelatihan dasar kemiliteran yang menguras tenaga.”
“Syukur kalau begitu… artinya Anggitho memang sangat menikmati pelesirannya itu.”
Malam itu semua yang terlibat pembicaraan nampak serius membahas perkembangan yang semakin mencemaskan di Jakarta. Kebijakan Tuanku Baginda President Albertinus Senno Suhastommo yang selalu berubah-ubah setiap waktu. Karena setiap keputusan yang hendak di ambil selalu di pengaruhi keragu-raguan tentang kemampuan aparatnya sendiri untuk melaksanakan kebijakan itu. Seperti keputusan untuk memberi waktu satu pekan kepada Hyang Mulia Jendral besar Bosma Marssiello Gleizzyardhin Ingenieur Youkke untuk menyatakan setia kepada Pemerintah dan menyerahkan kekuasaan militernya. Atau menghadapi pemecatan tidak hormat dan menghadapi persidangan Mahkamah Militer Luar Biasa. Sampai sekarang ini Tuanku Baginda President tidak memiliki perangkat yang jelas untuk menyeret Hyang Mulia Jendral besar Bosma itu. Kekuatan utamanya masih tertahan di hutan-hutan belantara perbukitan gunung puteri daerah lereng pegunungan Cibodas. Kewenangan atas kendali keamanan Jakarta Pusat. Bahkan di sekitar Istana sendiri masih sepenuhnya di kuasai oleh resimen-resimen reguler komando militer resort Jakarta Raya. Yang di kendalikan oleh Kasintel Kodam Ibukota Brigjen teritorial Rachmia Erlly-Meir.
Yang senantiasa melakukan pemantauan-pemantauan dengan Chevrolet Captiva 2.0 CVDI diesel a/t My09 warna hijau lumut dengan antena radio komunikasi SSB yang hampir tujuh meter panjangnya itu. Istana apabila terjadi kondisi konflik dan baku tembak antara pasukan agresor KomeRad dibawah Jendral Made Geigeer Sudhiarta dengan resimen-resimen komando reguler Ibukota, hanya di lindungi oleh dua detasemen Kowalsus penjaga Istana Tuanku Baginda President dan satu detasemen cadangan penjaga Istana Wakil President. Perintah-perintah penguasaan wilayah Jakarta Raya oleh rombongan besar pasukan serbu komando KomeRad dibawah JendralMade Geigeer Sudhiarta yang mengendalikan sekitar lima divisi khusus pasukan. Atau Rimbasti dibawah Komandan Jendralnya, JendralBambang Wisesha masih terganjal keragu-raguan Tuanku Baginda President sendiri yang mengkhawatirkan kondisi Ibukota. Mereka khawatir pecah konflik serius dan baku tembak yang melibatkan resimen-resimen komando reguler Ibukota karena mempertahankan wilayah kekuasaannya itu akan berimbas pada intensitas pertempuran yang terus meningkat dan tidak akan lagi bisa di kendalikan oleh siapapun. Bahkan mungkin oleh Hyang Mulia Jendral besar Bosma sendiri.
Di sekitar wilayah Ibukota Jakarta raya itu pasukan komando reguler berkekuatan lebih dari limabelas ribu tentara. Divisi utamanya di perlengkapi dengan batalyon kavaleri serbu yang membawa armada Pansher APC Cadhillac gage V-150 bersenjatakan laras meriam L-2 kaliber 76,2 milimeter, Canon meriam kaliber 90 milimeter dan smoke. Sejumlah Renault/Saviyem VAB yang mendukung mobilisasi pasukan pemukul dan Super Hillux minnor change spec-200 bersenjatakan empat laras meriam otomatis Onthoss ukuran 106 milimeter anti pesawat terbang dengan kecepatan 740 tembakan permenit. Mereka akan cukup menghambat meskipun Jendral Made Geigeer Sudhiarta sanggup mengerahkan tigapuluh ribu pasukannya untuk merebut Ibukota. Kalau toh nantinya pasukan yang di kendalikan langsung oleh Kasintel nyonya Jendral teritorial Rachmia-Meir itu makin terdesak, pasukan yang di kuasai Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke malahan bisa terjun langsung ke medan pertempuran dengan alasan ketertiban umum dan karena permintaan dari Pangko Daerah Militer Jawa II Ibukota selaku penguasa teritorial. Tuanku Baginda President bahkan tidak yakin apakah dirinya sendiri siap seandainya duapuluh ribu anggota Pam Swakarsa brigade maut SouMed yang siap menjadi algojo-algojo.
Kelompok sipil bersenjata yang akan membantai jutaan warga masyarakat tak berdosa bersama-sama dengan mahasiswa. Yang melakukan aksi duduk-duduk diam di sepanjang jalan-jalan protokol sebagai wujud solidaritas unjuk rasa menuntut diakhirinya perampokan lahan, perampokan kekayaan-kekayaan tambang Indonesia yang harusnya digunakan sebesar-besarnya untuk hajad hidup orang banyak. Dan pensejahteraan rakyat yang selalu di gusur-gusur oleh gerombolan pasukan biadab Rimbasti yang bekerja untuk kepentingan para Investor asing itu. Karena ternyata gerakan itu efektif melumpuhkan sendi-sendi perekonomian dan roda pemerintahan Negara. Meskipun anggota-anggota Pam Swakarsa brigade maut SouMed itu. Yang pihak lain, yang berseberangan paham dengan kelompok radikal itu, menganggap mereka gerombolan preman dan maling. Karena pekerjaannya menguasai lahan parkir dengan kekerasan, menarik upeti keamanan terhadap pedagang-pedagang pasar yang miskin, hingga melakukan perampokan-perampokan bersenjata gaya ninja terhadap toko-toko emas yang menurut pandangan mereka dikuasai para kapitalis kafir. Sesungguhnya mereka itu membunuh dan berperang melawan warga sipil tidak bersenjata demi alasan keyakinan pribadi dan berperang demi menghancurkan musuh Islam sekaligus musuh Negara.
Tuanku Baginda President Albertinus Senno Suhastommo tidak mau dosa-dosa seperti yang melekat pada pemimpin aksi pembersihan etnis seperti Jendral Serbia Slobodhan Milosevic, Jendral Francois Knommo’ dari Rwanda, dan Perdana Menteri Kamboja Pol Pot yang membantai lebih dari limabelas juta rakyat jelata tidak berdosa itu ikut melekat pada dirinya di akhir pemerintahan. Sanksi moral yang harus dia sandang. Di hujat oleh seluruh dunia dan di kejar-kejar seperti maling di negerinya sendiri oleh sepasukan tentara mutlinasional atas tuduhan kejahatan perang luar biasa. Karena kelompok radikal yang merasa terhormat setiap membunuhi satu nyawa warga sipil yang mereka anggap musuh Islam itu. Yang setiap satu nyawa melayang itu berarti satu pahala besar yang teramat sakral disematkan ke hati mereka oleh Hyang Maha Kuasa Tuhan Semesta Alam. Adalah kelompok radikal yang sudah lama dicap sebagai Underbow pemerintah. Walaupun secara resmi intitusi negara sendiri menyebutnya sebagai organisasi terlarang. Padahal enamribu anggota pengamanan kepolisian yang menutup rapat seluruh perbatasan wilayah kota Jakarta Pusat. Di sisi luar lokasi aksi unjuk rasa massal itu sudah bersiap membuka seluruh blokade kendaraan untuk memberi jalan masuk para pembunuh sipil yang di sponsori pemerintah ini.
Kenyataan ini yang semakin membuat resah Wakil Panglima SouMed Hasan Karmaaniy al-Ammaarah, Panglima SouMed Hafash Makhaariq al-Akaasyah, Wakil Amir urusan politik Muhammad bin Sahlaall, Wakil Amir urusan logistik Ibnu Alawaan, Wakil Amir urusan pembinaan Muhammad al-Muhaajir, Wakil Amir bagian Operasi Umum Ibrahim al-Baqhraa, Wakil Amir bagian Operasi Khusus Wahhaad bin Abdul Akaasyah, dan bahkan sampaiAmir Markaziah SouMed sendiri, Syeich Achmmad bin Muhammad al-Ghaalin. Mereka sudah susah-susah mengorbankan diri mereka menjadi sapu jagat bagi limbah-limbah pekerjaan kotor rejim pemerintahan Tuanku Baginda President Senno Suhastommo. Siap menghabisi saudara-saudara Islam mereka sendiri hanya karena tidak menyetujui radikalisme. Kalau nasib mereka masih tetap di gantung seperti sekarang ini, karena keragu-raguan sikap Tuanku Baginda President Senno Suhastommo. Bisa-bisa kubu militer Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke menelikung di tengah jalan. Menggugat balik kekuasaan Tuanku Baginda President Senno Suhastommo dengan legitimasi dukungan kuat mahasiswa dan lima juta warga kota partisan unjuk rasa yang saat ini marak di Jakarta.
Kekuatan kubu militer Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke yang sesungguhnya jauh lebih besar dari sayap militer yang mendukung kekuasaan rejim Pemerintah. Bisa saja kemudian memutuskan sebuah kudheta berdarah dan mengganti kekuasaan yang di anggap sebagian besar rakyat Indonesia ini lalim. Membentuk presidium pemerintahan baru yang akan mempercepat pemilu versi mereka sendiri dan buntutnya. Menyerang perkemahan besar perbukitan gunung puteri Cibodas ini yang di anggap sebagai basis terakhir pendukung kekuasaan rejim diktator pemerintahan Tuanku Baginda President Senno Suhastommo. Bahkan Pam Swakarsa brigade maut SouMed yang belum melakukan perjuangan apa-apa dalam kampanye perang jihad membela Tuanku Baginda President Senno Suhastommo ini akan ikut diberangus. Di pojokkan, di tembak mati bagi yang melawan, diseret dan di telanjangi di tengah lapangan untuk di interogasi dengan todongan senjata, dan dimasukkan ke penjara militer. Seumur hidup mereka akan di perlakukan sebagai teroris seperti saudara-saudara mereka di penjara Irak, guantanamo, dan Afganisthan.
“Ada kabar baru dari Jakarta, Mma…?”
“Masih seperti dua hari kemarin. Tuanku Baginda President belum mengeluarkan perintah apa-apa dari Istana. Sementara seluruh resimen dari Garnesun Ibukota sedang bersiap-siap menghadapi masuknya serangan dari brigade pemukul KomeRad dan Rimbasti ke Ibukota.” Nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho menjelaskan kepada puterinya.
“Apakah ada perkembagan dari para warga kota yang menyemarakkan unjuk rasa duduk diam diseluruh jalanan protokol Ibukota itu ?” Letnan satu Intan Hierrawati menanyakan kembali.
“Mereka masih bertahan walau kelihatannya tidak mendapatkan tanggapan apa-apa. Bahkan mayoritas dari limaratus anggota Parlemen di Senayan yang mendukung Pemerintah telah di terbangkan keluar Jakarta jauh-jauh hari sebelumnya. Agar mereka tidak memberi komentar macam-macam, atau berbalik meng-impeach President.” Jawab nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho.
Letnan satu Intan membayangkan repotnya kabinet pemerintahan Tuanku Baginda President Senno Suhastommo tinggal di dalam Istana yang di blokade oleh lebih dari lima juta warga kota sendiri yang berunjuk rasa. Hanya di lindungi oleh sekitar delapan ratus anggota Kowalsus dari detasemen A dan B. Sementara delapanratus anggota kepolisian resort Jakarta Pusat hanya bisa menutup barikade dari luar lokasi unjuk rasa. Di sepanjang perbatasan wilayah kota Jakarta Pusat. Yang di dukung oleh sekitar enamribu tenaga bantuan dari Polda Metro. Selebihnya mereka tidak berani masuk terlalu jauh. Di dalam wilayah-wilayah Jakarta Pusat itu sendiri masih ada komplek-komplek detasemen dari Garnesun Ibukota yang patuh pada Pangko Daerah Militer Jawa II Ibukota. Sejumlah besar dari pasukannya terkonsentrasi di lingkar Monas dengan barikade tameng rotan dan tongkat pentungan. Satu-satunya garis pemisah yang memberi jarak antara Istana dan pengunjuk rasa. Barikade satuan-satuan organik Kodam ini nampaknya tidak saja untuk mencegah para demonstran melakukan kerusuhan yang meluas dan menyerang Istana.
Tapi juga mencegah kekuatan bersenjata lain dari luar Jakarta untuk bergabung dengan pihak Istana. Mereka bahkan tidak mengijinkan anggota Kowalsus yang hendak pulang ke Markas Komandonya di Tanah Abang no.2 karena alasan psikologis para demonstran yang begitu emosional. Di khawatirkan kehadiran Komando kawal khusus Istana President di tengah-tengah demonstran akan memancing amuk massa. Kerusuhan akan sulit di cegah, dan mereka tidak berani menjamin ketertiban Ibukota lagi kalau kerusuhan yang disebabkan kehadiran anggota-anggota Kowalsus itu meluas ke seluruh Ibukota. Ketegangan nyaris terjadi antara tentara Kowalsus yang merasa terpenjara di wilayahnya sendiri dengan anggota-anggota organik Kodam yang diperintahkan melokalisir unjuk rasa supaya tidak sampai menyentuh Istana sebagai lambang kehormatan negara. Sekitar lima batalyon Komando militer resort Jakarta pusat atau kurang lebih duaribu tentara. Mereka bersenjata lengkap ditambah tameng rotan dan pentungan untuk menahan gerak laju para demonstran.
Di perkuat dengan kompi kavaleri berkekuatan empat Pansher pengintai Cadhillac gage V-150, delapan Pansher meriam Cadhillac gage V-150 dengan laras meriam L-2 kaliber 76,2 milimeter dan Canon meriam 90 milimeter, dan empat Pansher APR buatan Pindad sebagai unit pendukung. Mereka masing-masing di sebar ke tujuh persimpangan utama yang menjadi jalan masuk ke lingkar Monas dan komplek Istana. Ketika memerintahkan Pangko Daerah Militer Jawa II Ibukota untuk penempatan satuan-satuan pengendali huru-hara Kodam kala itu Tuanku Baginda President sama sekali belum berfikir akan berselisih faham dengan kubu militer Hyang Mulia Jendral besar Bosma ini. Jika sebelumnya satuan polisi saja yang di dalam untuk membangun barikade penghalang, situasinya mungkin tidak menjadi serumit sekarang ini. Sementara duaribu tentara organik Kodam yang tengah bersiap di empat penjuru kotamadya-kotamadya akan menyambut setiap pergerakan pasukan dari luar kota Jakarta untuk menyerbu masuk dan mengacak-acak Ibukota.
“Kalau sampai terjadi, Tuanku Baginda President mengerahkan Pam Swakarsa brigade maut SouMed yang dipersenjatai itu untuk melakukan pembantaian, kondisi Jakarta akan semakin sulit. Mmma…”
“Aku harap hal itu tidak sampai di lakukan. Melihat perkembangannya yang stagnant sampai sekarang, kecil kemungkinan mereka jadi bergerak.” Nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho memberikan tanggapan. “Soalnya yang aku dengar… kubu militer Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke sudah menyiapkan operasi Inteligent untuk menghadapi mereka. Kalau operasi Inteligent itu di jalankan, bukan lagi ketidakberdayaan para demonstran yang akan mereka hadapi. Melainkan serangan kejutan infanteri Ranger yang telah menyaru di antara kaum demonstran. Mereka telah disebar ke sejumlah pintu masuk ke arah kerumunan para demonstran paling belakang.”
“Operasi Inteligent… Mmma ?”
“Seperti itu yang Mamma dengar dari sumber terpercaya di tubuh Bosma. Sejumlah pedagang Ice Cream dari sebuah perusahaan retail yang ternama. Mereka menempatkan lebih dari seratus rombong Ice Cream ke semua jalan masuk. Kalau satu pedagang rombong Ice Cream itu dibantu empat temannya yang menjajakan dengan kotak thermos tersandang. Artinya ada limaratus anggota komando rahasia Saber-Bosma yang setiap hari stand by di lokasi. Mereka selalu di suplai oleh lima mobil box Ice Cream yang menjamin selalu ada penuh kotak Ice Cream dalam rombong-rombong dan kotak thermos para Sales Promotion Boy, SPB Ice Cream itu.”
“Mungkin Pam Swakarsa brigade maut SouMed yang siap membunuh itu bisa di hadapi oleh limaratus anggota pasukan Saber yang menyamar. Bagaimana dengan kekuatan pemukul divisi komando KomeRad dan Rimbasti yang nantinya masuk ke dalam Ibukota ?”
“Oouuw… kalau mereka sampai mendekati perbatasan Ibukota, duapuluh empat batalyon organik Kodam di wilayah Jakarta Selatan, Barat dan Timur siap menyambut mereka dengan konfrontasi total. Konflik itu akan memancing pertempuran frontal di seluruh wilayah Jakarta dan akan menjadi akses mudah bagi pasukan pendukung Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke yang terkonsentrasi di Sediyatmo dan Penjaringan untuk masuk ibukota menghancurkan kekuatan utama pendukung kekuasaan rejim Pemerintahan Tuanku Baginda President Senno Suhastommo. Sekaligus operasi untuk menguasai Istana.”
“Begitukah… operasi yang di rencanakan sehingga Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke nampak diam saja selama ini ?” Letnan satu Intan Hierrawati menanyakan sekedar untuk memastikan pandangannya.
“Sepertinya kesabaran akan membuahkan hasil yang lebih baik daripada Hyang Mulia Jendral besar Bosma Ingenieur Youkke mengikuti emosi menghadapi tuduhan-tuduhan lalim kabinet Pemerintahan Tuanku Baginda President. Mulai dari tuduhan Pembangkangan, ancaman Pemecatan, hingga ancaman di ajukan ke Mahkamah Militer Luar Biasa karena menolak perintah dan Pengkhianatan.” Nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho mengguman dalam permenungannya sendiri.
Kemudian percakapan beralih ke masalah-masalah domestik. Tuan Profesor Agung Setiawan Rasmintho sibuk mendiskusikan tentang perkembangan kasus yang di pantau secara pribadi oleh Sekretaris Kantor Advocate Rasmintho SH, Sw.D, Ph.D, Js.D, Laws Master & Friends, Nathannia Gunawan S.Com. Tentang persidangan tinggi Surabaya yang tengah mendakwa enambelas pelajar Es-em-K negeri 03 Dian Harapan-Malang. Yang telah telibat kasus pengeroyokan dan percobaan pembunuhan terhadap Anggitho Pringadhi. Putera Angkat nyonya Pangko Daerah Militer Jawa V Mayjen infanteri Estianni Rahayu Rasmintho. Persidangan itu telah menjatuhkan hukuman limabelas tahun penjara pada tujuh pelajar Dian Harapan dan sedang memproses sembilan teman mereka yang lain. Di ruang persidangan yang terpisah juga sedang berlangsung proses hukum dengan terdakwa Komisaris Besar polisi Bagus Wibawa selaku otak dibelakang aksi penyerangan para pelajar ini. Beberapa saksi mengetahui bahwa Kombes polisi Bagus telah beberapa kali menemani puteranya, Bambang Tristam Wibawa yang selalu datang dengan pacarnya Lutik Astri, dalam pertemuan-pertemuan membicarakan instruksi kilat Don Juan Sonny Puterahimawan dari Thailand.
Para tersangka lain yang dihadirkan sebelumnya untuk mengkonfrontir tuduhan Jaksa juga menyatakan bahwa Kombes polisi Bagus Wibawa secara pribadi dan institusi menyokong aksi serangan itu. Kalau terbukti nantinya Kombes polisi Bagus Wibawa mendalangi aksi penyerangan terhadap keluarga nyonya Jendral Pangko Daerah Militer Jawa V. Tidak saja Kombes polisi Bagus akan di pecat dengan tidak hormat dari kesatuannya. Tapi bahkan dia menghadapi tuntutan hukum hingga enampuluh tahun penjara. Dengan usianya sekarang yang mendekati limapuluh tahun, bisa dipastikan Kombes polisi Bagus akan membusuk di dalam penjara seumur hidupnya. Sanksi terberatnya adalah karena dia seorang perwira polisi dan aparat keamanan yang mengerti hukum. Memanfaatkan jabatannya untuk mendalangi pembunuhan. Dan bahkan menggunakan kekuasaannya untuk menghalangi Danres Kepolisian Metro Malang ajun Kombes polisi Inoki Wasis Jatmiko untuk melakukan tindakan atas laporan Subdis Intelpampol. Ketika harus dipanggil menjadi saksi dalam persidangan, ajun komisaris besar Inoki Jatmiko telah membenarkan adanya permintaan rahasia dari Kanwil Kepolisian Metro Malang itu.
Yang tidak terekspos publik adalah nasib anggota-anggota IcB yang dilibatkan dalam pencarian Anggitho. Pasukan siluman IcB yang di pimpin oleh agen senior IcB kapten Ricky Siswonno itu semuanya tewas dalam kecelakaan pesawat carter Britten-Norman BN-2A Dirgantara Air Service yang menjemput pulang mereka ke Jakarta. Setelah dua minggu terombang-ambing dalam ketidak jelasan nasib mereka di rumah tahanan Puspomdam. Entah pesawat itu jatuh, atau sengaja di jatuhkan. Yang pasti tidak ada orang yang selamat dalam kecelakaan ditengah cuaca buruk kawasan hutan-hutan roban jalur Semarang itu. Dan jelasnya, setelah apa yang mereka lakukan bersama Kombes polisi Bagus Wibawa di Malang, banyak pihak tidak lagi menginginkan mereka hidup. Mungkin Kasinteldam Jendral teritorial Dewa Made Windhu Kaemanna yang merasa tersinggung, nyonya Jendral Pangko Daerah Militer Jawa V Estianni Rahayu Rasmintho sendiri yang telah diusik keluarganya. Kepala Propam IcB Letkol Suyatno atau Kastaf IcB Jendral Arrie Dhammarjati yang merasa ikut dilibatkan atas kesalahan yang sama sekali tidak mereka perbuat. Atau bahkan Jendral Icb. Mannaf Trighanna Thallib sendiri yang sekarang karena perbuatan mereka telah di singkirkan dari jabatan yang membuatnya sangat terhormat dan prestise tinggi itu.
Saat mereka masih terlibat pembicaraan serius tentang persidangan-persidangan itu, nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho mengajak puterinya ke ruangan lain. Tidak ada kekhawatiran apapun. Kelihatannya selama ini Mamma Jendral Estianni selalu mendukung setiap tindakan Letnan satu Intan Hierrawati sebagai puteri kesayangannya. Mereka menuju ke tempat kerja pribadi nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho. Ruangan besar penuh dengan pajangan foto-foto kebanggaan nyonya Jendral Estianni ketika naik jabatan. Beberapa kelompok almari buku-buku pustaka yang terkunci dalam pintu-pintu kaca. Seperangkat soffa dan meja kerja besar di sudut ruangan. Di sebelah meja itu terdapat minibar dengan beberapa pilihan botol anggur terbaik.
“Duduk Intan…” kata nyonya Jendral Estianni menuju ke minibar menuangkan dua gelas Chardonnay wines kesukaannya dan memberikan salah satu kepada puterinya. “Karena Mamma sedang berbahagia malam ini… Intan. Mamma ingin berbagi denganmu.”
“Makasih… Mmma.”
Letnan satu Intan Hierrawati tersenyum renyah menerima suguhan gelas anggur itu. Mengangkat gelas dan sejenak membiarkan warna merahnya bercampur dengan cahaya. Menggoyang-goyangkan gelas anggur itu seperti layaknya seorang senior master sommelier yang sejati supaya cita rasa wine bercampur dengan oksigen. Lalu mendekatkan bibir gelas itu ke hidungnya. Menghirup aroma anggur yang khas. Dari aroma itu cita rasa anggur bisa di deskripsikan. Tebal, tipis, kental, atau encer. Setelah beberapa lama baru di cicipinya seteguk. Membiarkan rasa wine memenuhi rongga mulutnya, lalu perlahan di telannya. Nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho duduk di soffa tunggal di sebelah puterinya. Melakukan hal yang sama untuk merasakan kenikmatan anggur bermerk Chardonnay itu.
“Intan… sampai beberapa hari kalian pelesiran, seberapa jauh hubunganmu dengan Anggitho ?” nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho mulai menyinggung inti pembicaraan.
“Kami baik-baik saja, Mamm. Kami bahkan melewatkan kebahagiaan itu dengan selalu bersama-sama.”
“Seperti apa kebersamaan kalian ?” nyonya Jendral Estianni ingin lebih merinci maksud puterinya.
“Hmm… yeaa, kebersamaan yang akrab antara aku dan Anggitho. Kenapa Mamma menanyakan hal itu siiich ?”
“Begini… Intan. Mamma hanya perlu mengingatkan, Anggitho itu putera angkat Mamma. Artinya dia itu saudaramu juga. Mamma ingin kau memperlakukan Anggitho seperti halnya adik kandungmu sendiri. Kalian saling menyayangi itu adalah sesuatu yang wajar. Tapi rasa sayang seorang Kakak kepada Adiknya yang pantas. Bukan perasaan sayang yang lain.”
“Mengapa Mamma nyatakan itu… Apa Intan tidak pantas untuk di cintai Anggitho sebagai seorang kekasih ?” Letnan satu Intan langsung memprotes pandangan nyonya Jendral Estianni itu dengan berterus-terang.
“Ini bukan persoalan pantas atau tidak pantas, Intan… Mamma sudah memungut Anggitho sebagai putera angkat. Dan itu berarti secara legalitas dia adalah saudaramu. Kau tidak mungkin mencintainya.”
“Aaaach… hanya legalitas, Mmma. Mamma bisa cabut akta perwalian itu dan Anggitho akan jauh lebih terhormat menjadi anak menantu Mamma. Calon suamiku sendiri.” Letnan satu Intan bersikukuh.
“Intan ! Mamma tidak pernah mengajarkan jiwa pemberontak dalam dirimu Intan. Apa yang sudah Mamma tegaskan akan tetap menjadi keputusan. Mengerti ?”
“Maafkan Intan… Mmma.” Toh akhirnya Letnan satu Intan yang berkepribadian keras dan terbiasa mendapatkan apapun yang dia inginkan itu, luluh dengan tertunduk. Tidak akan pernah bisa Letnan satu Intan menentang kehendak Mamma Jendral Estianni sendiri. Dia mengendalikan kekuasaan di rumah tangga ini seperti dia mengendalikan limabelas ribu prajurit militernya di seluruh Jawa bagian Timur.
Pupus sudah kebahagiaan Letnan satu Intan yang menggebu-gebu hari ini. Keinginannya untuk memuas-muaskan hasrat berahi dan kehangatan cintanya setelah Anggitho sendiri di ijinkan tinggal di kediaman resmi Pangko Daerah Militer Jawa V ini menjadi sia-sia. Dia tidak akan pernah bisa menyentuh Anggitho kembali seperti hari-hari kemarin mereka berdua selalu menghabiskan malam bersama dengan sentuhan-sentuhan asmara yang meluap-luap. Kini Letnan satu Intan harus memperlakukan Anggitho yang sangat dia cintai itu, sebagai seorang adik yang manis. Tidak ada ciuman-ciuman lagi. Tidak ada godaan-godaan menggelitik di bagian-bagian paling sensitif dari lekuk tubuh yang sensual. Apalagi guncangan-guncangan hebat permainan cinta Anggitho yang membuat mereka berdua bermandikan peluh. Atau karena perbuatan itu Mamma Jendral Estianni akan benar-benar memisahkan mereka berdua selamanya. Lebih buruk lagi mungkin Anggitho atau bahkan Letnan satu Intan sendiri akan dipaksa kawin dengan seseorang yang sama sekali bukan pilihan mereka. Seumur hidup Letnan satu Intan sungguh tidak mau di perlakukan seperti itu. Dia sudah jatuh cinta pada Anggitho sejak pandangan pertama. Dan akan begitu sampai seumur hidupnya.
Hari berikutnya Anggitho bangun sudah menjelang siang. Suite peristirahatan mewah di lantai tiga bangunan kediaman resmi nyonya Jendral Pangko Daerah Militer Jawa V itu masih nampak lengang. Nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho sudah sejak pagi berangkat ke kantornya yang hanya berjarak beberapa ratus meter. Tuan profesor Agung Setiawan Rasmintho juga. Anggitho juga tidak melihat Letnan satu Intan Hierrawati. Wanita itu mungkin sudah keluar sejak pagi. Karena begitu selesai membersihkan diri dan mandi air dingin di shower, hanya dua staf pelayan rumah tangga kediaman resmi nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho. Rumah besar itu masih di jaga oleh enambelas prajurit pengamanan khusus yang menempatkan dua unit kendaraan lapis baja Pansher dari batalyon Kavaleri serbu Pangko Daerah Militer Jawa V. Dengan kaos T-shirt print dan celana square cut jeans slim fit dari Levi’s Anggitho mengayunkan langkahnya turun ke lantai bawah. Hanya aktivitas biasa dari para staf pelayan rumah tangga kediaman nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho yang mengepel hampir seluruh ruangan besar bangunan itu secara bersamaan.
Sarapan pagi yang berupa seporsi Roti Manis Sobek Coklat Sari Roti dan segelas Isotonic drink water You C1000 yang di antarkan keatas oleh dua staf pelayan rumah tadi telah dia habiskan. Anggitho melewati mereka yang sedang bekerja mengepel dan mengelap perabotan besar-besar di kediaman itu dengan tanpa mengabaikannya. Terus melangkahkan kaki menuju teras lobby di luar dan bertemu dengan dua prajurit pengawal yang menyandang senjata otomatis. Mereka nampak memandang aneh pada Anggitho seperti baru melihat makhluk angkasa yang jatuh dari langit. Tapi kemudian tersenyum dan salah satunya menghampiri ke atas undakan.
“Mas Githoo… kan, sendirian saja di dalam rumah ya ?” sapanya dengan manis.
“Apa semua orang sudah pergi hari ini ?”
“Ooouww… tentu saja. Ini sudah hampir jam sepuluh siang. Mas Githoo sendiri nggak ada acara yaa…?” pengawal bersenjata itu balik bertanya.
“Aku masih ijin cuti sekolah. Apa kalian melihat mbak Intan Hierrawati ?”
“Letnan satu Intan. Tentu saja… Pagi-pagi tadi sudah keluar dengan motor sport kawasaki ZX-6R yang harganya diatas duaratus jutaan itu. Malah masih pagi sekali sebelum semua orang berangkat.” Prajurit pengawal itu menjawab.
“Motor sport… dia punya ?”
“Tentu saja. Dengan income keuntungan bunga bank yang hampir enam milyard perbulan itu, keluarga nyonya Jendral Pangko Daerah Militer Jawa V ini bisa membeli apa saja. Apa Mas Githoo mau dibeli juga ?”
“Aaach… jangan dong.”
“Bercanda kok. Lagian Mas Githoo ini putera angkat mereka yang istimewa. Mas Githoo tentu akan segera dimanjakan dengan berbagai hadiah seperti Letnan satu Intan.”
“Mengapa aku istimewa ?” Anggitho balik bertanya dengan nada ingin tahu.
“Karena hanya Mas Githoo sendiri putera angkat beliau nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho yang di ijinkan tinggal langsung di rumah besar ini.”
“Kan ini darurat… kalau aku tidak mengalami kerusuhan yang di dalangi Don juan Sonny itu, pasti aku diperlakukan sama dengan putera angkat lainnya.”
“Mungkin karena Mas Githoo sendiri istimewa dimata nyonya Jendral Estianni.”
Anggitho menanggapi pujian itu dengan senyum. Kemudian mengikut acara jalan-jalan dua prajurit pengawal yang sedang patroli dengan senjata tersandang. Mereka terus berjalan sembari melihat-lihat keindahan taman dengan kolam ikan yang mengelilingi hampir ke seluruh luas bangunan besar itu. Di bagian belakang. Tepatnya di ujung taman ini ada kolam renang besar dengan bentuk yang artistik. Di sudut kiri sana sebuah garasi besar kendaraan bisa menampung belasan mobil. Tapi mobil pribadi Toyota Alphard 3.5L a/t nyonya Jendral Estianni atau mobil Mitsubishi Pajerro Sport Exceed A/T milik tuan Agung Setiawan Rasmintho. Dan, mobil-mobil pengawal Ford New Everest TDCI Limited Turbo dengan Strobo sirent-light lebih sering terparkir di teras lobby depan ataupun belakang rumah besar. Anggitho senang sekali ada teman berbincang di taman samping kediaman besar itu. Mengamati berbagai tanama hias langka yang di pelihara dengan sangat baik. Tiga staf juru taman bekerja penuh selama seharian menjaga agar bunga-bunga di taman ini tetap segar dan tidak menua.
Sedikit saja terlihat daun-daunnya yang menguning pasti akan segera di potong dan di bersihkan. Nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho dikenal sangat perhatian terhadap bunga-bunga ini. Kalau ada satu tangkai saja bunga yang sudah tua dan rontok masih tumbuh diantara hamparan bunga-bunga segar itu, pasti ketiga staf juru taman berpangkat kopral itu akan di marahi habis-habisan. Tapi nyonya Jendral Estianni juga dikenal sangat pengertian kepada anak buahnya. Kalau ada anggota pasukannya yang terlihat berantakan dan sangat putus asa karena persoalan keluarganya, dia akan mengepalkan lima lembar duapuluh ribuan dan menyuruh prajurit itu pulang untuk menuntaskan persoalannya. Nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho tidak mau prajuritnya yang harus mempertaruhkan nyawa dalam tugas di bebani persoalan keluarga yang tidak perlu. Kalau setelah kesempatan itu si prajurit masih tidak bisa menghadapinya maka dia akan diskors dan dibebaskan dari semua tugas. Anggitho tahu, bagaimanapun nyonya Jendral Estianni itu dulunya orang lapangan. Jadi tidak akan heran kalau dia sangat mengenal beratnya beban tugas yang akan di hadapi setiap prajurit.
Berjalan-jalan di halaman rumah besar ini. Yang dulunya milik seorang komandan tinggi militer Belanda dari Batavia ternyata sungguh mengasyikkan. Akhirnya mereka beristirahat di seperangkat meja-kursi kayu bergaya rustic di tengah-tengah taman rumput yang tanah sekitarnya diplester dengan semen. Di naungi beberapa pepohonan tropis seperti Calathea rosemary dengan daun-daun yang lebar dan eksotik. Lebih teduh untuk menghindari sengatan sinar matahari diwaktu siang mereka juga menambahkan pohon-pohon besar seperti pohon kelapa muda, kamboja, dan pohon palem. Dengan komposisi tanaman yang rapat seperti itu di satu sisi saja telah terbentuk area-area yang berada pada situasi berbeda dengan bagian terbesar taman yang lain. Dimana hanya ada hamparan taman rumput gajah mini, kucai kerdil dan batu-batu kerikil. Sementara di sekitar pepohonan yang merupakan bagian dari pemanis taman diberikan tanaman Cosus dan Calathea yang merupakan kelompok tanaman dari keluarga semak-semak. Kolam renang belakang yang bentuknya artistik itu hanya beberapa meter jaraknya dari tempat mereka.
Sebuah kolam arus berbentuk artistik sedalam satu setengah meter. Wahana menarik ini di kelilingi hiasan air terjun dari pancoran bambu yang mengalirkan air di antara rerimbunan pepohonan. Dengan kenyamanan pijatan air whirpool di sepanjang sisi kolam. Anggitho di temani dua pengawal bersenjata itu. Minum sekaleng blue cola 330ml dari Pepsi dan Snack sumpia udang 165 gram yang dihamparkan di atas meja. Petugas pengawal itu punya satu paket blue cola yang berisi enam kaleng. Mereka menyebutnya akomodasi kuliner dalam penjagaan. Ada banyak di kantor penjagaan supaya mereka tidak bosan. Makanan mereka mendapat layanan dari pantry rumah kediaman. Tiga kali sehari. Mereka menyantap hidangan yang sama dengan menu hidangan untuk keluarga nyonya Jendral Estianni Rahayu Rasmintho. Tapi di kantor penjagaan sendiri yang memiliki tiga ruangan tidur dengan kapasitas tigapuluh enam bed kanvas bertingkat. Seperti yang kebanyakan ada dalam barak-barak tentara. Bangunan kantor penjagaan itu sendiri dua lantai. Salah satu sisinya tembus ke portal penjagaan yang berhubungan dengan jalur elektrik pintu baja geser.
Di dalam ruang istirahatnya ada dua almari pendingin besar yang terisi lengkap dengan berbagai minuman manis dan makanan ringan. Kalau isi almari pendingin itu habis, petugas dari bagian Logistik Kodam akan mengisi kembali dengan berkotak-kotak makanan ringan dan minuman dari sebuah mobil box. Hal yang sama juga dilakukan di almari pendingin rumah dinas asrama para putera angkat keluarga nyonya Jendral Estianni. Sembari menikmati beberapa bungkus snack sumpia udang itu Anggitho masih mengobrol dengan ceria bersama kedua prajurit pengawal. Anggitho mengamati arsitektur taman luar yang indah. Tembok tinggi yang juga di hiasi dengan ornamen pepohonan buatan dan tanaman-tanaman merambat. Pada ujung atasnya beberapa kamera keamanan tampak jeli mengawasi keadaan. Di sini. Meskipun ada tujuh staf layanan rumah tangga dan tiga staf juru taman, kegiatan membersihkan seluruh rumah besar ini memakan waktu hampir setengah hari penuh. Dua staf bertugas mempersiapkan menu hidangan untuk makan siang. Walaupun sesungguhnya nyonya Jendral Estianni sendiri dan suaminya sangat jarang melewatkan makan siang di rumah. Kecuali itu hari minggu atau hari libur lain yang di tentukan Pemerintah.
Anggitho menolak ketika di tawari seporsi nasi gulai. Hidangan lezat yang masih panas dengan segelas Ice serbatt. Dia belum berselera dengan hidangan berat siang ini. Walaupun seporsi nasi gulai itu baru saja masak dari olahan. Tapi Anggitho tidak menolak minum gelas Ice serbatt-nya. Anggitho merasa sangat nyaman menikmati Ice serbatt yang membuat segar tenggorokannya. Walaupun mereka berada di tempat yang teduh, tapi udara siang ini sangat panas. Bahkan dua prajurit pengawal yang terbiasa dengan udara kota besar itu sendiri merasa kegerahan. Serombongan penggemar motor besar kawasaki ZR-6R dengan ridding suit dan helmet tertutup beriringan memasuki gerbang kediaman resmi nyonya Jendral Pangko Daerah Militer Jawa V itu. Ada sembilanbelas motor besar. Masing-masing berboncengan kecuali seorang yang berada di barisan paling depan. Perintah-perintah keras dari para senior club ridder itu berbaur dengan kesibukan profesional-profesional muda yang tergabung dalam kawasaki club dengan pacar-pacar mereka mencari tempat beristirahat di lobby depan kediaman resmi nyonya Jendral Pangko Daerah Militer Jawa V ini.
Teriakan dari wanita-wanita cantik dengan ridding suit yang membagi-bagikan kotak air mineral dalam botol. Air dingin itu dibawa oleh sejumlah staf pelayan rumah dengan nampan. Seperti mereka memberi bantuan pertama pada sekelompok pelarian dari medan perang. Keluar bersama-sama tujuh staf pelayan rumah tangga itu Letnan satu Evie Widyasari yang baru tiba dari markas besar. Dia juga belum menemukan Anggitho ketika masuk.
“Evie… kau lihat Anggitho ?”
“Saya baru datang mbak… Intan. Saya akan menghubungi pasukan pengawal mungkin mereka tahu.”
“Aku akan mandi sebentar. Katakan padanya untuk menemuiku di kamar.” Letnan satu Intan Hierrawati memberi perintah seperti yang biasa dilakukan Mammanya pada salah seorang bawahan.
Letnan satu Intan dengan seragam ridding suit ketat itu melepas sarung tangannya dengan tidak perduli dan meninggalkan teman-teman club motornya di teras lobby. Letnan satu Evie Widyasari berbicara dengan komunikasi radionya kepada petugas pengawal. Komunikasi radio itu di jawab oleh petugas di kantor penjagaan. Tapi di dengar oleh semua unit pengawalan termasuk yang sedang menemani Anggitho di taman belakang. Prajurit pengawal itu segera menjangkau komunikasi radionya dan melaporkan posisi Anggitho.
“Baiklah prajurit. Antarkan sekarang Anggitho ke rumah… Letnan satu Intan menunggunya di ruangan lantai tiga.”
“Baik, Letnan. Kami masuk sekarang.”
Begitu suara yang keluar dari komunikasi radio Letnan satu Evie Widyasari. Dan dia bergegas masuk ke dalam rumah untuk menemui Letnan satu Intan Hierrawati di lantai atas. Letnan satu Intan sudah menyelesaikan mandinya dengan cepat. Masih mengenakan piyama handuk yang hangat dengan rambut hitamnya yang dibungkus kain handuk biasa. Letnan satu Intan membuka almari pakaian dalam pintu-pintu cermin yang menjadi satu bagian dengan dinding kamar itu sendiri. Seperti juga kamar pribadi Anggitho yang istimewa, kamar ukuran lima kali tujuh meter itu juga dilengkapi soffa panjang di depan teve plasma teve LG Plasma 42PT250 berukuran 42 inch dengan Dynamic Contrast Ratio 1.000.000:1 dan Panel Resolution 1024×768(HD Resolution). Dengan Home Theater HB-806 TM denga 3D BlueRay Disc Playback, 850W Power, dan External HDD Playback. Ranjang tidur springbed ukuran besar dan toilet pribadi. Letaknya juga berseberangan. Kalau kamar pribadi Anggitho menghadap ke arah timur sisi kediaman, kamar Letnan satu Intan menghadap ke arah barat. Sisi depan lantai tiga itu ada ruangan besar untuk tamu dan balkon yang cukup luas untuk standing party. Letnan satu Evie Widyasari bisa mencapai depan kamar Letnan satu Intan setelah melewati beberapa tangga mendaki yang melelahkan. Ujung lingkaran tangga itu langsung menuju ke tengah ruangan besar untuk menjamu tamu yang menghadap ke balkon. Letnan satu Evie mengetuk pintunya dan menyapa.
“Mbak Intan… saya Letnan Evie.”
“Masuk Evie… tidak di kunci.” Suara yang di dalam memberi perintah.
Ketika Letnan satu Evie masuk, nampak Letnan satu Intan Hierrawati telah mengenakan Sleeveless top dengan print, Cardigan detail unfisihed, dan best in class Angelina flare cut jeans dengan ikat pinggang motif bordir dari Levi’s. Ridding suit dan helmet balap-nya masih terserak di atas ranjang. Akan di kenakan nanti ketika mau berangkat. Di atas meja riasnya ada sepiring Pan fried beef Pizzaiolla yang merupakan santapan favorit Letnan satu Intan dari Café and Resto langganannya. Di temani secangkir kopi Mozzarella Fritta yang di pesan dari restoran yang sama. Staf pelayan rumah tangga yang meminta kiriman itu seperti yang telah dipesan Letnan satu Intan pagi-pagi sebelum berangkat. Letnan satu Intan juga telah mengeluarkan beberapa stel pakaian ganti dan sebuah tas ransel besar yang akan di isinya dengan beberapa bungkus makanan ringan dan botol-botol besar air mineral. Letnan satu Intan Hierrawati sedang merapikan rambutnya yang terurai sepundak itu ketika Letnan satu Evie masuk. Gadis berwajah Indo-Argentina, yang kecantikannya menyamai Catherine Zetha Jonnes karena tuan Profesor Agung Setiawan Rasmintho memiliki Ibu yang berdarah Amerika latin. Menyambut ajudan pribadi nyonya Jendral Estianni ini dengan sambil lalu.
“Mas Anggitho telah di temukan, mbak. Sedang bersama beberapa penjaga di taman belakang rumah.” Letnan satu Evie Widyasari melaporkan. “Tapi sudah diminta untuk di antarkan kemari.”
“Makasih Evie… sekarang bisa kau membantuku, ambilkan beberapa stel pakaian bersih-nya dan masukkan ke dalam tas ranselku. Kami akan pergi ke desa wisata Sidomulyo kota Batu, mempersiapkan acara bakti sosial kami. Kau tentu sudah diberitahu Mamma soal rencana ini, bukan… karena Mamma Estianni telah menyetujuinya.”
“Iyyaa… mbak. Akan saya persiapkan.”
Letna satu Evie balik menuju ke kamar Anggitho yang ada di seberang. Membiarkan pintu kamar itu terbuka sedikit karena dia berfikir akan segera kembali. Anggitho di antarkan sampai ke balkon teras samping kediaman besar oleh dua prajurit yang mengawalnya. Dan membiarkan sendiri masuk ke dalam. Keramaian yang terjadi di depan tidak terdengar jelas di taman belakang rumah kediaman yang sebesar ini. Jadi awalnya mereka tidak perduli. Mencapai ujung tangga lantai atas itu, Anggitho langsung menuju ke kamar pribadi Letnan satu Intan yang sedikit terbuka. Dia tersenyum melihat pacar keduanya itu sedang berdiri merapikan bajunya di depan cermin. Masuk diam-diam terus memeluk Letnan satu Intan dari belakang. Memeluk erat dan memandangi profil wanita kesukaannya ini dengan seksama dari balik cermin. Bibir merah yang mungil lembut. Leher jenjang wanita yang mempesona. Berwaran keputihan bercahaya karena pantulan lampu. Kontras dengan Sleeveless top-nya yang berwarna agak gelap. Dan Anggitho begitu mengagumi kelembutan kulit pangkal pundaknya yang terjangkau sentuhan bibir itu.
Perbuatan yang bagi Letnan satu Intan sangat menyenangkan manakala mereka berdua pelesiran bersama rombongan alumni Akademi Militer di pulau Bawean kemarin. Tapi menjadi riskan setelah apa yang di bicarakan dengan Mamma Jendral Estianni semalam. Anggitho hendak membalikkan dekapannya dengan agak kasar… dan bibirnya hendak mengulum bibir lembut Letnan satu Intan. Tapi cepat-cepat di tepisnya dan Letnan satu Intan mundur beberapa langkah dengan sopan. Sesaat Anggitho terpana, tidak tahu akan terjadi penolakan seperti itu dan, tidak mengerti ada apa dengan Letnan satu Intan Hierrawati ini. Yang sudah mantap menjadi pacar keduanya dalam ketulusan cinta Anggitho.
“Mengapa, mbak Intan ?”
“Aaach… tidak. Hhmm… kami akan melakukan ridding tour ke kota Batu. Kalau kau tidak capek, nanti bisa ikut. Aku sudah menyuruh Evie untuk mengambilkan baju-bajumu. Agak mendadak memang, harusnya tadi pagi aku memberitahukan rencana ini padamu. Tapi aku melihat kau masih capek dan pulas sekali tidurmu. Sementara aku pagi-pagi harus berkumpul bersama pengendara motor Kawasaki club lainnya di jalan Ijen.” Letnan satu Intan mengalihkan pembicaraan.
“Aku suka jalan-jalan. Daripada bengong sendirian di rumah.”
“Baiklah. Sekarang pilihlah beberapa pakaian ridding suit dalam almariku. Pilih salah satu yang pas dengan ukuran tubuhmu. Helmet-nya juga. Di rack atas.”
Anggitho melakukan saja apa yang di perintahkan Letnan satu Intan. Di salah satu almari berpintu cermin itu Anggitho memang menemukan sederet gantungan pakaian ridding suit semua. Di atasnya ada rack tempat sejumlah Helmet. Di bagian bawahnya berderet pula pasangan sepatu-sepatu balap setinggi lutut. Beberapa ada yang khusus dipakai untuk balapan. Di lengkapi dengan roda lacker dari besi di dalam alas sepatunya untuk putaran mendadak dalam kecepatan tinggi. Anggitho mendapat satu ukuran ridding suit yang pas dengan helmet berkaca gelap dan sepatu boots-nya. Anggitho menunjukkan kepada Letnan satu Intan, dan ternyata dia menyetujuinya. Letnan satu Evie kembali dari kamar Anggitho beberapa saat kemudian. Membawa empat stel baju kaos dan flare cut jeans. Membantu memasukkan baju-baju itu bersama-sama dengan pakaian Letnan satu Intan ke dalam ransel. Selanjutnya dua staf pelayan rumah tangga masuk membawakan senampan penuh bungkusan makanan ringan dan dua botol besar air mineral. Tidak terasa, setelah di masukkan semua ransel punggung itu sudah penuh menjulang tinggi. Yang belum dimasukkan lagi adalah matras tidur dari bahan karet. Yang kemudian di ikatkan begitu saja dibawah ransel.
Warga Desa Pematanglima terbiasa hidup damai jauh dari peradaban di tengah-tengah hutan adat antara Mertung, Kampungbaru, Nipah panjang,dan Muarakumpal. Jalan tembus yang memotong dua wilayah besar antara kota utama Jambi dengan Kualatungkal. Sudah sejak lama kawasan hutan adat di wilayah kota Tanjung Jabung itu menjadi incaran perusahaan tambang minyak dan Gas Alam Axios Ltd. Mexico di Sumatera yang di pertahankan oleh detasemen-B Rimbasti. Pematanglima itu berbanding lurus dengan sumber minyak mereka yang baru di Muaratebo. Mengarahkan jaringan pipa-pipa minyaknya melalui labuhan dagang, Pematanglima dan Nipahpanjang adalah sangat efisien untuk pengapalannya pelabuhan Muarasabak. Tetapi persoalan adat dan banyaknya desa-desa suku yang tersebar diantara hutan adat itu menyulitkan pihak Axios Ltd. Mexico untuk merealisasikannya. Apalagi otoritas Polda Lampung dan Palembang sedang bersengketa soal pihak mana yang harus bertanggung jawab atas tragedi pembantaian rakyat di Mesuji. Yang kebetulan tepat berada di perbatasan propinsi mereka berdua.
Adalah Chief Executive Organized kawasan Asia Axios Ltd. Mexico, Mr. Luccas Antoninno Barilla yang memerintahkan direktur keuangan Axios Ltd. Mexico untuk menyuap pimpinan detasemen-B Rimbasti kota Lhoknga. Brigadir Jendral Rimbasti Achmmad Zainnul yang saat sekarang ini, karena mobilisasi seluruh pasukan Rimbasti ke Jakarta. Hanya di wakili oleh komandan pleton markas Kapten Rimbasti Purnomo Setyahadhi. Tugas utama detasemen-B Rimbasti yang dikomandani Brigjen Rimbasti Achmmad Zainnul selama ini memang adalah mengamankan eksplorasi tambang minyak dan gas alam Axios Ltd. Mexico di Lhoknga ini. Tapi seorang Kapten Rimbasti Purnomo Setyahadhi tidak pernah mengambil keputusan sendiri untuk melakukan operasi besar jauh di luar wilayah Lhoknga. Apalagi sampai ke wilayah tambang eksplorasi minyak Axios Ltd. Mexico yang baru di distrik Muaratebo. Tindakan untuk melakukan operasi pembersihan atas permintaan CEO kawasan Asia Axios Ltd. Mexico ini murni adalah inisiatif pribadinya. Dua tas koper penuh uang dolar senilai lebih dari sepuluh milyard itu sungguh membutakan akal sehatnya.
Kapten Rimbasti Purnomo Setyahadhi lantas berbicara dengan koleganya di lingkungan teras Polda Jambi. Berbicara langsung dengan Kendali Operasi atau KO Polda Jambi Kombes polisi Hendhra Kustonno dengan menjanjikan imbalan dana operasi satu milyard cash kalau Kombes polisi Polda Jambi itu mau mendukung rencananya. Kapten Rimbasti Purnomo Setyahadhi menyatakan bahwa ini perintah operasi resmi Rimbasti yang mendapat dukungan politik langsung dari wakil Menhan Oktaprius Oktaprius Surya Prayoga. Dan di restui oleh Menhan Dr. Muzhar Mochtar. Kapten Rimbasti Purnomo Setyahadhi berjanji bahwa operasi ini akan berlangsung singkat, tidak menimbulkan gejolak dan jauh dari incaran media massa. Setelah mendapatkan kesepakatan koordinasi dengan Kombes polisi Hendhra Kustonno, lalu Kapten Rimbasti Purnomo mengeluarkan perintah kepada Letnan Rimbasti Bayyu Siswanto untuk membawa enambelas anggota pasukannya bergerak ke Jambi. Kendaraan tempurnya terdiri dari sebuah kendaraan taktis Pansher APC Strykes dan di dukung tiga mobil Toyota Hillux minnor change spec-200 bak terbuka yang di persenjatai dengan senjata mesin Koaksikal MacMillan M-60 7.62mm di terbangkan dari Lapangan terbang Blangbintang, Banda Aceh dengan dua pesawat carter Axios Ltd. Mexico.
Ikut dalam rombongan penerbangan itu adalah kepala Security Internal Axios Ltd. Mexico Mr. Ivan Jurric yang mantan perwira komando elite tentara Bulgaria. Mendarat di Lapangan terbang Sultan Thaha, Jambi yang memiliki Tarmak Denharsabang sendiri yang dikelola oleh satuan komando pangkalan Komsraad AU. Letnan Rimbasti Bayyu Siswanto di sambut kedatangannya oleh komandan pangkalan AU itu. Seorang Marsekal pertama Angkatan Udara yang dengan senang hati meminjamkan fasilitas salah satu Hanggar Tarmak-nya untuk kegiatan briefing. Tapi tidak mau ikut campur apapun dalam misi rahasia yang di emban pasukan Letnan Rimbaasti Bayyu Siswanto. Di pihak Operasional Polda Jambi antara lain ada Sesdit Intelpam Polda Ajun Kombes polisi Muhammad Sofhia Supriatna, Kadenma Polda Kompol Hasyiem Hussein Basuni, Kadit Samapta Polda Komber polisi Alfhian Saronto Nainggolan, dan Kombes Hendhra Kustonno sendiri. Mereka membawa tidak kurang dari duaratus orang Sabharra bersenjata lengkap yang diangkut dalam sepuluh unit truck mitsubishi Coltdiesell HD-150Ps kapasitas satu pasukan berikut kebutuhan logistik untuk kesiapan tempur garis pertama.
Enam mobil dinas Timor S-515 DOHC 1.5cc putih patroli jalan raya dengan strobo sirent-light sebagai pembuka jalan dan mobil-mobil dinas untuk petinggi-petinggi Polda yang hadir. Letnan Rimbasti Bayyu Siswanto mempercayakan operasi pasukannya pada Peltu Rimbasti Setiyadhi Djoko Purnomo yang memimpin pasukan Pansher, Serma Rimbasti Sardhonno Santosa, dan Serma Rimbasti Walluyo Rachmman Rahardjo. Meskipun sebuah operasi yang resmi, mereka semua yang hadir dalam taklimat pertama itu di beritahu bahwa missi ini sangat rahasia. Jadi hanya mereka yang diperlukan saja yang boleh tahu tentang adanya operasi ini. Sesdit Intelpam Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna memberikan briefing singkat kepada komandan-komandan pasukan yang hadir baik dari pasukan Rimbasti maupun kesatuan Polisi sendiri. Dengan mengerahkan segenap kemampuannya. Yaitu dengan menyampaikan semua keterangan yang telah di kumpulkan dua anak buah kepercayaannya. Inspektur Ammanudhin Zeinn dan Inspektur Hadhiyonno Marsuidh mengenai kontur pedalaman hutan adat Pematanglima. Tentang desa-desa suku yang menghuni kawasan hutan itu dan aktivitas cocok tanam mereka di sekitar kawasan hutan yang harus di bersihkan.
“Saya tahu ini kawasan hutan pedalaman. Apa akses kendaraan bisa cukup lancar untuk masuk ke dalam ?” Serma Rimbasti Sardhonno Santosa menanyakan lebih detail kawasan medan berat yang akan di lalui.
“Beberapa kendaraan dua gardan mungkin akan bisa mencapai lokasi dengan sedikit kerja keras. Tapi angkutan Truck mitsubishi Coltdiesell HD-150Ps dan sejumlah mobil patroli jalan raya yang mengawal mungkin hanya mengantar sampai jalan utama. Kemudian pasukan pendukung akan menempuh perjalanan delapanbelas kilometer dengan berjalan kaki. Ingat… kita sedang menargetkan sebuah lokasi operasi di tengah hutan adat penuh dengan hamparan lereng pepohonan Kamper, Meranti, dan Sawit. Jalan yang ada hanyalah bekas tapak kendaraan para perambah hutan yang tidak atas perijinan resmi Pemerintah. Bahkan sebagian jalan itu adalah bekas tapak kendaraan para perambah hutan dimasa kolonial belanda.” Kata Inspektur Hadhiyonno Marsuidh.
“Hhmm… ini akan sangat menghambat.” Mr. Ivan Jurric dari Security Internal menyatakan pendapatnya. Sekarang penampilan Mr. Ivan Jurric dengan rompi amunisi dan sepucuk senjata Mousser MP-5 disandangnya menjadi lebih tampak militeristik ketimbang hanya sekedar statusnya sebagai pengamat sipil.
“Kita sedang menghadapi konflik kerusuhan hutan, gantleman. Bukan huru-hara perkotaan. Medan berat dan kontur pegunungan menjadi tantangan yang nyata harus kita hadapi.” Sesdit Intelpam Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna menyatakan dengan tegas.
“Tentu saja. Lalu apa gangguan kita yang lain ?” Letnan Rimbasti Bayyu Siswanto bertanya mantap.
“Yang terberat.” Inspektur Hadhiyonno Marsuidh kembali menyatakan rinciannya. “Ini masih musim hujan. Sejumlah besar medan kemungkinan becek dan berlumpur. Resiko kendaraan mengalami selip parah sangat besar. Jadi kita harus sangat hati-hati. Bahkan medan yang sulit ini bisa membuat sepuah Pansher sekalipun terbalik.”
“Baiklah. Kita akan sangat menjaga itu.” Letnan Rimbasti Bayyu Siswanto berkata. “Sekarang saatnya kita berbagi tugas. Rencana berjalan seperti SOP. Kami yang di depan menegosiasikan penggusuran. Kalian… pasukan polisi membentu barikade sekitar lokasi. Arahkan senjata kalian untuk tembakan peringatan kalau kerusuhan meledak dan perlawanan penduduk pribumi tidak bisa di elakkan. Mengerti tugas kalian ?”
“Kami mengerti, Letnan.” Kata Kendali Operasi atau KO Kombes polisi Hendhra Kustonno.
Lima belas menit kemudian, polisi yang bertugas melakukan pengawalan berangkat lebih dulu dengan suara sirine yang melengking tinggi. Letnan Rimbasti Bayyu Siswanto dan Mr. Ivan Jurric naik ke atas Pansher yang berada di barisan paling depan setelah mobil-mobil dinas Timor S-515 DOHC 1.5cc putih patroli jalan raya dengan strobo sirent-light sebagai pembuka jalan. Di ikuti dengan mobil-mobil bak terbuka Toyota Hillux minnor change spec-200 yang dipersenjati MacMillan M-60 7.62mm, kemudian truck-truck polisi. Sementara pansher APC Strykers mempunyai moncong meriam Hispano Suezha kaliber 76.2 milimeter dalam kubah turretnya. Dari perjalanan kota Jambi menuju distrik Sengerti yang lengang, mereka bergerak menembus padatnya perkotaan yang memacetkan jalanan hampir di seluruh kota. Kemudian melewati tanah pedesaan yang semakin melandai dan angin bertiup semakin kencang. Dari Jambi ke Sengerti yang sekitar limapuluh kilometer mereka hanya di suguhi hamparan luas pemandangan hutan Meranti yang kering.
Jalanan sangat lancar dan hampir-hampir tanpa hambatan. Kendaraan yang lewat mulai jarang. Malahan hampir-hampir tidak ada. Masyarakat Jambi memiliki alternatif jalan sungai yang lebih enak di tempuh daripada jalanan darat yang melenggang kosong di tengah-tengah hutan Meranti. Jalanan lurus bagai anak panah yang menuju ke daerah berrawa-rawa. Barisan panjang konvoi bersenjata itu bergerak terus beriringan menembus kekosoangan tengah hutan Meranti dan ladang sawit yang di bangun oleh penduduk-penduduk kaya pemilik hak penguasaan hutan adat. Beberapa kali nampak kendaraan perkebunan. Truck-truck kelas Tronton Hinno dan Nissan yang keluar dari tengah perkebunan dengan muatan penuh panen sawit dan tebangan kayu Meranti. Nyaris memotong jalur mereka dengan tiba-tiba. Segera berhenti begitu mendengar lengking suara sirine polisi yang meraung-raung. Kebanyakan mereka bergerak menuju ke kawasan Sengerti yang dekat dengan Ibukota Jambi dan Kualatungkal yang menjadi jalur utama pengapalan eksport hasil olahan CPO sawit mentah. Banyak Industri-industri raksasa pengolahan sawit yang merupakan sumber utama pajak anggaran belanja Pemkot kota Jambi berada di kota Kualatungkal ini.
Sedangkan kawasan distrik Sengerti adalah perkotaan kecil di kilometer limapuluh kota Jambi yang menjadi pusat Industri pengolahan kayu-kayu Meranti dan Kamper yang di tebang dari kawasan hutan-hutan adat Mertung, Nipahpanjang, dan Muarasabak. Titik sasaran yang sedang mereka kejar masih puluhan kilometer lagi. Jauh tersembunyi di dalam hutan-hutan Meranti dan Kamper yang merupakan hamparan lembah dan sedikit bagian yang berbukit. Akhirnya mereka meninggalkan kawasan distrik Sengeti yang hanya meliputi beberapa dusun Industri pengolahan kayu lapis dengan asrama-asrama pekerja imigrant yang lebih menyerupai kamp konsentrasi tahanan perang. Sebuah kantor Camat merupakan bangunan luas dan biasa diantara rumah-rumah dagang yang kaya-kaya. Kebanyakan penduduk kota kecil ini menyewakan lahan-lahan perkebungan untuk sawit dan membuka grosir-grosir perdagangan dari kota Jambi untuk melayani para pekerja pendatang. Kemudian jalanan terus melata di tengah-tengah hutan Meranti dan Kamper yang lengang. Kawasan hutan belantara ini bisa sampai puluhan kilometer jauhnya sebelum mencapai kota kecil terdekat.
Di tengah-tengah hutan belantara antara Sengerti, Mertung, dan Kampungbaru. Rombongan panjang itu berhenti. Satuan Pansher yang di ikuti tiga mobil bak terbuka Toyota Hillux minnor change spec-200 membelok lebih masuk ke dalam hutan. Letnan Rimbasti Bayyu Siswanto turun dari atas Pansher Strykers untuk berbicara dengan komandan-komandan polisi yang mendukung operasinya. Ada Sesdit Intelpam Polda Ajun Kombes polisi Muhammad Sofhia Supriatna, Kadenma Polda Kompol Hasyiem Hussein Basuni, Kadit Samapta Polda Kombes polisi Alfhian Saronto Nainggolan, dan Kombes Hendhra Kustonno yang mobil-mobilnya berada di barisan paling buncit. Bersama Letnan Rimbasti Bayyu Siswanto ada Mr. Ivan Jurric yang kelihatannya menjadi Second Command dalam hierartki ekspedisi Pematanglima ini. Pasukan yang di dalam kendaraan dipersilahkan turun. Membawa senjata dan seluruh perlengkapan mereka. Termasuk matras tidur, baju ganti, dan makanan mentah dalam kemasan untuk tiga hari. Rompi amunisinya dipersiapkan sampai tiga tingkat untuk persiapan tempur garis pertama. Memang seperti itu perintah yang datang dari atas. Dan di sampaikan langsung oleh Sesdit Kendali Operasi atau KO Kombes polisi Hendhra Kustonno.
Mobil-mobil dinas Timor S-515 DOHC 1.5cc putih patroli jalan raya dengan strobo sirent-light mengambil posisi parkir dengan sedikit memutar arah dan berhenti berderet di seberang jalan. Sementara truck-truck angkut pasukan Mitsubishi Coltdiessel HD-150Ps turun dari jalan aspal dan berhenti di pinggir. Seluruh anggota pasukan Sabharra Polda di perintahkan turun untuk mengadakan apel singkat di tanah lapang sela-sela kawasan hutan Meranti. Pasukan harus melapor kepada komandan pleton masing-masing di tempat berkumpul. Sementara anggota-anggota Logistik bagian kendaraan menurunkan perlengkapan milik mereka sendiri untuk bersiap-siap melakukan tugasnya. Mereka akan berada cukup lama untuk menunggu. Sementara semua orang pergi dengan berjalan kaki jauh di dalam hutan. Tapi yang menjadi pekerjaan pertama bagi mereka sekarang adalah memberi makan kepada semua pasukan yang akan berangkat ke medan perang. Seluruh anggota pasukan Sabharra Polda Jambi ini di kumpulkan dengan tergesa-gesa oleh Kadenma Polda Kompol Hasyiem Hussein Basuni, dan Kadit Samapta Polda Kombes polisi Alfhian Saronto Nainggolan. Mereka tidak di beritahu apa tugasnya sampai saatnya mereka akan di beritahu.
Pada saat semua orang sibuk bersiap-siap, Sesdit Intelpam Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna menemui Inspektur Hadhiyonno Marsuidh secara diam-diam. Menyerahkan sebuah peralatan micro camerra yang terkemas dalam sebuah kapsul earphone. Earphone dihubungkan pada sebuah kabel panjang dengan dekoder perekamnya yang harus ditempelkan pada balik pinggang Inspektur Hadhiyonno Marsuidh. Ajun Kombes polisi Sofhia menyatakan.
“Kau kenakan ini… dan kau akan menjadi mata dan telingaku di belakang sepak terjang mereka.” Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna memberikan pengarahannya sendiri. “Kau akan masuk ke unit khusus pendukung yang harus berjalan tepat di belakang kendaraan pansher mereka. Lihat apapun yang terjadi dan mereka tidak akan tahu.”
“Anda hendak bermaksud mengkhianati mereka, tuan Komisaris. Sangat berbahaya bermain-main dengan Rimbasti.”
“Aku tidak percaya dengan mereka. Tapi kita harus patuh pada perintah KO Kombes polisi Hendhra Kustonno. Ini ansuransi pribadiku kalau tiba-tiba kasus ini gempar di Media. Kita harus menyiapkan jaminan hari tua kita sendiri. Karena kalau tragedi biadab ini muncul ke permukaan… yang pertama kali menjadi sorotan adalah Polda Jambi. Bukan mereka, atau institusi Rimbasti pada umumnya.”
“Saya mengerti… Komisaris. Akan saya lakukan dengan hati-hati.”
Di tengah-tengah kawasan hutan Meranti ini Letnan Rimbasti Bayyu Siswanto mengumpulkan semua Danton bersama-sama dengan para petinggi Polda yang ikut. Tapi bukan lagi Letnan Rimbasti Bayu Siswanto yang memberi tatklimat. Melainkan Mr. Ivan Jurric yang sekarang mewakili perusahaannya menjadi kendali operasi tertinggi. Inspektur Hadhiyonno Marsuidh yang telah mengenakan rompi amunisinya menutupi seragam sipil sebagai personel lapangan Intelpam Polda Jambi. Mengenakan helmet baja dengan lubang peredam suara dan kapsul penjepit telinga peralatan earphone. Alat seperti ini hal biasa dipergunakan personel lapangan untuk berkomunikasi dengan atasanya. Tapi tidak ada yang menduga kalau perlengkapan itu disusupi dengan micro camerra. Orang seperti Ajun Kombes polisi Sofhia supriatna apalagi Kombes polisi Hendhra Kustonno tidak akan mau repot mengikuti pasukan masuk jauh ke pedalaman hutan. Tapi mereka akan menunggu bersama personel Logistik bagian kendaraan ini. Atau bersantai-santai dengan buaian AC mobil dan alunan lembut dari sound system mobil dinas mereka sendiri.
Briefing singkat yang di lakukan Mr. Ivan Jurric untuk mengatur siasatnya sendiri jauh dari semua yang di rencanakan Kombes polisi Hendhra Kustonno sebelumnya. Dan duaratus anggota Sabharra Polda itu tidak bisa berbuat apa-apa karena mereka sudah di bawah kendali operasikan kepada Letnan Rimbasti Bayyu Siswanto. Tidak akan ada tembakan peringatan atau peluru karet yang harus di tembakkan sejauh limapuluh kaki. Mereka di perintahkan mengganti semua amunisi dengan peluru tajam. Dan tugas mereka adalah membuat barikade pengepungan. Menembak mati siapa saja yang berusaha meloloskan diri dari lokasi pembantaian di kampung adat Pematanglima. Sementara pasukan Rimbasti terus melakukan serangan dan pembantaian massal. Inspektur Hadhiyonno Marsuidh telah menyalakan micro camerra-nya dan Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna bisa merekam semua kejadian didepan mata bawahannya itu dengan layar plasma pada perangkat Laptop-nya di dalam mobil. Sedang supir dinasnya bergabung dengan para supir bagian kendaraan main kartu untuk mengusir tanpa taruhan untuk mengusir bosan.
Setelah dibagikan masing-masing satu kardus nasi rendang dengan daging gulai pedas dan urap bayam, pasukan boleh istirahat dan menikmati makan siangnya sebelum melakukan perjalanan jauh. Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna masih di dalam mobil dengan mainan pribadinya saat pintu di ketuk dari luar. Ada Kombes polisi Alfhian Saronto Nainggolan yang datang dengan dua kardus nasi rendang. Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna menoleh. Mematikan mesin laptop-nya dan dan membuka pengait pintu dari dalam.
“Heei… Soofh. Kau baik-baik saja.”
“Ekspedisi Pematanglima ini membuatku sangat repot dan lelah, komisaris.” Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna menjawab dengan tak acuh.
“Yeea… operasi Pematanglima memang telah merepotkan semua orang. Bahkan aku tidak pernah mendengar soal rencana operasi ini dari beliau Kepala Polda sendiri dalam pembicaraan tidak resmi beberapa minggu ini. Kita tidak sedang bersengketa dengan masyarakat adat Sengerti, Mertung, dan Kampungbaru. Jauh-jauh hari otoritas Muspida Jambi bahkan sudah menolak ketika dua tahun lalu pihak Axios Ltd. Mexico sektor Muarasabak mengajukan proposal pembebasan lahan hutan adat untuk jalur pipa eksplorasi minyak mereka di Muaratebo. Mengapa sekarang tiba-tiba operasi penggusuran itu malah di jalankan ?”
“Aku juga tidak menduga ketika disodori dokumen Surat Perintah Operasi yang di tanda tangani wakil Menhan Oktaprius Oktaprius Surya Prayoga. Dan KO Kombes polisi Hendhra Kustonno memintaku mengumpulkan informasi apapun soal dusun adat Pematanglima ini.”
“Oouuyya… ini makan siangmu.” Kombes polisi Alfhian Saronto Nainggolan menyodorkan kardus makanan untuk sahabat polisinya dan mendesak masuk di sebelah tempat duduk Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna.
Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna menerima kardus makan siang itu dan membuka nasi rendang dengan irisan gading gulai pedas itu. Juga dengan urapan cabe hijaunya yang khas. Satu bagian dari kardus makan siang itu sudah termasuk segelas air mineral yang diselipkan di sudut kardus dengan sedotan. Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna kontan menyantapnya sesuap.
“Soofh… kau tidak melihat aroma skandal ini bakal menyeret jatuh banyak orang ?”
“Kita ini hanya pelaksana tehnis di lapangan, komisaris.” Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna tidak berterus-terang dengan pendapatnya sendiri.
Kombes polisi Alfhian Saronto Nainggolan menyetujui pendapat sahabatnya itu dan tidak mengajukan pertanyaan lagi. Melainkan hanya melanjutkan menyantap nasi rendang dalam kotak kardus seperti yang di lakukan Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna. Personel Logistik bagian operasional kendaraan yang mengapit jalur lengang selebar delapan meter antara distrik Sengerti dan Mertung ini hanya bersantai di gelaran-gelaran matras mereka sendiri. Atau pada puing-puing pohon Meranti bekas tumbangan karena usia uzur. Yang memang terlihat beberapa nampak berserak di pinggir jalan. Sama seperti juga yang di lakukan petugas polantas yang memarkir kendaraan di sisi seberang jalan. Mereka berkumpul di tempat teduh dengan gelaran matras. Sound system Audio salah satu mobil yang terbuka pintunya nampak mengalunkan suara musik berirama sekedar untuk mengusir rasa jenuh. Karena kehadiran Kombes polisi Alfhian Saronto Nainggolan, Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna tidak bisa mengikuti rekaman visual anak buahnya yang mengikuti pasukan jalan kaki. Tapi sinyal penerima Laptop-nya masih efektif menerima siaran hingga jarak tigapuluh kilometer. Sasaran mereka tidak sampai sejauh itu.
Pasukan Mr. Ivan Jurric yang kini memimpin operasi pembersihan rahasia itu telah bergerak menusuri jalan bekas perambah hutan yang terjal dan berkelok-kelok. Sebagian jalanan itu becek dan licin. Persis seperti sirkuit off road kendaran ATV. Pansher Letnan Rimbasti Bayyu Siswanto bergerak lebih dulu. Di ikuti mobil-mobil Toyota Hillux minnor change spec-200 bak terbuka yang di pasangi senjata mesin koaksikal MacMillan M-60, dan pasukan-pasukan Sabhara polisi bersenjata lengkap yang harus berlari di tengah medan sulit sejauh delapanbelas kilometer. Mereka harus bergerak dengan setengah berlari menyusuri lahan-lahan rimbun diantara semak belukar dan pohon-pohon Meranti serta Kamper yang besarnya bisa selebar bentangan tangan dua orang dewasa. Pasukan polisi yang berjalan kaki berada dalam kendali operasi Inspektur Ammanudhin Zeinn dan Inspektur Hadhiyonno Marsuid. Meskipun ada tiga orang ajun Komisaris polisi di dalamnya dan beberapa inspektur lapangan yang memimpin pleton-pleton polisi.
Inspektur Hadhiyonno Marsuid membawahkan sekitar empatpuluh polisi Sabharra. Bertugas mengikuti rombongan mobil-mobil penyerang Hillux minor change spec-200 di posisi pemukul utama. Sedangkan Inspektur Ammanudhin Zeinn bergerak dengan sekitar seratus enampuluh anggota polisi Sabharra yang lain sebagai satuan barikade yang akan mengepung seluruh lokasi perkampungan Pematanglima dan meyakinkan bahwa tidak seorangpun akan lolos. Sekitar dua jam kemudian moncong meriam Hispano Suezha kendaraan Pansher Strykers telah muncul pertama kalinya di batas perkampungan Pematanglima yang tengah beraktifitas. Perkampungan itu masih berjarak sekitar setengah kilometer. Tapi sudah jelas terlihat kesibukan warganya. Seperti kebanyakan aktivitas perkampungan suku pedalaman Sumatera. Rumah-rumah panggung tanpa daun jendela. Atapnya terbuat dari daun kelapa dan dindingnya dari kulit kayu. Hanya ada wanita dan anak-anak yang sedang beraktivitas. Para pria hampir semuanya yang berbadan tegap dan masih mampu kerja pergi berkelompok mencari binatang buruan jauh ke dalam hutan.
Wanita-wanita pedalaman itu masih pakaian yang terbuat dari kulit kayu dikeringkan, dan menggunakan rock yang dirajut dari tumbuh-tumbuhan. Setiap rumah panggung rata-rata dihuni oleh tiga hingga empat keluarga. Masing-masing berdiam satu keluarga untuk satu kamar saja. Jadi kamar itu merangkap sebagai tempat tidur, dapur, dan tempat penyimpanan sagu atau kerang-kerangan lain. Santap siang mereka pada umumnya adalah sagu dan kerang-kerangan yang direbus begitu saja dengan air. Cara makannya, satu tangan mereka menyuap bubur sagu dan tangan yang lain menyantap daging kerang yang telah direbus begitu saja. Tanpa bumbu dan garam. Minumnya mereka suka sekali dengan air kelapa muda dan tembakau yang dilinting. Malam hari ketika suami-suami sudah dirumah biasanya mereka akan membawa daging musang, daging russa atau babi hutan. Tiga kilometer dibagian timur dan barat perkampungan ini ada perkampungan adat Katurai dan perkampungan adat Pasarkiat. Rumah-rumah adat mereka besar-besar yang di dalamnya sangat gelap karena tidak di lengkapi dengan jendela. Sekelilingnya penuh dengan tengkorak-tengkorak kepala binatang yang pernah mereka buru dan santap.
Alat-alat komunikasi tradisional yang berupa gendang mereka letakkan di serambi. Tangga naiknya berupa undakan dari pohon kelapa. Kalau laki-lakinya sedang berburu, para wanita bahu-membahu mengupas pohon sagu dan mengolahnya berhari-hari hingga menjadi bubur sagu yang bisa dimakan. Terkadang sagu disantap dengan pepes ikan bakar atau daging lokan. Setelah itu mereka menutup makan besar dengan menyantap buah durian yang memang banyak di dalam hutan. Di belakang perkampungan mereka dataran meninggi dengan sebuah bukit Kamper di ujungnya. Ada sebuah keluarga yang hanya makan rebusan pisang dicampur dengan serut kelapa dengan campuran air kelapanya. Kulit lokan di jadikan sebagai sendok dan mereka makan dengan sangat lahapnya. Letnan Rimbasti Bayyu Siswanto menghentikan gerak maju pasukannya. Memerintahkan kendaraan dalam formasi serangan dan anggota polisi dalam satuan pemukul bergerak menyebar membentuk bentangan. Mr. Ivan Jurric masih berdiri di atas badan Pansher memerintahkan Letnan Rimbasti Bayyu Siswanto untuk maju.
“Kita perlu lebih dekat dan memulai serangan bombardier meriam… Bayyu.” Kata Mr. Ivan Jurric.
“Kita harus menunggu formasi satuan barikade Sabharra polisi untuk berjalan memutar Mr. Ivan.”
“Baiklah… suruh mereka cepat.” Mr. Ivan Jurric melihat tanda waktu di arlojinya dengan tidak sabar.
Sementara pasukan jalan kaki Sabharra polisi terus bergerak menjadi dua bagian kelompok besar. Inspektur polisi Ammanudhin Zeinn mengkoordinasikan komandan-komandan pasukannya dengan radio komunikasinya yang menggunakan kabel earphone. Setengah pasukan itu mendaki mengitari perbukitan untuk mendapatkan posisi nyaman di atas perkampungan adat Pematanglima. Mr. Ivan Juric menginginkan begitu semuanya siap, tembakan meriam kaliber 76.2 milimeter Hispano Suezha yang pertama kali mengawali serangan. Kemudian satuan penyerang Rimbasti merangsek maju dengan di dukung oleh empatpuluh anggota pemukul Sabharra polisi dibawah Inspektur polisi Hadhiyonno Marsuidh. Gerak maju pasukan jalan kaki itu akan di dukung oleh tembakan full otomatis dari senjata mesin koaksikal MacMillan M-60. Seperti yang sudah mereka diskusikan dalam tatklimat singkat di pusat kendali operasi lapangan sebelum mereka berangkat berjalan kaki kemari. Mr. Ivan Jurric yang seorang veteran perang gaek Eropa Timur itu tidak senang dengan keterlambatan-keterlambatan. Dia sangat menghargai ketepatan waktu.
Kemudian Inspektur polisi Ammanudhin Zein mengabarkan melalui radio komunikasinya bahwa seluruh pasukan pendukung garis kedua telah siap menempati posisi-nya masing-masing. Menunggu perintah untuk mulai bergerak. Dia berada entah dimana dalam hamparan ladang perkebunan kampung adat Pematanglima yang di tumbuhi Sagu, pohon-pohon kelapa dan semak-semak akar wangi. Daerah perkampungan Pematanglima yang agak tersembunyi dibalik kerimbunan tengah hutan itu sebentar lagi akan berupah menjadi medan peperangan yang kejam dan ladang pembantaian manusia yang maha dahsyat. Bagian tengah-tengah perkampungan itu masih agak terbuka dengan jalan rumput dan halaman-halaman rumah yang dipenuhi anak-anak ayam dan ternak babi.
“Mereka sudah menunggu tanda isyarat dari kita, Mr. Ivan.” Letnan Rimbasti Bayyu Siswanto naik ke atas Pansher setelah berbicara dengan anak buahnya yang menyandang radio SSB. “Sepertinya hanya para wanita, orang tua, dan anak-anak saja yang terlihat beraktivitas. Saya tidak melihat kaum prianya. Mungkin sedang berburu jauh masuk ke dalam hutan.”
“Kita tidak mungkin lama menunggu mereka.”
“Kalau begitu bumi hanguskan yang ada saja. Perkampungan ini harus rata dengan tanah dan sisanya bakar habis.” Pendapat Letnan Rimbasti Bayyu Santosa kepada Mr. Ivan Jurric.
Dua menit kemudian rombongan Pansher mendekat yang di ikuti mobil-mobil toyota Hillux minnor change spec-200 yang mengarahkan senjata mesin MacMillan M-60 mereka. Tanah lumpur sekitarnya menjadi bergetar dengan kepulan asap dari kendaraan-kendaraan yang harus menghindari selip. Kendaraan agak sulit melebarkan formasi tempurnya karena rapatnya pepohonan yang ada di sekitar perkebunan kampung adat. Tapi merupakan kamulfase yang sangat bagus bagi pasukan jalan kaki untuk menyelinap jauh lebih ke dekat perkampungan itu. Wanita-wanita masih nampak sibuk dengan kegiatan menyaring sari-sari bubur sagu di selokan kecil dekat anak sungai yang melintasi sisi perkampungan adat. Mereka bekerja sembari bercanda riang. Seakan tidak menduga sama sekali ini akan menjadi akhir dari riwayat hidup mereka. Anak-anak kecil nampak riang bermain kejar-kejaran di sekitar perkampungan. Gadis-gadis kecil kompak bermain daichon dengan biji-biji Srikaya dan sebagian dari anak laki-laki bersaing dalam memainkan gansing-nya. Di serambi-serambi rumah adat, mengawasi semua aktivitas sehari-hari itu kakek dan nenek-nenek mereka terlihat duduk-duduk mengatasi gerah cuaca panas.
Ketenangan kakek dan nenek-nenek yang sudah berusia uzur itu tiba-tiba terhenti dengan kejadian luar biasa ledakan dahsyat di depan mereka. Di susul ledakan-ledakan lain yang menumbangkan pohon kelapa di sisi rumah mereka, menghancurkan gudang-gudang sagu dan beberapa rumah adat di belakang mereka. Senjata mesin mulai ikut menyalak memberondong anak-anak kecil yang tengah bermain-main di tengah perkampungan. Wanita-wanita yang semula berkumpul di pinggir sungai itu berhamburan memburu ke arah anak-anak mereka sendiri. Di tengah ketakutan dan kepanikan yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya, sebagian dari ibu-ibu itu dengan tangis anaknya di dalam gendongan bahkan terlempar oleh ledakan dahsyat dari peluru meriam 76.2 milimeter. Mayat-mayat bergeletakan dengan tubuh hancur tidak karuan. Sedangkan beberapa puing-puing rumah telah mengalami kehancuran total dan terbakar. Para Kakek dan nenek-nenek yang tetap tinggal di beranda berteriak-teriak ketakutan. Berusaha untuk meniti turun batang pohon kelapa yang tidak mudah. Sebagian malah telah ikut tewas bersama puing-puing rumah yang terbakar.
Setelah beberapa lama membuat kerusakan dan kehancuran, akhirnya wanita-wanita yang panik itu di kumpulkan ke tengah-tengah perkampungan. Di rumah Umma… tempat tinggal kepala adat yang berdiri paling kokoh dan paling besar bangunannya. Melewati puing-puing batang pohon kelapa dan kakao yang habis terbakar. Juga beberapa bangunan rumah adat warga perkampungan Pematanglima yang hancur. Mereka di giring bersama dengan anak-anak yang buntung kakinya atau usus yang terburai karena terkena pecahan boom. Wanita-wanita masih ketakutan. Tapi tentara-tentara anggota pasukan elite Rimbasti dan polisi-polisi dari satuan pemukul tidak mau perduli. Tidak juga ingin memberinya pertolongan pertama bagi korban luka. Selain dari hanya memaksanya bersimpuh ditengah-tengah perkampungan dalam pilunya tangisan-tangisan bayi dan wanita-wanita yang kesakitan. Pertempuran satu arah itu memang tidak seimbang. Mereka menyerang dengan keji wanita-wanita pedalaman yang tidak berdaya. Bayi-bayi yang hanya bisa menangis dan meregang nyawa dengan tidak mengerti. Atau para Kakek dan nenek-nenek yang bahkan untuk berjalan saja susah. Sehingga banyak yang harus terpanggang hidup-hidup dalam rumah-rumah panggung yang meledak dan terbakar.
Dari enamratus jiwa penghuni limabelas rumah panggung perkampungan adat Pematanglima ini. Seratus limapuluh pria dewasanya semua sedang jauh berburu di tengah hutan belantara. Limapuluh para kakek dan nenek-nenek yang sudah tua renta tinggal sepuluh orang yang selamat dari ledakan-ledakan dengan cara menjatuhkan diri ke tanah yang tingginya hampir empat meter. Yang tindakan itu bahkan bisa membuat tulang-tulang persendian mereka yang sudah rapuh terkoyak dan lumpuh selamanya. Sebelum terjadi ledakan hebat di bangunan-bangunan rumah adat mereka. Tigaratus wanita-wanita yang sebagian telah bersuami dan sedang menyusui bayi-bayinya, kini tinggal seratus saja yang selamat dan masih hidup. Sedang dikumpulkan dengan paksa dibawah ancaman moncong senapan di depan rumah kepala adat Umma… Seratus anak-anak yang sebagian besar masih berada dibawah usia lima tahun yang kini masih tersisa duapuluh anak saja dengan kaki-kaki buntung karena boom, sebelah tangannya yang hancur di hantam serpihan mortir. Hingga bagian dari tubuhnya yang terkoyak terserempet desingan-desingan peluru maut.
Darah mengucur dimana-mana sehingga sejumlah genangan-genangan air di pekarangan berlumpur akibat hujan semalam semuanya nampak berwarna merah. Perkampungan adat Pematanglima itu sebagian terasa panas akibat puing-puing bangunan yang terbakar. Pohon-pohon yang tumbang bekas boom dan bagian bekas pangkalnya masih menganga karena ledakan. Anggota-anggota tentara elite Rimbasti, anggota-anggota satuan Sabharra polisi yang menjadi satuan pemukul utama dibelakang unit Rimbasti itu mengepung tempat wanita-wanita berpakaian kayu-kayu kering yang dirajut itu sambil tertawa-tawa. Seperti sekelompok Iblis jahanam yang telah berhasil memasukkan Siti Hawwa ke lubang neraka.
“Hei… entah bagaimana dengan kalian.” Mendadak Mr. Ivan Jurric maju menghampiri Eeitha… puteri kepala adat Pematanglima yang paling cantik dan terawat sempurna kulit putihnya. “Tapi aku mau berpesta sebentar dengan nonni cantik ini sebelum nanti membunuhnya.”
Mr. Ivan Jurric yang menyandang senjata Mousser MP-5 itu menyambar kerah leher puteri Eeitha yang seperti bidadari di tengah kumuhnya hutan belantara. Tersenyum dan terus memaksanya naik ke dalam rumah kampung adat. Perbuatan bejat itu segera di ikuti oleh enambelas anggota pasukan elite Rimbasti yang lain. Bahkan Letnan Rimbasti Bayyu Siswanto ikut memilih salah satu gadis tercantik di perkampungan adat Pematanglima itu dan meramaikan kegiatan pesta seks di dalam rumah panggung Umma… milik kepala adat. Tetapi Inspektur Hadhiyonno Marsuidh yang sudah menganggap perbuatan-perbuatan anggota pasukan Rimbasti mengikuti kelakuan-kelakuan Mr. Ivan Jurric itu sebagai hal biadab. Melarang anggota polisi yang hendak mengikuti perbuatan mereka. Semua yang sedang terjadi dan dia lakukan di tengah perkampungan adat Pematanglima itu telah di lihat di direkam dengan baik oleh Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna di layar Laptop-nya didalam mobil dinas yang sedang di diaminya sendirian.
“Kalau ada dari kalian yang mau mengikuti perlakuan bejat mereka, aku tembak sekarang.”
“Bagaimana dengan tawanan-tawanan wanita yang lain, Inspektur ?” seorang bripka yang senior diantara satuan Sabharra polisi di unit pemukul itu mengajukan pertanyaan kepada komandannya.
“Ikat saja mereka menjadi satu, dan kumpulkan semua anggota polisi disini. Kita menunggu perintah-perintah operasi selanjutnya sambil berkumpul. Agar kalian tidak tergoda.”
“Baik Inspektur.”
Beruntungnya anggota-anggota satuan Sabharra polisi Polda Jambi itu menurut perintah Inspektur polisi Hadhiyonno Marsuidh. Setelah wanita-wanita tidak berdaya itu di ikut menjadi satu dengan tali yang kuat, ke empatpuluh polisi diperintahkan membentuk kelompok-kelompok berkumpul sendiri di pinggir tanah lapang tengah-tengah perkampungan adat itu. Senjata-senjata terkunci dengan pengamannya dan diletakkan bersama-sama membentuk formasi kerucut seperti layaknya anggota militer yang tengah beristirahat. Inspektur Hadhiyonno Marsuidh memerintahkan mereka minum dan memakan ransum mereka sendiri sambil menunggu. Sejenak terdengar teriakan wanita-wanita yang tengah mempertahankan kehormatannya di dalam rumah panggung. Serta erangan dari orang-orang yang tengah kerasukan perbuatan bejat iblis menikmati surga keperawanan wanita. Tidak lama kejadian-kejadian memilukan itu berlangsung. Erangan-erangan kenikmatan itu selalu di akhiri dengan letupan senjata. Satu persatu anggota pasukan Rimbasti nampak turun sembari mengancingkan resleting-resleting celana mereka yang kedodoran. Menapak di pelataran rumah nampak senyum-senyum kepuasan mereka yang mengembang.
Mr. Ivan Jurric adalah orang yang paling terakhir keluar dan turun meniti tanggap pohon kelapa. Di bawah sudah ada Letnan Rimbasti Bayyu Siswanto yang menatapnya menunggu perintah.
“Bagaimana dengan sisa wanita-wanita yang lain, Mr. Ivan ?”
“Tembak mereka semua. Kalian tidak ingin masih ada orang yang terus hidup dan menjadi saksi kebiadaban kalian ?” Mr. Ivan Jurric menyatakan dan terus melenggang meninggalkan tempat terkutuk itu. Sebentar kemudian terdengar rentetan tembakan dari anggota pasukan Rimbasti. Kali ini hanya dari anggota pasukan elite Rimbasti dengan sekelompok anggota polisi di bagian lain tanah lapang itu yang menyaksikan kebiadaban mereka dengan tidak percaya. Bahkan bayi-bayi yang menangis di pangkuan sang Ibu saat sedang meregang nyawa ikut ditembak. Seperti kata Mr. Ivan Jurric. Tidak boleh ada satupun saksi mata yang akan membongkar kebiadaban mereka ini. Setelah semuanya selesai, anggota-anggota Rimbasti melemparkan granat-granat fosfor yang membakar bangunan-bangunan rumah perkampungan adat yang masih tersisa. Dan seluruh rombongan di perintahkan meninggalkan tempat terkutuk itu.
Jam enam menjelang matahari surut rombongan-rombongan pemburu dari desa-desa adat sekitar Pematanglima mulai kembali. Mereka menjadi terkejut dan takut setengah mati melihat kebiadaban yang terjadi. Puing-puing rumah perkampungan adata Pematanglima masih berbau tubuh-tubuh manusia yang hangus terbakar dan menimbulkan aroma kematian yang sangat kental. Para laki-laki terjatuh berlutut didepan puing-puing perkampungan adat itu menangisi keluarga mereka yang telah tewas. Salah satu dari rombongan pria-pria pemburu itu. Yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan orang-orang primitif ini adalah seorang Ilmuwan bernama Dr. Tomm Chuawiwat. Dia relawan pecinta lingkungan yang sedang mengerjakan penelitian dibawah bendera Organisasi Perlindungan Satwa Langka Dunia. WWF. Sedang tekun melakukan pengamatan terhadap burung Beo dan Siamang yang memang banyak berada di daerah sekitar perkampungan Pematanglima itu. Dr. Tomm Chuawiwat secara cerdik memasang kamera tersembunyi diatas pohon. Di tempat yang sama sekali tidak di sadari oleh hewan-hewan pemalu itu.
Salah satu kamera-nya terpasang tepat diatas bukit dengan pemandangan yang cukup bagus ke arah perkampungan adat Pematanglima. Sore itu sebelum keburu malam, Dr. Tomm Chuawiwat diantarkan oleh tiga orang anggota satuan Jagawana dinas Polhut kota distrik Mertung. Selama kegiatan Observasi lingkungan ini Dr. Tomm Chuawiwat memang tinggal di pusat asrama kegiatan Jagawana dinas Kehutana distrik Mertung. Mengambil keping DVD yang merekam kamera malam itu dan menggantinya dengan kaset yang baru. Dan melanjutkan perjalanan tanpa keinginan untuk memeriksa kegemparan yang terjadi di perkampungan adat Pematanglima. Mereka tidak ingin menimbulkan persoalan sehingga harus bentrok dan terkena sambitan sumpit suku pedalaman Pematanglima yang terkenal sangat mematikan. Malam setelah kejadian yang mengusik rasa kemanusiaan itu setidaknya lima perkampungan di sekitar Pematanglima berbondong-bondong mengungsi meninggalkan perkampungan mereka yang di kutuk. Paling tidak sekarang missi yang dilakukan Mr. Ivan Jurric dengan pasukan Rimbasti itu telah berhasil mengosongkan ratusan ribu hektar lahan perkebunan dan hutan yang akan menjadi jalur eksplorasi minyak di Muaratebo.
Flat itu kecil dan letaknya dibelakang bilik-bilik asrama satuan Jagawana Polhut distrik Mertung yang berada dibawah naungan dinas Kehutanan kota Jambi. Sebanyak empatpuluh anggota Polhut wilayah tinggal asrama kantor Jagawana dinas Kehutanan ini. Menggunakan sepuluh unit mobil patroli double cabbin Nissan Navarra abu-abu dengan blue sirent-light diatasnya. Mereka harus mematroli kawasan hutan Meranti dan Kamper sejauh Mertung, Kampungbaru, dan Sengerti. Mereka berpatroli dalam team empat-empat. Empat orang untuk setiap mobil, dua mobil untuk setiap unit patroli, dan empat jalur patroli untuk setiap unit. Di tambah dua mobil patroli untuk unit siaga markas. Komisaris Ir. Marsetia Donnosaputra adalah kepala satuan Jagawana yang bertanggung jawab di kantor ini. Di bantu oleh Inspektur Jakobus Nurdhin yang menangani dua team patroli sektor Kampung baru, dan Inspektur Hupadhiyonno Suwondho untuk team patroli sektor Sengerti. Adalah Inspektur Hupadhiyonno yang malam itu bertindak sebagai perwira piket dan begadang di kantor. Rombongan dua mobil patroli Nissan Navarra telah masuk markas dan melapor pada Inspektur Hupadhiyonno.
“Dokter Tomm sahabatku… bagaimana perjalananmu ?” Inspektur Hupadhiyonno mengulurkan tangannya menyalami Dr. Tomm Chuawiwat yang baru datang.
“Perjalanan yang melelahkan. Ini Pekan kedua aku harus berkeliling mengganti limabelas keping DVD yang merekam kegiatan binatang-binatang itu.”
Dr. Tomm Chuawiwat menurunkan tas sandangnya dan di persilahkan duduk di kursi tamu ruang kerja komandan. Ikut bersamanya ada Bripka polhut Didiet Effiudhin yang memimpin team patroli Sengerti hari ini. Setelah mereka bertiga duduk di kursi tamu ruang kerja komandan itu, Inspektur Hupadhiyonno memanggil petugas piket untuk memesan tiga gelas kopi dari warung kopi di depan markas. Nampan kopi itu diantarkan oleh seorang wanita setengah baya limabelas menit kemudian. “Silahkan Dokter Tomm. Setelah pergi seharian di tengah kerasnya kehidupan hutan, kopi-kopi ini akan menghangatkan kalian.”
“Makasih. Anda sangat baik… komandan Hupadhiyonno.”
Inspektur Hupadhiyonno tersenyum lalu mendahului mencicipi seteguk kopi yang masih panas. Menuangkannya sedikit di mangkuk cangkirnya dan meniup-niup sebentar untuk membuat kopi itu agak dingin. Supaya lidah tidak harus merasa terbakar waktu meminumnya. Bripka Didiet serta Dr. Tomm melakukan hal yang sama. Komisaris Ir. Marsetia Donno saputra sangat menghormati Dr. Tomm Chuawiwat sebagaimana seorang pejabat Deplu kala itu datang menitipkan Dr. Tomm Chuawiwat kepadanya. Juga menitipkan tanggung jawab keamanan Dr. Tomm Chuawiwat kepadanya. Bersama dengan setumpuk dokumen resmi yang mendapat rekomendasi dari seratus orang pejabat organisasi kemanusiaan dunia, pelaksana tugas PBB wilayah Asia Selatan, dan beberapa nama besar perdana menteri Asia yang pernah menampung Dr. Tomm Chuawiwat menjadi relawan Internasional di negeranya. Dokumen itu juga berisi surat persetujuan resmi dari kepala dinas Imigrasi, Dirjen Perhubungan, pejabat Kemlu, pejabat Kemdagri, Kepala Kepolisian Negara, Panglima Komando Tentara Nasional hingga President.
“Bagaimana Dokter Tomm… Anda senang dengan pekerjaan di sini ?” Inspektur Hupadhiyonno melanjutkan percakapannya. “Kami akan berusaha untuk memenuhi segala kebutuhan anda yang kurang disini. Memang… kehidupan kita jauh dari kota. Kantor asrama ini saja jauhnya duapuluh kilometer dari kota terdekat Mertung.”
“Yang saya bawa dari Swiss sudah cukup banyak untuk memenuhi kebutuhan saya di sini. Inspektur sangat baik membantu saya, saya sangat Makasih.”
“Sudah menjadi tugas kami, Dokter Tomm… Anda tamu Negara ini untuk tugas kemanusiaan yang sangat mulia. Sudah sepantasnya kami membantu anda semampu kami.”
“Oouww… saya sangat senang bekerja disini. Dengan dukungan finansial tidak terbatas yang organisasi kami miliki, kami juga telah membantu banyak kesejahteraan kalian disini. Mungkin setelah pengamatan melelahkan ini kami bisa melakukan sesuatu untuk memperbaiki hutan anda di Mertung dan Sengerti ini.”
“Kami akan sangat Makasih. Dokter Tomm. Rehabilitasi hutan di kawasan utara Jambi ini memang membutuhkan investasi jutaan dolar. Republik ini akan sangat mendukung peran organisasi Internasional anda dalam memperbaiki kembali ekosistem kehutanan di Indonesia yang nyaris bahaya. Perambahan hutan yang tidak terkendali dengan kedok perluasan lahan sawit Industri-Industri multinasional. Yang pemiliknya kebanyakan duduk di lingkaran dekat Istana sendiri.”
Dr. Tomm Chuawiwat tersenyum dan menghabiskan tegukan kopi terakhirnya. Ketika pertama kali datang ke negeri ini dengan penugasan resmi dari WWF. Organisasinya telah mengeluarkan ongkos keamanan langsung sebesar duaratus ribu dollar untuk biaya keamanan yang harus di tanggung oleh Pemerintah Indonesia. Termasuk bagian terpenting dari jumlah itu dinikmati oleh para Jendral Rimbasti yang memerlukan investasi untuk mempertahankan eksistensi kekuasaan Istana. Karena itu Pemerintah Indonesia tidak tanggung-tanggung dalam melindungi setiap kegiatan Dr. Tomm Chuawiwat ini. Kalau sesuatu terjadi sampai akhirnya Dr. Tomm Chuawiwat ini terbunuh misalnya. WWF sebagai anak organisasi underbow PBB akan menuntut ganti ongkos keamanan duaratus ribu dollarnya dan beberapa nama penting akan jatuh karena skandal biaya keamanan ini. Ongkos keamanan ini sekaligus merupakan perskot dari investasi rehabilitasi hutan Indonesia sebesar duapuluh milyard dollar yang telah di janjikan tujuh Menteri keuangan negara Adidaya atas Indonesia melalui WWF.
“Perkembangan apa yang anda dapat dari pengamatan komunitas burung-burung Beo Sumatera dan Siamang, Dokter Tomm ?”
“Saya berpendapat, wilayah hutan yang semakin sempit dan banyaknya lahan-lahan gersang telah membuat ekosistem burung-burung Beo Sumatera ini dalam kondisi bahaya. Siamang juga… perkebunan sawit bukanlah habitat mereka sehingga populasinya makin sulit untuk berkembang. Kita perlu memperluas kawasan hutan lindung yang hampir setengah dari luas sesungguhnya kawasan itu sekarang sudah berubah menjadi perkebunan sawit.” Dr. Tomm Chuawiwat menyatakan penemuannya.
“Beo Sumatera dan Siamang… memang akhir-akhir ini sangat sulit kita dapati lagi di dalam hutan-hutan Sumatera. Khususnya antara Mertung, Kampungbaru, dan Sengerti ini. Daerah di tiga kota penangkaran Beo Sumatera yang dulunya di kenal surganya satwa-satwa di lindungi ini.” Inspektur Hupadhiyonno menyetujui pandangan Dr. Tomm Chuawiwat ini.
“Jadi menurut pendapat saya. Ini pribadi sifatnya dan tidak terkait langsung dengan politik Ekonomi suatu negara pada umumnya. Alangkah baiknya kalau… kawasan Mertung dan Sengerti ini di kosongkan dari segala aktivitas perkebunan dan perladangan liar. Termasuk di antaranya adalah kebiasaan berladang suku-suku terasing yang berpindah-pindah. Yang turut menyumbang hancurnya ekosistim penangkaran Beo Sumatera dan Siamang ini.”
Inspektur Hupadhiyonno mengerutkan bibirnya. Membayangkan reaksi dari Investor-Investor pemilik perkebunan sawit yang telah menyumbang hampir setengah Anggaran pembangunan kota-kota Sumatera disamping investasi gas alam dan minyak bumi. Yang sebagian Investor-Investor lokal itu juga duduk dalam panggung politik nasional. Mulai dari jabatan politik yang bergengsi di kursi Parlemen fraksi Sabit Merah yang sepenuhnya mendukung arah kebijakan politik Pemerintah. Maupun di kursi-kursi basah posisi Wakil Menteri dan Wantipres. “Kalau harus menggusur sedemikian banyak pengusaha perkebunan yang rata-rata kalangan konglomerat di daerah Utara Jambi ini jelas tidak mungkin. Mereka adalah komunitas masyarakat kelas satu yang mempunyai akses masuk ke Lingkaran kekuasaan Istana.”
“Ini pandangan saya pribadi. Jelas dalam logika ekonomi saya juga menyadari bahwa usulan itu tidak mungkin. Tapi tentu… kita harus mendapatkan solusi dari rencana penggunaan investasi duapuluh milyard dollar yang akan di cairkan WWF untuk rehabilitasi hutan-hutan Indonesia. Tentu… kami tidak mungkin menggelontorkan bantuan rehabilitasi atas hutan-hutan yang sudah tidak ada lagi karena alasan-alasan ekonomi.”
“Yang anda katakan ini benar… Dokter Tomm. Kita tidak mungkin memperbaharui hutan-hutan yang sudah tidak ada lagi. Kerena setengah dari hutan-hutan yang seharusnya menjadi paru-paru dunia ini sudah disulap menjadi ladang-ladang sawit. Seandainya anda yang diberi wewenang untuk merehabilitasi hutan-hutan ini, apa yang akan anda lakukan ?” Inspektur Hupadhiyonno bertanya kepada Dr. Tomm Chuawiwat.
“Tentu… yang pertama-tama saya lakukan adalah merelokasi hutan-hutan sawit yang sudah terlalu banyak menghabiskan hamparan Kamper dan Meranti di daerah Mertung dan Sengerti ini. Mereka bisa pindah kemana saja. Kalimantan, Pappua… asalkan tidak di pulau Sumatera ini lagi. Kemudian merelokasi perkampungan-perkampungan adat yang secara tidak langsung ikut menyumbang rusaknya ekosistem hutan Sumatera sebagai paru-paru dunia. Mereka harus dibina dengan sedikit paksaan agar bersosialisasi sebagai warga masyarakat biasa. Hutan harus bersih dari aktivitas manusia. Apapun itu bentuknya. Dengan duapuluh milyard dollar kita akan bisa bahu-membahu dan bekerja sama untuk menjadikan hutan-hutan Sumatera sebagaimana fungsi yang semestinya. Mungkin kita juga perlu membongkar beberapa jalan lintas yang terlalu masuk jauh ke tengah hutan. Jalan-jalan lintas itu harus di tata ulang agar tidak ikut menjadi penyebab rusaknya hutan lindung di belahan bumi Sumatera ini.”
“Benar.” Inspektur Hupadhiyonno mendukung pendapat Dr. Tomm Chuawiwat. “Jadi…”
“Jadi… sebelum bantuan duapuluh milyard dollar untuk rehabilitasi hutan Sumatera ini di tanda-tangani untuk pencairan. Harus ada kesepakatan-kesepakatan otentik yang dicapai. Menyangkut kondisi warga masyarakat prasejarah disini, dan terkikisnya luas hutan lindung karena ekspansi perkebunan sawit yang tidak terkendali. Ini akan menjadi point penting yang termaktub dalam butir-butir kesepakatan nanti.”
“Dan apa yang bisa anda paksakan untuk mewujudkan butir-butir kesepakatan itu.?” Tanya Inspektur Hupadhiyonno lagi.
“Setidaknya syarat-syarat itu yang menentukan cair tidaknya duapuluh milyard dollar yang telah di janjikan. Kalau atas sebab-sebab ekonomi dan kekuasaan Pemerintah Indonesia menolak, mungkin anggota-anggota kementerian keuangan tujuh negara adidaya perlu bersidang kembali. Mungkin mereka akan mempertimbangkan kembali opsi delegasi keuangan Uni Soviet yang mengedepankan kepentingan Internasional untuk menyelamatkan paru-paru dunia.”
“Apa itu, dokter Tomm Chuawiwat ?”
“Anda tidak melihat teve… sudah sering Sekretaris Jendral Soviet yang sangat berkuasa itu mengkampanyekan program penyelamatan suhu ekstrim dunia dengan mengambil alih rehabilitasi paru-paru dunia menjadi program Internasional yang bernaung dibawah operasional PBB. Kalau… dan saya secara pribadi berdo’a semoga itu tidak terjadi. Misalnya pemerintah Indonesia menolak untuk bekerja sama. Maka tidak ada jalan lain. Dunia Internasional yang diwakili oleh Markas Besar Unproforce atau United Nation Protection Force itu akan mengambil alih paksa Pulau Sumatera itu. Menancapkan bendera PBB dengan pertumpahan darah dan merehabilitasi penuh kawasan hutan itu menjadi Paru-paru dunia yang permanent.”
“Astaga… Menyerang Indonesia untuk sekedar program lingkungan hidup ?” Inspektur Hupadhiyonno terkesima.
“Terkadang demi alasan-alasan perubahan iklim yang ekstrim kita tidak diberikan banyak pilihan. Alam hanya akan memberi kita pilihan merehabilitasi paksa sumber-sumber kehidupan kita sendiri atau membiarkan dunia kita menjadi kering dan terbakar yang akhirnya seluruh umat manusia dimuka bumi ini musnah dengan sendirinya karena iklim kekeringan yang parah.”
“Sungguh mengerikan, dokter Tomm.”
“Memang seperti itulah fakta yang dihadapi. Alam tidak mengenal negosiasi seperti kita. Mereka hanya memberi kita dua pilihan yang keduanya sama-sama tidak enak bagi semua orang.”
“Dan terutama bagi Indonesia.” Inspektur Hupadhiyonno dengan mencemooh.
Dr. Tomm Chuawiwat mengangguk sambil tepekur. Adalah hal yang wajar sesungguhnya kalau pada akhirnya keterbatasan-keterbatasan alam membuat masyarakat dunia menjadi begitu cemas. Jepang pernah menyerbu kepulauan Malaya termasuk di dalamnya Indonesia karena karena keterpaksaan logistik untuk membiayai perangnya dengan Eropa. Jerman menghancurkan Shaikh Iran dan Kekaisaran Turki untuk bisa tetap memberi makan pasukannya yang berperang melawan Inggris dan Perancis. Dan sekarang, apa yang bisa menghalangi masyarakat dunia Internasional yang sedang panik kalau satu-satunya jalan menyelamatkan paru-paru dunia adalah merebut Sumatera dari wilayah teritorial sah Indonesia. Mengambil alih Sumatera untuk di kelola sepenuhnya oleh sekelompok ilmuan ahli yang bernaung dibawah dan dilindungi sepenuhnya oleh satuan bersenjata Unproforce. United Nation Protection Force yang beranggota duaratus negera di dunia. Dibawah Jendral Angkatan Darat Amerika Serikat Unproforce memiliki hampir dua juta tentara di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri satu divisi khusus Markas Besar komando rahasia Saber-Bosma yang di Pangkalan militer rahasia Sediyatmo itu adalah anggota Unproforce.
“Baiklah Dokter Tomm. Kita berdo’a saja semoga rejim kekuasaan Tuanku Baginda President Albertinus Senno Suhastommo tidak harus menghadapi mimpi buruk serangan Unproforce. Menghadapi perebutan pengaruh di Angkatan Darat sendiri saja mereka sudah repot. Apalagi harus menghadang gelombang pertempuran dengan masyarakat Internasional. Kami tidak bisa membayangkan nasib Republik ini seandainya di jadikan skandal Irak kedua.” Kata Inspektur Hupadhiyonno memikirkan masa depannya, nasib isteri dan anak-anaknya kalau benar negara ini akhirnya menjadi medan perang. Unproforce sudah membuktikan ketangguhannya saat menghantam Serbia akhir abad sembilanbelasan. Menghajar Irak karena mengacaukan ekonomi dunia dengan embargo minyaknya. Menyerang Ugandha karena pimpinan Diktator itu membunuh hampir setengah bangsanya karena perbedaan Ras dan keyakinan. Dan yang terakhir menghancurkan Libya karena selalu melindungi pelaku-pelaku teror bom terhadap warga sipil tidak bersenjata di seluruh dunia.
“Well… kita semua tidak mengharapkan malapetaka dan pemusnahan total umat manusia dengan jalan perang seperti itu. Tetapi semua bergantung dari kerjasama Pemerintah Indonesia sendiri dalam menanggapi kebutuhan dunia.” Dr. Tomm Chuawiwat membandingkan.
Inspektur Hupadhiyonno tertawa. Yang di ucapkan Dr. Tomm Chuawiwat ini memang tidak salah. Dunia sudah menawarkan duapuluh milyard dollar kepada Indonesia untuk melakukan rehabilitasi sendiri hutan-hutan Sumatera agar berfungsi kembali sebagaimana mestinya menjadi paru-paru dunia. Tentunya dengan kerjasama dan supervisi yang baik dari ilmuwan-ilmuwan ahli dunia Internasional yang akan berdatangan setelah sukses misi Dr. Tomm Chuawiwat ini. Duapuluh milyard itu hampir sekitar duaratus trillyun. Setengah dari gaji lima juta pegawai negeri sipil dan satu juta orang yang bekerja pada Angkatan Bersenjata. Jumlah uang yang tidak sedikit dan diberikan secara cuma-cuma untuk Pemerintah Indonesia. Kalau tawaran yang sebegitu menggiurkan masih juga di tolak. Artinya memang jalan kekerasan adalah satu-satunya opsi yang harus di hadapi Indonesia untuk nasib pulau Sumatera. Celakanya, untuk menghadapi kekuatan Unproforce bahkan Malaysia dan Thailand sekalipun yang menjadi sekutu terkuat Indonesia dalam Asean tidak mau campur tangan. Indonesia akan benar-benar sendirian menghadapi hari-hari terakhir kebinasaannya. Kecuali ada revolusi yang mengubah politik perlawanan itu.
“Makasih… Dokter Tomm. Kami tidak akan lama-lama menahan anda lagi. Saya kira masih banyak pekerjaan yang harus anda lakukan setelah ini.” Inspektur Hupadhiyonno akhirnya menyatakan.
Dr. Tomm Chuawiwat mengangguk menyetujui ucapan tuan rumahnya itu. Malam memang belum terlalu larut. Meskipun dia merasakan tubuh ini capek sekali. Dr. Tomm Chuawiwat sudah tidak sabar ingin melihat hasil rekaman minggu kedua dari aktivitas burung-burung langka itu. Walaupun mungkin kegiatan itu harus dia tonton sambil mandi dan mempersiapkan makan malamnya yang telah di kirim oleh seorang anggota Polhut asrama Kantor dinas Kehutanan Mertung ini sebagai jatah pribadi. Asrama Kantor dinas Kehutanan Mertung punya langganan kedai kuliner yang setiap hari tiga kali mengirimkan nasi kotak ke asrama ini.
“Memang saya harus segera mengerjakan tugas-tugas saya yang sudah sangat menumpuk ini. Dan sekarang saya harus kembali ke flat saya di belakang. Makasih atas kopinya…”
“Sama-sama Dokter Tomm. Anda teman baik kami. Sudah pantas mendapat penghargaan.”
Rabu siang, hari berikutnya. Saat Dr. Tomm Chuawiwat masih menekuni pekerjaannya melihat rekaman-rekaman keping DVD dalam layar komputer-nya. Sesdit Intelpam Polda Jambi, Ajun Kombes polisi Muhammad Sofhia Supriatna terpaku sendirian di dalam ruang kerja kantornya yang tertutup. Satu ruangan lagi di depan kantor itu tembus ke lorong panjang yang menghubungkan ke kantor-kantor pimpinan direktorat Polda yang lain di lantai tiga itu, adalah ruangan khusus sekretarisnya. Tidak ada tamu atau perwira polisi lain yang masuk ke ruang kerjanya tanpa melalui sekretarisnya itu. Ajun Kombes polisi Muhammad Sofhia Supriatna sedang tercenung menatap layar personal computer Laptop pribadinya itu. Yang terus berulang-ulang merekam kejadian tragis pembantaian warga pedalaman di hutan-hutan belantara Sengerti. Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna tidak tahu rekaman itu harus diapakan. Mungkin akan di simpan sementara waktu untuk koleksi pribadinya sendiri. Tapi apakah naluri polisinya akan membiarkan saja kejahatan orang-orang Rimbasti yang seperti kesetanan itu berlalu tanpa hukuman… Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna tidak tahu.
Dia sudah memberitahu dan Inspektur Hadhiyonno Marsuidh saat meminta kembali kamera pemancarnya dalam kamulfase perlengkapan earphone itu. Untuk tutup mulut dan melupakan semua yang telah dia lihat maupun dengar tentang operasi ini. Seperti juga yang telah berulang-ulang Letnan Rimbasti Bayyu Siswanto ucapkan dalam apel kesamaptaan terakhir sebelum gugus tugas bantuan ini dibubarkan. Tapi justeru Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna sendiri saat ini sulit menerima kenyataan, sebagai seorang polisi yang wajib melayani dan melindungi masyarakat melihat tragedi kemanusiaan yang sedahsyat itu di Sengerti. Pribadi Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna berontak. Bathinnya tidak kuat disuruh diam dan tutup mulut setelah apa yang dia lihat dan dengarkan itu. Tidak hanya seorang Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna pribadi. Tujuh dari anggota Sabharra polisi yang terlibat dalam aksi pembantaian di perkampungan adat Pematanglima itu tiba-tiba dilaporkan gila dan harus diikat seluruh tubuhnya tanpa sebab yang jelas. Mendekam dalam ruang isolasi bagian perawatan sakit jiwa Rumah Sakit Polda Jambi. Selalu dalam pengawasa ketat dokter-dokter ahli psikologi dan mendapat suntikan-suntikan antacid untuk mengurangi kelebihan beban mental.
Adalah sang Kepala sendiri. Inspektur Jendral polisi Fransiscus Alberth Anantha Yuniastonno yang kemudian mengundang Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna ke kantornya. Perfeksionis yang sudah berumur ini telah meminta salah satu ajudan pribadinya menelephone dan menjadwalkan pertemuan yang resmi dengan Sesdit Intelpam Polda Jambi. Ajudan itu lantas mengkonfirmasi ke sekretaris Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna. Memastikan bahwa Sesdit Intelpam Polda itu akan bertemu dengan Kepala Polda-nya siang ini. Telephone di meja kerja Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna berdering. Telephone internal itu datang dari sekretarisnya sendiri. Dan Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna berbicara dengan nada berwibawa.
“Iyyaa… Widh.”
“Waktunya bertemu dengan pak Kepala, Komisaris. Apa saya perlu konfirmasi untuk menundanya ?” suara di seberang menanyakan kesiapan majikannya.
“Tidak. Aku kesana sekarang, pasti sudah di tunggu ini. Makasih, Widh.”
“Sama-sama… Komisaris.”
Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna mematikan personal computer Laptop. Menutupnya dan memasukkan dalam Work’s table cabinet dengan aman dan menguncinya. Di dalam meja kerja, tepatnya dibawah meja dalam ruangan kaca terdapat komputer duduk yang biasa menjadi fasilitas kerjanya. Tapi untuk mengerjakan hal-hal yang bersifat pribadi, dan mendukung mobilitas kerjanya di lapangan Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna menggunakan Laptop pribadi. Aneh, ada suasana lain hari ini. Apalagi banyak petugas polisi yang nampak cemas melihat beberapa teman mereka mengalami kejadian-kejadian aneh. Tujuh brigadier polisi telah masuk rehabilitasi mental hanya sehari setelah ekspedisi rahasia yang mereka lakukan di pedalaman hutan-hutan belantara Pematanglima. Mereka tidak berani bertanya-tanya, apalagi membicarakan secara terbuka apa yang sesungguhnya terjadi dalam ekspedisi Pematanglima itu. Walaupun hampir sebagian besar polisi di Markas Polda Jambi ini tahu apa yang sesungguhnya telah terjadi. Mereka baru saja melakukan pembantaian biadab yang bahkan dalam pribadi mereka sendiri tidak berani membayangkan.
Operasi penggusuran biasa yang konon di rekomendasikan langsung oleh wakil Menhan Oktaprius Surya Prayoga. Dan di restui oleh Menhan Dr. Muzhar Mochtar telah berubah menjadi Pembantaian massal warga masyarakat tidak berdosa. Tindakan itu telah bertentangan dengan logika seorang polisi yang seharusnya bertugas melayani dan melindungi masyarakat. Entah setan apa yang sedang merasuki mereka saat itu. Tidak saja membiarkan orang-orang Rimbasti dengan tokoh utamanya Mr. Ivan Jurric yang menjadi jelmaan manusia Iblis jahanam. Melakukan perbuatan-perbuatan yang sangat terkutuk. Bahkan sebagian mereka dengan senjata-senjata terkokang telah ikut menembaki kumpulan wanita-wanita dan anak-anak yang panik berlarian menyelamatkan diri hingga terjerambab di kubangan lumpur bersimbah darah. Hari ini tidak seorangpun melihat Kendali Operasi atau KO Kombes polisi Hendhra Kustonno. Mungkin dia sedang cuti karena merasa bersalah membohongi semua orang di Markas ini. Atau lebih buruk lagi, tengah berfoya-foya menghabiskan uang hasil sogokan pejabat Axios Ltd. Mexico itu dengan sekumpulan wanita bar dan berjudi di suatu tempat entah dimana.
Akhirnya Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna menghampiri meja receptionist di lantai empat di ujung lorong utama yang mengarah langsung ke ruangan Kepala Polda Jambi Inspektur Jendral polisi Fransiscus Alberth Anantha Yuniastonno. Ruangan-ruangan di belakang meja balkon receptionist itu terdiri dari ruangan Waka Polda Jambi Brigjen polisi Sukandhri Yitno Sudharmo, Asrena Kepala Kombes polisi Madjid Jaellani Tawill, empat ruang kerja staf ahli Kepala Polda yang saling berhadapan, dan ruangan kerja Kepala Polda Inspektur Jendral polisi Alberth Anantha Yuniastonno yang seukuran lebar bangunan lantai empat Markas Polda itu. Seperti juga ruangan pribadi Sesdit Intelpam Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna yang disekat untuk memberi tempat pada sekretaris pribadinya. Bahkan ruangan kerja Kepala Polda yang luas. Di lengkapi teras balkon di luar, meja soffa untuk minum teh, minibar, toillet dan ruang istirahat yang hanya cukup untuk sebuah veltbed ini memiliki sekat ruangan di depan untuk dua sekretarisnya, dan dua ajudan pribadi. Melewati ruangan-ruangan untuk Waka Polda, Asrena Kepala, para staf ahli untuk kebijakan-kebijakan resmi Polda, akhirnya Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna melapor kepada salah satu sekretaris.
Di antarkan langsung ke hadapan Kepala Polda, Inspektur Jendral polisi Fransiscus Albert Anantha Yuniastonno sebagai seorang tamu yang di undang. Irjen polisi Albert Anantha yang selalu terbuka dan ramah terhadap anak buahnya itu langsung menyambutnya dan mempersilahkan Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna duduk.
“Soofh… kau tahu selama ini aku sudah banyak membantumu sejak kita masih sama-sama masih satu team di PRC. Aku yang sejujurnya menjadikan kamu sukses seperti sekarang ini. Kau setuju ?” Inspektur Jendral polisi Albert Anantha bertanya dengan lesu.
“Yya Pak. Sejujurnya, anda sudah mengambil inisiatif membina saya secara pribadi sejak saya menjadi lulusan terbaik Akpol lima tahun yang lalu. Dan untuk itu, saya harus mengucapkan banyak Makasih.”
“Aku senang kau bisa mengikuti peningkatan karierku hingga seperti sekarang ini. Aku menempatkanmu di posisi Intelpam yang strategis menjadi wakil Kombes polisi Sudharsonno supaya banyak membantuku dalam menjaga stabilitas keamanan di wilayah Polda Jambi ini. Bisa cepat-cepat mengabari aku bila terjadi hal-hal yang bisa mengganggu dalam jangka panjang keamanan di wilayahku ini.”
“Tentu, Jendral… kami semua bekerja dengan sungguh-sungguh di lingkungan Polda Jambi ini untuk memastikan keamanan dan kenyamanan daerah ini tidak sampai membuat anda risau.” Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna menjawab dengan mantap keragu-raguan atasannya dengan masih menyimpan segudang rasa penasaran.
“Kalau begitu, Soofh… coba jelaskan kepadaku. Setan apa yang sedang mengusik kantorku ini sampai tujuh anggota polisiku tiba-tiba kesurupan tanpa sebab dan masih menggila sampai sekarang. Lalu tiba-tiba aku menerima kabar kalau KO-ku Kombes polisi Hendhra Kustonno barusan tewas melompat dari lantai limabelas Da Vinci Apartement-Jakarta. Ayah dari tiga anak yang rumah tangganya di laporkan baik-baik saja itu sedang mengunjungi seorang artis penyanyi yang baru di kenalnya di sebuah diskotik di Jakarta. Coba jelaskan kepadaku Soofh… ada apa ini sesungguhnya ?”
“Kombes polisi Hendhra bunuh diri ?” Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna mengulang dengan tidak percaya.
“Belum jelas kejadiannya. Tapi artis wanita yang menjadi teman tidurnya semalam itu menceritakan, Hendhra tiba-tiba ketakutan seperti sedang di kejar setan. Saat terbangun dengan tiba-tiba siang ini. Lalu berlari-lari kesetanan hingga akhirnya melompat dari kamar lantai limabelas Da Vinci Apartement itu.”
“Saya malah tidak tahu Jendral… Mungkin ada hubungannya dengan operasi Pematanglima.”
“Pematanglima… Dimana itu ?” jelas bahwa operasi yang katanya resmi itu sama sekali tidak di ketahui oleh Kepala Polda sendiri karena tanggapannya yang begitu sungguh-sungguh untuk ingin tahu.
Kalau Kepala Polda Inspektur Jendral polisi Albert Anantha ini sampai tidak tahu dimana itu Pematanglima, pasti dia juga tidak mengetahui adanya operasi pembersihan yang bekerjasama dengan Satuan Komando khusus Rimbasti dari Lhoknga itu. Lalu darimana Kombes polisi Hendhra Kustonno mendapatkan perintah operasi untuk menggerakkan pasukan Sabharra polisi Polda Jambi. Karena tidak mungkin suatu perintah operasi bahkan yang di klarifikasikan sebagai rahasia sekalipun akan bisa dijalankan tanpa mendapat persetujuan pribadi dari Kepala Polda. Sebagai pemegang otoritas sipil daerah Ibukota Jambi ini. Kalau suatu operasi tanpa ada surat pengesahan secara politis dari Kepala Polda siapapun pasti tidak akan mau menjalankannya. Termasuk juga dirinya. Lalu darimana Kombes polisi Hendhra Kustonno mendapatkan surat pengesahan itu. Karena jelas sebelum dia mengirim dua anak buahnya untuk mengecek geografis hutan-hutan kawasan pedalaman Mertung dan Sengerti itu Kombes polisi Hendhra Kustonno sudah menunjukkan kelengkapan dokumen perintah operasi.
Apa seorang Kombes polisi Hendhra Kustonno sampai sebegitu nekadnya memalsukan tanda tangan Kepala demi untuk kelancaran operasi gila ini… pikir Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna. Apa dia juga telah menipu banyak petinggi Polda yang lain seperti Kadenma Polda Kompol Hasyiem Hussein Basuni, dan Kadit Samapta Polda Kombes polisi Alfhian Saronto Nainggolan. Sekarang, dengan kematian Kombes polisi Hendhra Kustonno jelas untuk menelusuri dari mana sesungguhnya operasi resmi yang melegalkan pembantaian warga sipil tidak berdosa di Pematanglima menjadi mistery tidak terpecahkan. Barangkali secara Institusi otoritas Polda Jambi bisa melayangkan surat permintaan pengusutan kepada Puspom Daerah Militer Sumatera I Bukit Barisan. Untuk mengklarifikasi SOP penyerangan warga sipil di Pematanglima Jambi oleh unit pelaksana pasukan Rimbasti. Kalau dokumen persetujuan Kepala Polda Jambi saja telah di palsukan dengan sangat baik oleh Kombes polisi Hendhra Kustonno almarhum. Kemungkinan dokumen penugasan dari Rimbasti yang di lampiri surat persetujuan resmi dari Wakil Menhan Oktaprius Surya Prayoga.
Dan bahkan di restui oleh Menhan Dr. Muzhar Mochtar itu juga ada kemungkinan palsu. Tapi apakah mereka di sini cukup bernyali untuk melaporkan Rimbasti yang notaben-nya di kenal brutal dalam bertindak dan mewakili kekuasaan langsung dari Tuanku Baginda President Albertinus Senno Suhastommo. Dukungan kekuasaan yang tidak terbatas dari lingkaran kekuasaan Istana inilah yang sangat di takuti para pengambil kebijakan sipil di daerah untuk mengusik kepentingan-kepentingan yang menyangkut Rimbasti. Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna memandang sang Kepala di hadapannya ini dengan keragu-raguan yang mendalam. Sekali lagi meyakinkan pada dirinya sendiri bahwa yang dia lakukan beberapa hari terakhir ini bukanlah sebuah keteledoran. Semua persyaratan administratif sudah dia periksa untuk melakukan tugas pemantauan lapangan pra operasi Pematanglima. Seperti yang telah di perintahkan oleh Kombes polisi Hendhra Kustonno almarhum. Tapi sekarang sang Kepala sendiri yang mendesak Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna untuk menjelaskan sesuatu yang seharusnya telah dia setujui untuk dijalankan institusinya.
“Sungguh-sungguh… Jendral tidak tahu mengenai operasi Pematanglima ?”
“Kalau aku tahu tidak perlu harus repot-repot bertanya kepadamu, Soofh.” Inspektur Jendral polisi Albert Anantha menuntut dengan suara keras.
Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna terhenyak dan menimbang pernyataan itu dengan sangat hati-hati. Bagaimanapun Inspektur Jendral polisi Albert Anantha adalah atasannya langsung dan orang nomor satu di institusi Polda Jambi ini. Akan sangat buruk resiko yang harus di tanggung oleh seseorang yang membuat tidak senang perasaan sang Jendral.
“Sebenarnya… Jendral, saya memiliki copies dokumen persetujuan yang diam-diam saya perbanyak untuk koleksi saya pribadi dari Kombes polisi Hendhra Kustonno. Salah satu dari dokumen resmi perintah operasi itu adalah lampiran persetujuan operasi dari anda sendiri. Dengan cap resmi kepolisian Daerah Jambi dan nomor registrasi resmi dalam arsip lembaran rahasia negara. Sesuai prosedurnya saya mengecek nomor registrasi resmi itu melalui website dokumen negara, dan benar. Nomor registrasi itu di keluarkan petugas dokumen negara atas permintaan resmi dari kantor pribadi anda ini.” Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna mencoba membela dirinya sendiri.
“Aku bahkan tidak menanda tangani dokumen apapun dalam seminggu ini. Kalau ada persekongkolan yang bermaksud menggunakan namaku untuk melakukan kejahatan, maka akan ada suatu penyelidikan resmi dan seseorang harus masuk penjara karena skandal ini.” Tukas Inspektur Jendral polisi Albert Anantha. “Sekarang kembali ke kantormu. Ambil semua bukti dokumen yang kau miliki tentang operasi Pematanglima ini, dan bawa kemari. Aku ingin kita semua disini membahasnya sampai semua persoalan menjadi jelas dan di selesaikan.”
Inspektur Jendral polisi Albert Anantha telah meledakkan seluruh amarahnya, yang beberapa saat telah berusaha di tahannya saat mengetahui seseorang telah mempergunakan namanya untuk perbuatan tidak baik. Dan kemungkinan bahwa itu justeru di lakukan oleh bawahannya sendiri. Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna telah permisi mengundurkan diri dan melangkah balik menuju ke kantornya di lantai tiga. Tenggelam dalam permenungan yang tanpa ujung selama perjalanannya yang panjang itu. Sementara sang Kepala sedang mengumpulkan semua petinggi Polda di kantornya. Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna tahu keadaan saat ini menjadi sangat gentingnya mengingat yang merasa di bohongi kali ini adalah sang Kepala sendiri. Sebagai salah satu petinggi di lingkungan teras Polda Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna tidak akan bisa mempertahankan posisinya selama ini di dalam lorong-lorong institusi Polda yang rumit seperti labirin. Kalau ia tidak memiliki indera keenam untuk mendeteksi adanya bahaya. Tindakannya untuk mengcopies dokumen-dokumen rahasia sebenarnya cukup beresiko.
Karena harusnya dokumen-dokumen itu sudah harus di hancurkan mengingat pentingnya sebuah operasi yang di kategorikan rahasia itu. Tapi dokumen-dokumen itu justeru menjadi sangat penting untuk membuktikan dirinya sendiri tidak bersalah. Apalagi bukti visual pembantaian warga perkampungan adat Pematanglima yang semestinya itu sangat dilarang untuk di abadikan. Sekarang rekaman itu menjadi pembenaran yang kuat bahwa sesungguhnya peran polisi disini adalah aktor penguatan saja dari sebuah operasi yang sebagian besar di dominasi oleh kebrutalan pasukan Rimbasty. Ada Inspektorat Polda Kombes polisi Hendhi Budhianto yang saat Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna kembali ke ruangan kerja pribadi Kepala Polda telah hadir. Ada Waka Polda Jambi Brigjen polisi Sukandhri Yitno Sudharmo, dan Asrena Kepala Kombes polisi Madjid Jaellani Tawill. Ada Kadit Intelpam Kombes polisi Hetty Vittorinny yang menjadi atasan Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna. Kadit Serse Kombes polisi Yadhi Nuryanto, Kadit Samapta Polda Kombes polisi Alfhian Saronto Nainggolan, Kadit Lantas Kombes polisi Wahyudhi Setyonno.
Kadit Personel Kombes polisi Widiningsih, Kadis Kum Kombes polisi Setyonarko, Kaden Provoost Ajun Kombes polisi Sudhionno, Ka Satbrimob Polda Ajun Kombes polisi Hidhayat Prajotho, dan Kadenma Polda Kompol Hasyiem Hussein Basuni. Setelah kedatangan Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna semua yang hadir saat itu mengikuti Inspektur Jendral polisi Albert Anantha menuju ke ruangan brieffing. Yang sebenarnya berada di sisi lain lorong bangunan lantai empat ini. Yaitu di ujung koridor yang berhadapan dengan receptioninst Kepala. Terletak tepat di sisi tangga naik ke lantai empat. Beberapa anggota provoost Polda telah di siapkan di lorong itu untuk memastikan bahwa rapat mereka hari ini aman. Anggota-anggota provoost itu datang bersama dengan atasannya Ajun Kombes polisi Sudhionno. Sementara rapat di siapkan, seorang asisten polisi mengcopies semua dokumen penting yang dibawa Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna ke ruangan itu. Adalah Kombes polisi Alfhian Saronto Nainggolan yang merasa sangat cemas dengan di kumpulkannya semua petinggi di lingkungan teras Polda ini.
Dia pantas merasa khawatir karena desas-desus yang beredar tentang skandal pemalsuan surat penugasan dari sang Kepala yang membuatnya sangat berang. Tentang tewasnya Kendali Operasi Polda Kombes polisi Hendhra Kustonno yang masih simpang siur. Dan sebuah misteri yang menyangkut perkampungan adat Pematanglima. Lebih khawatir lagi karena dia ikut terlibat dalam operasi rahasia itu. Kalau sebuah operasi resmi yang datangnya langsung dari atas, biasanya, setelah operasi berlangsung tidak akan pernah di singgung-singgung lagi tentang operasi itu. Karena langsung di anggap tidak pernah ada. Membicarakannya saja bisa membawa diri mereka ke dalam kesulitan birokrasi yang rumit. Sekarang justeru operasi itu akan dibahas dalam sebuah rapat resmi karena di anggap ada ketidak beresan dalam pelaksanaannya. Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna membuka personal computer Laptop dan menghubungkannya ke alat proyektor yang menyorot ke arah papan kanvas besar di belakang Kepala Polda. Kepada semua orang yang tidak tahu-menahu tentang kegiatan operasi kampung adat Pematanglima, ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna akan menjelaskan kronologisnya.
Rekaman video pertama yang ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna dapatkan dengan menyembunyikan kamera pemancar mini yang mirip peralatan dinas rahasia itu di pengait pulpen tintanya. Adalah ketika rombongan petinggi lingkungan teras Polda Jambi menyambut kedatangan pasukan Rimbasti dan seorang tamu pemantau sipil bernama Mr. Ivan Jurric dari perusahaan tambang minyak dan gas alam Axios Ltd. Mexico di Sumatera. Rekaman video itu menjelaskan dengan gamblang rencana penggusuran kawasan hutan Mertung dan Sengerti yang akan di gunakan sebagai jalur eksplorasi tambang minyak Axios Ltd. Mexico di Muaratebo. Selain memperoleh persetujuan dari Komandan Jendral Rimbasti detasemen-B Lhoknga, Brigadier Jendral Achmmad Zainnul dan Panglima pasukan Rimbasti Jendral Bambang Wisesha. Operasi ini juga telah mendapat pengesahan politis dari Wakil Menhan Oktaprius Surya Prayoga dan di restui oleh Menhan Dr. Muzhar Mochtar. Dalam rekaman gambar nampak Letnan Rimbasti Bayyu Siswanto menunjukkan dokumen pengesahan yang bersifat sangat rahasia itu meyakinkan para petinggi di lingkungan teras Polda Jambi yang hadir.
Semua yang hadir di ruangan brieffing Polda itu geleng-geleng kepala. Sebegitu resminya operasi yang kemungkinan telah memalsukan dokumen pengesahan banyak orang. Tidak seperti Kombes polisi Alfhian Saronto Nainggolan dan Kompol Hasyiem Hussein Basuni yang ikut hadir bersama Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna. Pejabat-pejabat lain yang merasa pernah mengikuti kegiatan-kegiatan kepolisian yang rahasia sifatnya merasa sebuah operasi tidak dilakukan semendadak itu dengan hanya melibatkan orang-orang tertentu yang berkepentingan saja. Paling tidak ketika sebuah operasi penting di luncurkan, sudah beberapa waktu gosipnya beredar di kalangan teras Polda. Bahkan pertemuan pendahuluan harus terlebih dulu di adakan yang melibatkan semua unsur Muspida kota Jambi. Operasi yang ini jelas tampak sangat berbeda. Bahkan seorang Kompol Hasyiem Hussein Basuni yang pasukannya terlibat langsung dalam operasi ini di beritahu untuk meninggalkan makan siangnya yang belum selesai, di perintahkan membawa seluruh pasukan dengan kelengkapan amunisi kesiapan tempur garis pertama ke Bandara Sultan Thaha tanpa di beritahu tujuan operasi yang akan mereka lakukan. Seluruh pimpinan pasukan dari Danton ke atas baru mengetahui operasi mereka saat brieffing di Hanggar Tarmak Denharsabang-Bandara ini.
Pertemuan pertama ini memang sangat formil, dan seperti kalau sebuah operasi rahasia yang melibatkan lintas instansi di jalankan. Letnan Rimbasti Bayyu Siswanto terlihat sangat dominan mengatur strategi yang meliputi point-point dari operasi yang harus di jalankan oleh masing-masing pasukan. Semua sepakat dengan penilaian itu. Pada saat para petinggi lingkungan teras Polda itu mendapatkan tatklimat-nya di dalam hanggar Tarmak itu. Sejumlah anggota Rimbasti dibawah pimpinan Peltu Rimbasti Setiyadhi Djoko Purnomo yang memimpin pasukan Pansher, dan Serma Rimbasti Sardhonno Santosa membaur ke tengah-tengah pasukan Sabharra polisi yang tengah di istirahatkan. Memeriksa masing-masing persenjataan yang dibawa. Apa sudah sesuai dengan instruksi yang di berikan atau belum. Mulai dengan Senapan serbu mereka dengan gagang yang terlipat. Jumlah amunisi peluru tajam dan granat-granat berbahan fosfor yang di minta. Apakah polisi-polisi itu membawa Handphone yang kemungkinan bisa merekam kegiatan itu di wilayah-wilayah yang tidak di ijinkan. Dan kalau di temukan diantara mereka membawa Handphone berkamera akan langsung di sita.
Hanya para komandan yang di tunjuk di ijinkan membawa radio komunikasi dengan frekwensi yang sudah di tentukan oleh para perwira Rimbasti. Satu-satunya pemantau sipil dalam operasi itu yang awalnya di perkenalkan sebagai petugas dari sebuah organisasi Ham dengan sertifikasi Internasional. Belakangan dia justeru di ketahui sebagai kepala Security Internal dari Axios Ltd. Mexico di Lhoknga. Dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan persoalan kemanusiaan Internasional. Seperti yang sejak awal di janjikan oleh Letnan Rimbasti Bayyu Siswanto. Mobil-mobil telah di siapkan dalam suatu konvoi yang di arahkan oleh anggota-anggota Rimbasti. Meliputi sebuah kendaraan lapis baja Pansher Strykers yang di perlengkapi dengan senapan mesin berat. Mobil-mobil bak terbuka Toyota Hillux Minnor Change spec-200 yang dibekali senjata mesin koaksikal Minimi 7.62mm. Ada Waka Polda Jambi Brigjen polisi Sukandhri Yitno Sudharmo yang nampak sedang tercenung. Seseorang memang bisa tertipu dengan semua kebohongan yang demikian sempurna di mainkan oleh orang-orang Rimbasti. Tapi bagaimanapun tersamarnya kebohongan itu Rimbasti jelas memiliki orang dalam yang membantunya untuk meyakinkan kalangan petinggi Polda untuk melaksanakan rencananya.
“Yang masih tidak aku mengerti. Siapa dari kalian yang berada di pertemuan ini yang pertama kali mengambil inisiatif untuk mengundang petinggi yang lain ?” Waka Polda Brigadier Jendral polisi Sukandhri Yitno Sudharmo sejenak menyatakan rasa ingin tahunya. Dan pandangan itu nampaknya juga di dukung oleh Asrena Kepala Kombes polisi Madjid Jaellani Tawill.
“Tentu saja Kombes Hendhra Kustonno. Dialah orang pertama yang datang ke ruang kerja saya dengan membawa setumpuk dokumen pengesahan yang mendukung di jalankannya operasi ini. Bahkan surat persetujuan pribadi yang di keluarkan secara resmi dari ruangan dinas Kepala Polda.” Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna menjelaskan yang dia ketahui. Pengakuan itu di dukung oleh setumpuk arsip yang telah di perbanyak oleh staf sekretaris Kepala Polda dan dibagikan kepada para anggota rapat.
Kadit Intelpam Kombes polisi Hetty Vittorinny yang menjadi atasan Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna. Sedang minum seteguk air dari botol air mineral di depannya sekedar menghilangkan rasa dahaga. Sesaat dia sempat merasa sebagai orang yang paling dipermainkan karena Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna telah mempergunakan kewenangannya memerintahkan para inspektur untuk melakukan tugas-tugas Rimbasti tanpa sepengetahuan dia pribadi. Kadit Serse Kombes polisi Yadhi Nuryanto ikutan merasa tegang karena tidak ada batasan yang jelas antara tugas-tugas satuan Intelpam dengan wilayah kerja Direktorat Reskrim yang di pimpinnnya. Mungkin saja nanti Kepala Polda Inspektur Jendral polisi Albert Anantha menyalah artikan tugas-tugas yang di lakukan Ajun Kombes Polisi Sofhia Supriatna ini sebagai tanggung-jawabnya. Adalah wajar apabila sebuah operasi inteligent yang bersifat resmi digelar, selalu akan melibatkan dua organisasi bawah tanah yang bernaung dibawah institusi kepolisian ini. Ditreskrim dan Intelpam. Mereka sama-sama bertugas melakukan pemantauan lapangan saat pra operasi dan melaporkan balik apa yang telah mereka dapatkan di lokasi sasaran kepada pimpinan yang sama. Tetapi dalam kondisi normal mereka bekerja pada kasus-kasus yang berbeda.
Setelah keberangkatan kemudian shooting kamera proyektor berpindah pada situasi makan siang anggota setelah sebuah apel singkat Letnan Rimbasti Bayyu Siswanto memperkenalkan Mr. Ivan Jurrich tidak lagi sebagai pemantau resmi organisasi kemanusiaan Internasional sebagaimana awalnya secarik dokumen yang sah memperkenalkan dia sebagai itu. Setelah acara makan siang kembali di adakan apel yang di ikuti hanya anggota lapangan dari Inspektur polisi ke bawah. Perwira yang menangani tugas-tugas administratif tidak di perkenankan ikut. Petugas bagian lalu lintas juga. Inilah saat dimana Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna memberikan peralatan rekam kamera baru yang terintegrasi pada radio komunikasi earphone salah satu Inspektur polisinya. Pilihannya tepat, karena semua anggota operasional lapangan mengenakan radio komunikasi seperti itu. Dari rekaman kamera rahasianya itu Ajun Kombes polisi memperlihatkan bagaimana kini sosok Mr. Ivan Jurrich yang misterius telah berganti seragam dengan pakaian tempur lengkap. Dengan rompi amunisi dan baret merah dari sebuah institusi resmi yang menyatakan dia masih anggota aktif dari detasemen elite kementerian Pertahanan Bulgaria. Kepada para anggota lapangan Polda yang hadir dalam apel siaga di tengah hutan itu Mr. Ivan Jurrich yang sekarang mendapat kuasa memegang kendali operasi secara mutlak, mulai memaparkan tujuan operasi ini.
Dalam taklimatnya Mr. Ivan Jurrich dengan penuh percaya diri menjelaskan tentang keinginan para boss perusahaan eksplorasi minyak dan gas alam yang di dukung sepenuhnya oleh Institusi Rimbasti. Bahwa hari ini tugas mereka adalah membersihkan lahan belantara Meranti dan Kamper sejauh limaratus mill di hutan-hutan kawasan Sengerti, Mertung, dan Kampungbaru yang akan menjadi jalur distribusi penting eksplorasi minyak mentah Axios Ltd. Mexico di kota Jambi ini. Mereka secara resmi tidak mungkin melakukan negosiasi dan migrasi penduduk secara besar-besaran yang nantinya akan melalui kerumitan-kerumitan soal ganti rugi sertifikat tanah, hak kepemilikan hutan adat, serta kemungkinan pencarian lahan pengganti yang akan menimbulkan kerumitan yang baru lagi. Lebih baik perkampungan-perkampungan yang terikat dengan hak-hak perwalian hukum adat itu di singkirkan dengan pukulan telak, rahasia, dan membuat mereka pergi dengan sendirinya tanpa menimbulkan gejolak yang merepotkan di kalangan publik. Lagipula secara geopolitis tanah-tanah yang di minta itu masih berada dalam naungan direktorat kehutanan dan kawasan hutan lindung nasional. Belum di investasikan menjadi milik perorangan.
Apabila mengacu pada hukum pertanahan negara, orang-orang di perkampungan adat itu sama sekali tidak memiliki hak untuk tetap tinggal. Pemerintah pusat menyatakan tidak menghalangi tindakan terbaik yang diambil perusahaan tetapi tidak mau tahu atas tindakan yang diambil untuk mengosongkan lahan yang dimaksud. Begitu yang di utarakan Mr. Ivan Jurrich kepada semua yang menghadiri apel siaga hari itu. Selanjutnya orang-orang Rimbasti mulai bergegas naik ke kendaraan masing-masing. Mempersiapkan kondisi senjata mesin Minimi mereka dan artileri meriam Hispano Suezha kaliber 76.2 milimeter dalam kubah turret Pansher APC Strykers-nya. Anggota-anggota polisi yang menjadi satuan pendukung dalam operasi itu harus menempuh jalan kaki yang sangat jauh.
“Apakah orang bernama Mr. Ivan Jurrich ini seseorang yang bisa dipertanggung jawabkan ?” Inspektur Jendral Albert Anantha mencoba menggali informasi lebih dalam kepada Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna.
“Kami tidak tahu pasti, Jendral. Yang jelas… awalnya kami fikir dia orang dari teretorial Rimbasti. Karena dia satu-satunya orang berpakaian sipil dalam rombongan itu. Kemudian baru kami tahu kalau dia sesungguhnya petugas dari Organisasi Kemanusiaan Internasional karena memiliki surat lisensi dan dokumen-dokumen imigrasi yang sah. Dan belakangan malah dia mengaku sebagai orang yang dibayar perusahaan untuk menangani tugas ini.”
“Mungkin tentang jati diri orang asing ini kita bisa meminta keterangan lebih lanjut via kantor imigrasi Aceh.” Pertanyaan itu dilontarkan oleh Asrena Kepala Kombes polisi Madjid Jaellani Tawill.
“Aku akan meminta penjelasan kongkrit mengenai masalah ini. Jangan sampai kita kecolongan dalam menjalankan garis komando karena dipermainkan oleh orang-orang Rimbasti yang dikenal serakah dan sangan doyan suap ini. Mereka sudah mengobok-obok organisasiku. Kalau aku harus kehilangan pekerjaan demi meluruskan krisis ini, akan aku lakukan. Sekalipun itu nantinya akan berhadapan dengan keangkuhan orang-orang di lingkaran elite kekuasaan Istana. Persoalan yang melibatkan anggota-anggota kepolisian Polda Jambi tanpa sepengetahuanku ini akan aku kejar terus sampai ke ujung langit sekalipun. Aku tidak rela orang-orang yang berbakti ini. Yang bekerja dengan sungguh-sungguh hanya demi sesuap nasi bungkus ini akhirnya di fitnah dan di jadikan kambing-hitam kebejatan mereka semua.” Inspektur Jendral polisi Albert Anantha bersikukuh. Dia sebegitu marahnya sampai tidak memandang orang-orang yang mungkin akan merasa tersinggung jauh di atas kekuasaannya. Tapi hal yang demikian sampai terjadi pada seseorang setinggi Inspektur Jendral polisi Albert Anantha cukup dapat di pahami. Meskipun hanya setingkatan Polda, Inspektur Jendral polisi Albert Anantha memiliki legalitas kekuasaan yang mutlak di wilayah kerjanya. Dan ada nilai-nilai integritas jenjang kewenangan yang seharusnya tidak berhak di langgar dengan semena-mena oleh pihak lain. Melangkahi jabatannya dengan begitu saja akan menimbulkan gejolak yang tidak baik menyangkut nilai-nilai kehormatan seorang Pimpinan Kepolisian Daerah dalam garis komando Institusional. Aturan-aturan baku operasional akan rusak dan garis komando menjadi tidak di percaya lagi untuk menggerakkan sebuah institusi yang resmi sekelas Kepolisian Negara.
Peserta rapat menjadi lebih tercengang ketika kemudian di perlihatkan bagaimana Rimbasti dengan selongsong-selongsong Meriam artileri Hispano Suezha kaliber 76.2mm dan granat tangan. Juga berondongan senjata mesin Minimi kaliber 7.62mm dan senjata-senjata otomatisnya membantai wanita dan anak-anak pedalaman yang tidak tahu apa-apa dengan urusan politik negara. Mereka sungguh tidak percaya adegan demi adegan yang terjadi. Bahwa anggota suatu detasemen elite dari Kementerian Pertahanan yang sangat terhormat bisa melakukan kejahatan-kejahatan kemanusiaan yang sehebat itu. Apalagi ketika Mr. Ivan Jurrich mengomando anggota-anggota Rimbasti untuk mulai melakukan aksi perkosaan massal. Bahkan seorang Kadit Intelpam sekelas Kombes polisi Hetty Vittorinni hampir-hampir tidak sanggup menahan murkanya. Aroma kemarahan itu terasa menghinggapi Inspektur Jendral polisi Albert Anantha yang paling tersinggung dengan tragedi drama kemanusiaan ini. Masih segar dalam ingatannya nasib tragis yang menimpa kepala polisi resort Sidoarjo Ajun Kombes polisi Dwi Bagus Satriyo. Padahal dia sama sekali tidak tahu tragedi yang menyebabkan seorang buruh pabrik bernama Marsinah tewas terbunuh dengan tindakan perkosaan yang biadab.
Yang diam-diam ternyata melibatkan institusi teretorial dari Danramil hingga wakil kepala staf Intel KomeRad Mayjen inf. Bhekti Hartonno. Institusi yang secara gamblang dilibatkan karena kedekatan Pengusaha tekstil kenamaan Mr. Yamadha Hirromushi dengan wakil staf Intel KomeRad Mayjen inf. Bhekti Hartonno itu ternyata tidak mau di persalahkan. Yang kemudian mengkambing hitamkan kepala kepolisian resort kota Sidoarjo waktu itu sehingga banyak perwiranya dimutasi keluar pulau dan sejumlah anggota Intelpam-nya diseret sebagai tersangka pelaku yang tidak pernah ada. Persoalan tidak berhenti sampai disitu saja. Mayjen inf. Bhekti Hartonno dengan sengaja mengatur agar pada akhirnya kepala polisi resort sendirilah yang terbukti mendalangi aksi pembunuhan itu. Karena IcB memberikan bukti penyadapan pembicaraan Ajun Kombes polisi Dwi Satriyo itu dengan suara yang mirip Mr. Yamadha Hirromushi sendiri. Dan telah di telusurinya keberadaan rekening pribadi kepala polisi Sidoarjo yang belum lama mendapat transferan dana segar sebesar limaratus juta rupiah. Yang mencengangkan adalah setelah vonis bersalah kasus pembunuhan itu Mr. Yamadha Hirromushi datang menghadiri pesta pernikahan puteri Mayjen inf. Bhekti Hartonno sendiri dan berfoto dengan congkaknya di depan Media Massa.
Inspektur Jendral polisi Albert Anantha tentu tidak mau dirinya nanti di korbankan seperti itu. Jadi kalau dia mulai mengajukan permintaan resmi untuk penyelidikan Internal kasus ini bukannya tanpa alasan kuat. Dia tidak mau di hukum duapuluh lima tahun penjara karena sebuah kejahatan kemanusiaan yang sama sekali tidak dia lakukan. Setelah semua peralatan proyektor dimatikan dan lampu-lampu kembali di nyalakan, Inspektur Jendral polisi Albert Anantha menatap Ajun Kombes polisi Sofhia Supriatna lama. Seakan sedang merenungkan banyak hal. Yang salah satunya adalah bagaimana memilih jalur yang tepat agar penyelidikan itu tidak justeru berbalik memberikan kesulitan-kesulitan bagi dirinya.
“Kita sudah mendengar semuanya dari Ajun Kombes polisi Sofhia… semua fakta sudah terbentang dengan jelas di hadapan kita. Sekarang bisa kita mulai penyelidikan internal atas kasus ini. Sementara aku akan mengusahakan kewenangan tertinggi untuk mengusut motif keterlibatan Rimbasti dalam aksi kejahatan kemanusiaan yang biadab ini. Selamat siang.”
Semua yang hadir mengangguk dan bangkit meninggalkan ruang pertemuan yang di jaga ketat itu satu persatu. Berkas-berkas yang menyangkut kronologis aksi kejahatan sudah lengkap. Bahkan dengan dilengkapi fakta visual yang tidak terbantahkan. Inspektur Jendral polisi Albert Anantha tahu. Kalau orang-orang yang sedang berada di puncak kekuasaan tersandung kasus pelanggaran kemanusiaan berat ini dan jatuh. Maka akan banyak orang-orang lain yang menjadi pendukung kekuasaannya ikut jatuh. Kalau ada perubahan besar-besaran di atas maka akan ada tempat lowong sebagai kepala kepolisian Negara yang baru. Suatu jabatan yang menurut Inspektur Jendral polisi Albert Anantha akan sangat cocok baginya. Tapi untuk bisa mengkonsolidasikan semua langkah hukum itu, Jendral polisi Albert Anantha membutuhkan bukti, sangat banyak bukti yang mantap, tak terbantahkan. Bukti dokumenter bahwa tindakan bejat yang dilakukan oknum-oknum Rimbasti adalah kebijakan terintegrasi yang di perintahkan dari pusat. Tidak seorangpun bisa melupakan bahwa Jendral Julio Hernan Cresspo menggulingkan Presiden Mozambhiek Manuell Coppoolla De Leon pada tahun 1974 dengan tuduhan pembantaian etnis di perkampungan gunung Russoablu.
Tidak lama setelah penyelidikan internal di lingkungan Polda Jambi sendiri berjalan, Inspektur Jendral polisi Albert Anantha bertemu dengan waka Menhan Oktaprius Surya Prayoga yang namanya ikut tercatut dalam surat pengesahan politik operasi Pematanglima. Fakta-fakta kejadian yang disodorkan kepadanya itu kontan menyulut amarah Wakil Menhan Dr. Oktaprius Surya Prayoga dan menyatakan kepada Inspektur Jendral polisi Albert Anantha bahwa semua yang tertuang dalam surat pengesahan operasi Pematanglima itu tidak benar. Dan dia tidak pernah menanda tangani persetujuan apapun menyangkut operasi Pematanglima. Beredarnya fakta-fakta kejahatan kemanusiaan Rimbasti itu juga membuat panik Rapat Kerja Terbatas Kabinet Pemerintahan Tuanku Baginda President Albertinus Senno Suhastommo. Sehingga Panglima Rimbasti Jendral Bambang Wisesha harus repot-repot menyamar dalam pakaian preman untuk datang ke Istana dengan sejumlah pengawalnya yang menyaru sebagai rombongan Ojek. Menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi dalam operasi kejahatan kemanusiaan Pematanglima.
Tapi sebelum semua itu terpecahkan… sebuah kabar menggemparkan muncul di Internet. Menggambarkan dari lokasi perekaman yang sangat jauh tetapi cukup jelas terlihat bagaimana sepasukan polisi melakukan kejahatan kemanusiaan paling brutal di abad ini. Tentang pembantaian keji kejahatan kemanusiaan yang sangat brutal di pedalaman hutan-hutan belantara Sengerti-Sumatera. Setelah ramai di Youtube, muncul ulasan berita yang sangat mengusik rasa kemanusiaan itu di CNN, NBC, Centro News, Star News, France-Presse, Tiskova Kancelar, Periodistica Telam, hingga TASS-Sovietskavo Soyusa. Dan seluruh dunia menjadi tahu seperti apa wajah Rimbasti yang digadang gadang oleh Tuanku Baginda President Albertinus Senno Suhastommo itu sesungguhnya. Dan wajah dari rejim pemerintahan Tuanku Baginda President Suhastommo. Kontan dunia Internasional menjadi marah dan protes-protes diplomatik membanjiri kedutaan-kedutaan Indoensia di luar negeri. Organisasi-organisasi kemanusiaan Internasional menyatakan rejim kekuasaan President Suhastommo sebagai pemerintahan paling kejam di dunia. Ramai-ramai mendesak UNO melakukan tindakan nyata untuk menghukum sang diktator yang terbukti telah demikian brutal menghadapi rakyatnya sendiri.
Hadir dalam rapat darurat Staf khusus Kepresidenan hari itu meliputi Mensekneg JendralSetya Bernawa, pemimpin tertinggi partai Tengku Mu’adh Abdillah Zaenni, Kasau Marsekal pnb. Tengku Iskandarsyah Latief, dan Menhan Dr. Muzhar Mochtar. Semenjak jajaran pimpinan puncak IcB dipecat karena skandal memalukan Lembaga anti korupsi nasional itu yang mempergunakan kekuasaannya untuk berusaha menyandera seorang pelajar Es-em-A di Malang. Sekarang ini kontrol ketat terhadap lembaga rahasia pemerintah itu berada langsung dibawah JendralSetya Bernawa. Lima orang lain yang ikut hadir dalam rapat darurat itu adalah Menlu Dr. Honda Tranggonno Js.D MBA, Menteri dalam negeri Dr. Fendhy Irwan Saputra S.Ad, WaMenhan. Dr. Oktaprius Surya Prayoga Js.D SH, Staf khusus Humas Nikken Wastu Mahestri S.Com, dan Staf khusus keamanan internal Brigjen Kowalsus Hilman Hassya yang juga komandan jendral pasukan khusus pengawal Istana Kowalsus. Rapat darurat itu di adakan dalam ruang rahasia yang anti sadap di basement Istana dengan dijaga oleh enam anggota pengawal khusus detasemen A Kowalsus berseragam yang langsung dibawah perintah Letnan satu Kowalsus Arlho Poetiray yang sedang bertugas hari itu.